KEBERADAAN KAKAWIN NILACANDRA
4.3 Pengarang dan Kepengarangan
Adanya tiga pengarang berbeda dengan permasalahan yang sama merupakan sebuah keunikan tersendiri, karena ketiga pengarang ini diyakini menggunakan caranya masing-masing dalam mengkemas cerita Nilacandra ke dalam bentuk karya sastra kakawin. Keunikan KN1, KN2, dan KN3 sebagai materi pokok penelitian ini merupakan salah satu bentuk karya sastra Bali klasik berupa kakawin yang lahir pada akhir abad XX-
an. Kakawin ini memiliki kedudukan penting di antara kakawin yang ada, karena faktor isi dan keunikan penyajiannya merupakan jiwa zaman, yakni sarat akan ajaran hakikat Śiwa-Buddha di Bali.
Informasi yang tersirat dalam setiap epilog kakawin ini, ditunjukkan dengan beragam keunikan. Dalam KN1 misalnya, kakawin gubahannya, angka tahun penulisan hingga nama pangawi dan asalnya, dikemas dengan cara unik serta dijelaskan dalam satu bait terakhir kakawin ini. Di samping diawali dengan manggala yang memuja Dewi Keindahan (Saraśwatī) sebagai sakti Dewa Brahma, Dewi Ilmu Pengetahuan, dan Jiwa dari Aksara, pada akhir karyanya pangawi mohon kepada Hyang Mahakuasa agar dunia selamat juga pemimpinnya. Telah disinggung sekilas dalam bab sebelumnya, bahwa sekitar 2,5 (dua setengah) kilometer ke arah utara dari jalan raya Banjar Tengah Sibetan, Bebandem Karangasem, menyusuri jalan setapak di antara pohon salak penuh bebatuan tampak jalan menanjak ibarat mendaki sebuah bukit berduri, jauh dari keramaian dan kebisingan kota. Di sanalah asal seorang pangawi muda keturunan Brahmana bernama Made Degung seakan pertapa dan berkarya tentang sastra klasik Bali. Di zaman modern dan globalisasi, di sebuah gubuk sederhana namun nyaman, tenang, dan memancarkan sinar kedamaian, Made Degung menggubah Śiwa-Budha Kalpa yang diberi nama KN.
Sejak kelas IV Sekolah Dasar, Made Degung mulai menekuni tentang aksara, bahasa (Bali, Jawa Kuna/Kawi), dan budaya Bali dari seorang ayah bernama Ida Made Gunung. Dari seorang ayah asal Geria Budakeling dan penekun sastra klasik Bali atau sering disebut “nyastra”, Made Degung meniti karier menimba ilmu untuk sebuah cipta sastra. Setelah ayahnya meninggal, Made Degung diasuh seorang ibu (abdi brahmana) bernama Ni Nyoman Cenik asal Tiingan dengan seorang kakak prempuan bernama Ni Wayan Degeng yang kawin ke Tamega. Made Degung yang lahir 31 Desember 1950, tinggal di sebuah rumah sederhana bagaikan berada dalam suasana wanaprasta, bersama istri yang selalu setia bernama Ni Ketut Sutarmi dengan dua orang putra yang kini masih kecil bernama Wayan Sutawa dan adiknya bernama Made Santika. Putra sulung (Wayan Sutawa) sejak SD telah mulai mengikuti jejak sang ayah dan berhasil meraih juara II Dalang Cilik. Bersama “Sekeha Gender Cilik” yang dipimpin Nyoman Dangin (asal Saren Budakeling) membawa prestasi Wayan Sutawa di bidang pedalangan semakin mencuat, hingga mendapat perhatian Gubernur Bali dengan “punia” berupa seprangkat komputer dan satu kropak wayang
Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra
kulit Bali.
Dua buah karya ciptaan Made Degung, yakni Śiwa-Buddha Kalpa yang disebut Kakawin Nilacandra dan Kakawin Eka Daśa Śiwa. Karyanya yang pertama berangka tahun 1993, merupakan gubahan dari cerita parwa, sementara karyanya yang kedua berangka tahun 1998 adalah karya original berisi perihal upakara dan upacara Eka Daśa Rudra yang datangnya 100 tahun sekali. Kini karyanya yang tengah dirampungkan adalah Kakawin Candra Banu yang juga disebut Dharma Achedhya. Di samping berkarya dalam dunia puisi Jawa Kuna, keseharian Made Degung juga seorang tabib (menekuni usada) dibantu istrinya yang juga lihai dalam menulis di atas rontal.
Selanjutnya, I Wayan Mandra yang berasal dari Banjar Delod Tangluk Sukawati Gianyar, rupanya dapat dikategorikan sebagai pangawi Bali yang sangat produktif pada abad XX-an sebelum beliau meninggalkan dunia kepengarangan menuju alam sunia (amor ring acintya). Di samping keberhasilannya mengarang KN2 (1997), ternyata ada sejumlah hasil karyanya yang lain, yakni Geguritan Babad Dalem Timbul Sukawati (1981), Kakawin Arjuna Pramada (1986), Geguritan Sanghyang Lebur Gangsa (1987), Geguritan Negarakertagama (1994), Kakawin Swargarohana (1997), Kakawin Dhata Candra Bhanu (1998), Geguritan Asramawasa (1998), dan yang terakhir adalah Kakawin Jarasandāntaka (tt). Pengarang dengan nama samaran Gunaksa Tutwan ini, memulai kariernya sejak tahun 1969 hingga akhir abad XX-an. Sejumlah 10 karyanya dalam bentuk geguritan dan kakawin tentunya sangat bermanfaat bagi perkembangan puisi Bali klasik dan puisi Jawa Kuna. Dilihat dari kurun waktu penciptaan setiap karyanya, berjarak satu hingga lima tahun. Uniknya justru ada dalam tahun yang sama bisa merampungkan dua buah kakawin (1997: Kakawin Swargarohana dan KN2); dan tahun 1998 menghasilkan Kakawin Dhata Candra Bhanu dan Geguritan Asramawasa.
Sementara I Wayan Pamit selaku pengarang KN3, lebih menonjolkan hal-hal yang bersifat kawisesan, seperti dijumpai dalam ilustrasi kover depan KN3. Ilustrasi yang berupa raksasa besar dan tinggi mungkin menyiratkan ketika tokoh Nilacandra menampakkan wujud bhairawa dengan hanya menepak paha kanannya. Ilustrasi raksasa itu tampak dalam wujud berjalan ibarat gunung mengejar Kresna yang terdesak meninggalkan medan perang menuju hutan. Karya-karyanya yang lain adalah berupa Kakawin Rahwana, Kakawin Candra Bhanu, dan yang lainnya. Mungkinkah ada makna
tersendiri, mengapa tokoh Rahwana yang dikenal sebagai tokoh adharma dalam Kakawin Rāmāyaṇa menjadi judul sebuah kakawin? Apakah I Wayan Pamit ingin menyampaikan perihal keteguhan yoga Rahwana, sehingga diberkati kesaktian yang tiada tanding sebagai maharaja Lengka.
Dengan kawisesan-nya itu Rahwana pun sempat mengalahkan surga.
Ataukah cermin untuk waspada pada setiap wanita yang mempunyai wajah yang sangat cantik seperti dilukiskan pada tokoh Sinta, sebagai penyebab kehancuran negeri Lengka?
Karyanya yang berupa KN3, dapat dijadikan teladan dalam hidup keseharian, karena di samping mengungkap tentang penyatuan Śiwatatwa dengan Buddhatatwa juga ada penekanan tentang kekuatan kutukan yang tidak terobati bagi seseorang yang durhaka kepada seorang pendeta (sulinggih). Juga penjelasan tentang konsep jati smara, yakni seseorang yang memahami perihal di masa dulu, kini, dan yang akan datang.
Demikian dapat disampaikan cara ketiga pengarang Bali abad XX-an ini, meresepsi konsep penyatuan Śiwa-Buddha yang bersumber dari Śiwagama, Nilacandra Parwa, dan yang lainnya sebagai hipogram karyanya.
4.3.1 Kreativitas
Penciptaan KN sebagai tanggapan pengarang (pangawi) terhadap karya sastra terdahulu, sepertinya Made Degung, I Wayan Mandra, dan I Wayan Pamit selaku pengarang KN telah membaca lebih dari satu karya sastra, terutama yang memuat konsep ajaran Śiwa-Buddha. Tanggapan terhadap teks Negarakertagama karya Mpu Prapanca (1287 Saka) sebagai bukti kreativitas pengarang dalam mewujudkan karyanya, sehingga dalam kakawin ciptaanya memunculkan konsep “Śiwa-Buddha”. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan adanya dua jabatan kerohanian, yakni Dharmadayaksa Kasogatan atau Boddhayaksa (pejabat yang mengurusi masalah agama Buddha). Sementara Saiwadhyaksa adalah para pemuja Śiwa. Konsep kehidupan keagamaan ini masih sangat relevan dihadirkan terutama di Bali, sebagaimana tersirat dalam KN.
Jika dilihat dari isi cerita KN, tampaknya pengarang juga mengambil sumber dari cerita Kuñjarakarṇa sebuah karya kakawin ciptaan Mpu Dusun sarat akan ajaran religius yang sangat penting dan sangat pantas dipelajari (Zoetmulder, 1985:475). Adanya keanekaragaman versi cerita menunjukkan betapa penerimaan masyarakat Jawa dan Bali terhadap sebuah cerita yang bersifat agama, sehingga penelitian sejarah teks dapat
Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra
memberikan sumbangan yang berarti pada penelitian perkembangan kebudayaan Jawa-Bali (Agastia, 1987:126). Dalam versi kakawin seperti yang terdapat dalam KN, konsep penyamaan dewa-dewa Hindu (Śiwa) dengan Pañca Tathagata yang ada dalam Kakawin Kuñjarakarṇa masih tetap dimunculkan. Demikian juga tentang dharma (kebenaran tertinggi) yang di dalam Kakawin Kuñjarakarṇa disebut sebagai Dharmakathana sangat ditonjolkan, kembali mendapat penekanan dalam KN.
Ketika masa gemilangnya kerajaan Hindu di Jawa Timur, banyak tercipta karya-karya susastra dari buah tangan para ahli sastra (Mpu), baik yang berbentuk kakawin maupun kidung yang mengandung ajaran
“bhinneka tunggal ika”, yaitu ajaran Śiwa-Buddha. Walaupun namanya berbeda, namun intinya satu. Untuk penyatuan ini ada disebutkan bahwa dengan lambang satu bendera bercorak dwi warna, yakni merah putih.
Merah mengandung makna Śiwa yang bersifat berani (kesatria), putih mengandung makna Buddha yang bersifat suci atau mengarah kepada hala- hal kependetaan (Sugriwa, 1952:32). Melihat betapa pentingnya peranan sastra di Bali, maka kehadiran KN dapat dikatakan sebagai pengekalan norma-norma yang telah ada. Secara politis kehadirannya sebagai alat untuk memperkokoh kerukunan agama Śiwa-Buddha yang hingga kini hidup berdampingan secara damai. Dilihat dari kehidupan agama Hindu-Buddha di Bali, kehadiran KN dapat dijadikan pedoman untuk selalu saling mengisi selamanya, karena keduanya memiliki hakikat “kebenaran tertinggi yang sama”.
Dengan demikian, adanya penciptaan sastra kakawin hingga awal abad XXI ini, dapat dipandang sebagai pembaca kreatif, mentransformasi, meresepsi karya-karya terdahulu dan sebagai hasil tanggapannya adalah lahirnya karya-karya baru dalam berbagai bentuk. Sepanjang karya itu memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat, maka penyalinan dan penciptaan naskah baru akan terus berlanjut, karena nilai-nilai karya sastra akan berguna sebagai pedoman dalam kehidupan keseharian.
Penciptaan KN oleh tiga orang pangawi Bali ini dipandang sebagai tanggapan mereka terhadap karya sastra terdahulu. Setidaknya mereka telah membaca lebih dari satu karya sastra yang memuat konsep ajaran Śiwa-Buddha. Sebagaimana dilukiskan dalam ketiga KN, ternyata konsep kehidupan keagamaan ini sangat relevan di Bali. Apabila hal itu dibaca, didiskusikan, dan ditafsirkan melalui pasantian, maka nilai filosofis Śiwa- Buddha dapat dipahami secara benar. Suatu ketika mungkin akan lahir karya
baru sebagai hasil kreativitas pembaca terhadap karya sastra sebelumnya.
Dari tiga orang pangawi KN, ada catatan penting yang perlu diketahui sebagai bentuk kreativitas pangawi sastra kakawin, yakni munculnya wirama baru yang bernama Purantara, dengan pola persajakan “23 suku kata, guru 7, laghu 15, gana 7, sesa 2 Lakara”. Sebagai bukti bahwa wirama ini ciptaan pengarang atau pangawi adalah adanya kalimat yang berbunyi:
“Purantara pakardin pangawi” artinya Wirama Purantara adalah ciptaan pengarang sendiri. Adanya ciptaan wirama baru yang dijumpai dalam KN1 ini tentunya sangat mengembirakan di kalangan pencinta sastra Jawa Kuna, khususnya kakawin sebagai salah satu bukti kemajuan dan perkembangan dalam “per-puisi-an” Jawa Kuna, yang dikemas begitu estetik. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.