KEBERADAAN KAKAWIN NILACANDRA
B. Transliterasi
4.3.2 Estetik-religius
Filsafat estetika dalam sastra Bali klasik, pernah dibicarakan oleh P.J.
Zoutmulder dalam bukunya yang berjudul Kalangwan (1984), sebuah istilah dalam bahasa Jawa Kuna yang berarti “keindahan”, sebagaimana digunakan dalam karya sastra kakawin maupun parwa. Zoutmulder menyampaikan pokok-pokok estetika dalam kakawin Jawa Kuna, antara lain: (a) Sang Kawi memulai karyanya dengan menyembah Dewa pilihan (istadewata), yang dipujanya sebagai Dewa Keindahan, yang menjadi asal dan tujuan segala “keindahan”, dan yang menjelma di dalam segala sesuatu yang indah (langö); (b) Persatuan dengan Dewa Keindahan merupakan sarana dan tujuan yang membuat diri sang kawi alung langö (bertunas keindahan), yang kemudian diharapkan berhasil menciptakan karya yang indah (kalangwan), yakni kakawin. Menunggalnya dengan Dewa dan mencipta keindahan itu sang kawi berharap akan mencapai kalepasan (mokṣa). Kakawin dijadikan candi aksara, tempat bersemayam bagi Dewa Keindahan dan silunglung, bekal kematian bagi sang kawi. (c) Persatuan dengan Dewa Keindahan dan penciptaan kakawin merupakan yoga yang khas bagi sang kawi, yaitu yoga keindahan dan yoga sastra. Dewa Keindahan, sebagai yang mutlak dalam niskala (alam gaib), berkat samadi sang kawi, berkenan turun dan bersemayam di alam sakala-niskala, di atas padma, di dalam hati atau jiwa
Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra
sang kawi. Keadaan itu membuat sang kawi dapat berhubungan dengan Dewa yang tampak dalam alam sakala dalam segala sesuatu yang indah.
Dalam rangka yoga itu kakawin adalah yantra-nya; (d) Untuk menemukan Dewa Keindahan yang menjelma di alam sakala itu, sang kawi mengembara, menjelajah gunung dan pantai, hutan dan patirtan sambil melakukan tapa brata; (e) Keindahan yang ditemukan sang kawi dalam alam terbayang dalam berbagai peristiwa yang dilukiskan dalam karyanya, seperti dalam peristiwa peperangan, percintaan, kecantikan wanita, dan sebagainya;
(f) Alam dan manusia menjadi satu alam keindahan. Berhadapan dengan alam yang begitu indah (alangö), sang kawi sebagai pencinta keindahan (mangö), terpesona, terserap seluruhnya dan tenggelam dalam objek yang dipandangnya; (g) Sang kawi dapat menahan nafsu, godaan, dan telah mencapai tahap dhyana dan darana bahkan samadi (h) Dewa yang dipuja sang kawi menjelma pula pada sang raja yang menjadi patron sang kawi.
Dengan memuja kemasyhuran (yasa) sang raja, sang kawi pun berbuat jasa (yasa), dan kakawin yang dibuatnya merupakan menumen (yasa) yang mengabadikan nama raja dan nama sang kawi.
Ida Wayan Oka Granoka seperti tertera dalam majalah Cintamani (2002, 50-52), menyatakan “seni sebagai ritus”. Beliau memandang bahwa seni dan agama identik, yang dalam pandangan Barat dipisahkan. Tetapi dalam tradisi di Bali memandang seni adalah agama dan agama adalah seni.
Aktivitas beragama adalah aktivitas berkesenian. Juga sebaliknya, aktivitas berkesenian dalam arti sebenarnya adalah aktivitas keagamaan. Tuhan dikatakan berwujud kecerdasan (Cit) yang ada pada setiap manusia. Seni apa pun jenisnya adalah ritus, yakni sebuah yajña. Oleh karena ritus, seni adalah suatu yang sakral dan berfungsi sebagai pangruwatan.
Estetika memiliki dua wilayah pemahaman, yaitu: a) estetika tradisional, yang sering disebut sebagai estetika filsafati, dan b) estetika modern, yakni estetika ilmiah yang meliputi pemahaman intelektual, melibatkan ilmu bantu yang relevan. Tujuan pengetahuan indrawi adalah keindahan, yakni estetika. Pada umumnya keindahan terkandung dalam alam dan karya sastra, seperti keindahan sastra KN. Meskipun demikian, dalam pengertian yang sesungguhnya, keindahan lebih difokuskan pada karya seni, dengan standar nilai yang menyertainya (Ratna, 2007:25).
Sejumlah pernyataan estetika di atas menunjukkan bahwa: (a) Estetika sesungguhnya mencakup pengertian keindahan, kemampuan, perasaan, dan cita rasa. Keindahan adalah sebuah nilai, senantiasa berkaitan dengan isi, yakni yang membuat sesuatu itu berharga. Jadi, estetika sama kedudukannya
dengan aksiologi; (b) Estetika itu berada pada tingkatan supra teks. Berawal dari peran aksara sebagai “mahkota budaya”. Seni itu digetarkan melalui prana, yaitu aksara sebagai stana Tuhan sehingga dikenal dalam tradisi Bali bahwa aksara itu adalah wahana Sanghyang Aji Saraśwatī dan sangat disucikan dan harus dikontemplamasikan secara sadar dan suntuk dalam setiap aktivitas berkesenian, termasuk dalam seni sastra (kakawin). Sebagai supra teks, teks itu penting sebagai pangkal berkembangnya satyam, namun jangan berhenti pada teks, harus dikembangkan kepada supra teks, yaitu pengalaman estetik, spritual dan mistik; (c) Keindahan alam adalah keindahan abadi, maka seorang wiku (siddha-jñana) sang kawi senantiasa menjaga kesucian pikiran (suddha-jñana), maka beliau pun mencari tempat- tempat suci dan kawasan suci yang tiada lain adalah samudra luas dan gunung yang tinggi. Di tempat yang indah itulah sang kawi atau kawi-wiku membangun pondok sastra (payasan, pathani) sekaligus melakukan yoga sastra, dan lahirlah mahakawia (kakawin, parwa, kidung, geguritan).
KN merupakan karya sastra klasik yang bersifat religius, yakni sebuah sifat yang sering disebut “the great model” (sastra sebagai alat pemujaan kepada Zat Yang Tertinggi). Mangunwijaya (1982:17) mengatakan bahwa sebagai manusia religius, ada sesuatu yang di hatinya bersifat “kramat, suci, kudus, adikodrati”. Sebagai karya yang bersifat religious, KN merupakan cerita kesusilaan yang mengandung estetik-religius telah berkembang menjadi cerita panjang lebar dengan filsafat keagamaan, tetapi sekaligus dihiasi dengan kisah peperangan, perang tanding, dan lain-lain terutama filsafat kebenaran mengenai hakikat “Śiwa dan Buddha”.
Seperti halnya dengan penyair-penyair Jawa kuna pada umumnya, pengarang (pangawi) KN pun mengawali cipta sastranya dengan doa
“Awighnamāstu”, yakni sepatah doa yang senantiasa mempertebal dharma baktinya sebagai seorang pangawi. Hal ini mengingatkan pada Kakawin Singhalangghyala (I:1a), yang menyebutkan bahwa dharma yang ikhlas selalu menghendaki dunia sejahtera, damai, dan selamat sebagai buah bakti dan persujudan sang kawi yang tulus ikhlas kepada Bhatara Śiwa-Buddha (panghyang ningwang i jong bhatara Śiwa-Buddha), yakni jiwanya alam semesta (sira pinaka jiwaning praja).
Di Bali, kegiatan olah sastra Bali (termasuk Jawa Kuna) tidak semata-mata bersifat susastra (belles letters), tetapi juga berkaitan erat dengan kepercayaan, adat-istiadat, upacara-upacara ritual, hukum magis, maupun kehidupan sosial budaya masyarakat sebagai satu ciri yang mencerminkan kehidupan masyarakat Bali yang begitu kompleks. Sejarah
Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra
telah membuktikan bahwa berbagai nilai yang kini hidup di Bali, merupakan campuran dari agama Hindu dan berbagai aliran kepercayaan yang pernah hidup di Bali sejak dulu. Agama dan kepercayaan yang dimaksud antara lain Buddha Māhāyaṇa pada abad VIII; Śiwaisme yang kuat pada abad IX; dan pengaruh yang paling besar datang dari agama Hindu Jawa, yakni setelah Bali ditaklukkan dan dikuasai oleh kerajaan Majapahit pada abad XIV (Suastika, 1987/1988:69).
Estetik-religius menempati prioritas tertinggi dalam KN. Hal ini ter- lihat pada bagian manggala KN1 (I:4a) sebagai sebuah tujuan pengakuan penyair, yakni untuk kebahagiaan dunia dengan amal kebenaran seba- gai mitranya (amrih swastha jagaddhita pwa ya sadharmma prasrayeng lokika). Dengan niat dan tujuan suci yang amat mulia itu, penyair berhasil mencipta sebuah karya sastra yang disebutnya sebagai “candi aksara” (an- gripta mrakṛtākṣarā) berdasarkan guru-laghu sebagai persyaratan sebuah kakawin. Pada awal ciptaannya, penyair memulai dengan aksara “Ong” yang diikuti dengan kata Sryadhyapaka yang berarti ‘Saraśwatī sebagai Dewi Keindahan’. Hal ini membuktikan betapa rasa bakti penyair kepada Tuhan dengan menempatkan aksara suci simbol Ida Hyang Widhi Wasa pada awal bait ciptaannya. Kemudian pikiran sucinya terpusat kepada Dewi Keindahan (Saraśwatī) sebagai istadewata atau dewa pujaanya dan senantiasa menyem- bah di kaki-Nya, dengan harapan dianugerahi rasa indah (mangö).
Dalam perspektif budaya dan masyarakat Bali, pembacaan teks-teks Jawa Kuna seperti kakawin yang berupa lontar lebih dipandang sebagai suatu yang suci, arkais, dan sakral religius. Dengan kata lain, seorang yang akan terjun ke dunia “nyastra” dituntut memiliki pengetahuan moral- spiritual dan religius yang memadai serta wajib disucikan (diinisiasi) secara lahir bathin. Setidaknya telah diupacarai pawintenan alit (tingkat upacara ritual/penyucian yang paling sederhana). Di samping itu, seorang yang telah mendalami lontar seyogianya mampu mengendalikan diri, terutama dalam menjalankan brata dengan sejumlah pantangan untuk sebuah keberhasilan.
Pentingnya upacara pawintenan dilaksanakan karena dalam konsepsi masyarakat Bali memandang aksara Bali (termasuk aneka tifografi yang dikenal) merupakan perwujudan Dewi Saraśwatī, yakni personifikasi Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam manifestasi dan fungsi-Nya sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan. Berkenaan dengan itu, umat Hindu merayakan hari suci Saraśwatī pada Sabtu Umanis Watugunung yang datangnya setiap 210 hari. Upacara khusus ini sebagai rasa sujud dan bakti kepada-Nya atas rakhmat yang dilimpahkan berupa pengetahuan suci, yang
pada hakikatnya menuntun umatnya ke jalan dharma penuh kedamaian, sejahtera lahir-batin (jagaddhita).
Setiap karya sastra kakawin sebutan Dewa Pujaan dari setiap rakawi akan berbeda, tetapi pada prinsipnya memuja Dewi Keindahan, dengan harapan Dewi Keindahan bersemayam pada padma hati sang pujangga. Setelah Dewi Keindahan bersemayam dalam padma hati melalui samgamayoga menyatukan keindahan abadi dalam batin sang kawi, akan terlahir candi pustaka atau karya sastra yang utama. Pada KN1 (I:1) misalnya, dapat diketahui doa pujian yang ditujukan kepada Dewi Keindahan (Wagiswari atau Saraśwatī) yang dinyatakan dengan kata- kata: Sri Adhya (Saraśwatī) Gharini padmayoni (sakti Dewa Brahma), widya murtti (penjelmaan ilmu pengetahuan), sakala sarira (berwujud nyata dan sempurna), Sri prasiddhaksara (puncak aksara). Kata-kata tersebut mengacu pada Dewi Keindahan yakni Dewi Saraśwatī, yang juga dihadirkan sebagai Dewi Keindahan. Dalam bahasa Sanskerta “Saraśwatī”
dapat bermakna ‘sesuatu yang mengalir, percakapan, kata-kata’. Dalam kitab suci Weda, “Saraśwatī” dinyatakan sebagai nama sungai dan dewa.
Kemudian “Saraśwatī” dikenal sebagai sakti Dewa Brahma atau sebagai Dewi Kata-kata atau Dewi Ilmu Pengetahuan (Agastia, 1987:35). Pada uraian di atas telah disebut juga sebagai Dewi Keindahan, sakti Brahma, Dewi Ilmu Pengetahuan, dan wahana, jiwa, dan lingga-nya aksara. Pada bait itu pengarang juga menganggap-Nya sebagai ayah ibu (satsat pwa bapebu) yang senantiasa menasihati baik-buruk dalam berperilaku (najara ri dharmma-dharmma sila krama).
Selanjutnya, dalam KN1 (X:3) dilukiskan bahwa kecantikan kelima istri Nilacandra bagaikan keindahan yang muncul pada masa kartika, kacatur, kapat atau sekitar Oktober (manise tisaya saksat laksmi ning masa kacatur), ketika bunga-bunga bermekaran dengan bau harum semerbak dengan hujan gerimis yang jatuh dari langit, hingga dewa Wisnu pun sangat tertarik untuk turun ke dunia. Masa kartika dapat membangun “rasa” di hati sang kawi, sehingga dapat menikmati rasa rahasya yang menjadi dambaannya. Perpaduan antara bentuk dan isi yang selaras dan serasi telah mewujudkan KN sebagai hasil karya sastra klasik yang unggul, sarat akan nilai dan filsafat estetika (kebenaran, kebaikan, dan keindahan).
Hampir setiap bentuk upacara yajña di Bali, terdapat kegiatan pembacaan kakawin, kidung, dan geguritan. Biasanya sebelum memulai membaca teks suci tersebut, didahului dengan menghaturkan banten pejati sebagai permohonan agar dalam pembacaan nantinya tidak terjadi kekeliruan
Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra
dan terhindar dari marabahaya. Pentingnya prosesi pembacaan teks kakawin dalam mengiringi upacara keagamaan, karena di dalamnya sarat akan nilai estetik-religius sebagai bentuk yajña yang paling utama. Amanat yang tertuang dalam sastra kakawin, menyiratkan sebuah penghargaan terhadap keluhuran budi, kesusilaan, kerelaan berkorban, pengabdian yang ikhlas hingga keteguhan hati dalam menegakkan kebenaran di atas rel dharma.
Tegaknya moral dan menangnya kebenaran adalah ciri pokok karya-karya sastra Bali klasik yang merupakan landasan penting bagi pemekaran nilai-nilai religiusitas (Agastia, 1994:56--57). Di samping itu, akan dapat memberikan kemantapan kesan dengan srada bakti yang tulus ikhlas agar upacara yang disampaikan lebih menemui harapan pemuja, termasuk pula memberikan kekuatan dan penerangan bagi yang sedang diupacarai (Suastika, 1985:191).
Jika diperhatikan penggunaan kata yoni (KN1, I:1a) dan lingga (KN1, I:1c), menunjukkan betapa penyair memuja Dewi Saraśwatī (Dewi Keindahan) berkedudukan sebagai yoni atau sakti Brahma yang sangat bijaksana sebagai sumber ilmu pengetahuan di dunia ini. Kemudian sebutan kata lingga, menunjukkan kedudukan Brahma selaku pencipta semesta alam, yang juga senantiasa dihajap dan dipuja penyair sehingga berkenan secara nyata bersemayam di setiap aksara. Konsep lingga-yoni, diibaratkan sebagai ayah-ibu (saksat pwa bapebu) yang memberi tuntunan terhadap karya kakawin untuk kebahagiaan dunia (amrih swastha jagaddhita) dan mencapai mokṣa atau mokṣa phala (KN1, I:2a). Menurut keterangan yang terdapat pada wirama awal (KN1, I:7d, 8a, 9ab) adalah pernyataan penyair sendiri, bahwasannya Nilacandra sebelumnya bernama Purṇawijaya, seorang raja yang sangat gemar dengan wanita, dan selalu diselimuti sifat rajah dan tamah (kaliput dening hyun rajah mwang tamah). Dengan perilaku itu berakibat menderita sakit yang sulit disembuhkan (sakit prana).
Berkat nasihat kakak sepupunya (Kuñjarakarṇa) yang membimbing ke arah dharma, maka Nilacandra berubah menjadi seorang penyabar, suka kedamaian (santika), tekun beryoga, berpikiran suci, tidak lagi terpengaruh oleh sifat panca indria (ta ya wantěn ring kapañcendriyan), serta senantiasa mengamalkan ajaran dharma dan disegani seluruh rakyat di Naraja.
Dalam KN2 (I:1-2) diawali dengan sebutan Hyang Widhi yang bersifat gaib (Sanghyang hyang ing acintya) dalam mengungkapkan rasa religius pengarang, tersusun demikian apik dan estetiknya. Disebutkan bahwa Hyang Widhi adalah Mahakuasa dan memenuhi semesta alam (pàrama sirà ganal alit inucap mahàtmika). Sifat-sifat Tuhan ini dikatakan senantiasa dihajap
dalam yoga sang dwijati/pendeta (yoga pinrihan i paódhita) untuk menyebut kemuliaan Hyang Buddha dan Hyang Śiwa (winuwus i Buddha Úiwa Ya). Ia juga disebut Hyang Triwikrama oleh pemuja Wisnu yang maha sakti sebagai penyelamat dunia (Triwikràma sirà Hyang Àri ya wiúeûa maka úaraóaning jagàddhita). Ia juga dikatakan sebagai manifestasi delapan dewata yang dipuja dalam wujud Tri Purusa (tunggàning Hyang Aûþa Dewata inàûþuti siniwi sirà Tri Pùruûa), yakni Śiwa, Sadaśiwa, dan Paramaśiwa. Hal ini mencerminkan betapa pengarang dengan daya estetiknya, mampu memilah dan menyusun sejumlah kata-kata yang memiliki kekuatan makna religius.
Dengan menghajap dan memuja kemahakuasaan Hyang Śiwa, Wisnu, dan Buddha lewat ungkapan ketekunan yoga yang dilakukan sang dwijati, pengarang berhasil menyusun sebuah sastra kakawin yang bersumber dari Purwāgama śaśana (mekêt kakawin sakàri tumulara aji Agama Pùrwwaúàúaóa). Pengarang juga senantiasa memohon agar terhindar dari segala kutuk samadi (luputà nghuluniki tulahing pamadhyana), selain untuk keselamatan para pembaca dan pendengar kakawin ini.
Sementara dalam KN3 (I:1-4) pengarang secara langsung menjelaskan kemuliaan Hyang Buddha (Hyang Mantranāyā yatika maka hawan mottamā Buddhayāna). Hyang Matrayana atau Buddha Māhāyaṇa, selanjutnya dinyatakan sebagai Sri Sakyamuni sebagai nama Hyang Buddha yang sekarang. Keutamaan ajaran Hyang Matrayana (Sri sakyamuni, Buddha Māhāyaṇa) ini mesti diyakini oleh penganut Buddha, untuk menghilangkan segala kesengsaraan di dunia (kawnanga hangilangana kleśa wighnā kabehan), sebagaimana dilukiskan melalui tokoh Nilacandra. Hal ini juga membuktikan betapa pengarang KN3 mampu mengkemas ajaran Buddha Māhāyaṇa ke dalam sebuah karya sastra kakawin dengan begitu estetik dan sarat akan nilai religius (keagamaan: Śiwa-Buddha). Dua tokoh utama yang digambarkan oleh ketiga pengarang KN lewat tokoh Maharaja Yudhistira dan Maharaja Nilacandra, merupakan dua sosok pemimpin (Śiwa-Buddha) yang bersifat religius dan sangat dikagumi oleh rakyatnya. Keduanya memiliki karisma sebagai seorang pemimpin negeri, mengayomi rakyat kecil, sangat disegani rakyatnya, dan menjadi teladan dalam setiap langkah perilaku manusia.