STRUKTUR NARATIF KAKAWIN NILACANDRA
5.2 Struktur Naratif KN
5.2.3 Epilog
Epilog menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:234) berarti bagian penutup karya sastra yang fungsinya menyampaikan intisari atau manafsirkan maksud karya sastra itu oleh seorang aktor pada akhir cerita atau ungkapan peristiwa akhir yang menyelesaikan peristiwa induk. Dalam
Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra
karya sastra kākawin, epilog sering ditemukan keterangan mengenai penulis, tahun penulisan dan sebagainya, sebagaimana dijumpai dalam ketiga KN sebagai berikut.
Dalam KN1, informasi kepengarangan, yakni nama pengarang, waktu penulisan, dan asalnya dijumpai dalam epilog kākawin ini yang disampaikan pangawi sedemikian rupa, sehingga terkesan sesuatu yang baru, unik, dan menarik. Sungguh permainan kata-kata pilihan pengarang yang langka dan jarang dijumpai dalam karya puisi Jawa Kuna lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan KN1 (XLV:1-3) berikut.
1, nêenÓk*]iwbudÒklæ\rn&kkwintikinIlcnÑËpi;, wusÖoksÓËortusêrupk]smã¡ridinpitupU(wÙr&wuku, bËhßWÿrlimtiËeYÿd]im\nÓi]]iniriypU(xÂMÿp)nu;,
÷KÿnÓínêsMÿpÓni\Ù\nurtÐwiyyp\uAÿnieyriy>
2, m\ÐokÙikëmik)tÐQÿskrip(wÙcrittinTÿri\Unipi;, ednÜtênÓrieKÿtÓmnÓ¡turiKÿnÑdiytnikieDÿ;pËsidÒy, d)lÓnuæidÒmnUtekwlmdkËmnikiyypi;ss(b)2k/, gu*snÓwêris*m\(qkkwinåÛ\ikiyysirtnÀ¡Mÿsitn/>
3, kumÙornСhen*pn)nÑsnik*gxspdrimukÀetkih)n/, mÙ*etk*wihegkptÐtigkrÙkpisniriKÿsek\uri, ÁsÓ¡\ÐornulusÙinsÓÛniv`rs8lrhj%onik*jgt/, mÙ*mU(dÒpËan*sRÿtæampzé\yu[t)kn&pËjokeb;>0>
Transliterasinya:
1. Nyan tekang Úiwa Buddhakalpa ngaraning kākawin atiki Nìlacandra pih, wus súàkastrà ratu sya rupa kaúa sambu ri dina pitu pùrwwa ring wuku,
brahmà wàra lima tryodaúi manganti úaúini riya pùrónamà pênuh, ikàntyanya samàpta ningwang anurat kawi yaya pangudhàni ye riya.
2. Mangkà kwikyumikêt kathà sakari parwwa carita tinatà ringùni pih, denyàtyanta rikottaman tutur ikà nda niyata niki doh prasiddha ya, dêl tan siddha manùta kewala mada kramaniki yaya pih sasar bêlêk, gung santawya ri sang mangartha kākawin ngwang iki yaya sira tan humàsitan.
3. Kumwàranku haneng panêndasa nikang gaóa sapada ri mukha tekihên, mwang tekang wihage kapat katiga karwa kapisan irikà sakeng uri, astungkàra nulus winastwani bhaþara saphala rahajöng nikang jagat,
mwang mùrddha pradhanang saràt padha mapañjanga yuûa têkaning prajà kabeh.
Terjemahannya:
1. Inilah yang disebut Śiwa-Budhakalpa dan nama kākawin ini adalah Nilacandra, selesai pada tahun Saka 1915 (astra ratu sya rupa) sasih kasa wuku permulaan (Sinta), hari Jumat Paing pananggal ke-13 menjelang bulan penuh (purnama), pada saat itu hamba selesai menggubah kākawin semoga bermanfaat.
2. Kini hamba ini menggubah kata dari cerita parwa terdahulu, karena keutamaan ajaran itu namun karya ini sangat jauh dari kesempurnaan, seperti bingung tak bisa mengikuti hanya rasa mabuk dasarnya sebagai orang yang sangat hina, mohon maaf sebesar-besarnya kepada para pembaca kākawinku ini dan jangan mentertawakan.
3. Demikian namaku ada pada permulaan kelompok satu bait (gana sapada) di depan ini, dan beralamat pada suku kata keempat ketiga kedua kepertama di sana dari belakang, doa restu yang tulus atas anugerah Hyang Widhi dan berhasil demi keselamatan dunia ini, dan para pemimpin negara semoga panjang umur juga seluruh alam semesta.
Ketiga kutipan yang disampaikan secara estetik di atas, memakai wirama Bhawacakra yakni wirama XLV atau bagian akhir kākawin ini, Epilog dengan jumlah suku kata 23, guru 8, laghu 14. gana 7 sesa 2 bernama lakara. Jika jumlah gana 7, maka ada sisa dua suku terakhir dan suku kata yang terakhir itu mendapat laghu atau guru, artinya suaranya bisa pendek atau panjang karena suku kata tersebut mendapat guru dan laghu sekaligus.
Lakara artinya bila pembagian tiga suku kata, menyisisakan dua suku kata terakhir. Pengulangan satu jenis wirama (XXV) yang memiliki nada (rěng) Wirat ini, juga termasuk stilistik estetik unik, karena dari awal hingga akhir teks hanya wirama ini yang diulang. Sementara yang lainnya (43 wirama), ditempatkan pada posisinya masing-masing sesuai sifat dan karakternya.
Tiga bait epilog di atas merupakan informasi penting yang patut diketahui. Pada bait pertama (KN1, XLV:1), memberi keterangan tentang kapan karya ini selesai ditulis oleh pengarang. Tampaknya pengarang secara tegas menyampaikan lewat pilihan kata yang sarat akan stilistik estetik, bahwa karyanya bernama Śiwa-Buddha Kalpa yang digubah menjadi bentuk puisi Jawa Kuna, diberi nama KN. kākawin ini selesai digubah dua hari (pananggal ke-13) menjelang purnama, yakni Jumat Paing Sinta tahun Saka “astra ratu sya rupa” = 1915 Saka atau tahun 1993 Masehi. Karya yang semula ditulis di atas kertas folio, kini telah rampung disalin ke dalam
Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra
rontal dan disimpan di Geriya Kawan Sibetan Karangasem. dengan harapan bermanfaat bagi masyarakat pembaca.
Sementara pada bait kedua (KN1, XLV:2), dapat ditemukan keterangan mengenai nama pengarang dan sumber cerita. Pengarang menyebutkan sumber cerita kākawin ini adalah dari cerita parwa zaman dahulu (sakari parwwa carita tinata ringuni). Di sini beliau juga memberi alasan mengapa menulis karya sastra ini tiada lain karena bagian ini mengandung nasihat yang sungguh-sungguh utama (denyatyanta ri kottaman tutur ika). Kemudian di sini pula pengarang dengan rendah hati mengakui kalau karyanya jauh dari apa yang dikatakan sempurna (doh prasiddha ya, děl tan siddha manuta mada kraman iki yaya pih sasar bělěk). Melalui bait ini pula pengarang mohon maaf kepada pembaca dan senantiasa berharap supaya karyanya tidak ditertawakan (gung santawya ri sang mangartha kākawin ngwang iki yaya sira tan humasitan). Pengarang dengan sangat indahnya memasukkan namanya (Made Degung) pada suku kata pertama setiap baris, seperti: suku kata ma- pada kata mangka, suku kata de pada kata denyatyanta, suku kata dě pada kata děl, dan suku kata gung pada kelompok kata gung santawya, sehingga jika dirangkai akan membentuk kata Made Degung. Juga perihal asal pengarang tersurat dalam suku keempat, ketiga, kedua, dan pertama, yakni suku kata ring pada kata ringuni, suku kata si pada kata prasiddha ya, suku kata bě(t) pada kata bělěk, dan suku kata tan pada kata humasitan, sehingga membangun kata Sibetan.
Hal tersebut dijelaskan oleh bait berikutnya (KN1, XLV:3), dengan kata-kata yang mengandung daya stilistik tinggi, yakni Kumwaranku haneng paněndasa nikang gana sapada ri mukha tekihěn (Demikian namaku ada pada permulaan kelompok satu bait paling depan). Sementara asal pengarang dijelaskan oleh baris ke dua, yakni: mwang tekang wihage kapat katiga, karwa kapisan irika sakeng uri (dan tentang alamat ada pada suku kata keempat ketiga kedua dan pertama dari belakang). Dalam epilog ini pengarang juga senantiasa memohon maaf atas karyanya yang masih kurang (sasar bělěk) dan berharap agar Hyang Widhi selalu melimpahkan rahmat- Nya serta para pemimpin, alam semesta, dan seluruh isinya menjadi selamat.
Demikian penjelasan bait ketiga sebagai bait penutup dari keseluruhan bait karya ini, dapat disimak mengenai nama dan alamat pengarang secara implisit atau sangat tersembunyi dalam bait sebelumnya (KN1, XLV:2).
Walaupun hal itu ditulis secara tersembunyi, akan tetapi juga memberikan sandi pemecahan atau cara mencari nama serta alamatnya dalam satu bait
ketiga ini. Berdasarkan apa yang tersirat dari setiap kata terakhir bait kedua ini disebutkan bahwa beliau berasal dari Sibetan sebagaimana tersebut dalam kata ringuni pih, prasiddha ya, bělěk, dan humasitan. Secara lengkap alamatnya adalah dari Banjar Tengah Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Karangasem, Bali. Selanjutnya, dalam KN2 informasi nama pengarang dan kapan kākawin ini selesai digubah tersirat dalam kutipan KN2 (IX:18-19) berikut.
18. Akweh yan awuwusaknà pagantyani yugà sangara wkas ika, ring úabdha yuga-yugani sangharà bhawana kalpa yata tumuturên, mangkàna ingani katha Purwwagàmaúaúaóà glarana tinuladên, kekêt kdha muruka ngawi kàkawin in sang apakûa wiguóa wimudha.
19. Sàmapta hari Úiwa Raditya úoca ni madhangsmara úaúi kalima, pùrónà ni kalayu manêdhöng úakà kala sangang dhiri giha wulana, kûàmàkna kami ri sang asuddhi ngàmaca kalangwan iki tan i guóa, sàkûàt pangalila-lilaning manah sukêring àrtha lud ati wimudha.
Terjemahannya:
18. Banyak jika diceritakan pergantian zaman (yuga) serta kehancurannya di waktu silam, akan keberadaan setiap zaman terutama perihal kehancuran dunia diceritakan, demikian batas uraian cerita Purwāgamaśaśana semoga diikuti, disusun atas keinginan belajar mengarang kākawin dari hamba yang dungu ini.
19. Selesai dikarang pada Radite Kliwon Medangkungan sasih Kalima (November), bertepatan pada bulan purnama tahun Saka 1919 (1997 Masehi), maafkanlah diri hamba kepada yang berkenan membaca sajak (kākawin) yang serba kurang ini, bagaikan penghibur hati di saat kesulitan akan harta serta diselimuti kebodohan.
Dalam kutipan KN2 (IX:18) di atas, tersirat rasa rendah diri pengarang dengan kata wimudha ‘muda, dungu’, yang digunakan pengarang untuk melukiskan permohonan maaf atas keberaniannya mengubah sastra utama yang bersumber dari Purwāgama śaśana ke dalam bentuk kākawin yang berjudul KN. Hal seperti ini biasa dijumpai pada sebagian besar karya sastra kākawin. Istilah wimudha ‘muda, dungu’ ini diulangi kembali pada akhir bait kākawin ini. Tampaknya dalam bait ke-18 ini terdapat nama samaran pengarang yang sangat rahasia, dijumpai pada IX:18d yang berbunyi: kekêt kdha muruka ngawi kākawin in sang apakûa wiguóa wimudha ‘disusun atas keinginan belajar mengarang kākawin dari hamba yang dungu ini.
Berdasarkan makna yang terkandung dalam kata-kata sang apakûa wiguóa wimudha, menunjukkan nama samaran pengarang yang kalau dirangkai
Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra
dari belakang menjadi kata Gunaksa. Lengkapnya adalah Gunaksa Tutwan yang berarti seorang keturunan dari daerah Gunaksa Klungkung. Sementara nama aslinya adalah I Wayan Mandra, lahir pada tahun 1923 di Sukawati Gianyar. Dalam hidupnya selalu berkecimpung dalam dunia sastra Bali klasik, kolektor lontar, hingga tercipta sejumlah karya geguritan dan kakawin.
Selanjutnya, pada KN2 (IX:19) di atas menunjukkan bahwa KN2 karya I Wayan Mandra ini selesai ditulis pada Radite Kliwon Medangkungan Purnamaning Kalima (November) tahun Saka 1919 (1997 Masehi), yakni pada Sangang = 9, dhiri =1, giha =9, wulana =1. Bertepatan hari piodalan di Pura Dalem Balingkang, yang diyakini sebagai stana Śiwa-Buddha di Bali, terbukti adanya palinggih Ratu Ayu Sabandar (Kang Cing Wi) sebagai wujud Buddha, serta adanya bangunan meru tumpang tiga memiliki dua lawang (pintu) pada area Ratu Bujangga. Di samping itu, melalui bait terakhir ini pengarang juga minta maaf kepada yang berkenan membaca karyanya yang disadari memiliki banyak kekurangan. Ditegaskan bahwa terciptanya kākawin ini diawali dengan tujuan untuk menghibur diri pengarang ketika tertimpa kesulitan akan harta dan selalu diselimuti kebodohan.
Sementara dalam KN3, pengarang secara jelas memberi keterangan pada bagian akhir teks, yang menyebutkan bahwa kākawin gubahannya bernama KN, selesai dikarang pada Tumpek Wariga (Sabtu Kliwon), pangelong ke-8, sasih ke-9 (bulan Kasanga atau sekitar Maret), tepatnya tanggal 21 Maret 1998, berbunyi: Iti kākawin Nilacandra, samapta. Wus rinipta ri rahina tumpêk Wariga, pang 8, sasih 9.