38 BAB II
GAMBARAN UMUM TAMBAK LOROK 1970-an
Pelabuhan yang dulu sempat besar di kota ini diperkirakan ada di tempat Pasar Bulu sekarang, dan terus terbentang hingga daerah Pelabuhan Simongan yang pada tahun 1416 pernah menjadi tempat Cheng Ho menyandarkan kapal dan armadanya.47 Hingga hampir 6 (enam) abad kemudian wilayah daratan Kota Semarang sudah menjadi seperti saat ini. Daratan yang terbentuk karena pengendapan itu kemudian dimanfaatkan sebagai lahan untuk aktivitas manusia baik di bidang ekonomi, tempat tinggal maupun aktivitas lainnya. Penyatuan alamiah dari pulau-pulau itu kemudian membentuk berbagai daratan yang sebagian wilayahnya ada yang digunakan sebagai perkampungan pesisir yang terletak di pinggir pantai. Salah satunya ialah Perkampungan Nelayan Tambak Lorok.48
Tambak Lorok disebut perkampungan karena istilah perkampungan di Indonesia lebih sering dipakai untuk menyebut permukiman di kota. Wilayah Tambak Lorok merupakan salah satu lokasi permukiman di Kota Semarang, oleh karenanya Tambak Lorok disebut sebagai kampung. Dalam bahasa Melayu, kata
“kampung” berasal dari kata compound, dan mengalami perkembangan makna dalam beberapa waktu. Istilah kampung di Malaysia dimaknai sebagai lingkungan desa atau tempat tinggal di pedesaan. Berdasar perkembangan di Indonesia, penggunaan istilah kampung digunakan untuk permukiman di perkotaan sudah berlaku sejak awal abad ke-20. Sebuah desa yang terletak di wilayah kota bisa disebut kampung mungkin juga bisa dikaitkan dengan istilah kamp di Eropa.49
47Terkait kapan waktu berlabuhnya kapal Cheng Ho ke Semarang terdapat beberapa pendapat, di antaranya menurut Amen Budiman dalam karyanya Semarang Rewayatmu Dulu menyatakan hal itu terjadi tahun 1435, Menurut Dhorudin Mashad dalam karyanya Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang menyampaikan tahun 1406 Cheng Ho berlabuh ke Semarang. Menurut Lym Pan dalam The Encyclopedia of the Chinese Overseas, Chinese Heritage Center, Cheng Ho sampai di Simongan pada tahun 1416.
48“Semarang „Kaline‟ Banjir”, Kompas, 4 Mei 1997.
49Flieringa dalam Radjimo Sastro Wijono, Modernitas dalam Kampung:
Pengaruh Kompleks Perumahan Sompok Terhadap Permukiman Rakyat di Semarang Abad ke-20, (Jakarta: LIPI Press,2013), hlm. 5-6.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tepatnya masa akhir dan menjelang kedatangan Jepang ke Hindia Belanda, sudah banyak pusat permukiman yang padat, baik permukiman penduduk tradisional maupun yang modern. Pada masa itu apabila telah dilakukan pembangunan permukiman modern yang berupa kompleks perumahan, maka yang menempati permukiman itu ialah orang-orang berkebangsaan Eropa atau orang-orang yang memiliki kedudukan di pemerintahan. Lain halnya dengan kompleks perumahan tersebut, penduduk pribumi pada umumnya tinggal di tempat-tempat yang disebut dengan perkampungan.50 Dapat diperkirakan kehidupan di perumahan dan perkampungan tentu berbeda, apalagi dalam masa sebuah pemerintahan yang memberlakukan kelas sosial berdasar ras, peruntukan tempat tinggal juga ditentukan berdasar golongan di masa pemerintahan yang pada masa itu disebut Gemeente. Pastinya, baik masyarakat yang tinggal di perumahan maupun yang tinggal di kampung sekitarnya memiliki kebudayaan atau gaya hidup yang berbeda. Bahkan kehidupan antarkampung dengan kampung lainnya terkadang juga memiliki perbedaan. Begitu pula kehidupan atau gaya hidup di kampung seperti Tambak Lorok yang berada di wilayah pesisir Semarang dengan kampung yang berada di pedalaman Semarang akan pula memiliki perbedaan. Perbedaan ini dapat kita analisis dari salah satu hal yang cukup penting dan begitu jelas perbedaannya yaitu melihat dari gaya hidup bersih di antara penghuni perumahan dan perkampungan. Tentang permasalahan ini akan dibahas dalam salah satu subbab pada pembahasan selanjutnya.
Pada masa pra dan pasca tahun 1942 di Semarang, Tambak Lorok masih merupakan daerah rawa-rawa dan semak belukar yang berbatasan langsung dengan laut. Kawasan tersebut masih jarang tersentuh oleh aktivitas manusia, sebab belum ada yang menghuni kawasan tersebut. Orang-orang di Semarang masih memusatkan perhatian dan aktivitasnya di tengah-tengah kota tersebut.
Sekitar tahun 1942, menjelang kedatangan orang-orang Jepang ke Semarang, daerah Tambak Lorok telah kedatangan beberapa nelayan dari Wedung (Demak),
50Wijono, Modernitas dalam Kampung, hlm. 5-6.
Jepara, dan Bakaran (Juwana). Diperkirakan ini merupakan awal mula Tambak Lorok dikenal dan diminati oleh kalangan nelayan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal yang strategis bagi kelangsungan hidup dan usaha mereka.51
Beralih pada tiga tahun berikutnya, setelah memasuki kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Semarang dan beberapa kota lainnya masih berada dalam keadaan yang sangat membutuhkan banyak perbaikan dan pembangunan di berbagai bidang. Sebagian besar masyarakatnya masih hidup dalam taraf yang rendah, karena kondisi Indonesia setelah kemerdekaan memerlukan perbaikan dalam banyak hal. Realita masyarakat pada saat itu masih hidup dalam kondisi seadaanya, dan masih sekadar bertahan hidup dan memersiapkan kehidupan bagi generasi selanjutnya sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan mereka. Begitu pula kemampuan yang dimiliki masyarakat sepanjang daerah pesisir Jawa, khususnya pesisir utara Pulau Jawa dalam upaya mereka untuk bertahan hidup.
Setelah masa kemerdekaan itu, di daerah pesisir tepatnya di beberapa daerah sekitar Tambak Lorok, sebagian dari mereka ada yang melanjutkan hidup dengan berprofesi sebagai nelayan. Menjadi nelayan memang merupakan profesi yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Keturunan nelayan itu masih terus eksis hingga sekarang. Begitulah kondisi masyarakat yang ada di Tambak Lorok dan sekitarnya pada saat praterbentuknya perkampungan Tambak Lorok.52
Selain kondisi masyarakat, kondisi lingkungan yang diketahui dari penduduk asli Tambak Lorok juga dapat ditemukan dalam tesis pascasarjana milik Titik Wardhani. Melalui wawancaranya dengan salah seorang penduduk yang telah bermukim sejak awal mula terbentuknya kampung Tambak Lorok kita dapat mengetahui bahwa sebelum menjadi sebuah perkampungan, dahulu Tambak Lorok merupakan daerah rawa-rawa yang berbatasan langsung dengan laut dan di sekitar pantainya tidak banyak ditumbuhi pohon Brayo, yaitu mangrove alami
51Titik Wardhani, “Peranan Perempuan dalam Perekonomian Tambak Lorok 1970-2000” (Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, 2015), hlm. 39.
52Wawancara dengan Ahmad Sokeh, 6 April 2018. Ia adalah seorang nelayan yang lahir di Tambak Lorok.
yang dulu lebih banyak tumbuh di sekitar Kali Banger.53 Kali Banger merupakan aliran sungai yang bermuara langsung ke laut. Sungai ini berada di bagian barat dan selatan Tambak Lorok. Hal ini menandakan bahwa sebelum Kampung Tambak Lorok terbentuk, sabuk pantai alami yang berupa hutan bakau ada, tetapi tidak banyak ditemukan di ujung pesisir Tambak Lorok. Tanaman Bakau tersebut hanya banyak tersedia di sekitar Kali Banger. Tanaman ini terus berkembang dan meluas dalam beberapa tahun selanjutnya berdasar informasi yang penulis dapat dari seorang anak nelayan yang menjadi penduduk pertama di Tambak Lorok bernama Sokeh.54
Pada masa prakemerdekaan, nelayan yang singgah di Tambak Lorok sifatnya hanya sementara, setelah menyelesaikan keperluannya mereka akan kembali ke daerah asalnya. Para nelayan itu berdatangan menggunakan perahu layar yang masih umum digunakan kala itu. Keadaan fisik wilayah Tambak Lorok yang berupa teluk atau cekungan yang dapat melindungi kapal dari ombak besar pada musim angin barat menjadikan Tambak Lorok dapat berfungsi sebagai tempat persinggahan kapal-kapal nelayan yang ingin mampir beristirahat. Ketika mereka singgah, dibangunlah gubug-gubug sederhana di dekat pantai. Melalui sumber informasi lisan yang diperoleh dalam tesis dari Titik Wardhani, diketahui bahwa cikal bakal desa ini yaitu seorang nelayan bernama Sutho. Sutho kemudian menjadi seorang tokoh yang diingat warga sebagai generasi awal yang mendirikan perkampungan ini. Konon, perkampungan baru tersebut diberi nama Kali Banger.
Dinamakan Kali Banger karena daerah ini dialiri sungai yang berbau tidak sedap.
Ketika Sutho dan rekan-rekannya singgah, mereka juga mendirikan tambak- tambak di bibir pantai yang kemudian ditancapi kayu-kayu dari pohon Brayo yang dulu banyak tumbuh di sepanjang Kali Banger itu. Kayu-kayu Brayo digunakan untuk menghalau air pasang yang datang di sore hari. Namun, usaha tersebut selalu gagal karena tanah di sekitar tambak selalu nglorok atau longsor.
Kemudian, warga setempat sepakat untuk menamakan daerah ini menjadi Tambak
53Wardhani, “Peranan Perempuan”, hlm. 39-40.
54Wawancara dengan Sokeh, 6 April 2018.
Lorok.55 Menurut beberapa sumber lainnya, sejak tahun 1950-an lah perkampungan ini muncul dan dikenal oleh masyarakat Semarang sebagai Perkampungan Nelayan Tambak Lorok.56