Sumber : Diolah oleh Penulis (2016)
Selanjutnya yang ketiga adalah sekolah Yos Sudarso merupakan sekolah Katolik juga yang berada disatu wilayah dengan Bina Cahya. Tetapi Yos Sudarso mempu- nyai tiga jenjang yaitu sekolah SD, SMP dan SMA. Penulis hanya fokus kepada sekolah SMP saja karena agar dapat dibandingkan dengan sekolah lainnya. Tidak berbeda jauh dengan sekolah-sekolah sebelumnya Yos Sudarso menerima dengan terbuka siswa dengan agama apa saja untuk bersekolah disana. Namun untuk mata pelajaran agama mereka hanya menyediakan untuk agama katolik.
Tetapi untuk agama lain mereka menunjang dengan buku tugas yang diberikan oleh pihak sekolah kepada setiap siswa. Sehingga penilaian sikap serta untuk nilai agama yang bukan beragama Katolik akan dilihat dari buku tugas mereka. Sama dengan sekolah Bina Cahya yang dilihat dari siswa dalam agama lebih kepada budi pekerti mereka dalam berinteraksi dengan siswa. Tidak hanya itu didalam kelas juga mereka diberikan ilmu mengenai budi pekerti. Berikut adalah buku tugas yang diberikan kepada siswa:
Gambar 3. 3 Buku Tugas Agama Siswa
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2016) Katolik • 22
• 14 Islam
• 2 Ptotestan
• 1 ADS
Page 49 of 203 Menurut Wakil Kepala Sekolah bagian Kurikulum yaitu ibu Arta Wuli pelajaran agama mereka memang lebih kepada pembelajaran berbasiskan agama Katolik.
Karena pihak sekolah mengikuti arahan dari atasan yaitu kepala yayasannya. Se- hingga mata pelajaran agama untuk agama selain Katolik tidak disediakan disini.
Tetapi berdasarkan sistem sekolah tetap menerima agama lain selain Katolik. Beri- kut kutipan wawancara dengan ibu Arta Wuli:
ya kami memang sekolah Katolik ya tapi tetap memperbolehkan kepada siswa yang beragama lain untuk tetap sekolah disini. Karena dilingkungan kami memang multiagama ya beragam ada yang Islam, Katolik, Kristen ada pula yang pengahayat ya seperti yang ada di Paseban sana. Untuk mata pelajaran memang kami hanya menyediakan untuk yang beragama Katolik, tapi untuk agama lain kami juga menyediakan buku tugas termasuk untuk siswa yang beragama Katolik”56
Siswa yang bersekolah di Yos Sudarso beragam untuk agamanya, sehingga sekolah tersebut sama dengan yang lainnya terbuka dalam penerimaan siswanya.
Agama yang mendominasi memang agama Katolik. Berdasarkan wawancara penulis dengan wakasek Yos Sudarso, penulis memperoleh data yang menunjuk- kan jumlah siswa yang bersekolah disertai dengan identitas agamanya. Berikut adalah foto yang merupakan data dari SMP Yos Sudarso:
Gambar 3. 4 Buku Tugas Agama Siswa
Sumber : Dokumentasi Pribadi (2016)
Dominasi agama yang terjadi di tiga sekolah tersebut berbeda satu sama lainnya berdasarkan orientasi sekolah tersebut. Untuk Tri Mulya agama yang mendomi- nasi adalah penghayat sedangkan Bina Cahya dan Yos Sudarso adalah agama Katolik. Dominasi agama yang terjadi bisa saja menimbulkan konflik yang terjadi disekolah tersebut. “In Alain Touraine’s terms, any dominant class is interested in becoming the directing class. The one that can acquire the massive support of all
56Wawancara dengan Arta Wuli jam 15.40 pada tanggal 05 November 2016
Page 50 of 203 the clasess and groups of its specific mode of orientating the control of society” 57 seperti yang dikatakan oleh Alain Tourain kelas dominan bisa saja tertarik untuk menyutradai terhadap kelas lain serta modus kelompok dominan bisa saja berori- entasi untuk mengontrol suatu masyarakat. Memang pada masing-masing sekolah agama yang dominanlah yang mengatur untuk masalah mata pelajaran yang akan diberlakukan kepada siswa.
“A religion has potential influence at any one or more the three levels at which the degree of a subordinate class autonomy can be analyzed which are class con- sciousness, class organization and class mobilization”58 dikatakan pula agama memiliki pengaruh potensial pada satu atau lebih tiga tingkat dimana tingkat otonomi kelas bawahan dapat dianalisis dengan kesadaran kelas, organisasi kelas dan mobilisasi kelas. Dominasi agama yang terjadi pada ketiga sekolah tidak me- nyebabkan hal tersebut. Karena tingkat toleransi yang dimiliki oleh siswa di SMP Yos Sudarso tersebut sangat tinggi. Mereka saling menghargai agama satu sama lain bahkan saling mengingatkan ibadah agama masing-masing. Sehingga in- teraksi yang terjalin bisa terjaga dari dulu hingga sekarang. Penulis juga mem- bandingkan data siswa dimasing-masing sekolah dengan kepercayaan mereka se- bagai berikut.
Tabel 3. 1 Perbandingan Latar Belakang Agama Siswa No Nama
sekolah
Agama
ADS Islam Katolik Protestan Buddha
1 Tri Mulya 35 2 1 - -
2 Bina Cahya
1 14 22 2 -
3 Yos Sudarso
2 8 204 46 2
Sumber: Analisis Penulis (2016)
Pola Interaksi Siswa antar Kelompok ADS dan Non-ADS
Interaksi merupakan hal yang selalu dilakukan manusia sebagai makhluk sosial yang akan saling membutuhkan dan terjadi kapan saja serta dimana saja. Menurut salah satu tokoh sosiologi Gillin dan Gillin, interaksi merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok ataupun antar individu dengan kelompok. Hubungan sosial yang dinamis maka interaksi sosial ini akan terus berjalan dan berkembang sesuai zamannya. Interaksi sosial ini pula dibangun dilingkungan sekolah dimana anak-anak ADS bersekolah, meski mem- iliki sekolah sendiri yang sudah dipastikan jumlah para pengahayat kepercayaan dominan namun tidak memungkiri bahwa ada pula beberapa agama seperti Islam, Katolik dan Protestan yang menjadi siswa minoritas disana. Sekolah Tri Mulya merupakan sekolah bagi para penghayat kepercayaan tersebut, namun interaksi yang dibangun didalamnya terjalin secara harmonis bahkan keharmonisan itupula
57Otto, Maduro, Religion and Social Conflicts, (New York: Orbis Books Maryknoll:1982) hlm. 73
58 Ibid
Page 51 of 203 dibangun dengan siswa yang bukan pengahayat. Selain sekolah Tri Mulya adapula sekolah lainnya seperi Bina Cahya dan Yos Sudarso.
Kedua sekolah tersebut merupakan SMP katolik yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan paseban dan juga dengan SMP Tri Mulya. Kedua sekolah ini merupakan sekolah yang menjunjung tinggi nilai toleransi terhadap sesama siswa bahkan keadaan tersebut sudah menjadi hal yang biasa terjadi. Interaksi sosial yang ter- jadi di kedua sekolah tersebut juga berjalan dengan harmonis antar sesama siswa, dengan berpedoman dengan nilai budi pekerti maka toleransi umat beragama merupakan hal yang biasa dan agama menjadi hal yang pribadi. Beberapa anak- anak ADS yang bersekolah di dua sekolah tersebut menjalani interaksi antar sesama siswa dengan harmonis, sama halnya dengan yang dilakukan oleh siswa ADS dengan Non-ADS di Tri Mulya. Menjadi siswa minoritas di ketiga sekolah ter- sebut tidak menghalangi interaksi yang terjadi antar kelompok-kelompok agama yang berbeda di wilayah Cigugur tersebut.
disini saya mah baik-baik aja ka, main juga sama-sama. Sudah biasa kalau banyak agama gitu, kan dirumah juga campuran kak, tapi sama aja murid- murid juga. Ejek-ejekan agama juga ga ada, disini mah ya sekolah aja gak mikirin agama beda-beda.59
Interaksi sosial memiliki dua bentuk yakni bersifat asosiatif dan disasosiatif, aso- siatif adalah proses interaksi sosial yang bersifat positif sedangkan disasosiatif memiliki sifat yang sebaliknya atau negatif dalam proses interaksi di dalam masyarakat. Bentuk-bentuk dari kedua proses tersebut yakni asimilasi, akulturasi, pesaingan dan banyak lagi. Interaksi yang dibangun jika dilihat dari jumlah siswa yang menjadi mayoritas baik ADS dan Non-ADS memiliki tingkat toleransi yang kuat dan tingkat toleransi yang kuat ini mengindikasikan bentuk interaksi yang di bangun adalah asimilasi.
Gambar 3. 5 Siswa Muslim dan Katolik di SMP Tri Mulya
Sumber: Dokumentasi Pribadi (2016)
59 Wawancara dengan Izzi (siswa agama islam di Tri Mulya) jam 10.02 pada tanggal Tanggal 05 November 2016
Page 52 of 203 Bentuk-bentuk interaksi sendiri yang bersifat asosiatif terdiri dari akomodasi, asim- ilasi serta kerjasama. Akomodasi berasal dari kata latin acemodare yang berarti menyesuaikan. Definisi sosiologisnya adalah suatu bentuk proses sosial yang di dalamnya dua atau lebih individu atau kelompok berusaha untuk tidak saling menggangu dengan cara mencegah. Selanjutnya yaitu akomodasi yang terdiri dari dua bentuk yaitu toleransi dan kompromi. Dan asimilasi merupakan proses lanju- tan atau proses sosial dalam taraf lanjut. Ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan mengutamakan kepent- ingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Secara singkat asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang sama walau terkadang bersifat emo- sional, dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan atau paling sedikit integrasi dalam organisasi, pikiran dan tindakan individu. Sejalan dengan pengertian asim- ilasi tersebut, masyarakat di wilayah Cigugur dapat diidentifikasikan bahwa dengan berbagai macam kepercayaan dan agama yang ada, mereka tetap dapat hidup secara harmonis dan memiliki tujuan yang sama untuk hidup tentram.
Proses terjadinya asimilasi yakni:
1. Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaan
2. Orang perorangan sebagai warga kelompok saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama
3. Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri
Fakto-faktor yang mempengaruhi atau mempermudah proses asimilasi terjadi di dalam masyarakat, yaitu:
1. Toleransi
2. Kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi 3. Sikap menghargai
4. Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa 5. Persamaan dalam unsur kebudayaan 6. Perkawinan campuran
Salah satu proses asimilasi adalah orang perorangan sebagai warga kelompok yang saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama. Selama di sekolah siswa-siswi Tri Mulya, Bina Cahya, dan Yos Sudarso melakukan in- teraksi yang lama dan secara intensif maka asimilasi didalam lingkungan ketiga sekolah tersebut berjalan dengan lancar. Bentuk interaksi yang dimunculkan oleh ketiga sekolah tidaklah jauh berbeda, bahkan penulis menyimpulkan bentuk in- teraksi yang ketiga sekolah gunakan adalah asimilasi. Kunci dari proses ini adalah toleransi antar kelompok, dan kelompok yang dimaksud dalam bahasan ini adalah kelompok agama di sekolah. Keberagaman agama yang ada di tiga sekolah ter- sebut menjadi penguat hubungan antar siswa, melalui institusi-institusi yang ada lingkungan masyarakat Cigugur seperti keluarga, pertemanan, hingga masyarakat yang terbiasa akan perbedaan telah membuat para siswa memahami nilai-nilai toleransi tersebut sehingga dijadikan pedoman dalam berinteraksi dan bertindak di lingkungan sosialnya khususnya interaksi yang terjalin di lingkungan sekolah, mereka selalu berusaha untuk menciptakan lingkungan yang aman dan tentram.
Page 53 of 203 Hidup berdampingan dengan rasa aman adalah keinginan dan cita-cita seluruh masyarakat, begitupula yang diinginkan oleh masyarakat Cigugur dengan ke- hidupan sosial yang multiagama. Banyaknya agama tidak menjadi penghalang un- tuk menjalani hidup berdampingan yang harmonis sesama anggota masyarakat.
Sejarah terdahulu telah menjadikan masyarakat Cigugur saat ini sangat toleransi terhadap agama. Di sekolah pemandangan seperti anak muslim yang bersekolah di sekolah Katolik atau sekolah penghayat akan menjadi pemandangan yang bi- asa. Di sekolah tidak ada pelajaran agama yang mendoktrin satu agama dengan agama yang lain. Ketiga sekolah tersebut lebih menekankan kepada nilai-nilai budi pekerti, sesuai dengan ajaran para leluhur sehingga rasa toleransi antar umat be- ragamapun tinggi.
Asimilasi dibangun di sekolah dengan toleransi beragama, ketika para penghayat kepercayaan bersekolah di sekolah Katolik akan ada perbedaan kebijakan setiap sekolahnya. Tri Mulya adalah sekolah yang khusus dibangun untuk anak-anak ke- turunan ADS, namun tidak semua siswa di SMP Tri Mulya adalah ADS tetapi siswa dengan agama lain seperti Islam, Katolik dan Kristen pun ada. Keberaga- man umat beragama tidak hanya terjadi dikalangan siswa saja, tapi dikalangan guru pun keberagaman terjadi. Sebagian besar staff pengajar di SMP Tri Mulya beragama muslim dan Kristen, hanya ada satu guru yang menganut ADS yaitu bapak Wahyu. Pak Wahyu adalah guru mata pelajaran agama untuk agama ke- percayaan, selain menjadi guru agama pak Wahyu sekaligus menjabat sebagai kepala sekolah. Terdapat salah satu siswa SMP Tri Mulya bernama Puji yang be- ragama Islam, yang mengakui bahwa ia merasa nyaman berada di sekolah terse- but karena tidak ada pembedaan dalam proses interaksi ataupun tindakan-tinda- kan yang diskriminatif berdasarkan latar belakang agama. Dalam proses interaksi di sekolah tidak ada peristiwa bullying yang dilakukan oleh para siswa mayoritas terhadap siswa minoritas dalam hal agama. Menurut Puji, tidak ada saling ejek antar siswa menjadikan Puji merasa nyaman. Toleransi yang tinggi yang di ajarkan melalui budi pekerti sangat dirasakan oleh Puji pada saat di sekolah. Walaupun mayoritas agama penghayat, SMP Tri Mulya tetap memberikan pendidikan agama kepada siswa lainnya dengan mendatangkan guru agama dari sekolah lain dan hal tersebut sebagai bentuk kesetaraan hak dalam proses pembelajaran di sekolah. Selain itu, SMP Bina Cahya juga menerapkan prinsip yang sama dengan Yos Sudarso mengenai keterbukaan dalam menerima siswa.
Gambar 3. 6 Siswi ADS di Bina Cahya
Sumber: Dokumen Pribadi (2016)
Page 54 of 203 Selanjutnya adalah SMP Yos Sudarso yang merupakan salah satu sekolah Katolik favorit di wilayah Cigugur, dan sama halnya dengan SMP Tri Mulya, di SMP Yos Sudarso tidak menutup kemungkinan adanya agama lain yang ikut mengenyam pendidikan di sekolah tersebut karena mekanisme penerimaan siswa di SMP Yos Sudarso tidak mengharuskan seluruh siswanya beragama Katolik. Seperti halnya SMP Tri Mulya di Yos Sudarso toleransi antar siswa beragama sangat kental, tidak ada sikap saling ejek antar siswa walaupun mayoritas agama Katolik. Pelajaran yang diberikan mengenai agama tetap pelajaran Katolik namun berbasis budi pekerti, adanya tugas mengenai kegiatan ibadah selain disekolah di jadikan alat untuk mengupayakan pendidikan agama untuk minoritas.
Keterbukaan dalam menerima siswa yang menjadikan ADS mampu hadir di sekolah-sekolah yang mayoritas Katolik. Sekolah Katolik memiliki jumlah yang lebih banyak daripada sekolah lainnya dikarenakan sejarah terdahulu menjadikan banyak ADS berpindah agama menjadi Katolik. Siswa-siswa ADS dan Non-ADS seperti Islam yang bersekolah di sekolah Katolik memiliki beberapa alasan dan salah satu alasan yang menarik bagi penulis adalah salah satu orang tua beberapa siswa beragama Katolik atau ADS.
walaupun disini adalah sekolah Katolik, tapi kami tetap menerima siswa diluar katolik dengan satu konsekuensi tetap mengikuti pelajaran agama Katolik. Kami memberikan buku tugas agama dan diisi sesuai dengan agama masing-masing, menjadi nilai tambahan agama namun ujian agama tetap menggunakan soal agama Katolik karena bagian dari konsek- uensi.60
Pernyataan yang diungkapkan oleh Wakasek Kurikulum diterima oleh para orang tua siswa diluar agama Katolik. Faktor yang mempermudah asimilasi adalah sikap terbuka dari golongan berkuasa, ketika anak ADS masuk ke sekolah Katolik segala peraturan wajib diikuti oleh siswa ADS dan itu merupakan salah satu sikap terbuka dari penguasa atau dari pihak sekolah. Faktor-faktor yang mempermudah proses terjadinya asimilasi dapat dirasakan di sekolah-sekolah wilayah sekitar paseban, toleransi antar umat beragama sudah menjadi jati diri masyarakat hingga terbawa di lingkungan sekolah dan menginternal didalam diri individu siswa. Beberapa siswa bahkan menjalin hubungan persahabatan yang erat meskipun berbeda agama. Doktrin-doktrin mengenai sikap saling menghargai serta toleransi yang ditanamkan dari orang tua kepada anaknya dan direalisasikan kedalam bentuk yang nyata baik didalam keluarga, masyarakat bahkan di lingkungan sekolah, dan hal tersebut menjadikan keberadaan siswa ADS di sekolah-sekolah menjadi hal biasa bahkan sekolah dapat menjadi sarana penguat antar siswa beragama di wilayah Cigugur.
Penutup
Bagi warga Desa Cigugur perbedaan bukanlah menjadi suatu penghalang pemer- satu, karena dengan adanya perbedaan keyakinan membuat Desa Cigugur ini se- makin unik. Meskipun Desa Cigugur ini, terdapat banyak perbedaan tetapi tidak pernah sekalipun warga Desa Cigugur berdebat atau mengalami perpecahan hanya karena perbedaan keyakinan. Sebagai contohnya ialah di sekolah yang merupakan salah satu institusi formal yang berperan penting dalam proses pem-
60 Wawancara dengan staf kurikulum SMP Yos Sudarso Tanggal 05 Nov 2016
Page 55 of 203 bentukan dan sosialisasi. Siswa-siswi SMP Tri Mulya, Yos Sudarso dan Bina Ca- hya tidak pernah merasa diasingkan atau merasa terdiskriminasi hanya karena berbeda agama. Bahkan semua bisa diterima dengan senang disana. Siswa-siswa disana tidak pernah memilih dengan agama tertentu saja untuk menjadi temannya.
Dalam hal ini sekolah telah merepresentasikan kehidupan sosial Cigugur, Kuningan, Jawa Barat yang multiagama. Bagi masyarakat Cigugur, agama adalah hak semua umat manusia dan tidak ada satu orangpun yang berhak bertindak dis- kriminatif hanya karena latar belakang agama individu tersebut. nilai-nilai tersebut diinternalisasikan bahkan di lingkup institusi pendidikan formal seperti sekolah.
Pemahaman warga desa Cigugur akan nilai toleransi tidak hanya diucapkan secara verbal namun gagasan mengenai perilaku toleransi tersebut diwujudkan dalam tindakan sosial yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Khusunya siswa-siswi di tiga sekolah tersebut, bagi mereka toleransi bukan lagi soal doktrin orang dewasa terhadap pemikiran dan tindakan mereka. Tapi institusi-institusi keluarga, pertemanan, sekolah hingga masyarakat memberikan gambaran jelas tentang apa yang pantas dilakukan dan apa yang tidak. Sehingga toleransi bukan hanya berisi makna belaka tapi ia dijadikan satu keharusan dalam melakukan tin- dakan sosial sehingga standar menyimpang di daerah Cigugur, Kuningan adalah ketika individu tersebut tidak mampu menunjukan sikap toleransinya dimasyara- kat. Dan untuk menjelaskan analisa diatas, disajikan skema dibawah ini