• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syar‘u man qablana>

Dalam dokumen Mawardi Djalaluddin, M.Th.I (Halaman 72-76)

ﻢﻠﺴﻣ

7. Syar‘u man qablana>

baru diputuskan bahwa ia sudah wafat. Mereka merujuk kepada hadis tentang kedudukan istri dari sang suami hilang, tak diketahui rimbanya, Nabi menyatakan:

ﺔﺒﻌﺷ ﻦﺑ ﺓﺮﻴﻐﻤﻟﺍ ﻦﻋ ﻞﻴﺒﺣﺮﺷ ﻦﺑ ﺪﻤﺤﻣ ﺎﻧﺮﺒﺧﺃ ﺐﻌﺼﻣ ﻦﺑ ﺭﺍﻮﺳ ﺎﻧﺮﺒﺧﺃ ﻚﻟﺎﻣ ﻦﺑ ﺢﻟﺎﺻ ﺎﻧﺮﺒﺧﺃ ﺩﻮﻘﻔﻤﻟﺍ ﺓﺃﺮﻣﺍ :ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ ﻝﻮﺳﺭ ﻝﺎﻗ .ﻥﺎﻴﺒﻟﺍ ﺎﻬﻴﺗﺄﻳ ﻰﺘﺣ ﻪﺗﺃﺮﻣﺍ

61

Artinya:

Telah mengabarkan kepada kami S{a>lih} ibn Ma>lik, telah mengabarkan kepada kami Sawwa>r ibn Mus}‘ab, telah mengabarkan kepada kami Muh}ammad ibn Syarh}abi>l dari al-Mugi>rah ibn Syu‘bah, Rasululllah saw. bersabda, “Sang istri yang kehilangan suaminya adalah istrinya sampai datang keterangan kepadanya.” (HR. al-Baihaqi).

demikian juga dengan bentuk kedua yang disepakati telah menjadi hukum Islam.

Bentuk ketiga inilah sebenarnya yang disebut Syar‘u man qablana> yang menjadi bahan kajian ulama usul pada pembahasan dalil dan sumber hukum syarak.62

Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan Syar‘u man qablana>.

Jumhur ulama H{anafiyyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi‘iyyah dan Ma>likiyyah serta ulama kalam Asy‘ariyyah dan Mu‘tazilah berpendapat bahwa hukum syarak sebelum Islam dalam bentuk ketiga tersebut tidak berlaku untuk umat Nabi Muhammad saw. selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya ialah bahwa syariat sebelum umat Islam berlaku secara khusus, lain halnya dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir yang berlaku secara umum dan menasakh syariat sebelumnya.

Sebagian sahabat Abu H{ani>fah, sebagian ulama Ma>likiyyah, sebagian sahabat al-Sya>fi‘i> dan Ah}mad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad, selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya karena beberapa petunjuk dari ayat al-Qur’an di antaranya: Q.S. al-Syu>ra>/42:

13 dan al-Nah}l/16: 123.

Berdasarkan uraian di atas, didapati bahwa kehujjahan Syar‘u man qablana> termasuk dalil dan sumber hukum yang diperselisihkan. Sedangkan yang menjadi titik perbedaan itu adalah karena ia terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. yang harus dijadikan pedoman. Adapun hukum syarak yang terdapat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang ada sekarang, telah disepakati oleh ulama untuk menolaknya, karena telah dinasakh syariat Islam dan telah terjadi perubahan dan penyimpangan.

62Lihat Amir syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid II, h. 392-394.

8. ‘Urf

‘Urf adalah sesuatu yang berulang-ulang dilakukan oleh masyarakat daerah tertentu, dan terus-menerus dijalani oleh mereka, baik hal demikian terjadi sepanjang masa atau pada masa tertentu saja. Kata sesuatu mencakup sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk; mencakup pula hal yang bersifat perkataan (qauli>) dan hal yang bersifat perbuatan (fi‘li>). Sedangkan ungkapan masyarakat mengeklusi (menyingkirkan) kebiasaan individual dan kebiasaan sekelompok kecil orang. Ungkapan daerah tertentu menunjukan kepada ‘urf

‘a>mm. Misalnya, mud}a>rabah, yang menjadi ‘urf masyarakat Bagda>d, qira>d}, yang menjadi ‘urf masyarakat Hijaz, bai‘ al-salam, yang menjadi ‘urf masyarakat Hijaz.63

Sedangkan ‘a>dah adalah perkara yang berulang-ulang dan terus menerus terjadi, yang bukan merupakan hubungan rasional. Ungkapan “perkara yang berulang-ulang dan terus menerus terjadi” menunjuk kepada segenap kadar cakupannya, yakni baik yang bersifat kolektif maupun individual, baik yang bersifat perkataan maupun perbuatan, baik yang bersifat positif-konstruktif maupun yang bersifat negatif-destruktif. Ungkapan “yang bukan merupakan hubungan rasional” mengeklusi/menyingkirkan perihal yang merupakan hubungan yang rasional, seperti hukum kausalitas, hukum gravitasi, dan hukum perubahan energi.64

Kaitannya dengan kedudukan ‘urf, para ulama mazhab terutama di kalangan ulama H{anafiyyah dan Ma>likiyyah, pada dasarnya bersepakat untuk

63Ahmad ibn ‘Ali al-Muba>raki, al-‘urf wa As\aruh fi> al-Syari> ‘ah wa al-Qanu>n (t.tp: t.np., 1992), h. 35 dan 45.

64Ahmad ibn ‘Ali al-Muba>raki, al-‘urf wa As\aruh fi> al-Syari> ‘ah wa al-Qanu>n, h.

35 dan 45.

menjadikan ‘urf secara umum, sebagai dalil hukum syarak. Perbedaan pendapat di antara mereka terjadi mengenai limitasi dan lingkup aplikasi dari ‘urf itu sendiri.

Ulama Hanafiyyah menggunakan istih}sa>n dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istih}sa>n itu adalah istih}sa>n bi al-‘urf (istih}sa>n yang menyandarkan pada ‘urf). Oleh ulama H{anafiyyah, ‘urf itu didahulukan atas qiya>s khafi> dan juga didahulukan atas nas yang umum, dalam arti bahwa ‘urf itu mentakhsis keumuman nas.

Ulama Ma>likiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ah}ad. Ulama Sya>fi‘iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak menemukan ketentuan batasannya dalam syarak maupun dalam penggunaan bahasa.65

Para ulama yang mengamalkan ‘urf itu dalam memahami dan beristinbat hukum, menetapkan beberapa persyaratan, 66yaitu: Pertama, adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini telah merupakan kelaziman bagi ‘adat atau ‘urf yang sahih, sebagai persyaratan untuk diterima secara umum. Kedua, berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan adat itu, atau di kalangan sebagian besar warganya.

Ketiga, ‘urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu; bukan ‘urf yang muncul kemudian. Keempat, adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syarak yang ada, atau bertentangan dengan prinsip yang pasti. Persyaratan terakhir ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan ‘adat sahih, karena kalau adat itu bertentangan dengan nas yang ada

65Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, h. 375.

66Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, h. 376-378.

atau bertentangan dengan prinsip syarak yang pasti, maka ia termasuk ‘adat yang fasid yang telah disepakati ulama untuk menolaknya.

Dalam dokumen Mawardi Djalaluddin, M.Th.I (Halaman 72-76)