• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR NARATIF KAKAWIN NILACANDRA

5.3 Struktur Formal KN

5.3.4 Latar

Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra

berstana di hati Nilacandra kepada Yudhistira sebagai wujud Hyang Dharma atau Śiwa Guru, bukan berarti Śiwa (Yudhistira) berarti lebih tinggi dari Buddha, akan tetapi sesungguhnya satu atau tunggal hanya beda nama atau sebutan-Nya. Hal ini mengingatkan pada isi teks Śiwagama, kisah ketika Bhatara Guru berada di tataran Sadaśiwa memilah wujud-Nya menjadi dua, yakni ajaran Śiwatatwa dan Buddhatatwa. Paham Śiwa memuja kebesaran Dewa Śiwa sebagai tujuan akhir, sedangkan paham Buddha memuja kebesaran Dewa Buddha sebagai tujuan akhir. Ibarat sebilah keris yang terdiri dari dua bagian yang sama, namun bermuara pada satu ujung yang sama.

Terjemahannya:

8. Kini bernama Nilacandra yang suka akan kedamaian dan penyabar, bagaikan sorga keutamaan istananya yang tiada bandingannya, juga dalam menuntut ilmu seperti orang di zaman silam perilakunya di dunia, kesucian pikirannya tiada diliputi sifat panca indra.

8. Purihnya pinutêr nikang sênayu kañcanen dêrlanà, puwih padha winuntalan manimayà tiyojwalà sinang, nda windu niki tocapên tapa ri maódhalanyeku wih, catur daúi lêbarnya pañca daúi panglarinye kihan.

Terjemahannya:

8. Dengan memutar senayu emas yang dasarnya bulat, berwarna putih dihiasi permata yang bercahaya gemerlapan, bentuk bulat ini diumpamakan wilayah pertapaan, empat belas meter? lebarnya dan lima belas meter? panjangnya.

8. Yuktyanggyat ri sireki wismaya tumon purihnya ri kana,

moghà rês paricàrikanya kumêtêr takut samudaya, tonton piódhani wong rike naraka loka yeka kalaran, nityekà kinêlan rike kawah i tambra gomuka tuwin.

Terjemahannya:

8. Sungguh terkejut ketika secara jelas menyaksikan segala hal di sana, sehingga semua dayang ketakutan dan sekujur tubuhnya gemetar, menyaksikan manusia buatan di Neraka Loka tengah kesedihan, senantiasa direbus di kawah Tambra Gohmuka nampaknya.

1. Úighran datang pwa ri Gajahwaya nàtha karwa, tandwo masuk ya ri dalêm pura Hastinendra, ngkà Pañca Paódhawa katon kahadhang makàla, harûà gunêm prasama sànak iran padhà tùt.

Terjemahannya:

1. Sungguh terkejut ketika secara jelas menyaksikan segala hal di sana, sehingga semua dayang ketakutan dan sekujur tubuhnya gemetar, menyaksikan manusia buatan di Neraka Loka tengah kesedihan, senantiasa direbus di kawah Tambra Gohmuka nampaknya.

3. Ta pwa mahàtri tawan jarahan pan ike kawawe nåpa Dharmmawangsa tah,

jrih prasamà rês ikang bala sang prabhu Nàraja yà kêtêran layù pwa sar, tan wruhi bhàya gêlis padha yo mêgiling pasabhàn prabhu Nàraje kihan, tandwa masùki dalêm puraho saha hosyanajar pracaleng tuhan mujar.

4. Nà kahadang sira Nàraja nàtha tinangkili taódha nirà gunêm-gunêm, yeka makàdi sirang mapatih kacatur sang Anàmaga ne katunggal, karwa patih Sibhayeka tiga Armadaweka kapat mapatih si Weûóuka, kapwa wineh pawarah sira de nira Nàaraja nàtha kabuddhi satwikan.

Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra Terjemahannya:

3. Semua ditawan hingga menjerit karena masih wilayah sang Dharmaputra, ketakutan seluruh rakyat prabu Naraja dan berlarian tak tentu arah, tak tahu kedatangan bahaya lalu segera menghadap di balairung raja Naraja, kemudian memasuki istana dan terengah-engah menyampaikan kepada junjungannya.

4. Kebetulan saat itu raja Naraja di hadap para mantri bermusyawarah, seperti empat orang patih yakni sang Anamaga yang pertama, yang kedua adalah patih Sibhaya yang ketiga Armadawa yang keempat patih Wesnuka, semua diberi nasihat oleh prabu Naraja tentang ajaran budhisatwa.

4. Muwah iki numasö sibåtyàdhikàrà ng sake Pandi deúà tulung sang patih pat lumangkung mawàhwàh gatinyànêrêng sang Yadhu, ginåk iki cinacah ri ngastà linindih dinukta pwa siddhà pulih sang Yadhu pweki rêmpuh rubuh sàk kawês pwàlayù tan tahên, makina tisaya Kåûóa lan Karûana krodha ton siróna kapwaki Wåûóyandakà sor gêlis Kåûóa mangsö tumandang patih Weûóuka, pwa Aladhara tumandangi hru ki rakryan patih sang Ghanekàsru kapwà pulih krura muntab sirà ngadbhutàkên kalih ring raóa.

Terjemahannya:

4. Dan kini penyerangan prajurit dipilih dari desa Pandi menolong keempat patih dan seperti banjir saat menyerang para Yadhu, disergap dicincang dengan tangan dan diserang habis-habisan warga Yadhu yang mengadakan pembalasan hingga remuk berjatuhan dan lari ketakutan tak tertahankan, semakin marah sang Kresna Baladewa setelah menyaksikan terdesaknya warga Wresni (akhirnya) Kresna segera menyerang patih Wesnuka juga sang Baladewa menjerit dengan garangnya membalas bagaikan Hyang Gni menyerang patih Ghaneka (dan) sangat mengagumkan beliau berdua di medan perang.

Sejumlah bait di atas, adalah bait-bait yang mendukung penggambaran latar dalam KN. Kutipan KN1 (I:8) menjelaskan antara lain latar tempat seperti Kendran (ke-Indra-an: Indra loka). Juga menjelaskan mengenai latar sosial seperti keadaan tokoh yang selalu dalam keadaan damai (àtyanta ring úàntika), keberhasilan dalam menuntut ilmu kesunyataan (utsāhengaji), dan pikirannya telah lepas dari ikatan panca indra atau keinginan nafsu duniawi (…ta ya wantên ring kapañcendriyan). Kutipan KN1 (II:8) menjelaskan mengenai latar tempat yang berbentuk bulatan yang radius panasnya mencapai ukuran 40x50 (catur daúi lêbarnya pañca daúi panglarinye kihan). Kutipan KN1 (III:8), melukiskan latar tempat dan juga latar sosial yakni penggambaran tempat naraka loka atau kawah naraka yang ditiru Nilacandra. Di tempat ini terlihat suasana roh-roh yang tersiksa di sebuah kawah Tambra Gohmuka (sebuah kuali besar berbentuk kepala

kerbau, diperuntukkan bagi roh orang-orang yang banyak berbuat dosa semasa hidupnya, sehingga rohnya direbus di dalam kawah yang mendidih.

Keadaan ini menyebabkan orang ketakutan dan ngeri melihatnya.

Kutipan KN1 (VII:1) ini juga melukiskan latar tempat dan latar sosial.

Latar tempat yakni ada disebutkan wilayah kerajaan Gajahwaya sama dengan wilayah Astina, yakni wilayah kerajaan Pandawa. Latar sosialnya adalah salah satu sistem adat kebiasaan di kerajaan Astina yakni musyawarah antara kerabat keluarga Pandawa dalam memecahkan/menyelesaikan suatu masalah yang diikuti seluruh kerabat kerajaan (harûà gunêm prasama sànak iran padhà tùt). Sementara kutipan KN1 (IX:3-4), menggambarkan latar sosial yaitu suasana ketika balatentara Nilacandra terpukul mundur dan cerai-berai. Kemudian menghadap raja Nilacandra sambil menahan rasa sakit, takut dan dengan nafas terengah-engah melapor kepada Nilacandra.

Pada saat itu kebetulan Nilacandra sedang dihadap oleh keempat patihnya, yakni Anamaga, Sibhaya, Armadawa dan Wesnuka akan bermusyawarah.

Saat itu kebetulan Nilacandra memberi nasihat kepada seluruh rakyatnya tentang kebajikan yang harus dilakukan.

Selanjutnya kutipan KN1 (XI:4), (lih. juga KN2, IV:7,21; KN3, VI:1- 13) menggambarkan latar sosial yakni suasana perang yang pada mulanya balatentara Naraja sempat dipukul mundur. Namun, di perbatasan desa wilayah Naraja pihak Yadhu diserang oleh para patih andalan bagaikan air bah datang menyerbu dan mencincang prajurit Yadhu. Keadaan telah berbalik, kini tentara Yadhu dapat dihancurkan dan cerai berai, berlari tanpa arah. Menyaksikan hal itu, Kresna Baladewa segera maju menyerang Patih Wesnuka dan menghadang segala panah sakti mereka. Bhima dan Arjuna pun ikut serta di dalamnya. Baladewa berperang dengan Patih Gana, Kresna dengan Wesnuka, Bhima dengan Madawa, dan Arjuna dengan Patih Bhaya. Perang berkecamuk amat dahsyat dan menakjubkan, karena Baladewa beralih rupa menjadi naga besar mengeluarkan api yang berbisa.

Kresna berwujud Wisnu Murti seakan menghancurkan semesta alam, Bhima menjadi gajah besar menerjang dengan ganas setiap yang mendekat, dan Arjuna tiada henti melepas panah-panah saktinya. Peperangan kedua pasukan itu tampak sama-sama tangguh karena memiliki kekuatan kesatria yang imbang.

BAB VI

WACANA ŚIWA-BUDDHA

Dalam dokumen Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra (Halaman 140-144)