ﻢﻠﺴﻣ
5. Al-Istih}sa>n
keharusan yang memberi petunjuk adanya ‘illah. Misalnya, dalam kasus mengqiyaskan nabi>z\ kepada khamar dengan alasan ‘bau menyengat’ yang menjadi akibat langsung dari sifat memabukkan.
Dilihat dari segi metode (masa>lik) dalam menemukan ‘illah, qiya>s dapat dibagi kepada: pertama, qiya>s al-ikha>lah, yaitu qiya>s yang ‘illahnya ditetapkan melalui muna>sabah dan ikha>lah. Kedua, qiya>s al-syabh, yaitu qiya>s yang ‘illahnya ditetapkan melalui metode syabh, ketiga, qiya>s al-sibr, yaitu qiya>s yang ‘illahnya ditetapkan melalui metode al-sibr wa al-taqsi>m.
keempat, qiya>s al-t}ard, yaitu qiya>s yang ‘illahnya ditetapkan melalui metode al-t}ard.
Maksudnya: Memberlakukan kemaslahatan juz‘i> ketika berhadapan dengan kaidah umum.
Kemudian ia menambahkan bahwa hakikat istih{sa>n itu adalah mendahulukan mas}lah}ah mursalah dari qiya>s. Artinya, apabila terjadi perbenturan antara qiya>s dengan mas}lah}ah mursalah, maka yang diambil adalah mas}lah}ah mursalah sedangkan qiya>s ditinggalkan, karena apabila qiya>s tetap diberlakukan dalam kasus seperti ini, maka tujuan syarak tidak tercapai. Oleh karena itu, bagi ulama Ma>likiyah teori istih{sa>n merupakan salah satu terori dalam mencapai kemaslahatan yang merupakan tujuan syarak dalam menetapkan hukum.
Ulama H{anafiyah membagi istih}sa>n kepada enam macam, yaitu:50 a. Istih}sa>n bi al-nas}s}, yaitu berpalingnya mujtahid dari hukum yang
dikehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nas yang spesifik. Pada dasarnya, kaidah umum sudah menaungi masalah- masalah semakna yang dicakupnya; tetapi pada kenyataannya terdapat nas spesifik yang menetapkan hukum masalah tertentu dari masalah-masalah semakna yang dicakup kaidah umum itu, yang berbeda dengan hukum yang ditarik dari kaidah umum tersebut.
b. Istih}sa>n bi al-ijma>‘, yakni meninggalkan qiya>s, baik berupa qiya>s pokok (qiya>s usuli>) maupun kaidah-kaidah umum, dalam hal adanya ijmak yang menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh qiya>s tersebut.
c. Istih}sa>n bi al-qiya>s al-khafi>, yaitu suatu macam istih}sa>n yang masalahnya dapat diselesaikan dengan dua macam dalil qiya>s yang saling
50Lihat al-Sarakhsi>, Us{u>l al-Sarakhsi>, h. 203-205; Husain Hamid Hassan, Nazariyyah al-Mas}lah}ah fi> al-Fiqh al-Isla>mi>, h. 242-245.
berlawanan, yaitu qiyas> jali> dan qiya>s khafi>, namun mujtahid lebih mengutamakan dalil qiya>s khafi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
d. Istih}sa>n bi al-mas}lah}ah, yakni istih}sa>n berdasarkan maslahat
e. Istih}sa>n bi al-‘urf, yakni istih}sa>n berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum.
f. Istih}sa>n bi al-d{aru>rah, yakni istih}sa>n berdasarkan keadaan darurat.
Artinya, sang mujtahid berpaling dari tuntutan qiya>s kepada tuntutan darurat yang menghendaki hukum lain.
Sedangkan ulama Malikiyah membagi istih}sa>n kepada empat macam, yaitu: 51
a. Istih}sa>n bi al-‘urf. Imam Ma>lik mengatakan bahwa mazhabnya meninggalkan dalil umum karena ada ‘urf.
b. Istih}sa>n bi al-mas}lah}ah, yakni meninggalkan dalil umum dengan dasar maslahat.
c. Istih}sa>n bi al-ijma>‘, yakni meninggalkan kaidah umum dengan dasar ijmak.
d. Istih}sa>n bi qa>idah raf‘ al-h}arj wa al-masyaqqah, yakni meninggalkan kaidah umum dengan dasar menghilangkan kesulitan dan kesukaran.
Berkaitan dengan kehujjahan istih}sa>n, ulama berbeda pendapat dalam menetapkannya sebagai salah satu metode/dalil dalam menetapkan hukum syarak.
Ulama H}anafiyah, Ma>likiyah, dan sebagian Hanabilah menjadikan istih}sa>n sebagai dalil hukum. Akan tetapi mereka berbeda dalam volume penerapannya.
Ulama Hanafiyah adalah yang terbanyak dan lebih populer menerapkan istih}sa>n sebagai metode ijtihad.
51Husain Hamid Hassan, Nazariyyah al-Mas}lah}ah fi> al-Fiqh al-Isla>mi>, h. 250-252.
Sebaliknya, ulama Sya>fi‘i>yah, Za>hiriyah, Syi‘ah, dan Mu‘tazilah menolak istih}sa>n sebagai dalil hukum. Al-Sya>fi‘i> pernah mengatakan,
“Barangsiapa menggunakan istih}sa>n, ia telah membuat syariat.52 Sementara Ibn Hazm memandang bahwa berhujjah dengan istih}sa>n adalah mengikuti hawa- nafsu, yang membawa kesesatan.
‘Abdul Wahha>b Khalla>f mengatakan bahwa apabila diteliti persolan yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama usul fikih dalam menerima atau menolak istih}sa>n sebagai salah satu dalil syarak, maka akan ditemui bahwa perbedaan tersebut hanyalah merupakan perbedaan istilah. Para ulama yang menolak keberadaan istih}sa>n sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum ternyata dalam praktinya berpendapat sama dengan ulama yang menerima kehujjahan istih}sa>n. Dalam masalah muda}rabah, berbuka puasa bagi para musafir yang sedang berpuasa, dan hukum-hukum lain yang dikemukan ulama yang menerima kehujjahan istih}sa>n juga diterima oleh para penolak kehujjahan istih}sa>n. Oleh sebab itu, Ibn Qudamah mangatakan bahwa tidak ada alasan untuk menolak istih}sa>n apabila dilakukan berdasarkan dalil yang didukung oleh syarak, sekalipun berdasarkan induksi dari berbagai ayat dan hadis. Adapun istih}sa>n yang dilakukan semata-mata berdasarkan akal, maka seluruh ulama usul fikih menolaknya, karena dalam masalah hukum syarak pendapat akal harus mendapat legalisasi dari nas, walaupun secara umum.
Dengan demikian, seperti dikatakan Wahbah al-Zuh}aili>, titik perbedaan sebenarnya terletak pada penamaan bukan pada subtansi konsep.53