• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR NARATIF KAKAWIN NILACANDRA

5.3 Struktur Formal KN

5.3.1 Alur

Alur adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Kaitannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab-akibat). Rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian (Panuti, 1990:4). Lebih lanjut Panuti Sudjiman (1992:30) mengatakan walaupun cerita rekaan beraneka ragam coraknya, ada pola-pola tertentu yang hampir selalu terdapat di dalam sebuah cerita rekaan. Beliau menggambarkan struktur umum alur sebagai berikut: (a) awal, terdiri dari paparan (exposition), rangsangan (inciting moment), gawatan (rising action), dan tikaian (conflict); (b) Tengah, terdiri dari rumitan (complication), klimaks, dan leraian (falling action); dan (c) akhir, yang disebut selesaian (denovoment).

Sistem alur berdasarkan cerita yang terungkap dari KN ini kaitannya diwujudkan dengan kausalitas (sebab-akibat), artinya peristiwa dalam cerita disusun berdasarkan susunan sebab dan akibat. Untuk itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, alur dimulai dengan pemaparan tokoh Nilacandra yang sangat sakti, berhasil dalam segala ilmu jasmani dan rohani, hal ini ter- jadi disebabkan oleh ketekunan Nilacandra dalam tapa brata, melakukan semadi terfokus kepada Hyang Werocana. Akibat dari perbuatan tokoh Nilacandra memperoleh anugrah dari Hyang Werocana berupa kesaktian yang tiada tandingnya di ketiga dunia (Tri Loka).

Kedua, akibat dari kesaktian yang dimiliki atas anugrah Hyang Werocana menyebabkan tokoh ini membuat sorga dan neraka tiruan beserta segala isinya hingga terbit dan tenggelamnya matahari dan bulan bisa ditirunya. Untuk itu, Ia pun mengundang Yudhistira di Astina untuk mohon restu atas segala perbuatannya. Kehadiran Yudhistira ke negeri Naraja sebagai akibat dari proses perbuatan Nilacandra dan itu pula yang menyebabkan Yudhistira memberi wejangan kepada Nilacandra agar tetap teguh memegang budhi satwa (hal-hal ke-Buddha-an).

Ketiga, akibat dari wejangan yang diberikan oleh Yudhistira me- nyebabkan kehidupan masyarakat di kerajaan Naraja menjadi aman, ten- tram, sejahtera dari tingkat pusat hingga ke dusun-dusun telah melaksana- kan budhi satwa seperti yang diwejangkan oleh Maharaja Yudhistira.

Keempat, akibat kehidupan yang serba aman, tentram, dan sejahtera Nilacandra membangun sorga dan naraka, yang kemudian terdengar hingga ke Dwarawati. Akibatnya, Kresna marah dan ingin menyerang Nilacandra, yang didahului dengan mohon izin kepada Yudhistira. Tidak dikabulkan Yudhistira untuk menyerang Naraja menyebabkan Kresna pamit dengan kecewa dan bersikeras menyerang Nilacandra. Akibatnya, timbul rasa ingin tahu di pihak Catur Pandawa untuk menonton perang tanding Kresna dengan Nilacandra.

Kelima, akibat kedatangan musuh di wilayah Naraja, menyebabkan para prajurit Naraja melapor kepada Nilacandra. Dan akhirnya Nilacandra menyuruh semua patihnya untuk siap tempur, tidak usah takut mati karena Nilacandra bisa menghidupkan orang mati sebelum saatnya tiba (khasiat dari Puṣpa Kamala).

Keenam, yang menyebabkan Yudistira datang ke Naraja adalah rasa bimbang dan kekhawatiran akan adik-adiknya turut berperang melawan Nilacandra. Padahal keberangkatannya sesungguhnya ingin mencegah agar niat adik-adiknya untuk menyaksikan perang Kresna dengan Nilacandra di negeri Naraja dibatalkan.

Ketujuh, Nilacandra ikut perang akibat ambisi Kresna yang telah banyak membawa korban di pihak Naraja. Akhirnya Nilacandra mengamuk mengakibatkan Catur Pendawa gugur. Akibat gugurnya Catur Pendawa menyebabkan Yudhistira marah dan terjun ke medan perang dengan senjata Kalimosadha yang amat dahsyat. Akibat perbuatan Yudhistira menyebabkan Hyang Werocana turun ke dunia untuk melerai dan menasihati Nilacandra agar tidak berani (durhaka) terhadap Yudhistira.

Kedelapan, akibat nasihat Werocana akhirnya peperangan dapat diredakan dan ini pula yang menyebabkan adanya musyawarah besar, untuk saling memaafkan serta mencari kebenaran ajaran yang dianut.

Musyawarah itu dilaksanakan di balairung kerajaan Astina. Semua merasa puas dan akhirnya kembali ke negara masing-masing dengan selamat dan damai (santa rasa).

Peng-alur-an yang diwujudkan dengan waktu atau temporal agak susah ditemukan, karena kurang jelas maknanya. Penulis hanya menemukan kata-

Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra

kata dalam KN1 antara lain: tan warṇnan gatining katha ‘tiada diceritakan kisah selanjutnya’ (III:1a), pirě lawas ira…’entah sudah berapa lama beliau’ (II:3a), ndan hěntye kang katha…’kini hentikan cerita itu’ (VI:2b), pajarakěna gati sang Dharmatmaja…’ceritakan keadaan Yudhistira’

(X:3d), hěněngakěna katha sang natha Astina…’hentikan sejenak cerita raja Astina’ (X:7b), hěněngakěna katha bhupaleng Naraja…’hentikan sejenak cerita raja Naraja’ (X:11d), nda hěněngakěn lakunya…’hentikan sejenak perjalanan beliau’ (XXIV:11b), dan yang lainnya. Demikian juga yang dijumpai pada KN2, antara lain: wuwusěn pwa...’tersebutlah...’

(II:1), pira tang kalaya...’entah berapa lama berselang’ (II:4), pirā rakwā swa...’entah berapa lama’ (III:3), tūcāpan...’tersebutlah’ (IV:7, māpā lwirning alāgā...’entah bagaimana kisah dalam perang’ (IV:25), ri tlas brasta...’setelah sirna’ (VI:26), ri wkāsan...’selanjutnya’ (VI:27), ri hilang i dharma...’ketika sirnanya kebenaran’ (VII:7), kunang laywa nirā...’adapun mayatnya’ (VIII:8), māpā kunang...’entah apa’ (IX:3), dan yang lainnya.

Sementara dalam KN3 dijumpai kata-kata sejenis, antara lain: warṇnan Sri Nilacandra...’diceritakan Raja Nilacandra’ (II:1), tan warṇnan...’tidak diceritakan’ (II:10), byatitan ringawan...’diceritakan di perjalanan’ (II:11, X:9), pira teki lawas...’entah berapa lama’ (IV:3), ri tělas ika...’setelah itu’

(IV:4), irikā sira...di sana beliau (IV:8), kañcit dhatěng...’tiba-tiba datang’

(V:17), tucapa Sri Kresna... tersebutlah Raja Kresna’ (VI:33), dan yang lainnya.

Berdasarkan struktur alur yang dikemukakan oleh Panuti Sudjiman, maka struktur ketiga KN ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Paparan (exposition), saat diceritakannya tokoh Nilacandra dan asal-usul serta kesaktian yang dimiliki. Rangsangan (insiting moment), munculnya tokoh Kresna yang mengutus dua orang mata-mata ke Naraja untuk membuktikan kebenaran berita. Gawatan (rising action), ketika Kresna mendengar berita dari kedua utusannya dan segera mengumpulkan anak buahnya dan Kresna sendiri berangkat mendahului ke Pendawa menghadap Yudhistira. Tikaian (conflict) saat Kresna datang menghadap Yudhistira tidak mau duduk, minta izin kepada Yudhistira untuk menyerang Nilacandra, tetapi tak diizinkan dan Kresna bersikeras berangkat dengan kecewa bersama laskarnya. Di sini terjadi ketegangan di kalangan tokoh-tokoh Pandawa melihat perilaku Kresna. Rumitan (complication) terjadi ketika Kresna mulai menggempur wilayah Naraja sehingga prajurit Naraja melapor kepada Nilacandra, di sini sudah muncul konflik antara Kresna dan Nilacandra dan sama-sama

bersiap untuk bertempur sampai habis-habisan. Klimaks ketika peperangan antara Nilacandra dengan Kresna, di sini pula Catur Pandawa gugur di tangan Nilacandra dan puncaknya ketika Yudhistira menyaksikan adik- adiknya mati, lalu terjun ke medan perang dengan senjata Kalimosadha yang sanggup menghanguskan seluruh isi dunia. Leraian (falling action) ketika terjadi puncak ketegangan karena Yudhistira marah, maka turunlah Hyang Werocana untuk melerai kemarahan Yudhistira dengan menasihati Nilacandra agar segera menyembah Yudhistira. Nasihat ini menyebabkan kedua belah pihak kembali saling menyadari untuk berpegang pada dharma (kebenaran). Cerita diakhiri dengan musyawarah, dan semua tokoh pulang ke negaranya masing-masing dengan rasa aman, puas dan selamat sebagai penutup cerita yang disebut selesaian (denouement).

Dalam dokumen Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra (Halaman 108-111)