• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Masyarakat Menanggulangi Kekumuhan di Tambak Lorok

C. Upaya Masyarakat dan Pemerintah Menghadapi Kekumuhan di Tambak Lorok

1. Upaya Masyarakat Menanggulangi Kekumuhan di Tambak Lorok

Upaya yang dilakukan masyarakat sepanjang periode 1970 sampai 1990-an dalam menghadapi kekumuhan dapat dikatakan terjadi dalam waktu-waktu tertentu.

Beberapa upaya dilakukan ketika ada himbauan pemerintah, sementara di beberapa kesempatan yang lain dilakukan karena adanya kondisi mendesak.

Interaksi masyarakat dalam menangani kondisi lingkungan masih cenderung sebatas mengobati ketika terjadi fenomena kerusakan lingkungan. Tingkat kerusakan yang ditangani pun ketika sudah sangat mengganggu aktivitas sehari- hari masyarakat. Upaya preventif belum dilakukan secara kolektif oleh semua individu masyarakat di Tambak Lorok.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dalam kurun waktu tahun 1970 sampai 1980-an, masyarakat Tambak Lorok melakukan kegiatan bersih- bersih lingkungan biasanya karena dorongan pemerintah yang sedang memperingati hari-hari penting tertentu baik untuk agenda nasional maupun daerah. Baik secara sadar ataupun tidak, keberadaan hari-hari penting yang dicanangkan oleh pemerintah ini menjadi salah satu modal bagi Indonesia untuk menjaga kelestarian lingkungan di berbagai daerah. Setiap peringatan hari-hari penting ini biasanya diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang mengajak masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan di daerahnya masing-masing. Hal ini merupakan salah satu modal yang baik untuk Indonesia ke depan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Akan tetapi, aktivitas yang selama ini berlangsung belum cukup untuk menyadarkan semua individu agar memiliki komitmen dalam menjaga keindahan dan kebersihan lingkungan. Jika hal itu terus berlangsung, maka konsekuensinya adalah kerusakan lingkungan. Selain itu, kenyamanan dan kesejahteraan di tengah masyarakat akan sulit hadir.

Kondisi Tambak Lorok tahun 1985 merupakan salah satu bukti pernyataan di atas. Masyarakat Tambak Lorok pada tahun ini mulai merasakan dampak abrasi yang semakin parah. Warga khawatir abrasi akan menggerus pantai sampai ke rumah-rumah mereka, oleh karena itu seluruh warga Tambak Lorok memutuskan untuk bersama-sama membangun tanggul pemecah gelombang laut. Tanggul ini satu-satunya cara yang bisa dilakukan oleh masyarakat di Tambak Lorok untuk menghalau gelombang laut yang menggerus pantai, sebab jarak pantai dan rumah- rumah warga sudah hampir dekat. Tanaman bakau tidak dapat ditanam di pinggir pantai, karena bibit-bibit tersebut akan mudah hanyut diterjang gelombang pantai.

Satu-satunya cara menyelamatkan rumah-rumah mereka yaitu dengan membangun tanggul di sepanjang pantai Tambak Lorok. Selanjutnya secara perlahan mereka bisa menanam beberapa bibit bakau di belakang tanggul tersebut pada beberapa tahun selanjutnya setelah ada imbauan untuk menanam bakau dari pemerintah.216

Kondisi setelah tahun 1985 ini berbeda dengan sebelumnya yaitu ketika pesisir kondisinya masih lebih baik dari pada saat ini. Masyarakat tidak terlalu khawatir dengan adanya abrasi, rob dan penurunan tanah. Tetapi kini masyarakat nelayan Tambak Lorok harus mulai memikirkan kondisi rumahnya setiap tahun jika tidak ingin rumahnya terendam banjir rob. Melalui hal ini, dapat kita lihat bahwa masyarakat Tambak Lorok mulai memiliki tambahan aktivitas baru yakni memerbaiki rumahnya apabila rob sudah mencapai rumah-rumah mereka dan membangun bangunan baru di atasnya ketika bangunan rumah yang lama sudah sangat dekat atau pendek dari permukaan tanah di sekitarnya.

Pada tahun 1986, masyarakat harus mulai memerhatikan kondisi jalan- jalan khususnya di lingkungan permukiman yang mulai rusak. Kasus kerusakan jalan di Tambak Lorok biasanya disebabkan oleh genangan rob, dan beberapa kendaraan truk pembawa tanah urukan, dan pengangkut ikan dari TPI Tambak Lorok. Penyebab utamanya ialah karena pemakai kendaraan berat seperti truk.

Mereka tidak memikirkan dampak atau akibat dari tindakannya itu, kepentingan

216Wawancara dengan Jumani, 10 Oktober 2017.

yang lebih besar dirugikan, terutama warga sekitar yang terganggu kenyamanannya akibat jalan yang rusak. Selain itu, peranan orang tua dalam membina putra-putrinya dihimbau Soegiarto untuk perlu ditingkatkan. Sebab masih banyak anak-anak secara iseng atau secara sadar, merusak lingkungan.

Soegiarto ingin setiap orang tua mau menasihati anaknya, misalnya ketika waktu makan bersama, dengan menyampaikan bahwa yang dirusak itu sebenarnya dibangun sendiri, maka kenakalan anak pun terkendali. Otomatis dampak negatif yang tidak diinginkan terhadap lingkungan atau aspek lainnya dapat terhindarkan.

Fenomena sosial terkait perilaku masyarakat yang masih memerlukan perbaikan tidak terlepas dari proses pertumbuhan penduduk yang semakin ramai, baik secara alami maupun karena proses migrasi ataupun urbanisasi. Penduduk yang datang ke perkotaan memiliki latar belakang budaya, perilaku, kebiasaan dan cara pandang yang berbeda-beda dan biasanya sudah terbentuk oleh lingkungan tempat tinggal di daerah asalnya masing-masing. Penduduk Tambak Lorok misalnya, warga yang berasal dari suatu desa dengan sanitasi yang kurang baik, biasanya masih memiliki kebiasaan membuang sampah atau membuang air kecil dan besar di sungai serta kebiasaan negatif lainnya.217

Salah satu permasalahan yang dominan mendukung kebiasaan di atas sehingga masih sering terjadi di perkampungan Tambak Lorok ialah karena belum ada kualitas pelayanan prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai.

Tambak Lorok masih tidak dilengkapi dengan berbagai prasarana dan sarana pendukung, fasilitas sosial dan fasilitas umum. Secara fisik lingkungan, masih banyak ditemui gang-gang perkampungan yang telah melebihi daya tampung dan menurunnya daya dukung lingkungan. Dampak dari semakin terbatas atau menurunnya daya dukung lingkungan, di antaranya adalah meningkatnya lingkungan permukiman kumuh. Permasalahan perumahan dan permukiman sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari berbagai perkembangan dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan, baik di tingkat lokal, nasional, regional, maupun global.

Urgensi persoalan perumahan dan permukiman telah juga menjadi perhatian

217Wawancara dengan Sri Kadarwati, 19 Juli 2018.

masyarakat global, sebagai tindak lanjut dari mencuatnya isu lingkungan pada awal tahun 1980-an yang lalu dalam pertemuan negara-negara anggota PBB.218

Pada tahun 1988, beredar sebuah gagasan di tengah masyarakat melalui Suara Merdeka. Gagasan tersebut menyampaikan bahwa hampir di semua kota besar yang sedang berkembang memiliki suatu fenomena akibat meningkatnya pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Hal itu tidak saja membutuhkan penanganan masalah kependudukan dan masalah penyediaan fasilitas permukiman serta kesempatan kerja, tetapi yang sangat mendesak untuk diupayakan pemecahannya adalah masalah sanitasi. Masalah sanitasinya ini menjadi salah satu isu yang diperbincangkan pada tahun 1988 ini. Tekanan pertumbuhan penduduk Semarang yang sedemikian pesat ini yang paling besar adalah karena pengaruh langsung dari arus urbanisasi yang meningkat pesat selaras dengan perkembangan kota itu sendiri. Beberapa tahun berselang, cukup meningkatkan perubahan jumlah penduduk di Semarang yang signifikan.

Sebagian arus urbanisasi tersebut masuk ke Tambak Lorok dan sekitarnya (Kelurahan Rejomulyo). Menurut data Kelurahan Rejomulyo tahun 1971 memiliki penduduk sebanyak 14.769 jiwa, pada tahun 1980 ternyata telah meningkat, menjadi 20.155 jiwa atau meningkat rata-rata 5,3% per tahun. Jumlah penduduk yang jauh meningkat tersebut tentu menekan kebutuhan terhadap sanitasi yang harus dipenuhi pula.219

Masih pada tahun 1988, sanitasi yang memadai masih belum ada di Tambak Lorok. Melalui adanya tekanan penduduk yang semakin meningkat sudah dapat dipastikan bahwa tingkat kebutuhan atas fasilitas sanitasi juga meningkat.

Sungai di sekitar Tambak Lorok masih menjadi tempat yang disenangi warga untuk berbuang hajat, hanya beberapa orang saja yang sudah memiliki kamar

218Aca Sugandhy dan Rustam Hakim, Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), hlm. 73.

219“Pendekatan Partisipatif dalam Pembangunan Sanitasi Kota”, Suara Merdeka, 6 Januari 1988, hlm. 2.

mandi yang layak.220 Pada kenyataan yang ada sekarang dapatlah dikatakan bahwa akselerasi pelayanan fasilitas sanitasi hanyalah sebagai tambahan dalam beberapa tempo saja sedangkan akselerasi pertambahan penduduk hampir sebagai peningkatan yang terus-menerus. Melihat kenyataan tersebut jelaslah bahwa untuk menuju tercapainya kondisi lingkungan perkampungan Tambak Lorok yang sehat jelas-jelas sangat membutuhkan peningkatan pelayanan fasilitas sanitasi yang memadai. Padahal disadari bahwa untuk merealisasikan pembangunan fasilitas sanitasi sehingga mencapai tingkat kesesuaian dengan kebutuhan jelas membawa konsekuensi tersedianya dana pembangunan yang memadai. Hal ini merupakan sesuatu yang pada saat sekarang menjadi pemikiran serius bagi pemerintah, kondisi perekonomian nasional maupun internasional yang sudah segera berangkat membaik telah mengarah pada penurunan kemampuan pemerintah dalam penyediaan dana pembangunan. Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk melangsungkan kesinambungan pembangunan seperti halnya dalam bidang sanitasi tentulah membutuhkan pola pemecahan yang tepat.221

Melihat permasalahan tersebut Slamet Budi Rahardjo seorang staf peneliti di PJPK (Penanggung Jawab Proyek Kerjasama) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, memikirkan beberapa gagasan yang dapat menjadi solusinya dalam pembangunan fasilitas sanitasi. Pertama, bagaimana memberikan pelayanan fasilitas sanitasi yang murah, terutama kepada golongan masyarakat berpendapatan rendah. Kedua, bagaimana menumbuhkan semangat swadaya masyarakat untuk meningkatkan sanitasi yang sehat bagi keluarga secara mandiri baik secara pribadi maupun secara berkelompok. Ketiga, bagaimana meningkatkan skala prioritas kebutuhan akan fasilitas sanitasi yang sehat bagi suatu keluarga. Strategi yang mendasarkan pada upaya penggalian swadaya masyarakat dalam pembangunan fasilitas sanitasi keluarga merupakan hal yang sangat potensial untuk dikembangkan. Pertimbangan ini didasarkan pada suatu pengalaman bahwa ketidakmampuan suatu keluarga yang bermukim di perkotaan

220Wawancara dengan Falah, 6 April 2018.

221“Pendekatan Partisipatif”, hlm. 2.

untuk menyediakan kebutuhan fasilitas sanitasi bagi keluarga sering bukan karena tidak mampu dari segi sosial-ekonomi akan tetapi ada kecenderungan bahwa sebagian masyarakat tidak membangun fasilitas sanitasi seperti jamban misalnya hanyalah dikarenakan sulitnya mereka meninggalkan kebiasaan yang kurang sehat dalam berbuang hajat. Selain itu adanya sarana selokan atau sungai di daerah perkotaan memberi kesempatan bagi sebagian masyarakat perkotaan untuk memanfaatkannya menjadi sarana tempat buang hajat. Perilaku demikian tersebut sebenarnya jika dikaji secara seksama adalah kebiasaan sebagian masyarakat di daerah asal mereka sebelum bermukim di kota. Kebiasaan yang demikian tersebut sering masih terbawa hingga mereka menetap di kota. Jika di daerah asal mereka kebiasaan seperti demikian mungkin belum begitu berpengaruh langsung terhadap kesehatan mereka dikarenakan ekosistem permukiman dan sarana saluran atau sungai yang masih baik kondisi air maupun alirannya, lain halnya dengan kondisi permukiman mereka di perkotaan. 222

Perkembangan permukiman yang semakin padat dengan sarana sanitasi yang kurang memadai serta ditambah dengan kebiasaan masyarakat yang kurang sehat menjadikan semakin kumuhnya daerah Tambak Lorok dan akhirnya kondisi yang demikian tersebut merupakan awal dari timbulnya berbagai macam masalah kesehatan lingkungan. Itu semua merupakan suatu fenomena yang umum terjadi dari suatu proses perkembangan permukiman di kota-kota besar seperti Semarang.

Melihat kenyataan tersebut, maka semakin nampak bahwa penanganan masalah sanitasi kota sudah sangat mendesak untuk semakin ditingkatkan. Pemerintah harus berupaya memberikan perhatian yang tinggi pada kota-kota besar serta memersiapkan sedini mungkin penanganan masalah sanitasi pada kota-kota kecil yang berangkat berkembang menjadi kota besar.

Pada tahun 1988, karena adanya pilot proyek yang diprakarsai oleh Direktorat PLP (Penyehatan Lingkungan Permukiman), Direktorat Jendral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, masyarakat mulai turut serta meningkatkan sarana prasarana di Tambak Lorok. Direktorat PLP melalui bantuan sebuah

222“Pendekatan Partisipatif”, hlm. 2.

konsultan telah mencoba sebuah pilot proyek “on-site sanitation“ di dua buah kota di Jawa Tengah yaitu Kota Semarang dan Surakarta. Proyek ini menarik karena pendekatan dalam pilot proyek tersebut merupakan sebuah pendekatan baru di dalam sistem perencanaan dan sistem pelayanan fasilitas sanitasi yang dikembangkan pemerintah. Selama ini hampir sebagian besar pendekatan yang dipakai oleh pemerintah dalam pelayanan fasilitas sanitasi perkotaan adalah dengan sistem antar atau delivery. Menggunakan pendekatan baru tersebut nampaknya pemerintah dalam hal ini ingin mencari terobosan sebagai upaya menembus keterbatasan dana pembiayaan pembangunan fasilitas sanitasi perkotaan. Sistem pelayanan yang dicoba dalam pilot proyek tersebut adalah bahwa pembangunan fasilitas sanitasi dalam hal ini jamban keluarga atau umum yang menjadi usulan masyarakat akan dibantu pembangunannya dengan kredit tanpa bunga ataupun sekaligus biaya seluruhnya oleh pemerintah. Untuk itu masyarakat diharapkan mengembalikan biaya pembangunan tersebut dalam jangka panjang, sampai 7 tahun. Menarik pula dalam hal ini adalah bahwa pelaksanaan pembangunan mulai dari tahap perencanaan desain sampai pelaksanaan pembangunan usai adalah sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri dengan supervisi teknik dari dinas pekerjaan umum.223

Pendekatan yang demikian ini pada perkembangannya diharapkan oleh mereka ada prospek yang baik. Adanya keterlibatan penuh dari masyarakat dalam seluruh tahap pembangunan suatu fasilitas perkotaan. Nampaknya akan lebih menjadi kelestarian fasilitas itu sendiri dalam jangka panjang dan dalam perkembangannya maka hasil pembangunan tersebut jauh akan lebih berdaya guna dan berhasil guna karena sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat pemakai. Selama ini dengan sistem delivery dalam pelayanan fasilitas sanitasi cukup banyak dapat diambil pelajaran bahwa kurangnya mengajak masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan fasilitas sanitasi sering mengakibatkan ketidakmampuan suatu fasilitas yang dibangun untuk memberikan daya guna dan hasil guna dalam menunjang kehidupan yang sehat di suatu lingkungan

223“Pendekatan Partisipatif”, hlm. 2.

permukiman masyarakat. Di samping itu sudah tentu suatu investasi yang mungkin berasal dari pinjaman luar negeri untuk pembiayaan pembangunan fasilitas menjadi sia-sia hanya karena kurang berfungsinya fasilitas yang dibangun karena tidak dimanfaatkan atau rusak karena tidak dipelihara dan sebagainya. Hal yang seperti itu tentu merupakan sesuatu yang harus diupayakan untuk dihindari dalam kegiatan pembangunan. Pendekatan yang memanfaatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan fasilitas sanitasi ini dalam jangka panjang dapat memberikan suatu mekanisme pembangunan yang baik. Proses ini akan dapat merubah persepsi masyarakat bahwa tanggung jawab pembangunan fasilitas sanitasi di lingkungan tempat tinggal mereka bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah akan tetapi sekaligus menjadi tanggung jawab masyarakat.

Masyarakat di Tambak Lorok sebetulnya juga memiliki kemampuan budaya yang baik seperti semangat bergotong royong yang masih banyak dilakukan di daerah asalnya masing-masing. Semangat itu belum terbangun kembali ketika mereka tinggal di Tambak Lorok mungkin karena belum ada yang mengajak dan mengarahkannya dengan maksimal. Pada saat pendekatan partisipatif ini diterapkan oleh pemerintah, tentu hal ini akan membangkitkan budaya positif yang lama terpendam dalam setiap pribadi warga Tambak Lorok.

Keadaan pembangunan yang melibatkan masyarakat seperti ini menjadikan pembangunan fasilitas perkotaan menjadi lebih terjamin dan berfungsi sesuai kebutuhan masyarakat dan pada kemudian hal akan terbentuk suatu pembangunan kota terpadu yang sesuai dengan Rencana Induk Kota. Sejak partisipasi dimulai tahun 1988 ini, masyarakat mulai membangun perlahan fasilitas sanitasi mereka.224 Beberapa tahun selanjutnya di Tambak Lorok mulai tersedia WC umum di beberapa titik di Tambak Lorok, sebab mayoritas masyarakat di RW XIV dan RW XV tidak memiliki WC pribadi di rumah mereka.225

224Wawancara dengan Jumani, 10 Oktober 2017.

225Natalia, “Kajian Kemiskinan Pesisir”, hlm. 54. (http://ejournal- s1.undip.ac.id/index.php/pwk, diunduh pada 29 Oktober 2017).

Pada tahap selanjutnya turut diikuti pula oleh pembangunan jaringan drainase yang merupakan prasarana penting yang berfungsi untuk mengalirkan limbah cair rumah tangga dan air hujan sehingga tidak menimbulkan genangan.

Melalui adanya sistem drainase yang baik mampu meminimalisasi terjadinya bencana banjir di Tambak Lorok. Masyarakat ke depannya secara perlahan mulai membentuk drainase secara bergotong royong di kawasan Tambak Lorok sehingga terbentuk got-got kecil dengan lebar 20-50 cm yang dibuat dari semen.

Saluran air berukuran kecil tersebut sampai beberapa tahun kedepan masih belum dibuat secara menyeluruh di setiap RT di Tambak Lorok.226 Got yang sudah dibuat dengan kondisi awalnya bersih pun selanjutnya tidak selalu bertahan demikian, sebab beberapa tahun ke depan saluran air tersebut banyak yang tersumbat oleh sampah sehingga ketika terjadi air laut pasang atau rob, limpasan air itu tidak dapat mengalir kembali ke laut dengan lancar karena terhambat oleh sampah.

Pada tahun 1989, abrasi yang sudah melanda sejak beberapa tahun yang lalu kini mulai diperhatikan. Pada tahun ini di Semarang mulai ada wacana untuk mengupayakan penanaman kembali tanaman bakau di sepanjang pantai Tambak Lorok dan termasuk pula seluruh pantai kota Semarang. Semarang diupayakan untuk mencontoh kondisi di Jepara yang dulu sempat parah dengan adanya desa yang tenggelam tetapi kini sudah ada kemajuan, sebagaimana dikatakan oleh Poerwosasmito yang kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IV DPR RI,

“Sekarang sepanjang delapan kilometer pantai di Jepara sudah ditanami bakau.

Tapi antara Semarang sampai Brebes pohon bakau sudah tidak ada, kecuali hamparan tambak”. Berdasar hal itu Poerwosasmito yang kala itu bersama timnya sedang mengamati pantai di Jawa Tengah berpendapat bahwa masalah abrasi harus ditangani dengan perencanaan secara nasional dan pantai utara yang terkena abrasi harus ditanami bakau kembali. Pada tahap selanjutnya pemerintah mewajibkan kepada setiap petambak agar menanam bakau di lokasi

226Natalia, “Kajian Kemiskinan Pesisir”, hlm. 54. (http://ejournal- s1.undip.ac.id/index.php/pwk, diunduh pada 29 Oktober 2017).

pertambakannya sampai batas surut laut.227 Beberapa tahun setelah 1989, sudah dapat ditemukan di sebelah timur Tambak Lorok yaitu di perbatasan Tambak Rejo sudah mulai banyak ditanami tanaman bakau. Wilayah Tambak Rejo masih memiliki lahan yang cukup luas dan masih dapat ditanami bakau karena jarak dengan rumah penduduk cukup jauh, sedangkan keadaan di Tambak Lorok adalah sebaliknya.228 Beberapa warga ada yang sudah pernah mencoba untuk menanam bibit mangrove di tepi pantai Tambak Lorok tetapi belum pernah berhasil.229

Memerbaiki keadaan alam yang sudah rusak memang sulit, tidak sama dengan memerbaiki perabotan rumah, memerbaiki kapal, memerbaiki rumah dan sebagainya. Mengingat upaya mengatasi masalah alamiah yang menyebabkan kekumuhan itu lebih sulit, maka upaya yang mampu dilakukan para warga agar bisa bertahan di Tambak Lorok ialah memerbaiki kerusakan rumah dan perabotan milik mereka. Berdasar penelitian program kedoktoran geografi yang dilakukan oleh Mohammad Gamal Rindarjono, disampaikan bahwa sejak tahun 1980-an upaya masyarakat dalam menyikapi kekumuhan akibat banjir dan rob di permukiman kumuh sekitar pesisir Semarang seperti di Tambak Lorok dapat dikelompokkan menjadi 3 model:

1. Masyarakat yang mampu, di dalam menyikapi adanya rob di lingkungan perkampungannya lebih khusus bagi yang menyangkut bangunan tempat tinggalnya, golongan masyarakat yang mampu secara ekonomi ini langsung membongkar habis rumahnya dan kemudian lahan yang ada di timbun dengan bongkaran material rumahnya serta urukan tanah. Selanjutnya didirikan kembali rumah pada lahan yang sama namun sudah lebih tinggi dari lingkungan sekitarnya, hingga kurang lebih 2-3 meter dari sebelumnya.

Golongan masyarakat ini lalu membuat rumah baru dengan rupa yang baru pula, serta sangat berbeda dengan rumah sebelumnya.

Biasanya rumah baru ini diubah desainnya untuk mengantisipasi apabila rob sampai tinggi, di antaranya yaitu dengan membuat

227“Penggerusan Pantai Utara”, hlm. 9.

228Wawancara dengan Ahmad Nasikin, 6 April 2018. Ia adalah seorang warga asli Tambak Rejo dan bekerja menjadi penjaga parkir motor nelayan di tepi pantai Tambak Rejo.

229Wawancara dengan Jumani, 10 Oktober 2017.

bangunan menjadi 2 atau 3 lantai, lantai bawah hanya digunakan untuk ruang tamu, kamar mandi serta dapur tanpa ada peralatan elektronik, sedangkan lantai di atasnya biasanya untuk ruang keluarga dan kamar-kamar tidur, yang dilengkapi dengan perabotan rumah tangga.

2. Masyarakat golongan menengah, masyarakat golongan menengah dalam menyikapi rob yang menimpa rumah tinggalnya dengan keterbatasan biaya hanya mampu meninggikan lantai rumah seiring dengan semakin meningginya rob yang terjadi. Pada awalnya ditandai dengan lantai rumah yang mengalami kerusakan, yaitu lantai retak-retak atau mengelupas kemudian biasanya diiringi dengan munculnya rembesan air pada sebagian lantai, karena keadaan sudah cukup memrihatinkan sementara dana terbatas, maka yang dilakukan pemilik rumah adalah menimbun lantai beberapa centimeter, biasanya 50 cm hingga 100 cm kemudian di atasnya diplester. Akibatnya rumah terkesan jadi pendek antara lantai rumah dengan langit-langit hanya berkisar 2 meter saja, sehingga di dalam rumah terutama pada siang hari terasa sangat pengap, sedangkan performa dari luar rumah seakan-akan amblas.

3. Masyarakat yang tidak mampu, golongan yang ketiga adalah golongan yang paling memrihatinkan dalam menyikapi proses rob yang terjadi di lingkungan perkampungan tempat mereka tinggal.

Ketiadaan ekonomi mengakibatkan mereka tidak memiliki alternatif dalam menghadapi fenomena yang terjadi. Mereka hanya pasrah menerima kenyataan yang ada, sikap fatalistik adalah merupakan sikap yang rasional guna menghibur diri dari bencana yang dihadapi.

Banjir rob yang terjadi mereka sikapi dengan pasrah, mereka memunyai persepsi bahwa rumah merekalah yang amblas, buka karena adanya rob yang semakin meninggi dari waktu ke waktu.

Mereka juga beranggapan bahwa hal seperti yang mereka alami adalah sudah merupakan takdir mereka yang harus diterima tanpa diupayakan perbaikan, karena memang tidak ada biaya untuk itu.

Secara perlahan rumah mereka seperti „tenggelam‟, karena hanya memiliki rumah satu-satunya dengan keadaan apapun tetap mereka tempati. Mereka hanya menyiasati dengan membuat tempat dudukan dari bambu untuk tempat tidurnya serta perabotan lainnya agar tidak terkena genangan rob.230

230Mohammad Gamal Rindarjono, “Perkembangan Permukiman Kumuh di Kota Semarang Tahun 1980-2006” (Disertasi pada Program Doktor Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, 2010), hlm. 19-21.