KEBERADAAN KAKAWIN NILACANDRA
4.2 Deskripsi
4.2.7 Bahasa Jawa Kuna/Kawi
Di Bali, pengaruh bahasa ini telah terasa sejak abad X, yakni saat kekuasaan Gunapriya Dharmapatni bersama suaminya Raja Udayana.
Sejak abad X hingga jatuhnya Majapahit, kiranya tidak dapat dimungkiri bahwa Bali telah mendapat pengaruh Jawa terlihat dalam bidang kesenian, adat, dan agama. Ketika Bali diperintah Raja Ugrasena (917--922), seluruh prasasti masih memakai bahasa Bali Kuna. Kemudian di bawah pemerintahan Mahendradata, kehidupan bahasa Bali Kuna seperti terdesak oleh kedudukan bahasa Jawa Kuna, karena sejak pemerintahannya semua piagam yang semula berbahasa Bali Kuna diubah dengan bahasa Jawa Kuna sekaligus dipakai sebagai bahasa resmi keraton.
Pada abad XV, ketika Kerajaan Gelgel diperintah Raja Waturenggong dengan patih Ki Dauh Bale Agung adalah pusat aktivitas Jawa Kuna di Bali.
Kehidupan bahasa Jawa Kuna pada zaman Gelgel dapat dibedakan menjadi dua periode, yakni (1) periode sebelum datangnya Danghyang Nirartha, dan (2) periode setelah datangnya Danghyang Nirartha. Kehidupan bahasa Jawa Kuna/Kawi terus berlanjut hingga abad XX-an, terbukti dengan munculnya tiga pengarang Bali yang mampu meresepsi cerita parwa ke dalam sastra kakawin, seperti KN1 (karya Made Degung), KN2 (karya I Wayan Mandra), dan KN3 (karya I Wayan Pamit).
Hal di atas mengingatkan bahwa, (1) jatuhnya Majapahit akibat desakan Islam membuat penyebaran bahasa Jawa Kuna/Kawi meluas hingga ke Bali dan berpusat di Gelgel; (2) di Bali, bahasa Jawa Kuna/Kawi itu dapat dilihat dalam sejumlah prasasti, kakawin, parwa, tutur, wariga, dan lain-lain; (3) hingga kini bahasa Jawa Kuna/Kawi tidak hanya dipakai dalam karya sastra klasik, tetapi juga dipakai dalam nama orang, tempat, dan lain-lain. Pembendaharaan kata bahasa Bali telah dominan dimasuki bahasa Jawa Kuna/Kawi, hingga terkadang sulit untuk membedakannya;
dan (4) di era globalisasi ini bahasa Jawa Kuna/Kawi di Bali tetap eksis.
Sebagai bahasa dasar kakawin, bahasa Jawa Kuna/Kawi bukan hanya dibaca, dilantunkan atau didiskusikan, justru adanya tercipta karya baru berbahasa Jawa Kuna/Kawi yang berupa kakawin, sebagaimana dilakukan oleh para rakawi Bali.
Sebagai sebuah karya sastra klasik yang lahir pada abad XX-an, baik KN1, KN2 maupun KN3 masih kental menggunakan bahasa Jawa Kuna se- bagai bahasa dasar sebuah kakawin. Ketika bahasa Bali digunakan sebagai alat komunikasi di Bali hingga kini, maka penggunaan bahasa Jawa Kuna pun masih tampak eksis walaupun tidak lagi sebagai alat komunikasi da- lam keseharian. Namun, sebagai bahasa yang digunakan oleh para pangawi atau penulis sastra Jawa Kuna mengikuti jejak langkah para pengarang atau pencipta teks Jawa Kuna terdahulu yang diyakini sebagai para leluhur yang suci bergelar Empu atau Yogi. Tradisi penulisan para pujangga zaman Jawa Kuna hingga kini masih tetap berjalan di Bali dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna bercampur dengan bahasa Sanskerta. Bahasa Jawa Kuna dan Sanskerta mempunyai fungsi penting dalam kehidupan keagamaan di Bali.
Hal ini terbukti dalam pustaka lontar Bali menggunakan kedua bahasa itu.
Menurut I Wayan Jendra dkk. (1975/76:14--15) bahwa bahasa pe ngantar yang digunakan dalam lontar-lontar di Bali adalah (1) bahasa Sanskerta se- bagaimana terdapat dalam lontar jenis Weda dan Mantra; (2) bahasa Kawi (Jawa Kuna) terdapat dalam lontar parwa, kakawin, kidung; (3) bahasa
Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra
Kawi Bali (Jawa Tengahan) terdapat dalam lontar Kalpa śāstra, Palakrӗta, śaśana, Niti, Wariga, Tutur, Kanda, Babad, Pamañcangah; dan (4) baha- sa Bali Kapara terdapat dalam lontar Awig-Awig, Gӗguritan, Paparikan, Tantri, dan Satua-Satua.
Pernyataan di atas menunjukkan betapa penting posisi bahasa Jawa Kuna di dalam kepustakaan Bali yang sangat akrab dalam kehidupan agama Hindu di Bali melalui kegiatan apresiasi sastra Jawa Kuna, yakni mabebasan. Tinjauan atas bahasa Jawa Kuna dalam KN1, KN2, dan KN3 ini hanya sebatas pengungkapan kata-kata unik yang menjadi ciri khas karya sastra masing-masing kakawin ini.
Dalam KN1 ditemukan sebuah partikel penekan pih yang diletakkan di belakang kata-kata tertentu yang sama fungsinya dengan partikel penekan pi ‘ sungguh, juga, hanya’. Menurut Zoetmulder (1993:79) ini termasuk partikel yang sangat jarang dipakai seperti: si, sih, pi, pih, wi, wih, pi sih, wi ta, wi ta ya. Selanjutnya dijelaskan bahwa partikel ini tidak mudah disalin ke dalam bahasa Indonesia karena artinya kurang jelas. Apa yang dikemukakan Zoetmulder tentang fungsi partikel pih yang kurang produktif, malah justru di dalam KN1 ini sangat banyak digunakan oleh pengarang, mungkin inilah
“ciri kepengarangan” Made Degung. Memang ditinjau dari segi semantik partikel ini sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bila dihubungkan dengan konteksnya. Partikel ini tersurat dalam 19 wirama, 23 bait, dan 34 kali pada setiap akhir baris yaitu: II:1a,6d; IV:2b,6c; V:5b; VIII:11a;
XVI:2b,3b; XX:11b,14c: XXIV:3d,4b: XXV:7c,9b; XXVIII:1a,9d,10b;
XXIX:3d,5d; XXXI:3c; XXXIII:2b,d; XXXVI:1a,c,4a; XXXVIII:2d,3c;
XXXIX:1b; XL:4b,15a; XLI:1c,6a,12a; XLIII:1b; dan XLV:1a,2a.
Selain itu, penggunaan kata ulang juga dijumpai dalam KN1 yang berfungsi menekankan aspek bunyi dan nuansa estetika. Zoetmulder (1992:110) menyatakan bahwa walaupun dalam bahasa Jawa Kuna dan parwa-parwa jenis dan corak kata berulang belum sebanyak kata berulang dalam bahasa Indonesia, akan tetapi artinya adalah sama dengan arti kata berulang dalam bahasa Indonesia yakni “menegaskan” pengertian kata yang diulangi itu. Penegasan ini lalu dapat berarti ‘banyak, berkali-kali, sangat, tindakan atau sifat’. Mengenai proses bentukannya Zoetmulder mengatakan sering kali pada bagian pertama kata berulang kehilangan bunyi yang terakhir. Kata berulang yang dimaksud adalah lagi-laging atau lagi-lagi+ng berarti ‘berulang kali’ (I:8c), kaguywa-guywa (III:9b), kapindha-pindha (XXIV:2a). Keduanya merupakan kata ulang berawalan yang kata dasarnya
guyu ‘tawa’, setelah diulang bermakna ‘tertawa-tawa’. Juga pada kata kapindha-pindha kata dasarnya pindha ‘seperti, bagaikan’. Agirang prang (VI:1a) ‘senang berperang’ merupakan permainan kata yang menekankan pada bunyi akhir. Ada juga kata ulang unik yang mengalami pengulangan tiga kali seperti kata ta swang-swang-swang (VI:1b) yang berarti ‘sendiri, salah, sinar’, dan sebagainya. Kata Prabu Pandhu ring dangu (XVI:5a) merupakan permainan kata yang sangat estetik, mempertahankan bunyi akhir u yang berarti ‘raja Pandhu zaman lampau’. Kata duga-duga ‘sesungguhnya’
(XIX:6d), nguni-nguni ‘lebih-lebih’ (XXII:2b), keduanya merupakan kata berulang murni. Dijumpai juga kata isurup-sinurupan ‘saling memasuki’
(XXI:3b), manggeh-mungguh ‘berkedudukan’ (XXII:3c), dan yang lainnya merupakan permainan kata yang dikemas demikian apik oleh pengarang kakawin ini.
Dalam KN2 ditemukan sejumlah kata ulang sebagaimana penjelasan di atas. Kata ulang tersebut antara lain: singasingāpkik ‘pemuda tampan’
(I:5a), ajaga-jaga ‘berjaga-jaga’ (I:5d), cara-cara ‘tatacata’ (I:6d), pěta- pěta ‘segala yang’ (I:7a), rěrěs-arěs ‘ketakutan’ (I:7b), pādhāgyā-gyān
‘semua bergegas’ (III:9a), tabě-taběhanya ‘dipukul terus’ (III:9b), sira-siran
‘jumlahnya’ ((III:10:b), ulah-ulah ‘sikap tegas’ (III:27a), sara-sara ‘inti ajaran’ (IV:9d), kūyū- kūyū ‘tergesa-gesa’ (IV:10b), suduk-asuduk asambut- sinambut ‘saling tikam saling balas’ (IV:22a), jaya-wijaya ‘kemenangan’
(V:3b), alāku-laku ‘terus berjalan’ (VI:11d), namu-namu ‘sejenis binatang melata’ (VI:23a), surup-sinūrupana ‘saling merasuki’ (VIII:10c), sama- sama ‘sama-sama’ (VIII:15a), sahana-hanani ‘segala-galanya’ (IX:14a), dan pangalila-lilaning ‘penghibur’ (IX:19d). Jenis kata ulang yang digunakan oleh I Wayan Mandra dalam KN2 di atas, berawal dengan penempatan kata ulang yang berarti ‘pemuda tampan sebagai penjaga surga tiruan, penjaga neraka yang menakutkan, suasana perang, inti ajaran Śiwa-Buddha yang tunggal, bersisian tempatnya, dan sebutan yang berbeda’. Keduanya terdapat makna saling merasuki, kemenangan, hingga kata ulang yang bermakna sebagai penghibur diri pengarang.
Berbeda halnya dalam KN3 dijumpai sejumlah kata Jawa Kuna candranila untuk menyebut nama tokoh Nilacandra. Digunakannya istilah ini menunjukkan KN3 karya I Wayan Pamit lebih terfokus pada ajaran Buddhis sebagaimana juga tersurat dalam awal karyanya, yakni menyebut Hyang Matrayana (Buddha Mahayana) sebagai dewa pujaannya. Kata candranila tersebut tertera pada II:3c; III:1ab; IV:8d; V:5b, 15a, 17b, 20d,
Wacana Śiwa-Buddha dalam Kakawin Nilacandra
24b; VII:1ac, 8c, 11c, 12d; IX:1c, 4b; dan X:5c, 9b. Selain itu, dijumpai penggunaan kata sri ‘raja’ pada wirama VIII:7abc; kata warṇna dan warṇnaning ‘raut wajah’ pada wirama XVI:9a-c; kata cakra ‘jenis senjata’
pada wirama XVIII:3abc; kata depan ri ‘di’ pada wirama VIII:11a-d; dan kata bhatara ‘pelindung’ pada wirama XVIII:17a-d. Untuk penggunaan kata ulang Jawa Kuna antara lain: mangön-angěn ‘berharap’ (I:2c), hālang- halanga ‘ragu-ragu’ (I:3d), pagěh- pagěhěn ‘teguhkan’ (I:4a), lagi-lagi
‘terdahulu, berulang kali’ (I:1c), guyu-guywan ‘senda-gurau’ (II:16c), sarī- sarī ‘setiap hari’ (III:7a), desa-desa ‘wilayah, tempat’ (III:12b, IV:1c), hělěm-hělěm ‘ragu-ragu’ (III:13d), těměn-těměneki ‘sungguh-sungguh ini’, dari kata těměn-těměna+iki), sahāna-hananing ‘segala-galanya’ (III:16d, VIII:3d, 14b), angrūhun-ruhunan ‘saling mendahului’ (IV:13d), kūyu- kūyu ‘terengah-engah’ (V:17a), um-um ‘nanda’ (IX:4b), lāwö-lāwö ‘lapang dada’ (IX:4c), surup-sinurupan ‘saling merasuki’ (IX:14c), dwāyā-adwayā
‘dipikirkan’ (IX:15a), sinama-nama ‘sama-sama’ (IX:15c), panghyang- hyanging ‘Tuhan atau Dewanya’ (XII:13b), sowang-sowang ‘masing- masing’ (XII:39c), dan duga-duga ‘sungguh-sungguh’ (XVIII:15c). Ketiga KN di atas, ternyata sama-sama menggunakan kata ulang surup-sinurupan
‘saling merasuki’ untuk menyebut salah satu ciri penyatuan Śiwa-Buddha.