• Tidak ada hasil yang ditemukan

LUKA AKIBAT TRAUMA BAHAN KIMIA

Dalam dokumen Buku Ilmu Kedokteran Forensik (Halaman 51-54)

Trauma kimia sebenarnya hanya merupakan efek korosi dari asam kuat dan basa kuat. Asam kuat sifatnya mengkoagulasikan protein sehingga menimbulkan luka korosi yang kering, keras seperti kertas perkamen, sedangkan basa kuat bersifat membentuk reaksi penyabunan intra sel sehingga menimbulkan luka yang basah, licin dan kerusakan akan terus berlanjut sampai dalam. Karena biasanya bahan kimia asam atau basa terdapat dalam bentuk cair (larutan pekat), maka bentuk luka biasanya sesuai dengan mengalirnya bahan cair tersebut.

Gambar menunjukkan luka bakar akibat bahan kimia korosifyang ditelan oleh korban.

Perhatikan ada bagian yang bebas luka bakar pada sebagian dagu yang menunjukkan bahwa saat meminum, korban dalam posisi m.enunduk.

.UKA AKIBAT RADIASI DAN TRAUMA AKUSTIK

Luka akibat radiasi dan trauma akustik sangat jarang terjadi aan umumnya tidak berkaitan dengan Ilmu Kedokteran Forensik.

j NTRAVITALITAS ATAU REAKSI VITAL TERHADAP LUKA

Pada tubuh manusia yang masih hidup, adanya trauma akan -enyeebabkan timbulnya reaksi tubuh terhadap trauma tersebut, lengan menemukan reaksi tubuh terhadap trauma, maka dapat z pastikan bahwa saat terjadi trauma, yang bersangkutan masih -■dup, atau dengan perkataan lain, luka terjadi intravital.

Pada penilaian terhadap perdarahan, harus dilakukan dengan teliti terutama bila luka terletak didaerah hipostasis. Luka-luka pada orban harus diperhatikan dengan seksama termasuk saluran luka/ perusakan jaringan bawah kulit.

Emboli lemak dapat terjadi pada kasus patah tulang dan trauma tumpul jaringan lemak

sedangkan emboli udara terjadi bila ada vena superfisial yang terbuka dan emboli jaringan dapat terjadi z a alat dalam, misalnya hati mengalami kerusakan.

Kadar laktat darah dapat digunakan sebagai cerminan reaksi adrenergik, adalah parameter terjadinya suatu situasi stres premortal, ™-,salnya pada kecelakaan pesawat terbang.

Reaksi radang, sepsis dan terjadinya ulcus duodeni/ven-trikulus (curling's ulcer) dapat pula sebagai indikator intravitalitas.

Luka bakar intravital dapat ditentukan dengan dengan melihat adanya erifema di «sekeliling vesikel/bullae dan pemeriksaan mik-'oskopik menunjukkan pelebaran kapiler, sebukan lekosit PMN, perdarahan dan edema.

Adanya jelaga pada saluran napas dan lambung serta CO-Hb darah (10%), serta cyanida (kadang-kadang) menunjukkan bahwa orang tersebut masih hidup sewaktu terbakar.

Reaksi intravital terhadap trauma dapat pula tampak sebagai peningkatan kadar histamin bebas serta serotonin pada jaringan yang mengalami trauma.

Demikianpula perubahan aktivitas enzymatik LDH pada jaringan yang mengalami perlukaan, reaksi penyembuhan dan terjadinya granulasi serta terjadinya sebukan sel radang baik yang akut maupun yang kronik, semuanya menunjukkan bahwa luka yang terjadi adalah luka semasa korban masih hidup.

KEMATIAN akibat ASFIKSIA MEKANIK

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon di-: ■ s da (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.

Dari segi Etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:

1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.

2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.

3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya barbiturat, narkotika. ASFIKSIA MEKANIK.

Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara per--apasan terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai «skerasan (yang bersifat mekanik), misalnya :

Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas : Pembekapan (smothering) Penyumbatan (Gagging dan choking)

Penekanan dinding saluran pernapasan : Penjeratan (strangulation) Pencekikan (manual strangulation, throttling) Gantung (hanging)

Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik) Saluran pernapasan terisi air (tenggelam, drowning)

Karena mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni disebabkan oleh asfiksia, maka ada sementara ahli yang tidak agi memasukkan tenggelam ke dalam kelompok asfiksia mekanik, tetapi dibicarakan tersendiri.

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang capat dibedakan dalam 4 fase, yaitu :

1. Fase dispnea. Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan C02 dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medula oblongata, sehingga amplitudo dan frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan.

2. Fase konvulsi. Akibat kadar CO? yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula berupa kejang kionik tetapi kemudian menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik.

Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat kekurangan O2.

3. Fase apnea. Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan melemah dan dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja.

4. Fase akhir. Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernafasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti.

Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari tingkat peng-halangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.

PEMERIKSAAN JENAZAH

Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.

Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.

Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. Tingginya fibrinolisin ini sangat berhubungan dengan cepatnya proses kematian.

Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadangkadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.

Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palbebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu's spot.

Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.

Penulis lain mengatakan bahwa Tardieu's spot ini timbul karena permeabilitas kapiler yang meningkat akibat hipoksia.

Dalam dokumen Buku Ilmu Kedokteran Forensik (Halaman 51-54)