ﻢﻠﺴﻣ
2. Sunnah
Sunnah secara etimologi mengandung makna “cara dan jalan hidup”, baik yang berkualitas baik maupun buruk. Sedangkan secara terminologi, sunnah identik dengan hadis yaitu segala perkataan, perbuatan, pengakuan yang
22QS al-Ma>idah/5: 48.
23Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Tanggerang: PT Riels Grafika, 2009), h. 116.
24Lihat Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>l al-Fiqh, h. 445.
disandarkan kepada Nabi saw.25 Berhujjah dengan sunnah dan menjadikannya sumber hukum Islam adalah pendapat dan sikap kaum Muslimin masa lalu dan masa sekarang, dan orang-orang yang mengingkarinya dan tidak menganggapnya sebagai hujjah adalah kaum yang menyimpan dari kebenaran.26
Dari segi materinya, sunnah dapat dibedakan menjadi tiga macam:
Pertama, sunnah qauliyyah, yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh sahabatnya dan disampaikannya kepada orang lain. Kedua, sunnah fi‘liyyah, yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikannya kepada orang lain dengan ucapannya. Ketiga, sunnah taqri>riyyah, yaitu perbuatan atau ucapan seorang sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah olehnya.
Diamnya Nabi itu disampaikan oleh sahabat yang menyaksikan kepada orang lain dengan ucapannya.
Sunnah adalah sumber yang didukung al-Qur’an, dan para Muslim diperintahkan untuk menaatinya.27 Perkataan Nabi, seperti yang disebutkan al- Qur’an, mendapat inspirasi dari Allah (QS al-Najm/53: 3). Teladan dan ajarannya yang bertujuan untuk menetapkan aturan syariat merupakan sumber yang mengikat.
Sebagai sumber syariat, ketentuan sunnah berlaku melalui tiga hal berikut ini: pertama, ia dapat menegaskan kembali dan memperkuat ketentuan yang bersumber dari al-Qur’an. Bagian terbesar dari sunnah pada faktanya seperti ini.
Semua hadis yang terkait dengan kelima rukun Islam dan topik serupa lainnya,
25Lihat Ibn Hajar al-Asqala>ni>, Nuzhah al-Naz}r Syarh} Nukhbah al-Fikr fi>
Mus}t}alah Ahl al-As\ar (t.d), h. 18; Lihat Muhammad Abu> Zahw, al-H{adi>s\ wa al- Muh}addis\un (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.th), h. 8.
26Muhammad Sulaima>n al-Asyqar, Af‘a>l al-Ra>su>l wa Dala>latuha> ‘ala> al- Ah}ka>m al-Syar‘iyyah (Cet. V; Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1417 H/1996 M), h. 21.
27Lihat QS al-Nisa>’/4: 80; al-H{asyr/59: 7.
seperti hak orang tua, penghormatan pada hak milik orang lain, juga hadis tentang pembunuhan, pencurian dan kesaksian palsu, dan lain-lain, pada dasarnya menegaskan kembali prinsip-prinsip al-Qur’an tentang subyek-subyek ini. Kedua, sunnah dapat terdiri dari penjelasan atau klarifikasi terhadap al-Qur’an; ia dapat menjelaskan yang belum jelas (mujmal), mengecualikan yang absolut (mut}laq), atau mengkhususkan yang umum (‘a>mm) dari al-Qur’an. Ketiga, sunnah dapat terdiri dari ketentuan-ketentuan yang tidak disebut dalam al-Qur’an, tetapi bersumber dari sunnah itu sendiri. Jenis sunnah seperti ini, yang disebut sebagai sunnah dasar (al-mu’assisah), merupakan sumber independen syariat. Sebagai contoh, larangan menikahi secara simultan bibi dari garis ibu atau ayah sang istri, mencegah jual-beli harta bersama (syuf‘ah), dan hak nenek atas sebagian harta warisan, semuanya bersumber dari sunnah karena al-Qur’an sendiri tidak mengatakan apa-apa.28
Terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tentang apakah sunnah dalam berbagai ragamnya, harus dilihat sebagai pelengkap bagi al-Qur’an.
Pendapat yang afirmatif disasarkan pada premis bahwa ketentuan sunnah yang awal sekalipun dapat dikaitkan dengan maksud dan tujuan umum al-Qur’an, kalaupun bukan isinya yang spesifik. Akan tetapi, sebagian besar ulama berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada pertentangan dalam memandang sunnah sebagai pelengkap al-Qur’an serta sebagai sumber hukum syarak.29
Mengenai posisi sunnah dalam struktur sumber hukum Islam, para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa sunnah mempunyai kedudukan yang sederajat dan setara dengan al-Qur’an; sehingga apabila terjadi
28Lihat Mus}t}afa> al-Siba>i>, Al-Sunnah wa Maka>natuha> fi> al-Tasyri>‘ al- Isla>mi> (Cet. IV; Kairo: Da>r al-Sala>m, 1429 H/2008 M), h. 345-346. Al-Sya>fi‘i>, al-Umm (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 1393 H), h. 91.
29Penjelasan secara terperinci lihat Mus}t}afa> al-Siba>i>, Al-Sunnah wa Maka>natuha>
fi> al-Tasyri>‘ al-Isla>mi>, h. 345-346.
pertentangan maknawi yang eksplisit antara sunnah dan suatu ayat al-Qur’an maka yang terakhir kemunculannya di antara keduanya dapat dianggap menasakh yang terdahulu kemunculannya. Yang menganut pendapat demikian ialah golongan ulama H{anafiyyah, ulama Ma>likiyyah, dan ulama Z{a>hiriyyah.30 Pendapat kedua menyatakan bahwa dalam struktur sumber hukum Islam, posisi sunnah setingkat di bawah al-Qur’an; sehingga sunnah tidak mampu menasakh al- Qur’an, dan apabila muncul pertentangan maknawi yang eksplisit antara sunnah dan suatu ayat al-Qur’an, yang tidak bisa dikompromikan maknanya, maka hakikat tentang hal ini tidak melebihi empat kemungkinan, yaitu (1) ayat tersebut dinasakh oleh ayat lain; atau (2) sunnah tersebut dinasakh; atau (3) sunnah tersebut lemah (da‘i>f) sehingga tidak layak menjadi hujjah syar‘iyyah; atau (4) logika penafsiran/pemahaman terhadap ayat atau sunnah tersebut tidak valid dan tepat. Pendapat kedua ini dianut oleh golongan ulama Sya>fi‘iyyah dan ulama H{ana>bilah.31
Berkaitan dengan implikasi tasyri‘i> dari perbuatan Rasulullah saw., perlu dijelaskan lebih dahulu 2 (dua) hal, yaitu (1) perihal kekhususan hukum yang berlaku pada Rasulullah saw., dan (2) perihal arti sikap meneladani Rasul dan mengikuti jejak hidupnya.
Mengenai kekhususan hukum yang berlaku pada Rasulullah, terdapat tiga macam hukum, yaitu: (a) perihal kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada Rasulullah, seperti kewajiban melakukan shalat tahajjud pada tiap malam, (b) perihal keharaman-keharaman sehubungan dengan kehidupan Rasulullah, seperti
30Lihat al-Sarakhsi, Us}u>l al-Sarakhsi> (Beirut: Da>r al-Fikr, 1980), juz II, h. 67; ‘Abd al-‘Aziz al-Bukha>ri>, kasyf al-Asra>r (Beirut: Da>r al-Fikr, 1980), juz III, h. 175; Syiha>b al- Di>n al-Qara>fi>, Syarh} Tanqi>h} al-Fus{u>l (Beirut: Da>r al-Fikr, 1988), h. 31; dan Ibnu Hazm, al-Ih}ka>m fi> Us{u>l al-Ah{ka>m, diedit Ah}mad Muh}ammad Sya>kir. Beirut:Da>r al- A<fa>q al-H{adi>dah, t.th. juz IV, h. 107.
31Al-Sya>fi‘i>, al-Umm., h. 106; Ibn al-Najja>r, Syarh} al-kaukab al-Muni>r, juz III, h.
562.
keharaman menikahi istri-istri yang ditinggal wafat oleh beliau, (c) perihal kebolehan-kebolehan yang ditetapkan bagi Rasul, seperti berpuasa dengan cara wis}a>l, beristri lebih dari empat orang.32
Mengenai arti sikap meneladani Rasulullah saw. (al-ta’assi>) dapat dikemukan bahwa sikap tersebut bisa dalam arti aktif dan bisa pula dalam arti pasif. Sikap meneladani dalam arti aktif maksudnya, setiap muslim melakukan perbuatan yang telah dilakukan oleh Rasulullah atas dasar dikehendakinya perbuatan itu oleh beliau dan cara yang ditempuh olehnya. Sikap meneladani dalam arti pasif maksudnya, setiap muslim meninggalkan perbuatan yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah atas dasar tidak dikehendakinya perbuatan itu dan cara yang ditempuh olehnya.33
Mengenai arti sikap mengikuti Rasulullah saw. (al-muta>ba‘ah) dapat dikemukakan bahwa sikap tersebut bisa berupa perkataan, bisa berupa perbuatan aktif, dan bisa pula perbuatan pasif. Adapun sikap mengikuti Rasulullah saw.
yang berupa perkataan ialah mengucapkan perkataan itu menurut cara yang ditempuh beliau. Sedangkan sikap mengikuti Rasulullah yang berupa perbuatan aktif dan perbuatan pasif merupakan bagian dari sikap meneladani beliau. Dengan demikian, jelaslah bahwa sikap mengikuti lebih luas cakupannya daripada sikap meneladani. Adapun sikap menyesuaikan diri dengan Rasulullah (al- muwa>faqah) lebih luas lagi cakupannya daripada sikap mengikuti dan sikap meneladani, karena sikap menyesuaikan diri itu bisa dalam bentuk perkataan, perbuatan aktif, perbuatan pasif, atau keyakinan, apa pun faktor pendorongnya.34
32Lihat Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Af ‘a>l al-Rasu>l wa Dila>latuha> ‘ala> al- Ah}ka>m al-Syar ‘iyyah, Juz I (Cet. V; Beirut: Maktabah al-Risa>lah, 1417 H/1996 M), h. 274.
33Lihat Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Af ‘a>l al-Rasu>l wa Dila>latuha> ‘ala> al- Ah}ka>m al-Syar ‘iyyah, Juz I, h. 274.
34Lihat Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Af ‘a>l al-Rasu>l wa Dila>latuha> ‘ala> al- Ah}ka>m al-Syar ‘iyyah, Juz I, h. 274.
Sehubungan dengan perihal implikasi tasyri>‘i> yang dikandungnya, perbuatan Rasulullah saw. dapat dibedakan menjadi lima macam:35 (1) perbuatan yang didorong oleh tuntutan biologis-jasmaniah, seperti duduk, berdiri, makan, dan minum. Perbuatan semacam ini tidak mempunyai implikasi tasyri>‘i> bagi kaum Muslim, (2) perbuatan yang didasari oleh pengalaman, keahlian, dan keterampilan personal. Perbuatan semacam ini juga tidak mempunyai implikasi tasyri>‘i> bagi kaum Muslim, seperti taktik Rasulullah dalam perang Badar, dengan menempatkan pasukan-pasukan muslim pada posisi yang tidak menguntungkan menurut pandangan al-H{ubab ibn al-Munz\ir, (3) perbuatan yang merupakan kekhususan hanya bagi Rasulullah, (4) perbuatan yang merupakan baya>n tafs}i>l (operasionalisasi) atas norma hukum yang mujmal di dalam al-Qur’an. Apabila norma hukum yang diberi baya>n tafs}i>l itu bersifat wajib, maka sifat materi yang diuraikannya secara operasional berhukum wajib.
Misalnya, perbuatan beliau menyangkut tata cara shalat fard}u. Apabila norma hukum yang diberi baya>n tafs}i>l itu bersifat mandu>b, maka sifat materi yang diuraikannya secara operasional berhukum mandu>b pula. Apabila norma hukum yang diberi baya>n tafs}i>l itu bersifat mubah, maka sifat materi yang diuraikannya secara operasional berhukum mubah pula. Jadi, sifat materi yang diuraikannya secara operasional itu mengikuti sifat sesuatu yang pokok yang hendak dioperasionalkan, (5) perbuatan yang tidak termasuk kedalam salah satu dari keempat macam tersebut. Perbuatan semacam ini dapat dibedakan menjadi dua macam; Pertama, perbuatan yang nyata-nyata dimaksudkan sebagai al-qurbah (wujud hubungan vertikal kepada Allah). Implikasi tasyri‘i> dari perbuatan semacam ini ialah mandu>b. Contohnya ialah kebiasaan Rasulullah beriktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dan sujud tilawah. Kedua, perbuatan
35Lihat Mahmud Syalt}u>t, al-Isla>m; ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah, h. 499-500.
yang nyata-nyata tidak dimaksudkan sebagai al-qurbah. Implikasi tasyri> ‘i> dari perbuatan semacam ini ialah mubah. Contohnya: perbuatan Rasulullah mencium istrinya ketika beliau sedang berpuasa dan mengenakan cincin perak di jemari tangannya.