• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pranamatra (Surya-Candramurti)

Dalam dokumen Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra (Halaman 151-155)

WACANA ŚIWA-BUDDHA DALAM TEKS NILACANDRA

6.2 Aṣṭa Mūrtti Úiwa

6.2.2 Pranamatra (Surya-Candramurti)

cermin perilaku sombong manusia yang mesti dihukum atas kekeliruannya menjalani dharma agama.

Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra

(kadya dyun mesi banu, bhattara kadi Surya haneng akasa). Surya-candra, air tempayan yang jernih dan suci adalah kata kunci dalam meyakini adanya Tuhan Yang Kuasa. Dengan demikian, kaitannya dengan Aṣṭa Mūrtti Śiwa, maka Surya-Candramurti berada di bawah Yajamana atau Prajñamatra, dan di atas Pañca Māha Bhūta atau Bhūta Mātra. Di samping sebagai saksi agung jagatraya, Surya-Candra adalah sumber prana, tenaga yang memberi kehidupan (amerta). Oleh karena itu, pemujaan kepada Hyang Candra saat Purnama dan Hyang Surya (Śiwa Aditya) pada setiap Tilem, terlebih saat gerhana bulan dan matahari menjadi penting bagi penganut Śiwa-Buddha).

Ungkapan surya-candra sebagai warna kuda Yudhistira dan Nilacandra serta perjalanannya, tampak pada kutipan KN1 (XXIV:9-10) berikut.

9. Kunangiki sang Yudhiûþira putih kudanya karwe kihên, kudanira Nìlacandra yata karwa waróna kåûóàmbara, dinuluri taódha mantri kacatur padhà mawà úwàliman, têkê ri sipeka kapwa magirang parêng siràbhyàgata.

10. Ndah apari ya lwir ring laku nirang kalih katonye rikà, sawawa sirang Bhaþara Úiwa Buddha sang rwa yan ton sira, dugira Bhaþara Gurwa têmahan rupih dangù rakwekà, pwayi yawa bhumi maódhala sireng gunungnya mungguh sthiti.

Terjemahannya:

9. Adapun (kereta) Sang Yudhistira ditarik dua ekor kuda berwarna putih, kuda Sang Nilacandra keduanya berwarna biru langit, diiringi keempat mantrinya menunggangi kuda dan gajah, hingga para prajurit sangat bergembira bersama para tamunya.

10. Tampak sangat mengagumkan perjalanan kedua raja besar saat itu, bagaikan Bhatara Śiwa dan Buddha kelihatan keduanya, pada waktu Bhatara Guru menjelma dahulu di sana konon, juga di bumi Jawa yang senantiasa berada di puncak gunung.

Kutipan KN1 (XXIV:9-10) di atas, menyebutkan bahwa kereta Maharaja Yudhistira ditarik oleh dua ekor kuda berwarna putih, sementara kereta Maharaja Nilacandra ditarik dua ekor kuda berwarna biru langit.

Warna kuda putih milik Yudhistira menunjukkan warna atau cahaya suci yang dipancarkan arah timur oleh Hyang Śiwa Aditya (Surya), sedangkan warna kuda biru langit milik Nilacandra mencerminkan warna kelembutan, kesejukan sebagaimana karakter Hyang Candra yang menyinari bumi saat malam hari. Sungguh mengagumkan perjalanan kedua maharaja itu, ibarat Hyang Śiwa dan Buddha. Terlebih diingatkan saat penjelmaan Hyang Guru

(Śiwa) yang senantiasa berada di puncak gunung. Selanjutnya, dalam KN2 tidak disebutkan perjalanan kedua maharaja (Yudhistira-Nilacandra) ke Astina. Untuk menyebut adanya konsepsi Surya-candramurti, dilukiskan melalui warna kuda Kresna seperti tampak dalam KN2 (III:12-13) berikut.

12. Siwàlahà ngaran ira waróna mahirêng, si Bhràpuspà bang ika warónan i kudha, ki Sùkantà kuning ika waróna wulunya, ki Úenya warṇnan ika putih trus anùlus.

13. Yekà nùmerakna kareþa sang arwà, pàngàsih Sanghyang Amarapati ri sìra, pàngölyàning jayaphala sanghyang i ngùni, lwir ànglàyang 1ari nira úighra gamì ya.

Terjemahannya:

12. Si Walaha nama kuda yang berwarna hitam, Si Bhrapuspa nama kuda yang berwarna merah. Ki Sukanta yang warna bulunya kuning, Ki Senya yang bulunya berwarna putih bersih.

13. Itulah yang menarik kereta sang raja keduanya anugerah dari Sanghyang Amarapati kepada mereka, itu adalah hadiah keberhasilan dari dewata terdahulu, seperti terbang jalannya hingga segera berada di angkasa.

Dalam kutipan KN2 (III:12-13) di atas, menyebutkan nama dan warna kuda milik Kresna yang diperoleh atas anugerah Hyang Indra terdahulu.

Jalannya bagaikan terbang di angkasa. Berawal dari kuda yang bernama Si Walaha berwarna hitam menunjukkan warna dari Hyang Wisnu yang menjelma pada diri Kresna menempati pada arah utara. Si Bhrapuspa yang berwarna merah menunjukkan warna dari Hyang Brahma yang berstana di arah selatan, Ki Sukanta adalah nama kuda yang berwarna kuning simbol Hyang Mahadewa yang berada di arah barat, sedangkan Ki Senya kuda yang berwarna putih adalah simbol Hyang Iswara yang menempati arah timur mata angin. Warna putih menunjukkan cahaya suci Śiwa Aditya (Surya) sedangkan warna kuning menunjukkan cahaya suci penuh kelembutan dan keagungan yang identik dengan karakter Hyang Candra.

Ini akan membentang membentuk sebuah garis horisontal dari arah timur menuju arah barat (Reditya-Buddha/ Surya-Candra). Sementara di tengah- tengah membentang garis vertikal dari arah utara menuju selatan, hingga membentuk sebuah tapak dara (+), simbol keseimbangan dan keharmonisan, jika kedua garis (horisontal dan vertikal) itu digabung atau disilang.

Sementara dalam KN3 disebutkan bahwa Yudhistira dan Nilacandra

Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra

sama-sama menaiki kereta emas penuh permata ke Astina, namun warna kuda Nilacandra disebutkan berwarna hitam yang sedikit berbeda dengan yang disebutkan pada KN1 dan KN2 di atas. Hal ini terlihat dalam kutipan KN3 (X:7-8) berikut.

7. Anunggang ratha kañcanà manimayà tuhun tana siring, warónà úwanira sang Yudhiûþira putih makarwa abagus, krêûóàmbàra ta waróna aúwanira Nìlacandra karuwa, kering de nira taódha mantri nira nungganging kuda liman.

8. Mwang pekà padha abhyagàta lumakù luwir nira ngiring, Sìwà-Buddha sirà luwir bhaþàra Sùryya Candra karuwa, sàhà yan ri catur mahàrûi lumakù luwir ring akaûa, kàton de nira sang mulat sakari pinggiring hawanira.

Terjemahannya:

7. Sama-sama menaiki kereta emas penuh permata tampak sangat utama tiada yang menyamai, kuda Sang Yudhistira berwarna putih dan semuanya bagus, kuda Sang Nilacandra keduanya berwarna hitam, diiringi oleh para mentri menaiki kuda dan gajah.

8. Seluruh rakyat dan para tamu berjalan kaki di belakang, berwujud Śiwa-Buddha beliau bagaikan Sanghyang Surya dan Sanghyang Candra keduanya, didampingi oleh empat maharesi seakan berjalan di angkasa, begitulah dilihat oleh orang yang berada di samping (kiri-kanan) perjalanan beliau.

Dalam kutipan KN3 (X:7-8) di atas, dinyatakan bahwa kuda Maharaja Yudhistira berwarna putih sebagai simbol sinar atau cahaya suci Hyang Śiwa Aditya (Surya), sedangkan kuda Maharaja Nilacandra berwarna hitam. Mungkin warna hitam di sini mencerminkan makna dari kata nila itu sendiri yang mendekati warna hitam kebiru-biruan sebagaimana tersebut dalam KN1, yang memiliki karakter lembut, agung, dan mulia seperti sifat-sifat Hyang Candra. Dalam KN3 ini, perjalanan mereka berdua (Yudhistira-Nilacandra) ke Astina sungguh berwujud Śiwa-Buddha yang diibaratkan sebagai Hyang Surya dan Hyang Candra (Úìwà-Buddha sirà luwir bhaþàra Sùryya Candra karuwa). Kemudian ditegaskan tentang pentingnya pemujaan kepada Hyang Surya sebagai saksi agung jagatraya ini, seperti tertera dalam Śiwagama yang berisikan tentang ajaran utama ke-Śiwa-an. Terlebih Hyang Śiwa dijadikan guru oleh para dewata dan para resi di Kahyangan, hingga disebut sebagai Śiwa Guru. Hal ini terlihat dalam kutipan KN3 (XV:5) berikut.

5. Ndan pwekang Úiwa tatwa mottamaÚiwàgama karuhunika yadin warah, sangkeng Hyang Kiraóà pujà wijilikà kawêruhana ta don ya mangkana, ndyà tà donya bhaþàra Úìwa ta sinangga ira guru ri dewatà kabeh, denyan Hyang Úiwa sênggahên guru purohita sawatêkirà rûing langit.

Terjemahannya:

5. Perihal ajaran Śiwa sangatlah utama yakni Śiwagama sebagai intiya jika dibicarakan, berawal dari pemujaan kepada Hyang Surya itu mesti diketahui tujuannya, apa yang menyebabkan Hyang Śiwa dijadikan guru oleh para dewata, karena Hyang Śiwa dijadikan guru/nabe oleh para resi di Kahyangan.

Pentingnya pemujaan kepada Hyang Surya (Śiwa Aditya) sebagaimana tersurat dalam kutipan KN3 (XV:5) di atas, menunjuk pada suatu arah mata angin yakni arah timur atau kangin yang berarti menuju ke langit (naik) atau matahari terbit/naik dengan warna putih sebagai warna sumber/inti.

Sementara arah barat (kauh) adalah menuju ke arah buh (bumi) atau matahari tenggelam. Dengan demikian, garis kangin-kauh dapat dianalogikan lintas surya-candra yang identik dengan Śiwa-Buddha. Dalam perspektif budaya dan masyarakat Bali warna putih-kuning senantiasa digunakan terutama yang berkaitan dengan hal-hal kesucian atau niskala (kamokṣan), yang dalam bentuk konkretnya dapat dilihat pada busana (pangangge) di Pura serta busana adat Bali jika sembahyang ke Pura.

Dalam dokumen Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra (Halaman 151-155)