KEBERADAAN KAKAWIN NILACANDRA
B. Transliterasi
4.3.3 Popularitas Kakawin
dalam yoga sang dwijati/pendeta (yoga pinrihan i paódhita) untuk menyebut kemuliaan Hyang Buddha dan Hyang Śiwa (winuwus i Buddha Úiwa Ya). Ia juga disebut Hyang Triwikrama oleh pemuja Wisnu yang maha sakti sebagai penyelamat dunia (Triwikràma sirà Hyang Àri ya wiúeûa maka úaraóaning jagàddhita). Ia juga dikatakan sebagai manifestasi delapan dewata yang dipuja dalam wujud Tri Purusa (tunggàning Hyang Aûþa Dewata inàûþuti siniwi sirà Tri Pùruûa), yakni Śiwa, Sadaśiwa, dan Paramaśiwa. Hal ini mencerminkan betapa pengarang dengan daya estetiknya, mampu memilah dan menyusun sejumlah kata-kata yang memiliki kekuatan makna religius.
Dengan menghajap dan memuja kemahakuasaan Hyang Śiwa, Wisnu, dan Buddha lewat ungkapan ketekunan yoga yang dilakukan sang dwijati, pengarang berhasil menyusun sebuah sastra kakawin yang bersumber dari Purwāgama śaśana (mekêt kakawin sakàri tumulara aji Agama Pùrwwaúàúaóa). Pengarang juga senantiasa memohon agar terhindar dari segala kutuk samadi (luputà nghuluniki tulahing pamadhyana), selain untuk keselamatan para pembaca dan pendengar kakawin ini.
Sementara dalam KN3 (I:1-4) pengarang secara langsung menjelaskan kemuliaan Hyang Buddha (Hyang Mantranāyā yatika maka hawan mottamā Buddhayāna). Hyang Matrayana atau Buddha Māhāyaṇa, selanjutnya dinyatakan sebagai Sri Sakyamuni sebagai nama Hyang Buddha yang sekarang. Keutamaan ajaran Hyang Matrayana (Sri sakyamuni, Buddha Māhāyaṇa) ini mesti diyakini oleh penganut Buddha, untuk menghilangkan segala kesengsaraan di dunia (kawnanga hangilangana kleśa wighnā kabehan), sebagaimana dilukiskan melalui tokoh Nilacandra. Hal ini juga membuktikan betapa pengarang KN3 mampu mengkemas ajaran Buddha Māhāyaṇa ke dalam sebuah karya sastra kakawin dengan begitu estetik dan sarat akan nilai religius (keagamaan: Śiwa-Buddha). Dua tokoh utama yang digambarkan oleh ketiga pengarang KN lewat tokoh Maharaja Yudhistira dan Maharaja Nilacandra, merupakan dua sosok pemimpin (Śiwa-Buddha) yang bersifat religius dan sangat dikagumi oleh rakyatnya. Keduanya memiliki karisma sebagai seorang pemimpin negeri, mengayomi rakyat kecil, sangat disegani rakyatnya, dan menjadi teladan dalam setiap langkah perilaku manusia.
Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra
KN sebagai sebuah karya sastra abad XX-an yang bersumber dari epik Mahabharata juga tidak ketinggalan mulai digemari, dibaca, dan dibahas dalam kegiatan mabebasan. Hal ini membuktikan sebuah popularitas kakawin ini mulai mencuat ke permukaan. Disebabkan kakawin ini mempunyai fungsi penting dalam kehidupan sosio-religius masyarakat Bali yang sarat akan keutamaan ajaran Śiwa-Buddha (denyatyanta rikottaman tutur ika), dengan konsep-konsep dharma (kebenaran) sejati sebagai pegangannya. Dengan cerminan tema yang terdapat dalam KN, para peserta kegiatan pasantian dan masyarakat pendengar dapat mengangkat sejumlah model pengetahuan, terutama menyangkut etika dan moral sehingga dapat direalisasikan dalam berperilaku sesuai dengan tuntunan dharma.
Melalui mabebasan, kakawin ini berfungsi memberi kesantaian dan hiburan bagi peserta dan pendengar, dalam artian dapat memberi manfaat dan kesenangan (utile dulce). Dengan menikmati KN secara utuh dan total seperti yang dilakukan dalam mabebasan, seseorang akan memperoleh kepuasan batiniah, seakan mendapatkan kenikmatan estetis atau puitis.
Sebagai sebuah nyanyian keagamaan, karya sastra seni seperti kakawin di samping sloka, palawakya, kidung, dan geguritan biasa digunakan mengiringi kegiatan ritual atau yajña. Hal ini dilakukan karena irama lagunya memiliki berbagai variasi yang membantu dalam menciptakan suasana hening dan kihmad, sebagai sarana sujud dan srada bakti seseorang kepada Hyang Mahakuasa. Selain itu, sarat akan ajaran agama, susila, tuntunan hidup yang baik serta lukisan kebesaran Hyang Widhi dalam berbagai prabawa-nya.
Jika para pembaca teks kakawin benar-benar melakukan dengan sebaik- baiknya sesuai dengan pola guru-laghu dan mampu menciptakan irama yang anggun penuh nuansa magis, berarti mereka pun sesungguhnya telah melakukan olah napas secara teratur. Dengan demikian, mabebasan pun berfungsi sebagai olah raga paru-paru untuk kesehatan jasmani. Dengan olah napas (praṇayāma) dengan baik dan teratur membuat rasa tenteram dalam batin, sehingga nilai-nilai kebenaran yang tercermin dalam KN dapat terserap secara maksimal.
Adanya tiga KN sebagai resepsi pengarang terhadap konsep Śiwa- Buddha ini, juga memberi peluang bagi pembaca atau penikmat sastra kakawin dalam memahami ajaran sinkretisme atau penyatuan Śiwatatwa dengan Buddhatatwa yang berasal dari sumber yang sama, yakni Hyang Śiwa atau Śiwa Guru. Disadari bahwa penjelasan atau isi dari ketiga KN ini tampak saling melengkapi, karena memang dikemas oleh tiga pengarang yang berbeda dengan persoalan yang sama. Terkadang terungkap dengan
penjelasan yang masih bersifat umum, sementara di sisi lain tampak penjelasan yang agak detail, termasuk penggunaan bahasa Jawa Kuna dan hipogram yang diutamakan sebagai dasar acuan dalam karyanya. Dengan demikian, ketika ketiga KN ini terbaca oleh para penekun dan pecinta sastra kakawin, tentu keyakinan akan pemahaman penyatuan atau kemanunggalan Śiwa-Buddha yang bersisian tempat serta sebutannya yang berbeda dapat dihayati secara totalitas.
Dewasa ini, karya-karya sastra kakawin termasuk KN dan yang lainnya terus dipelihara, dikembangkan, dihayati, diulas, serta ditulis kembali dalam sebuah organisasi religius bercorak tradisional yang disebut Seka Pasantian. Dengan menjamurnya organisasi di bidang oleh vokal ini, membuktikan bahwa kepopuleran seni sastra kakawin, walaupun berada di zaman arus globalisasi. Melalui tradisi mabebasan masyarakat Bali mengakrabi dan mengapresiasi karya-karya Jawa Kuna dan Bali. Tradisi ini dapat dianggap sebagai ajang “kritik sastra”, karena melalui tradisi ini sebuah karya dibacakan, diterjemahkan, diulas, serta dikomunikasikan antara anggota pasantian sesuai dengan kemampuan masing-masing. Di sini pula terjadi komunikasi dua arah yang sangat “demokratis” di antara anggota yang hadir, sehingga pada akhirnya akan disepakati adanya nilai luhur yang tersirat di dalamnya. Kegiatan penyalinan atau penurunan (mranakan) teks di Bali masih berlangsung hingga kini. Naskah diperbanyak karena rasa ingin memiliki naskah; mungkin naskah aslinya telah dimakan rayap atau usia; rasa khawatir terhadap keberadaan naskah asli, seperti hilang, terbakar, faktor alam lainnya; dan keberadaannya terlantar. Selain itu, mungkin juga ada semacam tujuan yang bersifat magis, yakni dengan menyalin suatu naskah tertentu orang merasa mendapat kekuatan magis.