KEBERADAAN KAKAWIN NILACANDRA
4.2 Deskripsi
4.2.1 KN1, karya Made Degung
Kakawin ini selesai digubah pada Jumat Paing Sinta pananggal ke- 13 tahun Śaka 1915 (1993 Masehi), oleh seorang kawi keturunan Brahmana bernama Made Degung asal Banjar Tengah, Sibetan Bebandem Karangasem Bali. Kakawin karya Made Degung dengan kode KN1 ini terdiri atas 44 jenis wirama dengan pengulangan wirama satu kali, sehingga berjumlah 45 pergantian (pasalinan) wirama dengan jumlah bait (pada) sebanyak 356 bait. Adapun wirama-wirama yang membentuk KN1 ini seperti tampak pada tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1 Jumlah Wirama KN1, Karya Made Degung Nomor
wirama Nama Wirama Jumlah Bait
I Úàrddhula Wikrìdhita 10
II Påthiwitala 11
III Mådhu Komala 9
IV Wiràt Nêgêp 8
V Purantara 5
VI Sragdhara 4
VII Wasantatilaka 14
VIII Praharsinì 13
IX Wikåtiwikàra 9
X Giriúa 11
XI Dhaódhaka 4
XII Úikariói 8
XIII Jaladharamala 29
XIV Úarddhula Lalita 14
XV Aúwalalita 4
XVI Indra Wangsa, Ardhdha Sama Matra 15
XVII Wiparitapatya 5
XVIII Singharùpa 5
XIX Madhugulàmåta 6
XX Mandàkrànta 11 (7-17)
XXI Suwangúapatra 3
XXII Surasa 7
XXIII Kamamala 8
XXIV Nandana 13
XXV Bhawacakra 10
XXVI Sarwwa Wipula 6
XXVII Waktra 6
XXVIII Wangúasthà 14
XXIX Harini Pluta 10
XXX Mågàngúa 6
XXXI Malini 3
XXXII Wàtormi 3
XXXIII Cyeni 2
XXXIV Wimàla 3
XXXV Kusumitalata 2
XXXVI Gitika 6
XXXVII Wìlalita 9
XXXVIII Suwadana 5
XXXIX Mattaraga 5
XL Wàsanti 15
XLI Indra Bajra 14
XLII Kumalaya Kusuma 16
XLIII Nàraca 3
XLIV Sumadhura 3
XLV Bhawacakra 3
Nama Wirama Bhawacakra yang semula menempati urutan XXV diulang penggunaannya pada akhir cerita, yakni XLV yang berfungsi sebagai epilog. Di antara 45 wirama yang dipakai, wirama XVI (Indra Wangsa) merupakan Wirama Ardha Sama Matra, karena letak guru-laghunya sama, sekaligus merupakan ciri dari jenis wirama yang dimaksud. Kemudian pada Wirama XIX (madhugulamṛta) dan XX (Mandakranta) terjadi kekeliruan penomoran bait yakni bait 1--6 pada Madhugulamrta sudah selesai, akan tetapi pada Mandakranta di bawahnya mestinya mulai dengan nomor 1-- 11, namun yang ditulis mulai nomor 7--17. Apakah ini merupakan faktor kesengajaan atau hanya kekhilafan, tentunya merupakan sebuah catatan yang penting. Di antara wirama (XIX:5) ini juga tertera kata laraning dharmma ‘sakitnya kebenaran’. Selain itu, terciptanya Wirama Purantara oleh pangawi sendiri tentunya sangat menggembirakan di kalangan pencinta sastra Jawa Kuna, khususnya kakawin. Hal ini sebagai salah satu bukti kemajuan dan perkembangan dalam “per-puisi-an” Jawa Kuna.
Dimulai dengan penjelasan manggala sebelum pengarang mulai memaparkan tokoh cerita (KN1, I:1-4). Kemudian (KN1, I:5) pengarang mulai menceritakan asal usul tokoh dimulai dari raja Dhumbajaya di negeri Pandhi, dengan putranya bernama Kuñjarakarṇa sebagai tokoh setengah dewa yang tekun memuja Hyang Werocana. Atas keberhasilan yang diraih Kuñjarakarṇa, kemudian diberi nama Andhasingha. Tinggal di sebuah
Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra
padepokan (pasraman), sampai akhirnya berhak pulang-pergi ke alam nirwana/surga (KN1, I:6). Dilanjutkan dengan cerita seorang penganut Buddha yakni adik sepupu Kuñjarakarṇa bernama Purṇawijaya anak dari Utarsa (mantan abdi Maharaja Pandu di kerajaan Naraja).
Cerita Nilacandra dimulai dengan pemaparan tokoh Nilacandra di negeri Naraja atau sering disebut Kendran (menyamai Indra Loka), yang telah berhasil akan segala ilmu pengetahuan tinggi dan dianugerahi oleh Hyang Werocana, sehingga kesaktian Nilacandra tidak ada yang menandingi di ketiga dunia (KN1, II:2). Diceritakan entah berapa lama Nilacandra bertahta di negeri Naraja dan berhasil meniru surga dan neraka. Dari segala isi surga dan neraka ditirunya termasuk terbit dan surupnya matahari. Kemudian Nilacandra mengundang Maharaja Yudhistira untuk berkenan hadir di kerajaan Naraja (KN1, II:3--11). Kehadiran Yudhistira, catur Pendawa, para istri, ipar, dan para punggawa kerajaan, telah memasuki kerajaan Naraja dan menyaksikan serba gemerlapan emas permata sangat indah bagaikan di alam surga. Nilacandra sedang dirias oleh kelima istrinya yaitu: Suryyawati, Bhanuwati, Nirawati, Sriwati, dan Dusawati lalu bersama-sama menghadap di sana (III:1--5). Rombongan Pandawa disambut Nilacandra dan kelima istrinya sambil bercengkrama menyaksikan keindahan Naraja. Pandawa beserta rombongan terasa kagum menyaksikan surga dan neraka yang ada di kerajaan Naraja (KN1, III:6--9).
Yudhistira mengingatkan Nilacandra bahwa hasrat untuk merdeka (maharddhika) harus berpegang pada budhi satwa, sempurna dalam yasa atau pengabdian yang tulus sehingga berjumpa dengan pahala guna.
Juga perihal ajaran Buddha. Nasihat Yudhistira itu kemudian diteruskan Nilacandra kepada seluruh rakyatnya (KN1, IV:1--6). Diceritakan kehidupan sehari-hari di negeri Naraja sangat baik, tenteram, sejahtera, aman dengan melaksanakan budhi satwa. Keadaan ini terdengar oleh Maharaja Kresna di Dwarawati. Kresna merasa iri (seakan tersaingi) atas semua itu, sehingga ingin menyelidiki kebenaran berita itu. Diutuslah dua orang kepercayaannya (Kertawarma dan Satyaki) untuk menyelidiki Naraja (KN1, IV:6--7).
Diceritakan dua orang utusan Maharaja Kresna dalam perjalanan menuju kerajaan Naraja. Setibanya di sana mereka menyaksikan dengan cermat sebagaimana kabar sebelumnya. Setelah menyaksikan kebenaran itu, mereka pun kembali ke Dwarawati dan melaporkan kepada Maharaja Kresna. Mendengar berita tersebut Kresna pun merasa terhina serta tersaingi keutamaannya, lalu merencanakan penyerangan ke negeri Naraja. Seluruh
balatentara, punggawa, dan kerabat Yadhu dikumpulkan berikut tunggangan masing-masing. Dengan senang hati para prajurit siap berlaga di medan perang (KN1, IV:8, V:1--5, VI:1--2).
Kresna dan Baladewa menghadap Yudhistira melaporkan perihal Nilacandra (KN1, VI:2), serta mohon izin untuk menyerang Naraja. Dengan arif bijaksana Yudhistira menyalahkan Kresna, karena menyerang orang yang tidak berdosa. Juga Bhima dan Arjuna tidak setuju akan rencana itu.
Kresna dinasihati Yusdistira secara panjang lebar (KN1, VII:1--14, VIII:1).
Maharaja Kresna bersikeras walau tidak diizinkan Yudhistira. Yudistira terdiam, sementara Bhima dan Arjuna melihat Kresna menaiki keretanya.
Catur Pandawa akhirnya mengikuti Kresna hanya untuk menonton perang tanding Maharaja Kresna dengan Maharaja Nilacandra (KN1, IX:1--2).
Prajurit Naraja penjaga daerah perbatasan melaporkan kedatangan musuh (KN1, IX:3). Nilacandra yang tengah dihadap para mantri dan punggawanya, segera memerintahkan para patihnya sekaligus untuk memimpin perang secara jantan karena Nilacandra mengetahui akan dirinya mampu menghidupkan orang mati sebelum saatnya mati. Para patih pun siap berlaga, sementara Nilacandra memasuki istana memberitahu kelima istrinya (IX:4--9, X:1--3). Di Astina, Yudhistira sangat bimbang memikirkan adik-adiknya (catur pandawa) yang tengah mengikuti Kresna. Maharaja Yudhistira pun akhirnya segera berangkat menyusul adik-adiknya (KN1, X:3d--7b). Sementara Nilacandra setelah dirias oleh kelima istrinya dengan baju kebesaran berperang yang dilengkapi senjata dan mengendarai kereta yang penuh dengan permata/manimaya (KN1, X:7b--11). Prajurit Kresna berhasil menghancurkan wilayah Naraja. Peperangan sedang berkecamuk, tidak sedikit korban di kedua belah pihak. Prajurit yang gugur dalam perang ada yang tembus perutnya, terpenggal kepalanya, jatuh ke jurang dan sebagainya. Catur Pandawa juga ikut berperang melawan Nilacandra hingga semuanya gugur. Kresna marah dan membabi buta menyerang Nilacandra (KN1, XI:1--4, XII:1--8, XIII:1--29).
Yudhistira menyaksikan keempat adiknya telah mati. Betapa belas kasih dan sakit hatinya menyaksikan semua itu. Yudhistira pun segera turun dari keretanya dan berperang melawan Nilacandra dengan senjata Kalimosadha yang sangat dahsyat itu (KN1, XV:1--4). Pada saat itu turunlah Hyang Werocana, seraya menasihati Nilacandra agar tidak berani kepada Yudhistira, karena leluhurnya masih kerabat atau abdi Maharaja Pandu. Di sini Nilacandra kembali dinasihati perihal ke-Buddha-an,
Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra
tatacara berperilaku baik berdasarkan dharma, dan sebagainya (KN1, XVI:1--15, XVII:1--5). Kemarahan Yudhistira pun belum reda. Namun akhirnya kembali insyaf seraya menasihati Nilacandra secara panjang lebar tentang berbagai kebenaran (KN1, XVIII:1--5, XIX:1--6, XX:7--17, XXI:1--3, XXII:1--7). Setelah semua balatentara Yadhu dan Wresniandaka dihidupkan, mereka pun akhirnya pulang (KN1, XXIII:1--2). Selanjutnya, Yudhistira menghidupkan prajurit Naraja. Kemudian Yudhistira dan Nilacandra kembali ke istana Naraja (KN1, XXIII:3-8). Setelah Yudhistira memberikan berbagai nasihat kepada Nilacandra, mereka bersama-sama pergi ke Pendawa diiringi para punggawa. Rombongan Yudhistira dan Nilacandra bertemu dengan para Pandawa di Astina, juga dengan Kresna, Satyaki, Kertawarmma, dan Baladewa. Terjadilah musyawarah besar, saling memaafkan, saling berdialog mengenai kebenaran Śiwa dan Buddha dan berbagai hal ilmu ketatanegaraan dan sebagainya (KN1, XXIV--LXIII).
Berakhir dengan kata sepakat untuk melaksanakan segala keputusan dan pulang menuju negerinya masing-masing dengan rasa aman, damai, dan tentram (KN1, XLIV--XLV).