Page 107 of 203 panjang. Menurut informan kunci yang bernama Pangeran Gumirat Barna Alam mengatakan bahwa:
Ya itu mah kepercayaan masayarakat sini saja. Padahal sebenarnya tidak seperti itu. Ketika air dikuras otomatis air kurasan akan mengalir kesaluran air yang bermuara disungai, dan secara logisnya ikan akan mendekati sumber air dan mengikuti aliran air tersebut. Karena tingkat kelangkaan atas ikan dewa ini, maka ikan dewa ini terancam punah dan tingkat repro- duksi dari ikan dewa ini cukup lambat, nah hal ini kemudian yang membuat ikan dewa ini jumlahnya dapat dibilang tidak berkurang maupun ber- tambah.114
Pada intinya mitos itu sendiri sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari upaya pelestarian lingkungan. Dengan adanya mitos yang dipercaya oleh masyarakat Cigugur maka secara tidak sadar hal itu dilakukan semata-mata untuk melestari- kan lingkungan hidup
Page 108 of 203 sumber kesejahteraan dan kehidupan masyarakat setempat.Pasalnya pada tahun 1936, Pangeran Madrais bersama pengikutnya beserta masyarakat di sekitaran gunung tersebut pergi ke atas guna mendaki Gunung Ciremai dengan tujuan meredamkan kondisi gunung yang sedang meletus pada saat itu. Mereka secara bersamaan mendaki ke atas dengan membawa berbagai sesajian, beberapa kambing, dan alat music gamelan yang sengaja untuk dimainkan di atas tepatnya di pos pesanggrahan sebelum mencapai puncak gunung tersebut.
Pas Gunung Ciremai mau meletus pada saat itu masyarakat kita disini dulu bukannya takut dan lari ngejauhi gunungnya gitu tapi kita malah berbon- dong-bondong naik ke gunungnya buat ngeredamin gunungnya dengan bawa alat musik, dan bawa kaya kambing juga. Nah uniknya kambing kan biasanya kalo di ikat lehernya memberontak tapi ini dia pasrah aja kayak emang udah tau gitu kalau akan dijadikan tumbal.115
Dan pada kenyataannya, letusan Gunung Ciremai itu sendiri akhirnya bisa redam dengan sendirinya dengan bermacam lantunan doa yang bersifat lahiriah. Mereka pun menganggap hal itu juga sebagai bantuan daripada Tuhan Yang Maha Esa.
Akan tetapi, konon katanya Pangeran Madrais pada saat itu juga menyatakan bah- wasannya meskipun letusan Gunung Ciremai dapat diredam, maka imbas da- ripada redamnya letusan tersebut akan beralih ke suatu konflik besar yang cukup berpengaruh dalam kehidupan di dunia. Konflik yang dimaksudkan di sini adalah munculnya perang dunia I dan perang dunia II, dan rupanya terbukti kemuncu- lannya setelah beberapa tahun adanya letusan di gunung tersebut.
Di samping itu, Pangeran Madrais itu sendiri di akhir-akhir hidupnya masih sempat membangun rumah-rumah sederhana di sekitaran lereng Gunung Ciremai yang kini lokasinya disebut dengan Curug Goong yang merupakan tempat napak tilas dan sekaligus lokasi meninggalnya Pangeran Madrais itu sendiri. Beliau mening- gal di curug tersebut karena adanya prediksi atas dirinya sendiri bahwa Pangeran Madrais merasa sudah dekat dengan ajalnya. Beliau sudah tahu bahwa ia akan meninggal di sana, dan kebetulan beliau sedang berada di Gunung Ciremai ber- sama para pengikutnya dan turun menuju Curug Goong tersebut. Namun kata meninggal tersebut bagi warga Sunda Wiwitan itu sendiri disebut sebagai “Ngahi- yang” yang berarti menyatu dengan alam dengan zat ilahinya. Meskipun hal itu merupakan dongeng yang disakralkan, namun menurut paham warga sekitar menyatakan bahwa para leluhurnya akan menghabiskan akhir hidupnya di tempat yang seperti itu.
Penutup
Masyarakat Desa Cigugur merupakan masyarakat multi agama dan memiliki adat yang masih kental dipelihara, menjadi salah satu rujukan dalam penataan ling- kungan yang bersahabat dengan alam. Sejak dahulu masyarakat Desa Cigugur sangat menjaga lingkungannya, karena menurut mereka itu adalah amanat leluhur mereka. Bagi masyarakat Desa Cigugur lingkungan merupakan sumber kehidupan bagi manusia, karena mereka hidup selalu berdampingan dengan alam. Salah satu contohnya masyarakat Desa Cigugur memanfaatkan Gunung Ciremai se- bagai sumber mata air yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sep- erti kebutuhan pokok, pertanian, peternakan, dan lain-lain.
115 Wawancara dengan Pak Wisnu, pada tanggal 04 November 2016, pukul 14:15 WIB
Page 109 of 203 Namun, dengan seiring berkembangnya zaman, dan penguasa yang ingin meng- gerus nilai-nilai yang sudah tertanam di masyarakat Cigugur. Salah satu con- tohnya yaitu adanya pembangunan Geotermal yang meresahkan masyarakat, ka- rena pembangunan proyek ini sebagian besar merusak tatanan sosial maupun lingkungan. Selain itu banyak juga warga yang kehilangan lahan perekonomian.
Pemerintah pun disini tidak bermusyawarah dengan masyarakat atas keputusan yang menyangkut hajat orang banyak.
Pada dasarnya masyarakat Desa Cigugur telah mendapat amanat dari para lelu- hur, agar melestarikan lingkungan. Amanat yang disampaikan yaitu "Lebih baik meninggalkan mata air, daripada meninggalkan airmata". Artinya disini bahwa kita sebagai generasi saat ini jangan sampai mewariskan air mata kepada generasi penerus.
Page 110 of 203 Daftar Pustaka
Buku :
Kang Rai Bachtiar. 2013. Pikukuh Tilu (Pemaparan Budaya Spiritual). Bogor: Lem- baga Pengkajian Kebudayaan Nasional
Sumber Referensi Lainnya:
e-journal.upi.edu/index.php/gea/article/view/3353
Gusyah Risti, 2012, Hubungan Kualitas Lingkungan Dengan Tingkat Kesehatan Masyarakat Sekitar Usaha Peternakan di Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan, respository.upi.edu
Untung Prasetyo dan Sarwititi Sarwoprasodjo, Komodifikasi Upacara Tradisional Seren Taun dalam Pembentukan Identitas Komunitas, diakses dari
http://ilkom.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view- File/5823/4491,
http://www.mongabay.co.id/2015/01/23/chevron-batalkan-proyek-geothermal- ciremai
http://rubik.okezone.com/read/37024/upacara-adat-seren-taun-di-cigugur-kaki- gunung-
Page 111 of 203 Upacara Seren Taun untuk Memperkuat Budaya Lokal: Studi Kasus di Komunitas Sunda Wiwitan, Cigugur, Kuningan
Dini Auliya, Hanifah, Nidya Putri Dinanty, Safitri Wulandari Soputan, Wisnu Audy P
Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural yang berada di Asia Tenggara. Karena keberagaman suku ini, Indonesia menjadi kaya akan budaya dari setiap suku-suku yang ada. Keberagaman budaya yang dimiliki masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah sebuah potensi untuk membentuk identitas kita sebagai bangsa Indonesia116. Meskipun masyarakat yang terdiri dari banyak ke- budayaan, namun antara pendukung kebudayaan saling menghargai satu sama lain. Selain itu masyarakat multikultural di Indonesia juga menganut paham mul- tikulturalisme, yaitu paham yang beranggapan bahwa berbagai budaya yang ber- beda memiliki kedudukan yang sederajat. Salah satu budaya yang berada di Indo- nesia adalah Upacara Seren Taun.
Upacara Seren Taun adalah ungkapan syukur dan do’a masyarakat sunda atas suka duka yang mereka alami terutama di bidang pertanian selama setahun yang telah berlalu dan tahun yang akan datang. Seren taun dilaksanakan setiap tanggal 22 Rayagung sebagai bulan terakhir dalam perhitungan kalender Sunda. Selain ritual-ritual yang bersifat sakral, digelar juga kesenian dan hiburan. Dengan kata lain kegiatan ini merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan juga dengan sesama makhluk atau alam baik lewat kegiatan kesenian, pendidikan, dan sosial budaya.
Untuk memperdalam tujuan tulisan, tulisan ini dibagi kedalam beberapa sub-bab pokok pembahasan. Pertama, menjelaskan mengenai pendahuluan, pada bagian ini yang dibahas adalah pendeskripsian upacara Seren Taun beserta rangkaian acaranya. Kedua, membahas mengenai konteks historis ADS. Ketiga, memba- has mengenai Seren Taun sebagai pengikat kelompok agama. Keempat, mem- bahas mengenai perspektif multi religi dalam melihat upacara Seren Taun. Tera- khir, penutup, menjelaskan kesimpulan dari tulisan yang telah dibahas sebe- lumnya. Data-data yang diperoleh tim penulis dalam tulisan ini diperoleh dengan melakukan wawancara dan kajian pustaka.
Konteks Historis Sunda Wiwitan
Berangkat dari asumsi dasar bahwa Tuhan Semesta Alam ini (dengan berbagai sebutan dan cara bersembahyang dari berbagai sistem kepercayaan di dunia) te- lah menciptakan manusia dengan bangsa-bangsanya, dan di antaranya adalah manusia yang hidup dengan mencirikan kebudayaan Sunda. Dilihat dari peri- stilahannya, kata ‘Sunda’ telah dikenal sejak lama baik dalam peta dunia (geo- grafis) maupun budaya dunia (filosofis). Adapun dalam aspek kesukubangsaan, istilah Sunda mengacu pada posisi dan rasa kesukubangsaan yang dinegasikan dengan posisi dan rasa kebangsaan setelah Republik Indonesia berdiri.
116 Paulus Wirotomo dkk. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2012, hh.87
Page 112 of 203
‘Sunda Wiwitan’ terdiri atas dua kata: Sunda dan Wiwitan. Istilah ‘Sunda’ (menurut P. Djatikusumah) dimaknai dalam tiga kategori konseptual dasar, yaitu: (1) filoso- fis: Sunda berarti bodas (putih), bersih, cahaya, indah, bagus, cantik, baik dan se- terusnya; (2) etnis: Sunda berarti atau merujuk pada komunitas masyarakat suku bangsa Sunda yang Tuhan ciptakan seperti halnya suku dan bangsa lain di muka bumi. Dalam hal ini berkaitan dengan kebudayaan Sunda yang melekat pada cara dan ciri manusia Sunda; (3) geografis: Sunda berarti mengacu sebagai penamaan suatu wilayah berdasarkan peta dunia sejak masa lalu terhadap wilayah Indonesia (Nusantara), yaitu sebagai tataran wilayah ‘Sunda Besar’ (The Greater Sunda Is- lands) meliputi himpunan pulau yang berukuran besar (Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan) dan ‘Sunda Kecil’ (The Lesser Sunda Islands), yaitu deretan pulau yang berukuran lebih kecil dan terletak di sebelah timur Pulau Jawa (Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba, Rote, dan lain-lain).117
Kata ‘wiwitan’ secara literal berarti ‘asal mula’, sedangkan ‘Sunda Wiwitan’ berarti Sunda asal atau Sunda asli. Menurut pengakuan dan kepercayaan orang Kan- ekes, leluhur merekamempunyai hubungan langsung dengan Adam (manusia per- tama) danagama yang mereka anut disebut Sunda Wiwitan. Selanjutnya, Sunda Wiwitanjuga sering dipakai sebagai penamaan atas keyakinan atau sistem keya- kinan“masyarakat keturunan Sunda” yang masih mengukuhkan ajaran spiritualle- luhur kesundaan. Penamaan itu tidak muncul serta merta sebagai sebuahkonsep penamaan keyakinan oleh komunitas penganut Sunda Wiwitan,tetapi kemudian dilekatkan pada beberapa komunitas dan individu Sunda (orang Sunda) yang dengan kokoh mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda.
Dengan demikian Sunda Wiwitan secara literal berarti “Orang Etnis Sunda Awal”
atau “awal mula orang Sunda”. Sunda Wiwitan yang sejauh ini oleh para an- tropolog Indonesia dianggap sebagai salah satu sistem religi dan identitas masyarakat Sunda, khususnya di masyarakat Baduy atau Kanekes. Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteistis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sang Hyang Keresa (Yang Maha Kuasa), yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib), serta yang bersemayam di Buwana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (pedoman atau aturan) untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal memiliki ke- turunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia melalui Kabuyutan (wilayah yang disakralkan dalam komunitas Baduy); “titik awal bumi” ialah Sasaka Pusaka Buana. Konsep buwana bagi orang Baduy berkaitan dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pe- rubahan besar terjadi di Indonesia. Euforia kebebasan bangsa Indonesia telah me- nyebabkan munculnya perjuangan untuk menyebarkan berbagai ideologi di Indo- nesia. Euforia tersebut rupanya juga melanda kalangan aliran kepercayaan atau kebatinan. Selama masa perang kemerdekaan dari tahun 1945-1949 terjadi pula
117Ira Indrawana, Berketuhanan dalam Perspektif Sunda Wiwitan, Universitas Padjajaran Ban- dung, Indonesia, h,: 110
Page 113 of 203 gerakan mendirikan organisasi-organisasi kebatinan. Begitu juga euforia tersebut melanda para pengikut Gerakan Sosial Madrais. Tedjabuana yang sejak 1944 menetap di Bandung, pada 1945 setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia pindah ke Tasikmalaya lalu ke Garut. Disekitar Tasikmalaya dan Garut masih ter- dapat beberapa pengikut Gerakan Sosial Madrais yang masih setia menganut aja- ran Madrais. Pada 1946 Tedjabuana diminta oleh para pengikut Gerakan Sosial Madrais yang masih tersisa di Cigugur untuk kembali ke Cigugur. Rupanya masih terdapat keinginan dari para mantan pengikut Gerakan Sosial Madrais untuk mengembalikan ajaran-ajaran Madrais dan atau Gerakan sosial Madrais.
Dukungan kuat dari mantan pengikut Gerakan Sosial Madrais di Cigugur Kuningan, Tasikmalaya dan Garut membuat Tedjabuana bersemangat untuk mendirikan kembali Igama Djawa Soenda Pasoendan. Akan tetapi, karena situasi yang belum memungkinkan, Tedjabuana masih berpindah-pindah tempat tinggal dari Tasikmalaya-Bandung pada periode 1945-1948 dan sesekali ke Garut, maka hal itu belum dapat diwujudkan.
Pada 1948 Tedjabuana sebetulnya diundang panitia Kongres Kebudayaan Indo- nesia ke-2 untuk berkumpul bersama tokoh-tokoh kebatinan lainnya pada kongres di Magelang pada 20-24 Agustus 1948. Akan tetapi, rupanya Tedjabuana tidak menghadiri undangan. Ketidakhadiran Tedjabuana tidak diketahui penyebabnya.
Kemungkinan Tedjabuana tidak menerima langsung surat undangan karena keberadaannya masih berpindah-pindah antara Bandung-Tasikmalaya. Kongres kebudayaan Indonesia tersebut dibuka oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presi- den Mohammad Hatta dan Menteri Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Dalam Kon- gres itu para tokoh penghayat kebatinan atau aliran kepercayaan mendeklarasikan diri agar diakui eksistensinya oleh pemerintah Indonesia. Setelah mendengar berita tentang jalannya kongres tersebut, Tedjabuana kemudian mengumumkan berdirinya kembali Igama Djawa Soenda Pasoendan dengan nama baru yaitu Agama Djawa-Sunda (selanjutnya disingkat ADS) di Cigugur pada September 1948. Kata Agama Djawa Sunda dipilih untuk nama organisasi pengikut Gerakan Sosial Madrais. Nama ini diambil dari mengadaptasi nama sebelumnya, yaitu Igama Djawa Soenda Pasoendan menjadi ADS.
Pada 1955, Tedjabuana diundang oleh Wongsonegoro untuk datang dalam per- temuan para pengikut kebatinan di Semarang pada 19-21 Agustus 1955. BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) dibentuk oleh para pengikut kebatinan pada 19-21 Agustus 1955 di Semarang. Menurut Tokoh-tokoh kebatinan yang hadir ketika itu adalah Wongsonegoro, Mei Kartawinata, Tedjabuana, Ramuwisit, dan Romodjati. Sejak itu, Tedjabuana menjadi salah satu tokoh kebatinan yang dihor- mati dalam BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia). Dalam pertemuan itu nama Madrais dihormati setara dengan pendiri-pendiri kebatinan yang lain sepeti Ki Ageng Suryomentara pendiri aliran Kawruh Bejo, M. Subuh Sumohadiwidjojo pendiri aliran SUBUD (Susila Budhi Dharma), Sosrokartono pendiri aliran Sang Alip, Mei Kartawinata pendiri aliran Perjalanan, Sunarto Mertowardojo pendiri ali- ran Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal), Sukinohartono pendiri aliran Sumarah.
BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) tersebut diketuai oleh Mr Wongsone- goro.
Dalam kongres kebatinan itu, Djatikusumah cucu Madrais diangkat sebagai ketua BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) Jawa Barat. Sementara Basuki
Page 114 of 203 Nursananingrat diangkat sebagai sekretaris BKKI (Badan Kongres Kebatinan In- donesia) Jawa Barat. Setelah kongres itu, mereka melakukan pendataan letak para pengikut Gerakan Sosial Madrais penganut ADS berada. Rupanya para pengikut ADS itu tersebar di beberapa daerah-daerah. Sejak itu Gerakan Sosial Madrais yang telah ada sejak akhir Abad ke-19, mulai terorganisasi secara rapi dan modern. Pada tahun 1960-an mulai terjadi konflik di Cigugur. Konflik Cigugur 1964 terjadi antara kaum muslim dan para pengikut ADS. Konflik ini sebetulnya adalah dampak dari ketegangan politik di tingkat nasional. Ketegangan politik di tingkat nasional telah memanaskan situasi di tingkat lokal. Konflik-konflik massa pendukung Partai Komunis Indonesia dengan kalangan Islam terjadi dibeberapa tempat di Indonesia. Apalagi Pemerintah Orde Lama kala itu ikut menekan keberadaan kaum pengikut ADS karena para pengikut ADS dianggap tidak be- ragama dan hanya menjalankan ajaran-ajaran kebatinan. Akibat dari tekanan dari berbagai pihak yang terjadi pada masa Orde Lama, pada 19 September 1964 Te- djabuana yang sedang sakit parah menyatakan diri kepada Gereja Kristen Katholik Paroki Cirebon dimana ia dirawat bahwa ia berniat akan memeluk Kristen Katholik.
Lalu pada 21 September 1964 Tedjabuana membuat surat resmi yang ia tanda tangani untuk itu. Beberapa pengikut Aliran Kepercayaan Madrais kemudian merespon cepat surat itu dengan menyatakan diri mengikuti Tedjabuana memeluk Agama Kristen Katholik. Akan tetapi, banyak yang tidak percaya dan kemudian menjenguk Tedjabuana di Pastoral Paroki Cirebon sekaligus menanyakan kebenaran berita itu. Saat dijenguk oleh para pengikut ADS itulah, Tedjabuana mengatakan bahwa ia teringat pesan ayahandanya yaitu Madrais suatu saat nanti kamu harus berteduh di bawah Pohon Cemara Putih yang bisa menyelesaikan keadaan alam.
Menurut Tedjabuana pesan Madrais itulah yang menyebabkan ia memilih me- meluk Agama Kristen Katholik. Akibatnya kemudian para pengikut ADS yang men- jenguk itu spontan mengatakan akan memeluk Agama Kristen Katholik. Tafsir akan bisikan gaib ini sebetulnya berbeda-beda. Djatikusumah cucu Madrais menafsirkan kalimat itu sebagai berteduh sementara di cemara putih. Suatu saat jika badai telah reda, kembali keluar dari cemara putih. Sementara beberapa pengikutnya menafsirkan dengan berlindung selamanya di cemara putih. Tindakan Tedjabuana ini sebetulnya telah menyelamatkan sebagian besar pengikut ADS dari pembantaian pengikut Partai Komunis Indonesia. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak para pengikut kebatinan yang dianggap sebagai Komunis dan di- hukum mati pada sekitar 1965-1967. Sejak itu sebagian besar pengikut ADS ber- pindah agama menjadi pemeluk Agama Kristen Katholik. Sebagian kecilnya me- meluk Agama Kristen Protestan dan Agama Islam.
Pada 5 Maret 1978, Tedjabuana meninggal dunia. Tedjabuana meninggal pada usia 86 tahun dan dimakamkan di dekat makam Madrais dan makam istri Tedjabu- ana bernama Siti Saodah. Meninggalnya Tedjabuana ayah dari Djatikusumah, membuat Djatikusumah mengambil alih tampuk kepemimpinan para pengikut aja- ran Madrais. Ketika itu Djatikusumah rupanya telah dipandang para mantan pengi- kut ADS sebagai seorang pemimpin baru bagi organisasi mereka. Djatikusumah sebagai cucu dari Madrais dan secara tradisional mewarisi kepemimpinan para pengikut di Cigugur. Ia merasa perlu untuk memimpin menggerakkan kembali bekas ADS yang pernah ada. Kekondusifan suasana pada masa awal Orde Baru telah membuatnya terpikir kembali untuk menghidupkan Gerakan Sosial Madrais di Cigugur. Oleh karena itu, bersama dengan para mantan pengikut ADS yang
Page 115 of 203 masih berpikiran sama dengannya ia mulai membuat perencanaan untuk menghidupkan kembali. Langkah pertama tentunya adalah penyelenggaraan Upacara Adat Seren Taun. Oleh karena itu, Djatikusumah dan para mantan pengi- kut Gerakan Sosial Madrais yang telah memeluk beberapa agama merencanakan untuk mengadakan upacara adat Seren Taun sebagai upacara adat warisan nenek moyang mereka.
Upacara adat Seren Taun adalah upacara adat yang dijalankan setiap tahun sekali pada 22 Rayagung tahun Saka S|nda oleh para pengikut Aliran Kepercayaan Madrais yang tergabung dalam ADS sebelum mereka membubarkan diri pada 1964. Perayaan Seren Taun terakhir secara sederhana diselenggarakan pada 1963.Tepat pada 22 September 1978 perayaan Seren Taun dapat diselenggara- kan kembali di Desa Cigugur Kabupaten Kuningan. 22 September 1978 merupa- kan tanggal yang bertepatan dengan 22 Rayagung tahun Saka Sunda. Djatikusu- mah memimpin sendiri Perayaan Seren Taun tersebut dari Gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Ribuan orang berkumpul di depan Paseban Tri Panca Tunggal.
Tidak kurang dari 5000-an orang telah kembali untuk merayakan Perayaan Seren Taun. Kesuksesan menggelar Perayaan Seren Taun itu adalah sebuah tonggak munculnya kembali aktifitas pengikut Aliran Kepercayaan Madrais pada Masa Orde Baru di Cigugur. Selain itu, kesuksesan penyelenggaraan Upacara Adat Seren Taun itu adalah bukti bahwa Djatikusumah masih dianggap pemimpin tradi- sional bagi para mantan penghayat ADS.
Pada tahun 1980 Djatikusumah mengadakan gerakan untuk memunculkan kem- bali organisasi para pengikut ADS dengan mendirikan suatu organisasi bernama Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (selanjutnya disebut PACKU). PACKU di- harapkan dapat menjadi suatu tempat berkumpul untuk kegiatan budaya, adat dan kesenian warisan leluhur masyarakat Cigugur. Tidak terdapat tujuan negatif mau- pun tujuan politis ketika PACKU berdiri selain untuk mempertahankan warisan le- luhur masyarakat Cigugur dalam berkebudayaan dan berkesenian. Djatikusumah mendirikan PACKU karena menafsirkan ramalan Madrais diatas berbeda, yaitu berteduh adalah sementara tidak selamanya. Artinya suatu saat nanti harus keluar dari tempat berteduhnya yaitu keluar daRi bawah cemara bodas atau cemara putih. PACKU didaftarkan oleh Djatikusumah ke Departemen Pendidikan dan Ke- budayaan Direktorat Bina Hayat pada awal Maret 1981. Pada 31 Maret 1981 mendapatkan nomer pengesahan sebagai aliran kepercayaan oleh Dirjen Bina Hayat dengan nomer 1.192/F.3/II.1/1981. Dengan demikian pada 31 Maret 1981 PACKU telah sah terdaftar sebagai aliran kepercayaan di Indonesia. Sejak itu Djatikusumah dan beberapa anggota PACKU telah resmi kembali menjadi penghayat aliran kepercayaan.
Kemudian pada 11 Juli 1981 Djatikusumah cucu Madrais mengumumkan berdirinya PACKU. Kemudian pada 17 Juli 1981 PACKU bergabung dengan Ba- dan Koordinasi Musyawarah Antar Pengikut Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, suatu organisasi underbow/bawahan Golongan Karya (Golkar). Kepengurusan da- lam PACKU kemudian dibentuk oleh para pengikut aliran kepercayaan pada 23 Agustus 1981 dengan cara bermusyawarah di Gedung Tri Panca Tunggal. Mereka yang menjadi pengurus pada organisasi PACKU ini adalah orang-orang yang menyatakan kembali menjadi pengikut Aliran Kepercayaan Madrais mengikuti Djatikusumah.
Akan tetapi Pemerintah Orde Baru yang represif sepertinya belum menginginkan