Page 55 of 203 bentukan dan sosialisasi. Siswa-siswi SMP Tri Mulya, Yos Sudarso dan Bina Ca- hya tidak pernah merasa diasingkan atau merasa terdiskriminasi hanya karena berbeda agama. Bahkan semua bisa diterima dengan senang disana. Siswa-siswa disana tidak pernah memilih dengan agama tertentu saja untuk menjadi temannya.
Dalam hal ini sekolah telah merepresentasikan kehidupan sosial Cigugur, Kuningan, Jawa Barat yang multiagama. Bagi masyarakat Cigugur, agama adalah hak semua umat manusia dan tidak ada satu orangpun yang berhak bertindak dis- kriminatif hanya karena latar belakang agama individu tersebut. nilai-nilai tersebut diinternalisasikan bahkan di lingkup institusi pendidikan formal seperti sekolah.
Pemahaman warga desa Cigugur akan nilai toleransi tidak hanya diucapkan secara verbal namun gagasan mengenai perilaku toleransi tersebut diwujudkan dalam tindakan sosial yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Khusunya siswa-siswi di tiga sekolah tersebut, bagi mereka toleransi bukan lagi soal doktrin orang dewasa terhadap pemikiran dan tindakan mereka. Tapi institusi-institusi keluarga, pertemanan, sekolah hingga masyarakat memberikan gambaran jelas tentang apa yang pantas dilakukan dan apa yang tidak. Sehingga toleransi bukan hanya berisi makna belaka tapi ia dijadikan satu keharusan dalam melakukan tin- dakan sosial sehingga standar menyimpang di daerah Cigugur, Kuningan adalah ketika individu tersebut tidak mampu menunjukan sikap toleransinya dimasyara- kat. Dan untuk menjelaskan analisa diatas, disajikan skema dibawah ini
Page 56 of 203 Daftar Pustaka
Martha, Tri. Doloksaribu. Pola Interaksi antar siswa berbeda Agama: Kasus pada kela X di SMA Negeri 2 Pomtianak. Pontianak: Universitas Tanjung Pura Rakhmat, Hidayat. Sosiologi Pendidikan Emile Durkheim. Jakarta: Raja Gravindo
Persada. 2013
Maduro, Otto. Religion and Social Conflicts. New York: Orbis Books Maryknoll.
1982
Syaripullah. Kebersamaan dalam Perbedaan: Studi Kasus Masyarakat Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Sosio Didaktika. 2014. Vol. 1, No. 1.
Diunduh Mei 2014
Suparlan, Parsudi. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Antropologi Indonesia. 2002.
http://sekolah.data.kemdikbud.go.id/index.php/chome/profil/7026A014-2CF5- E011-B6EC-7FAC3103757B dikutip pada tanggal 20 Desember 2016 pukul 20:13
Page 57 of 203 Bab 4
Proses Internalisasi Nilai Agama dan Adat: Studi Kasus di Komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan
Annisa Sharfina Praditta, Fajri Pratama, Fauzan Marasabessy, Nur Fiandina Na- bila, Siti Nurzanah
Pendahuluan
Indonesia adalah negara kepulauan yang mempunyai masyarakat majemuk yang berasal dari berbagai etnis, suku bangsa, ras, dan agama. Kemajemukan masyarakat di Indonesia ini pun juga akan melahirkan berbagai adat istiadat yang beragam dan membuat Indonesia menjadi negara yang kaya akan budaya. Ke- budayaan tersebut tak lepas dari aspek religiusitas masyarakat Indonesia sikap kepercayaan terhadap tuhan. Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat Pulau Jawa, Indonesia. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Mayoritas orang Sunda beragama Islam, tetapi ada juga sebagian kecil yang beragama Kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan/Jati Sunda.61 Di Indonesia sendiri banyak terdapat berbagai macam kepercayaan salah satunya kepercayaan sunda wiwitan yang komunitas pengikutnya berada di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Sunda wiwitan merupakan sebuah kepercayaan yang be- rasal dari tanah pasundan yang tidak terlepas dari peran Pangeran Madrais se- bagai pendiri dari cikal bakal lahirnya kepercayaan sunda wiwitan.
Pada dasarnya, Agama Djawa Sunda (Selanjutnya disebut ADS) merupakan salah satu kepercayaan lokal di Nusantara yang dipercayai oleh sejumlah masyarakat yang tersebar di wilayah Cigugur, Kuningan, beserta beberapa daerah Iainnya di Jawa Barat. Dalam masyarakat penghayat ADS, kepercayaan ini disebut sebagai Sunda Wiwitan. Jika membahas mengenai kepercayaan Sunda Wiwitan, maka awal yang perlu untuk diketahui bersama ialah historis kata Sunda Wiwitan dan pemaknaannya. Sunda Wiwitan berasal dari Kata Sunda dan Wiwitan. Istilah kata
“Sunda” menurut Pangeran Djatikusumah dimaknai dalam tiga kategori konsep mendasar, yaitu secara secara Filosofis, Sunda berarti bodas (putih), bersih, cahaya, indah, bagus, cantik, baik dan sebagainya. Sedangkan menurut etnis, Sunda berarti atau merujuk pada komunitas masyarakat suku bangsa Sunda yang Tuhan ciptakan seperti halnya suku dan bangsa lain di muka bumi.
Sedangkan Sunda Wiwitan berarti Sunda Sunda asal atau Sunda asli. Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan juga suka dipakai dalam penamaan bagi keyakinan atau sistem keyakinan “masyarakat keturunan Sunda” yang masih mengukuhi keyakinan ajaran spiritual leluhur kesundaan. Penamaan itu tidak muncul serta merta sebagai sebuah konsep penamaan keyakinan oleh komunitas penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian istilah itu dilekatkan pada beberapa komunitas dan individu Sunda (orang Sunda) yang secara kukuh mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda. Dengan demikian Sunda Wiwitan secara harafiah berarti Orang Etnis Sunda awal atau Awal mula orang Sunda.62 Secara etnis, Sunda Wiwitan merupakan kelompok yang hidup berdasarkan
61 Pram, Suku Bangsa Dunia dan Kebudayaannya, Penebar Swadaya Group : 2013, hal: 73
62 Ira Indrawardana, Makalah Kuliah Umum, Berketuhanan dalam Perspektif Kepercayaan Sunda Wiwitan, hal: 4-8
Page 58 of 203 kekerabatan anggotanya yang memiliki keturunan yang sama dari leluhur atau ne- nek moyangnya dan mempertahankan budaya dan nilai-nilai religiusitas yang di- turunkan oleh nenek moyang secara bersama. Hal ini seperti yang didefinisikan oleh Talcot Parsons tentang etnis, bagi Parsons, etnis merupakan kelompok yang unik dengan sistem kekerabatan yang dimana anggotanya menelusuri asal mereka pada keturunan dari nenek moyang yang semuanya berasal dari kelompok etnis yang dikategorikan sama. Parsons melihat etnisitas sebagai kelompok yang didefinisikan secara menyebar, dengan rasa unik identittas yang sama dalam arti khas sejarahnya.
Parsons defines ethnic groups as ‘an aggregate of kinship units, the mem- bers of which either trace their origin in terms of descent from a common ancestor or in terms of descent from ancestors who all belonged to the same categorised ethnic group’ (1951: 172). Ethnicity is seen by Parsons (1975: 56) as a ‘diffusely defined group’, with a unique sense of identity embedded in a ‘distinctive sense of its history’.63
Nilai-nilai agama dan adat yang ada dalam kepercayaan Sunda Wiwitan (yang se- lanjutnya akan disebut ADS) diformulasikan dalam bentuk-bentuk peran dan pe- doman yang harus dilakukan oleh para penghayat keperayaan ini. Dalam hal ini seorang individu yang menjadi penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan akan meng-internalisasikan nilai agama dan adat yang berasal dari luar diri inividu me- lalui proses sosialisasi. Hal inilah yang menjadi menarik perhatian, bagaimana proses sosialisasi antargenerasi yang terjadi pada masyarakat penghayat ke- percayaan sunda wiwitan tersebut. Umumnya masyarakat penghayat mewarisi nilai-nilai agama & adat melalui proses pengalaman bersama generasi sebe- lumnya. Sehingga, nilai-nilai budaya dalam kepercayaan sunda wiwitan bisa dilestarikan secara turun temurun sampai saat ini. Selain itu juga, dalam internal- isasi akan terjadi pula bagaimana proses pelembagaan perilaku dan interaksi antar masyarakat Sunda Wiwitan dalam hal kultural yang akan menghasilkan suatu identitas aseli bagi masyarakat Sunda Wiwitan.
Jika dikaji dalam konteks kekinian, tema ini tentu amatlah menarik karena dengan mengkajinya akan mempermudah pemahaman mengenai anatomi sejarah agama dan kebudayaan, selain itu studi ini juga memiliki tujuan memperoleh suatu cara bagaimana proses internalisasi nilai agama dan adat antar generasi di komunitas ADS ini berlangsung. Serta pemaknaan ketuhanan menurut masyarakat ADS dan implementasi konsep ketuhanan tersebut pada ajaran-ajaran dalam masyarakat ADS. Selain itu juga penelitian ini dilakukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah hubungan antar kelompok dan gerakan sosial.
Untuk memperdalam dan memertajam tujuan tersebut, tulisan ini akan dibagi kedalam beberapa sub pokok pembahasan. Pertama, menjelaskan mengenai pendahuluan, pada bagian ini yang dibahas yaitu latar belakang yang menjadi topik pembahasan. Kedua, menjelaskan mengenai sejarah ADS, pada bagian ini berisi uraian singkat mengenai sejarah awal berkembangnya kepercayaan ADS.
Ketiga, membahas mengenai konsep ketuhanan dan penerapannya dalam aja- ran-ajaran ADS serta fungsi ajaran ADS dalam menjaga eksistensi ADS di masyarakat kontemporer. Keempat, pada bagian ini akan menjelaskan dan
63 Sinisa Malesevic, The Sociology of Ethnicity, Sage Production : 2004, hal : 47
Page 59 of 203 mendeskripsikan mengenai proses sosialisasi antar generasi yang berlangsung pada masyarakat ADS. Kelima, menjelaskan mengenai proses pelembagaan per- ilaku dan interaksi secara kultural dalam masyarakat ADS. Dan Terakhir, penutup, menjelaskan kesimpulan dari tulisan yang telah dibahas sebelumnya. Data-data yang diperoleh tim penulis dalam tulisan ini diperoleh dengan melakukan observasi di Cigugur, Kuningan pada tanggal 4-6 Novermber 2016 dan melakukan wa- wancara mendalam (indepth interview) pada beberapa narasumber yang berkai- tan dengan penelitian. Selain itu untuk memperdalam tulisan penulis juga melakukan kajian pustaka dengan membaca beberapa buku dan jurnal yang berkaitan.
Sejarah Agama Djawa Sunda (ADS)
Secara historis, ADS yang juga dikenal sebagai Igama Djawa Soenda Pasoendan ataupun Aladraisrme, didirikan oleh Pangeran Sadewa Alibassa Widjaja Ningrat atau Madrais pada abad ke-19.64 Sebelum mendirikan ajaran ini, ia mengembara ke sejumlah tempat di Jawa Barat untuk mencari makna hidup. Pengembaraan Pangeran Madrais merupakan babak yang sangat penting dalam sejarah ADS, karena dari pengembaraan itulah ADS dan pokok-pokok ajarannya lahir. Secara teologis, ada yang memandang bahwa ajaran-ajaran ADS merupakan hasi ramuan tasawuf lslam dengan mistisme Jawa yang dibingkai dengan unsur-unsur kebudayaan Sunda. Dalam perkembangannya, ADS menyebar ke sejumlah tem- pat dan daerah, seperti Indramayu, Majalengka, Ciamis, Bandung, Bogor dan DKI Jakarta. Ketika Jepang mengusir Belanda dan menduduki Nusantara, ADS telah mempunyai pengikut sekitar 200.000 orang. Perjuangannya untuk mengem- bangkan ADS pun tidak mudah, beberapa kali Madrais harus berurusan dengan pemerintah kolonial Belanda. Selama masa pemerintahan kolonial ini, Pangeran Madrais dan ADS-nya dianggap sebagai kelompok radikal dan berbahaya, se- hingga Pangeran Madrais sempat ditangkap dan diadili oleh pemerintah Belanda.
Pemimpin ADS diadili dan ditangkap di Kuningan dan Tasikmalaya. Dari tahun 1901 sampai 1908 Pangeran Madrais pernah dibuang ke Merauke dengan tudu- han sebagai pemberontak dan pemeras rakyat. Sekembalinya dari pembuangan, ia kembali membina para pengikutnya untuk memperjuangkan ajaran ADS. Ketika ia meninggal pada tahun 1939, tugas memimpin ADS pun beralih kepada putranya, Pangeran Tedjabuana Alibasa Kusuma Widjaja Ningrat.
Di masa kepemimpinan yang kedua ini, ADS banyak mendapat tekanan dari ke- lompok sosial lain yang berseberangan paham dan juga dan pihak-pihak yang berkuasa, khususnya pada masa pendudukan Jepang dan masa Orde Lama ka- rena di kedua periode tersebut ADS pernah secara resmi dibubarkan. setelah ter- jadi kasus penginjakkan al-Quran oleh dua orang pengikut Madrais pada 17 April 1964. Sejak peristiwa ini, banyak pengikut Madrais yang masuk Kristen dengan perintah dari Pangeran Tedjabuana untuk berlindung dibawah cemara putih yang diyakini sebagai agama Kristen.65 Tekanan yang begitu berat menerpa ADS dan para pengikutnya, sehingga membuat sang pemimpin saat itu, Tedjabuana, benar- benar menyerah dan mengumumkan pembubaran ADS. Dengan setengah hati, Tedjabuana meninggalkan aliran kebatinan yang dipelopori dan dikembangkan
64 Tendi, Skripsi : Sejarah Agama Djawa Sunda di Cigugur Kuningan 1939-1964, 2016 diakses online pada http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30301/3/TENDI-FAH.pdf, hal: 6
65 Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar: 2010, hal : 264
Page 60 of 203 oleh ayahnya tersebut, lalu ia beralih menjadi seorang penganut agama Katolik.
Karena itu pula, Pangeran Tedjabuana, meminta kepada para pengikutnya untuk tidak lagi meneruskan organisasi ADS, baik secara perorangan maupun secara kolektif. Semangat dari para penganut ADS nampaknya tidak luntur dari tekanan.
Hal ini terbukti dengan pendirian sebagian besar dari mereka yang tetap menya- takan kesetiaannya terhadap ADS, meskipun berada di bawah tekanan.
Gambar 4. 1 Pangeran Madrais dan Pangeran Gumirat Barna Alam
Sumber : Dokumentasi Kelompok (2016)
Setelah Pangeran Tedjabuana wafat, kepemimpinan dilanjutkan oleh anak laki- lakinya yaitu Pangeran Djatikusumah. Dimasa ini, ADS mulai bangkit dan dikem- bangkan oleh Pangeran Djatikusumah kembali. Merasa terpanggil untuk mengem- bangkan apa yang telah dimulai kakek dan ayahnya, Pangeran Djatikusumah mu- lai membangun kembali masyarakat eks-ADS dengan mendirikan organisasi Pa- guyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) pada 11 Juli 1981.66 Secara politis, berdirinya PACKU dimungkinkan oleh GBHN 1978, yang mengakui eksistensi ali- ran kepercayaan dalam wilyah hukum NKRI disamping lima agama yang telah lama diakui secara resmi oleh negara. Setelah melalui perjuangan yang hebat di era Orde Baru, ADS benar-benar kembali ke tengah masyarakat secara terang- terangan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan sebagian masyara- kat meninggalkan agama Katolik untuk kembali lagi sebagai penghayat ke- percayaan murni Madrais. Masa kepemimpinan ADS pada saat ini dipegang oleh anak laki-laki dari Pangeran Djatikusumah yaitu Pangeran Gumirat Barna Alam atau yang akrab dipanggil dengan Rama Anom. Hingga saat ini, eksistensi masyarakat adat penghayat Sunda Wiwitan tersebut hidup masih terjaga dan
66 Budi Susanto, Sisi Senyap Politik Bising, Kanisius: 2007, hal: 174
Page 61 of 203 hidup damai di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat bersama para penganut agama- agama Iainnya.