ﻢﻠﺴﻣ
10. Mas}lah}ah
dapat menerima haknya yang telah ada pada masa lalu yang muncul setelah hilangnya.73
menetapkan hukum). Sedangkan tujuan syarak dalam menetapkan hukum itu ada lima, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.76
‘Izzuddin ibn Abdi al-Sala>m dalam kitabnya, Qawa>‘id al-Ah}ka>m, memberikan arti mas}lah}ah dalam bentuk hakikinya dengan "kesenangan dan kenikmatan". Sedangkan bentuk majazinya adalah “sebab-sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan tersebut.”77
Al-Sya>t}ibi> mengartikan mas}lah}ah itu dari dua pandangan, yaitu dari segi terjadinya mas}lah}ah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan syarak kepada mas}lah}ah .78
Dari segi terjadinya mas}lah}ah dalam kenyataan, berarti:
.قﻼﻃﻹا ﻰﻠﻋ ﺔﻴﻠﻘﻌﻟاو ﺔﻴﺗاﻮﻬﺸﻟا ﻪﻓﺎﺻوأ ﻪﻴﻀﺘﻘﺗ ﺎﻣ ﻪﻠﻴﻧو ﻪﺘﺸﻴﻋ مﺎﲤو نﺎﺴﻧﻹا ةﺎﻴﺣ مﺎﻴﻗ ﱃإ ﻊﺟﺮﻳ ﺎﻣ
79
Maksudnya: Sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, kesempurnaan hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan akhlinya secara mutlak."
Dari segi tergantungnya tuntutan syarak kepada maslahat, yaitu kemaslahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syarak. Untuk menghasilkannya, Allah menuntut manusia untuk berbuat.80
Dari beberapa defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa mas}lah}ah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syarak dalam menetapkan hukum.
76Dikutip dari Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 324.,
77Dikutip dari Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 324.,
78Al-Sya>ti}bi>, al-Muwa>faqa>t, Juz II, h. 44.
79Al-Sya>ti}bi>, al-Muwa>faqa>t, Juz II, h. 44.
80Al-Sya>ti}bi>, al-Muwa>faqa>t, Juz II, h. 44.
Hal yang cukup krusial adalah menetapkan ukuran sesuatu perbuatan untuk hal yang mustahil di dalamnya terdapat kerugian, kesusahan, dan sebagainya. Adapun mas}lah}ah sya>ri‘, al-Sya>t}ibi> membuat neraca perbandingan antara mas}lah}ah dan mafsadah dengan konsep jihah gha>libah (sisi yang mendominasi) dan jihah maghlu>bah (sisi yang didominasi).81 Jika manfaat (nilai positif)-nya lebih dominan dari pada mudarat (kerusakan) yang ditimbulkan, dikategorikan sebagai mas}lah}ah. Jika sebaliknya yang terjadi, mudarat (kerusakan) yang ditimbulkan lebih dominan dari faedahnya, digolongkan sebagai mafsadat. Jika seimbang antara maslahat dan mafsadatnya, kedudukannya menjadi mubah.82
a. Macam-Macam Mas}lah}ah
Para ahli usul fikih mengemukakan beberapa pembagian maslahah,83 jika dilihat dari beberapa segi.
1. Dari segi kekuatan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, mas}lah}ah ada tiga macam, yaitu: mas}lah}ah d}aru>riyyah, mas}lah}ah ha>jiyah, mas}lah}ah tah}si>niyyah.
Mas}lah}ah d}aru>riyyah adalah kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia; artinya, kehidupan manusia tidak mempunyai arti bila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada.
Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat d}aru>ri>. Karena itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha
81Al-Sya>ti}bi>, al-Muwa>faqa>t, Juz II, h. 17
82 Muammar Muhammad Bakry, Fiqh Prioritas (Cet. I; Jakarta: Pustaka MAPAN, 2009), h. 103.
83Lihat al-Sya>t}ibi>, al-Muawafaqat, jilid II, h. 8-12; Ibn Qudamah, Raud}ah al- Na>z}ir, h. 414; Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, al-Must}as}fa>, jilid I, h. 139.
bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Segala usaha atau tindakan yang secara langsung menyebabkan lenyap atau rusaknya satu di antara lima unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu Allah melarangnya.
Meninggalkan dan menjauhi larangan Allah tersebut adalah maslahat dalam tingkat d}aru>ri>.84
Mas}lah}ah h}a>jiyah adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat d}aru>ri>. Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima, tetapi secara tidak langsung menuju ke sana seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
Mas}lah}ah h}a>jiyah juga tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak sampai secara langsung menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi secara tidak langsung bisa mengakibatkan perusakan.
Seperti menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama, makan untuk kelangsungan hidup, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta.
Mas}lah}ah tah}si>niyyah adalah kemaslahatan yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat d}aru>ri>, juga tidak sampai tingkat h}a>ji>, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Maslahat dalam bentuk tah}si>ni> tersebut, juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan.
Kemaslahatan d}aru>riyyah harus didahulukan dari pada kemaslahatan
84Amir syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 327.
h}a>jiyyah, dan kemaslahatan ha>jiyyah didahulukan dari kemaslahatan tah}si>niyyah.
2. Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu dengan tujuan syarak dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, maslahat itu juga dengan muna>sib atau keserasian mas{lah}ah dengan tujuan hukum. Mas}lah}ah dalam artian mun>asib itu dari segi pembuat hukum (sya>ri‘) memperhatikannya atau tidak. Mas}laha}h terbagi kepada empar macam, yaitu: mas}laha}h mu‘tabarah, mas}laha}h mulgah, mas}laha}h mursalah dan mas}laha}h gari>biyyah.
Mas}laha}h mu‘tabarah, yaitu maslahat yang diperhitungkan oleh Sya>ri‘, ada petunjuk dari Sya>ri‘, baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan penunjuk pada adanya maslahat yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum.
Mas}laha}h mulgah, atau mas}laha}h ditolak, yaitu maslahat yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syarak dan ada petunjuk syarak yang menolaknya. Hal ini berarti akal menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan syarak, namun ternyata syarak menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh maslahat itu.
Mas}laha}h mursalah, atau yang juga biasa disebut istis}la>h; yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syarak dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syarak yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syarak yang menolaknya.
Mas}laha}h gari>bah yaitu kemaslahatan yang tidak sama sekali hubungannya dengan nas-nas dan tidak ada petunjuk syarak yang menolaknya, seperti pembuatan lampu merah pada jalan-jalan protokol.
Jumhur ulama sepakat untuk menggunakan mas}lah}ah mu‘tabarah, sebagaimana juga mereka sepakat dalam menolak mas}lah}ah mulghah.
Menggunakan metode mas}lah}ah mursalah dalam berijtihad ini menjadi perbincangan yang berkepanjangan di kalangan ulama.
3. Dilihat dari segi kandungan mas}lah}ah, para ulama usul fikih membaginya kepada: mas}lah}ah ‘a>mmah dan mas}lah}ah kha>s}s}ah.
Mas}lah}ah ‘a>mmah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi dapat berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid‘ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
Mas}lah}ah kha>s}s}ah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang.
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum dari kemaslahatan pribadi.
b. Menentukan Skala Prioritas
Dalam kehidupan ini, manusia sering diperhadapkan kepada pilihan- pilihan yang tidak mudah dalam menentukannya khususnya dalam meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan.
Apabila di antara yang maslahat itu banyak dan harus dilakukan salah satunya pada waktu yang sama, maka lebih baik dipilih yang paling tinggi kemaslahatannya berdasarkan kaidah:
.85ﺢﻠﺻﻷﺎﻓ ﺢﻠﺻﻷﺍ ﺭﺎﻴﺘﺧﺇ Maksudnya: Menjatuhkan pilihan kepada yang lebih baik.
Hal ini sesuai dengan al-Qur’an, yaitu:
4÷ŽÅe³t6sù ÏŠ$t7Ïã
tûïÏ%©!$#
tbqãèÏJtFó¡o„
tAöqs)ø9$#
tbqãèÎ6-Fu‹sù ÿ¼çmuZ|¡ômr&
4
y7Í´¯»s9'ré&
tûïÏ%©!$#
ãNßg1y‰yd
ª!$#
( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd
(#qä9'ré&
É=»t7ø9F{$#
ÇÊÑÈ
Terjemahnya:
"Itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.86
Demikian pula sebaliknya apabila menghadapi mafsadat pada waktu yang sama, maka harus didahulukan mafsadah yang paling buruk akibatnya. Apabila berkumpul antara maslahat dan mafsadat, maka yang harus dipilih yang maslahatnya lebih banyak (lebih kuat), dan apabila sama banyaknya atau sama kuatnya maka menolak mafsadat lebih utama dari meraih maslahat, sebab
85H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis (Cet. III; Jakarta: Kencana Prenada media Grup, 2010), h. 28.
86Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 460.
menolak mafsadat itu sudah merupakan kemaslahatan.87 Hal ini sesuai dengan kaidah:
ﻊﻔﻨﻟﺍ ﺐﻠﺟ ﻦﻣ ﻰﻟﻭﺃ ﺭﺮﻀﻟﺍ ﻊﻓﺩ
88
Maksudnya: "menolak kemudaratan lebih utama daripada meraih kemaslahatan".
Selain dari hal tersebut, dalam menentukan prioritas dalam kemaslahatan perlu memandang asas-asas hukum Islam. Dalam pelaksanaan hukum Islam ada tiga asas yang disepakati oleh ahli hukum Islam, yaitu (1) Hukum Islam tidak memberatkan dan tidak mempersempit, (2) Hukum Islam tidak memperbanyak tuntutan, dan (3) Hukum Islam dilaksanakan secara bertahap.89 Dan juga mempertimbangkan asas-asas umum hukum Islam, seperti asas keadilan, asas kepastian hukum, asas persaudaraan, asas persamaan dan lain-lain.90
Berkaitan dengan kehujjahan mas}lah}ah, para ulama usul fikih menyatakan bahwa mas}lah}ah mu‘tabarah dapat dijadikan sebagai dalil dalil dalam menetapkan hukum. Kemaslahatan seperti ini termasuk dalam metode qiya>s. Mereka juga sepakat bahwa mas}lah}ah mulgah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam, demikian juga al-mas}lah}ah al- gari>bah, karena tidak ditemukan dalam praktik syarak.91 Adapun terhadap kehujjahan mas}lah}ah mursalah, pada perinsipnya jumhur ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syarak sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.
87H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis, h. 28.
88H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis, h. 28.
89Lihat Zainuddin Ali, Hukum Islam: pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Cet. II;
Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 49
90Lihat Zainuddin Ali, Hukum Islam: pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 45- 46.
91Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, jilid I, h. 120.