ﻢﻠﺴﻣ
11. Al-H{iyal
B. Metode Istinbat Hukum
Istinba>t} adalah upaya seorang ahli fikih dalam menggali hukum Islam dari sumber-sumbernya.96 Muh}ammad Abu> Zahrah menyatakan bahwa ta’wi>l termasuk aspek istinba>t} yang piawai dalam menangani masalah hukum.97 Upaya demikian tidak akan membuahkan hasil yang memadai, melainkan dengan menempuh cara-cara pendekatan yang tepat, yang ditopang oleh pengetahuan yang memadai-terutama- menyangkut sumber hukum. ‘Ali Hasaballah melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para ulama usul fikih dalam melakukan istinba>t}, yakni: (1) pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan, (2) pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syariat (maqa>s}id al- syari>ah).98 Apa yang dikemukakan oleh ‘Ali Hasaballah itu, disinyalir pula oleh Fathi al-Daraini, dosen fikih dan usul fikih Universitas Damaskus. Ia menyebutkan bahwa materi apa saja akan dijadikan obyek kajian, maka pendekatan keilmuan yang paling tepat, yang akan diterapkan terhadap obyek tersebut hendaklah sesuai dengan watak obyek itu sendiri.
Oleh sebab itu, jika yang akan menjadi obyek kajian di sini ialah istinba>t} hukum-yang menyangkut nas, jiwa, dan tujuan syariat, maka pendekatan yang akan diterapkan haruslah pendekatan yang menyangkut ketiga hal tersebut. Untuk itu, pendekatan yang tepat ialah pendekatan melalui kaidah- kaidah kebahasaan dan maqa>si}d al-syari>‘ah. Penggunaan pendekatan melalui kaidah kebahasaan ialah kajian akan menyangkut nas (teks) syariat, sedangkan pendekatan melalui maqa>s}id al-syari>‘ah adalah karena kajian akan
96Lihat Muhammad Rawa>si Qal’aji> dkk, Mu‘jam Lugah al-Fuqaha>’ (Cet. II; Beirut:
Da>r al-Naqais, 1988), h. 65
97Muhammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh, h. 135.
98Lihat ‘Ali Hasaballah, Us}u>l al-Tasyri>’ al-Isla>mi> (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1391 H/1971 M), h. 3; Lihat pula Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: logos Publishing House, 1995), h. 46-47.
menyangkut kehendak Sya>ri’, yang hanya mungkin dapat diketahui melalui kajian maqa>s}id al-syari>‘ah.99
Sumber asasi hukum Islam ialah al-Qur’an dan hadis, yang tertuang dalam bahasa Arab. Maka untuk dapat memetik hukum-hukum yang dikandungnya, seorang mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab, sebagai bahasa al- Qur’an dan hadis. Oleh sebab itu, al-Ghaza>li> menyebut kaidah kebahasaan sebagai pilar usul fikih, yang dengannya para mujtahid dapat menggali dan memetik hukum dari sumber-sumbernya.100
Pengkajian terhadap berbagai pernyataan hukum dalam metode ini menghasilkan taksonomi yang mengklarifikasi pernyataan hukum dalam teks-teks hukum itu dari empat segi, yaitu (1) dari segi tingkat kejelasan pernyataan tersebut; (2) dari segi pola-pola penunjukan kepada hukum yang dimaksudkan; (3) dari segi luas dan sempitnya cakupan pernyataan hukum tersebut; dan (4) dari segi bentuk-bentuk formula taklif dalam pernyataan tersebut. Dari segi tingkat kejelasannya, pernyataan hukum dibedakan menjadi pernyataan hukum yang jelas, meliputi empat kategori, yaitu: z}ahir, nas}s}, mufassar, dan muh}kam.
Sedangkan pernyataan hukum yang tidak jelas meliputi empat kategori juga, yaitu: khafi>, musykil, mujmal, dan mutasya>bih. Dari segi bentuk-bentuk penunjukan kepada makna (hukum) yang dimaksud, didapati empat kategori penunjukan makna (al-dila>lah), yaitu: penunjukan secara langsung (dila>lah al-
‘iba>rah), penunjukan secara implisit (dilalah al-isya>rah), penunjukan secara analog (dila>lah al-dila>lah), dan penunjukan secara sisipan (dila>lah al- iqtid}a>’).101 Dari segi luas dan sempitnya cakupan makna dalam suatu
99Lihat Fathi al-Daraini, al-Mana>hij al-Us}u>liyyah fi> al-Ijtiha>d bi al-Ra’y fi> al- Tasyri>’ al-Isla>mi> (Damaskus: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1395 H/1975 M), jilid I, h. 27.
100Lihat al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa>, jilid II, h. 96-97.
101Ini adalah taksonomi para ahli usul fikih aliran hanafiah, sementara dalam taksonmomi para ahli usul fikih aliran Syafi’iyah, pernyataan hukum dibedakan menjadi pernyataan tersurat
pernyataan hukum ditemukan pernyataan umum (lafz} al-‘a>mm), pernyataan khusus (lafz} al-kha>s}s}), pernyataan yang tidak terkualifikasi (lafz} al- mut}laq), pernyataan yang terkualifikasi (lafz} al-muqayyad), pernyataan bermakna ganda (lafz} al-musytarak), pernyataan sebenarnya (hakiki), dan pernyataan metaforis (maja>zi>). Dari segi bentuk-bentuk formula taklif ditemukan kategori perintah dan larangan.102
Sedangkan pendekatan melalui maqa>s}id al-syari>‘ah, kajian dititikberatkan pada melihat nilai-nilai yang berupa kemaslahatan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan Allah.103 Pendekatan dalam bentuk ini penting dilakukan, terutama sekali karena ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an terbatas jumlahnya, sementara permasalahan masyarakat senantiasa muncul. Dalam menghadapi berbagai permasalahan yang timbul itu, melalui pengetahuan tentang tujuan hukum, maka pengembangan hukum akan dapat dilakukan.
Penggunaan metode maqa>s}id al-syari>‘ah dalam menetapkan suatu hukum adalah hal penting dan pasti yang telah dilegalisasi oleh al-Qur’an, sunnah, ijmak dan akal.104 Ia telah lama berlangsung dalam Islam. Hal demikian tersirat dari beberapa ketentuan Nabi saw. ini dapat dilihat, antara lain, pada peristiwa Nabi saw. pernah melarang kaum Muslim menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi, beberapa tahun dan pernyataan tersira. Yang disebut pertama dibedakan menjadi pernyataan tersurat secara tegas dan pernyatan tersurat secara tidak jelas. Sedang yang disebut yang kedua, dibedakan menjadi pernyataan tersirat yang sejalan dengan tersurat (mafhu>m al-muwa>faqah) dan pernyataan tersirat kebalikan yang tersurat (mafhu>m al-mukha>lafah). Lihat Muhammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh., h.116-117.
102Penjelasan rinci dapat dilihat dalam Muhammad Adi>b S{a>lih}, Tafsi>r al-Nus}u>s}
fi> Fiqh al-Isla>mi> (Beirut: al-Maktab al-isla>mi>, 1404 H/ 1983 M), h. 27 dan seterusnya.
Lihat pula Abd al-Wahha>b Khalla>f, Us}u>l, h. 140 dan seterusnya.
103Lihat Muhammad Hashim Kamali, Shariah Law An Introduction (terj.) Miki Salman, Membumikan Syariat (Jakarta: PT Mizan Publika, 2013), h. 171.
104Lihat Nu>r al-Di>n ibn Mukhta>r al-Kha>dimi>, al-Ijtiha>d al-Maqa>s}idi>, H{ujjiyatuh …D{awa>bit}uh …Maja>la>tuh (Qatar: Kita>b al-Ummah, 1419 H), jilid I, h. 133.
kemudian peraturan yang oleh Nabi saw. itu dilanggar oleh beberapa sahabat.
Permasalahan itu disampaikan kepada Nabi saw. Dia membenarkan tindakan para sahabat itu sambil menerangkan bahwa larangan menyimpang daging kurban adalah didasarkan atas kepentingan al-da>ffah (tamu yang terdiri atas orang- orang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah. Setelah itu, Nabi saw. bersabda,
.« اوُﺮِﺧﱠداَو اﻮُﻗﱠﺪَﺼَﺗَو اﻮُﻠُﻜَﻓ »
105
Artinya:
“Sekarang makanlah, sedekahkanlah, dan simpanlah daging-daging kurban itu.” (Hadis riwayat Malik).
Dalam riwayat tersebut, tampak adanya larangan menyimpan daging kurban diharapkan tujuan syariat dapat tercapai, yakni melapangkan kaum miskin yang datang dari dusun-dusun di pinggiran Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada lagi, maka larangan itu pun dihapuskan oleh Nabi saw.
Kajian maqa>sid al-syari>’ah kemudian mendapat tempat dalam usul fikih, yang dikembangkan oleh para usul fikih dalam penerapan qiya>s, ketika berbicara tentang masalik al-‘illah. Kajian tampak dalam beberapa karya usul fikih, seperti al-Risa>lah oleh al-Sya>fi‘i>, al-Mustas}fa> karya al-Ghaza>li>, al-Mu‘tamad karya Abu> al-H{asan al-Bas}ri>.106
Kajian maqa>si}d al-syari>‘ah kemudian dikembangkan secara luas dan sistematis oleh Abu> Ish}a>q al-Sya>t}ibi>. Kajian tentang maqa>s}id al-
105Lihat Ma>lik ibn Anas, al-Muawat}t}a’ (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1431 H/ 1991 M), h. 390; Muslim ibn al-Hajja>j, op. cit., jilid VI, h. 80; Muh}ammad ibn ‘I<sa> al-Tirmiz\i>, Sunan al-Tirmiz\i> (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, t.th.), jilid IV, h. 94; al-Nasa>’i>, op.
cit., jlid VII, h. 235; Ah}mad ibn H{anbal, op. cit., jilid VI, h. 51. ‘Abd al-Razza>q, Musnad al- bazza>r (t.d.), jilid X, h. 335; Ah}mad ibn ‘Ali> Ibn al-Mus\anna> Abu> Ya‘la> al-Maus}ali>, Musnad Abi> Ya‘la> (Damaskus: Da>r al-ma’mu>n li al-Tura>s\, 1404 H/ 1984 M), jilid II, h.
411; ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Rah}ma>n Abu> Muh{ammad al-Da>rami>, Sunan al-Da>rami>
(Cet. I; Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>,1407 H), jilid II, h. 108; Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn
‘Umar al-Da>raqut}ni>, Sunan al-Da>raqut}ni> (t.p, t.th.), jilid XI, h. 40.
106Nasrun Rusli, Ushul Fiqh, jilid I, h. 43.
syari>‘ah ini –menurut al-Sya>t}ibi>- bertolak dari asumsi bahwa segenap syariat yang diturunkan Allah senantiasa mengandung kemaslahatan bagi hamba- hambaNya untuk masa sekarang (di dunia) dan sekaligus masa yang akan datang (di akhirat).107 Oleh karena itu tidak satupun dari hukum Allah yang tidak mempunyai nilai kemaslahatan.
Maqa>s}id al-Syari>‘ah, yang secara substansial mengandung kemaslahatan, menurut al-Sya>t}ibi>, dapat dilihat dari dua sudut pandang.
Pertama, maqa>s{id al-sya>ri> (tujuan Tuhan). Kedua, maqa>s}id al-mukallaf (tujuan mukalaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, maqa>s}id al-syari>‘ah mengandung empat aspek, yaitu: (1) tujuan awal dari Sya>ri‘ menetapkan syariatb yaitu kemaslahatan manusia di dunia dan di akahirat; (2) penetapan syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami; (3) penetapan syariat sebagai hukum takli>fi> yang harus dilaksanakan; (4) penetapan syariat guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.108
Adapun tujuan syariat dari sudut tujuan mukallaf ialah agar setiap mukallaf mematuhi keempat tujuan syariat yang digariskan oleh Sya>ri‘ tersebut, sehingga tercapai tujuan mulia syariat, yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Menurut komentar Abdullah Darra>z atas pandangan al-Sya>t}ibi>, ijtihad pada intinya adalah upaya untuk mengetahui dan mendapatkan hukum syarak secara optimal. Upaya demikian akan berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqa>si}d al-syari>‘ah.109 Oleh sebab itu, al-Sya>t}ibi>
menempatkan pengetahuan atas maqa>si}d al-syari>‘ah merupakan syarat
107Lihat al-Sya>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t, jilid II, h. 4.
108Al-Sya>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t, Jilid II, h. 3-4.
109Al-Sya>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t, jilid IV, h. 89.
pertama bagi orang yang akan melakukan ijtihad, setelah itu baru diikuti oleh syarat kedua, yaitu kemampuan menarik kandungan hukum secara deduktif atas dasar pengetahuan dan pemahaman maqa>si}d al-syari>‘ah dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab, al-Qur’an, sunnah, dan ilmu-ilmu bantu yang lainnya.110
Pencarian para ahli usul fikih terhadap kemaslahatan, diwujudkan dalam bentuk metode ijtihad. Berbagai macam istilah telah digunakan oleh mereka untuk menyebut metode penemuan hukum. Namun pada dasarnya, semua metode itu bermuara pada upaya penemuan maslahat, dan menjadikannya sebagai alat untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak disebutkan secara ekplisit, baik dalam al- Qur’an maupun hadis.111
Maka dapat disimpulkan bahwa setiap metode penetapan hukum, seperti qiya>s, istih}sa>n, al-mas}lah}ah al-mursalah, dan sadd al-z\ari>‘ah, berlandaskan pada pendekatan maqa>sid al-syari>‘ah. Hal ini tampak bahwa setiap metode penetapan hukum tersebut terdapat aspek-aspek maslahat di dalamnya.
Selain pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan maqa>s}id al- syari>‘ah dalam penemuan hukum, terdapat pendekatan lain yang cukup relevan dalam pengembangan hukum Islam, yaitu pendekatan secara tarji>h (pengukuhan) suatu pendapat mujtahid dan melemahkan yang lainnya.112 Pendekatan ini lebih menitikberatkan kajian pada pertimbangan-pertimbangan terhadap validitas suatu dalil yang dipakai sebagai landasan hukum.
110Al-Sya>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t, Jilid IV, h. 76-79.
111Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.135.
112Lihat Nasrun Rusli, Ushul Fiqh, h. 38.
Tarji>h} menurut ulama ulama H{anafiyyah adalah “pernyataan akan adanya nilai tambah pada salah satu dari dua dalil yang sederajat, dimana nilai tambah itu bukan berupa dalil yang mandiri.113
Sedangkan menurut ulama Sya>fi‘iyyah, seperti yang dikemukakan Muhibbullah Abd al-Syakur, tarji>h} ialah “pertemuan suatu dalil dengan sesuatu [dalil lain] yang dikuatkan (diunggulkan) karena terdapat pertentangan (ta‘a>rud}).114
Pemberlakuan tarjih –menurut ulama H{anafiyyah- ialah apabila sesuatu dalil tidak diketahui waktu munculnya. Jika dua dalil yang bertentangan diketahui waktu munculnya, maka yang pertama muncul dibatalkan (mansu>kh) dan yang belakangan muncul diterapkan sebagai dalil hukum na>sikh. Ketika hal demikian tidak diketahui, maka yang diberlakukan ialah menguatkan salah satu dari dua dalil tersebut dan menegaskan yang lain, atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang telah ditentukan dalam tata cara tarjih. Dan jika tarjih tidak dapat pula dilakukan, maka pada tingkat ketiga dikompromikan antara dalil yang bertentangan tersebut.115Sedangkan jumhur ulama menerapkan tarjih setelah lebih dahulu melakukan kompromi antara nas-nas yang berlawanan. Tarjih tidak perlu dilakukan bila pertentangan itu dapat diselesaikan melalui kompromi. Demikian pula bila cara tarjih telah dilakukan, namun dua dalil masih tampak berlawanan, maka usaha selanjutnya adalah menasakhkan salah satunya dan pada tingkat
113Lihat Muhammad ibn Nizhamuddin al-Anshari, fawa>tih} al-Rahamut bi Syarh }Musallam al-tsubut, pada margin karya al-Ghazali, al-Mustas}fa> (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), jilid II, h. 96-97.
114Lihat Muhibbullah Abd al-Syuku>r, Musallam al-Tsubu>t fi Us}u>l al-Fiqh, dicetak bersama komentarnya, Fawa>tih al-Rahamut, jilid II, h. 204.
115Lihat Ibn Amir al-Hajj, op.cit., jilid III, h. 4.
terakhir tidak menerapkan kedua dalil yang bertentangan tersebut, tapi menerapkan dalil lain selain dalil-dalil yang bertentangan tersebut.116
Melakukan pendekatan tarji>h tidak kalah pentingnya dari pada pendekatan-pendekatan lainnya dalam upaya mendapatkan suatu ketentuan hukum yang akan diterapkan dalam masyarakat. Walaupun obyek ijtiha>d tarji>hi> ialah penyeleksian dalil-dalil atau pendapat-pendapat yang telah ada, ia menjadi penting –terutama- karena sering terdapat dalil-dalil yang saling bertentangan, sehingga susah untuk menentukan suatu keputusan hukum kalau bukan dengan melakukan penyeleksian yang ketat. Apalagi menyangkut tarji>h terhadap pendapat-pendapat para ulama yang sedemikian banyaknya, sehingga menyulitkan masyarakat untuk memilih mana yang paling tepat. 117 Maka untuk itu, perlu keberadaan usaha tarjih. Pentingnya usaha tarji>h dalam menyeleksi pendapat-pendapat itu adalah: (1) agar masyarakat mendapatkan suatu kepastian hukum, sehingga mereka tidak terombang-ambing dalam pendapat yang berbeda- beda; (2) agar hukum yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan kondisi sosial-kultural di mana dan kapan masyarakat itu berada; (3) agar pendapat yang dikuatkan betul-betul sesuai dengan jiwa syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah.