ﻢﻠﺴﻣ
3. Ijmak
yang nyata-nyata tidak dimaksudkan sebagai al-qurbah. Implikasi tasyri> ‘i> dari perbuatan semacam ini ialah mubah. Contohnya: perbuatan Rasulullah mencium istrinya ketika beliau sedang berpuasa dan mengenakan cincin perak di jemari tangannya.
Shiddeqiy (w.1975), ulama fikih Indonesia, melihat bahwa dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, justru semakin mempermudah mengumpulkan para mujtahid. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya ijmak bukan hal yang mustahil.40
Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan terhadap hukum syarak itu, para ulama usul fikih membagi ijmak kepada dua bentuk, yaitu ijmak s}ari>h}/lafz}i> dan ijmak suku>ti>. Ijmak s}ari>h} adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Kesepakatan ini dikemukan dalam sidang ijmak setelah masing- masing mujtahid mengemukakan pandangannya terhadap masalah yang dibahas.
Apabila ijmak seperti ini berlangsung dan menghasilkan suatu kesepakatan tentang suatu hukum, maka bisa dijadikan hujjah dan kekuatan hukumya bersifat qat}‘i> (pasti). Adapun ijmak suku>ti> adalah pendapat sebagian mujtahid pada suatu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut. Ijmak sukuti ini pengaruhnya terhadap hukum tidak menyakinkan, karena para ulama usul fikih menempatkannya sebagai dalil z}anni>.
4. Al-Qiya>s
Qiya>s merupakan bentuk ijtihad dan pokok pemikiran dalam pengembangan hukum Islam, oleh karena nas-nas dan ijmak terbatas dan bersifat
40Lihat T. M. Hasbi ash-Shidieqy, Pengantar Ilmu Fikih (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 203. Ibn al-Munz\ir (w. 318 H) telah berupaya mengkompilasi kasus-kasus hukum yang telah memperoleh landasan ijmak. Akan tetapi, hasil kompilasi ini mendapat kritik dari tokoh ulama lain lantaran ada persoalan validitas dan otentisitas dari kasus-kasus hukum yang diungkapkan itu.
Lihat Abu> Bakr ibn Muh}ammad ibn Ibra>hi>m Ibn al-Munz\ir, al-Ijma>‘ (Balocistan: Da>’irah al-ma‘a>rif al-Isla>miyyah, t. th.).
umum sedangkan problematika kehidupan manusia tidak terbatas.41 Secara etimologis, al-qiya>s bermakna al-Musa>wah (persamaan) dan al-taqdi>r (pengukuran).42 Sedangkan secara terminologis, al-qiya>s adalah penetapan hukum yang sama dari sesuatu kepada sesuatu yang lain karena adanya persamaan
‘illah di antara keduanya menurut pandangan sang mujtahid.43
Berdasarkan defini qiya>s tersebut, disimpulkan bahwa qiya>s tidak akan terbentuk kecuali didukung oleh empat unsur, yaitu al-as}l, al-far‘u, h}ukm al- as}l, dan ‘illah. Apabila salah satu dari yang empat ini tidak terpenuhi, maka qiya>s yang diasumsikan merupakan qiya>s fa>sid atau qiya>s batil atau qiya>s ma‘a al-fa>riq.
Adapun al-as}l adalah masalah pokok yang sudah jelas status hukumya dengan berlandaskan nas syarak; dan nama lain untuknya ialah maqi>s ‘alaih, mahmu>l ‘alaih, dan musyabbah bih. Adapun al-far ‘u adalah masalah yang tidak ditegaskan status hukumnya oleh nas syarak; dan nama lainnya ialah maqi>s, mahmul, dan musyabbah. Adapun h}ukm al-as}l adalah status hukum yang ditetapkan nas syarak terhadap al-as}l. Sedangkan ‘illah adalah suatu sifat yang menjadi landasan keberadaan hukum al-as}l; nama lainnya ialah mana>t} al- h}ukm. Bilamana sifat ini ditemukan pula pada al-far‘u, status hukum yang
41Lihat Abu> al-Ma‘a>li> al-Juwaini>, al-Burha>n fi> Us}u>l al-Fiqh (Mesir: al- Wafa>’ al-Mans}u>rah, 1418 H), juz II, h. 485.
42Ibn al-Manz}u>r, lisa>n al-‘Arab, jilid VIII, h. 70. Lihat pula Abu> Zakariya> Syarf al- Nawawi, Tahz\i>b al-Nawawi>, Tahz\i>b al-Asma>’ wa al-Lugah (Beirut: Da>r al-T{iba>‘ah al- Muni>riyyah, t. th.), juz IX, h. 225; Muh}ammad ibn Abi> Bakr ibn ‘Abd al-Qa>dir al-Ra>zi>, Mukhta>r al-S{ih}a>h (Beirut: Da>r al-Qalam, t. th.), h. 555.
43 Teksnya ialah:
ﺕﺑﺛﻣﻟﺍ ﺩﻧﻋ ﻡﻛﺣﻟﺍ ﺔﻠﻋ ﻲﻓ ﺎﻣﻬﻛﺍﺭﺗﺷﻻ ﺭﺧﺁ ﻡﻭﻠﻌﻣ ﻲﻓ ﻡﻭﻠﻌﻣ ﻡﻛﺣ ﻝﺛﻣ ﺕﺎﺑﺛﺇ
Lihat Abu> al-H{usain Muh}ammad al-Bis}ri>, al-Mu‘tamad fi> Us}u>l al-Fiqh (beirut:
Da>r al-Fikri, 1990), juz II, h. 697. Bandingkan pula Ta>j al-Di>n al-Subki>, Jam‘u al-Jawa>mi‘
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1985), juz II, h. 202; Ibn al-H{a>jib, Mukhtas}ar Ibn al-H{a>jib (Kairo:
Maktab al-Kulliya>t al-Azhariyyah, 1993), juz II, h. 205; Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, al-Mah}s}u>l fi> ‘Ilm al-Us}u>l, selanjutnya disebut al-Mah}s}u>l, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1990), juz II, h. 2.
terdapat pada al-as}l menjadi berlaku pula pada al-far‘u. inilah maksud dari ungkapan: al-h}ukm yadu>ru ma‘a ‘illatihi wuju>dan wa ‘adaman (keberadaan hukum itu mengikuti keberadaan ‘illah).44
Kriteria al-as}l ialah keberadaannya ditegaskan oleh nas syarak. Kriteria al-far‘u ialah keberadaannya tidak ditegaskan oleh nas syarak. Sedangkan kriteria h}ukm al-as}l ialah merupakan hukum praktis (‘amali>), esensinya dapat dipahami dengan penalaran akal sehat (ma‘qu>l al-ma‘na>), dan bukan hukum yang menyangkut perihal kekhususan tertentu. Sementara kriteria dari ‘illah ialah merupakan sifat yang konkrit (z}a>hir), merupakan sifat yang pasti atau terukur (mund}abit}), dan mempunyai relevansi dengan tujuan penetapan hukum (muna>sib).45
Para ulama usul fikih mengemukakan bahwa qiya>s dapat dibagi dari beberapa segi, yaitu:46
Dilihat dari segi kekuatan ‘illah yang terdapat pada far‘u dibandingkan yang terdapat pada as}l, qiyas dibagi kepada tiga bentuk, yaitu: pertama, qiya>s aulawi>, yakni qiya>s yang hukumnya pada far‘u lebih kuat daripada hukum as}l, karena ‘illah yang terdapat pada far‘u lebih kuat dari yang ada pada as}l.
Kedua, qiya>s musa>wi>, yaitu hukum pada far‘u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada as}l, karena kualitas ‘illah pada keduanya juga sama.
Ketiga, qiya>s adna>, yaitu ‘illah yang ada pada far‘u lebih lemah dibandingkan dengan ‘illah yang ada pada as}l. Artinya, ikatan ‘illah yang ada pada far’u sangat lemah dibanding ikatan ‘illah yang ada pada as}l.
44Abu Hamid al-Gazali, al-Mustas}fa>, jilid II, h. 325.
45Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, al-Mah}s}u>l, h. 483.
46Al-A<midi>, al-Ih{ka>m, h. 163. Ibn Amir al-Hajj, op. cit., jilid III, h. 221; Ibn al- Ha>jib, Mukhtas}ar Ibn al-H{a>jib, h. 247; al-Syauka>ni>, Irsya>d al-Fuh}u>l, h. 204.
Dari segi kejelasan ‘illah yang terdapat pada hukum, qiya>s dibagi kepada dua macam: pertama, qiya>s jali>, yaitu qiyas yang ‘illahnya ditetapkan oleh nas bersamaan dengan qiya>s hukm al-as}l; atau nas tidak menetapkan ‘illahnya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara as}l dengan far‘u.
Qiya>s jali> ini mencakup qiya>s aulawi> dan qiya>s musa>wi>. Kedua, qiya>s khafi>, yaitu qiya>s yang ‘illahnya tidak disebutkan dalam nas. Qiya>s khafi> ini mencakup qiya>s adna>, karena kedudukannya yang lebih rendah yang disebabkan lemahnya ‘illah pada far‘u.
Dilihat dari segi keserasian ‘illah dengan hukum, qiya>s terbagi atas dua bentuk, yaitu: pertama, qiya>s muas\s\ir, yaitu qiya>s yang menjadi penghubung antara as}l dengan far‘u ditetapkan melalui nas s}ari>h} atau ijmak; atau qiya>s yang ‘ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghubungkan as}l dengan far‘u berpengaruh pada hukum itu sendiri. Kedua, qiya>s mula>’im, yaitu qiya>s yang
‘illah hukum asalnya mempunyai hubungan yang serasi.
Dilihat dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illah pada qiya>s tersebut, qiya>s dapat dibagi kepada tiga bentuk, yaitu: pertama, qiya>s al-ma‘na> atau qiya>s pada makna as}l, yaitu qiya>s yang di dalamnya tidak dijelaskan ‘illahnya, tetapi antara as}l dengan far‘u tidak dapat dibedakan, sehingga far’u seakan-akan as}l. Misalnya mengqiyaskan membakar harta anak yatim pada memakannya, yang ‘illahnya sama-sama menghabiskan harta anak yatim itu secara zalim.
Kedua, qiya>s al-‘illah, yaitu qiya>s yang dijelaskan ‘illahnya, dan ‘illah itu sendiri merupakan motivasi bagi hukum as}l. Misalnya, mengqiya>skan nabi>z\
(mimuman keras yang terbuat dari perasan selain anggur) kepada khamar, karena kedua minuman tersebut sama-sama memiliki rangsangan yang kuat, baik pada as}l maupun pada far‘u. Ketiga, qiya>s al-dila>lah, yaitu qiya>s yang ‘illahnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, tetapi ‘illah itu merupakan
keharusan yang memberi petunjuk adanya ‘illah. Misalnya, dalam kasus mengqiyaskan nabi>z\ kepada khamar dengan alasan ‘bau menyengat’ yang menjadi akibat langsung dari sifat memabukkan.
Dilihat dari segi metode (masa>lik) dalam menemukan ‘illah, qiya>s dapat dibagi kepada: pertama, qiya>s al-ikha>lah, yaitu qiya>s yang ‘illahnya ditetapkan melalui muna>sabah dan ikha>lah. Kedua, qiya>s al-syabh, yaitu qiya>s yang ‘illahnya ditetapkan melalui metode syabh, ketiga, qiya>s al-sibr, yaitu qiya>s yang ‘illahnya ditetapkan melalui metode al-sibr wa al-taqsi>m.
keempat, qiya>s al-t}ard, yaitu qiya>s yang ‘illahnya ditetapkan melalui metode al-t}ard.