menujukkan kepada kita, bahwa menjaga kebersihan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama.
tersebut menjadi tambahan beban perekonomian bagi masyarakat di Tambak Lorok.
Genangan air hujan yang sudah mengguyur sejak beberapa bulan yang lalu itu membuat Perkampungan Tambak Lorok yang sudah dikenal kumuh itu selanjutnya menjadi sarana yang layak bagi masuknya nyamuk pembawa malaria.
Pada bulan Mei tahun 1970, masyarakat sudah mulai mewaspadai adanya serangan penyakit malaria tersebut. Pada bulan Juni, penyakit tersebut menggawat dan mewabah di Tambak Lorok dan beberapa permukiman di sepanjang pantai Kota Semarang, beberapa warga di Tambak Lorok dan sekitarnya yang menderita penyakit ini pun akhirnya tidak dapat beraktivitas. Penghasilan beberapa warga menjadi berkurang, sehingga banyak di antara mereka yang terpaksa mencari pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.203
Pada tahun 1971, wabah kolera menjangkiti beberapa warga di Semarang yang biasanya tinggal di daerah sekitar pantai seperti di Tambak Lorok. Beberapa warga di Tambak Lorok pada tahun tersebut masih ada yang mengonsumsi air tanpa memasaknya terlebih dahulu, terutama ketika sudah lelah dari bekerja atau perjalanan melaut dan ketika bekal air minum yang dibawa sebelumnya sudah habis saat bekerja atau ketika sedang menangkap ikan. Kebiasaan itu menjadi salah satu faktor penyebab kesehatan warga di Tambak Lorok terganggu oleh penyakit seperti kolera. Selain itu kebiasaan membuang sampah sembarangan juga merupakan salah satu faktor menyebarnya bakteri penyebab penyakit yang menyerang perut ini menyebar. Sebagaimana pada kejadian serangan penyakit sebelumnya, penyakit ini juga membutuhkan beberapa waktu istirahat untuk memulihkan kondisi penderita, sehingga aktivitasnya turut terpaksa harus dihentikan sementara.
Pada tahun 1973, akumulasi sampah dan limbah yang dibuang ke sungai dan pantai di Tambak Lorok dan sekitarnya, selama beberapa tahun sebelumnya kini memengaruhi rasa kerang yang dijual di banyak warung makan di Semarang.
Kerang-kerang hasil tangkapan nelayan menjadi pahit. Rasa kerang yang pahit
203“Gedjala-Gedjala Malaria Merembes ke Semarang”, Suara Merdeka, 1 Juni 1970, hlm. 2.
tersebut membuat penjualannya menjadi tidak sebanyak sebelumnya. Kejadian ini untungnya hanya terjadi dalam beberapa waktu. Meski demikian, penghasilan nelayan di Tambak Lorok menjadi berkurang ketika peristiwa ini terjadi.204 Kondisi demikian membuat para nelayan harus rela hidup dalam masa-masa memrihatinkan.
Pada tahun 1975, terkait permasalahan ekonomi untuk kaum nelayan seperti di Tambak Lorok yang begitu memrihatinkan, pemerintah melakukan beberapa upaya untuk menjaga kehidupan nelayan. Beberapa di antaranya dilakukan oleh pemerintah yang kemudian dilaksanakan oleh unit desa nelayan sendiri. Gubernur Soepardjo di Semarang waktu itu mengadakan pengelolaan untuk tabungan nelayan, dana paceklik dan dana sosial atau kecelakaan di laut dan diserahkan langsung pengelolaannya kepada satuan desa nelayan sendiri. Hal itu disampaikannya dalam sambutan pengarahan Gubernur Jateng Soepardjo pada pembukaan penataran Petugas Teknik Perikanan Tingkat Karesidenan Kabupaten atau Kodya se-Jawa Tengah, di Don Bos Co Semarang. Gubernur Soepardjo selanjutnya menyatakan harapannya kepada para anggota satuan desa nelayan agar dapat menyisihkan sebagian hasil pendapatannya di luar pemotongan ongkos lelang sebagai cadangan untuk menjaga kelestarian tempat tinggal mereka. Di samping itu, pengelolaan pendapatan nelayan itu juga bertujuan untuk menjaga sarana-sarana penangkapan perabot rumah tangga, penerangan jalan, lampu dan sebagainya.205
Persoalan mendasar yang dihadapi oleh rumah tangga nelayan yang tingkat penghasilannya kecil dan tidak pasti adalah bagaimana mengelola sumber daya ekonomi yang dimiliki secara efisien dan sehingga mereka bisa “bertahan hidup”
dan bekerja. Cara demikian dinilai dapat membuat nelayan merasa aman dan mampu melewati masa-masa krisis yang dapat mengancam kelangsungan rumah tangganya. Kelompok-kelompok sosial yang berpenghasilan rendah di daerah
204“Kerang di Semarang”, hlm. 1.
205“Dana Paceklik dan Kecelakaan di Laut”, Suara Merdeka, 4 Maret 1975, hlm. 2.
perkotaan, lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok pangan dalam upaya menjaga kelangsungan kehidupan rumah tangganya. Kualitas bahan pangan yang bisa mereka peroleh juga rendah karena harganya murah, sesuai dengan keterbatasan kemampuan sosial-ekonominya.206
Rumah tangga nelayan dengan rata-rata penghasilan rendah sering dianggap oleh orang luar bagaikan senang bergaya hidup konsumtif atau boros ketika memeroleh penghasilan yang cukup banyak sebagaimana yang telah diberitakan sebelumnya. Perolehan penghasilan yang cukup besar tidak berlangsung setiap hari dan belum tentu juga didapatkan. Ketika musim ikan, perolehan penghasilan yang cukup besar sangat jarang sekali. Seperti yang terjadi di Tambak Lorok pada tahun 1975 ke atas, perolehan pendapatan nelayan dengan perahu motor tempel dalam sekali beroperasi selama dua hari besarnya antara Rp. 75 sampai Rp. 100 (pengasilan maksimum) dalam masa kerja satu tahun, paling tidak hanya dialami 1-2 kali. Bahkan terkadang tidak diperoleh sama sekali. Penghasilan sebesar itu tidak cukup untuk kebutuhan hidup selama seminggu. Kapal yang dioperasikan oleh 3 ABK (Anak Buah Kapal) biasanya akan memeroleh lebih sedikit penghasilan karena harus dibagi tiga.207
Mereka lebih banyak dihadapkan pada masa-masa kekurangan dan kesulitan kehidupan. Maka benarlah adanya penelitian yang menyampaikan bahwa pada saat memeroleh penghasilan yang cukup besar nelayan bertindak konsumtif, sebenarnya kecenderungan sikap demikian mencerminkan atau hanya merupakan
“kompensasi psikologis” dari kesengsaraan hidup yang cukup lama menimpanya.
Gaya hidup yang dianggap “boros” itu merupakan upaya menyenangkan diri dalam sesaat dan menikmati kehidupan yang selayaknya manusiawi. Perolehan penghasilan yang lebih dari cukup tidak selamanya dimanfaatkan untuk
206Kusnadi, Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Alam (Yogyakarta: LKIS, 2002), hlm 17 disitir dari Sundoyo Pitomo,
”Kebutuhan Dasar Kelompok Berpenghasilan Rendah di Kota Jakarta”, dalam Mulyanto Sumardi dan Hans-Dieter Evers (ed. ), Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok (Jakarta: Rajawali,. 1985), hlm. 30-34.
207Wawancara dengan Falah, 6 April 2018.
memenuhi selera konsumtif. Rumah tangga nelayan terdapat mekanisme internal tentang “pengendalian diri” dalam bentuk menyisihkan sebagian penghasilan tersebut untuk ditabung dan jika memadai digunakan membeli emas atau barang- barang rumah tangga. Barang-barang tersebut merupakan bentuk investasi yang bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu, ketika tidak ada penghasilan dari melaut. Bagi rumah tangga nelayan, barang-barang tersebut memiliki nilai yang tinggi untuk menopang dan menyelamatkan kelangsungan hidupnya ketika menghadapi masa- masa krisis ekonomi.208
Ada beberapa nelayan di Tambak Lorok yang sudah memiliki pemikiran terbuka terhadap pendidikan. Biasanya mereka akan lebih siap menghadapi krisis ekonomi. Mereka juga lebih mampu menghadapi siatuasi lingkungan yang cukup memrihatinkan di Tambak Lorok. Jumlah orang-orang demikian tidak terlalu banyak di Tambak Lorok. Mereka yang memiliki pemikiran yang jauh lebih baik ini biasanya akan menggunakan sebagian tabungan dari penghasilannya yang lebih dari cukup untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Salah satu contohnya ialah Weli, ia adalah salah satu nelayan yang tergolong rajin melaut. Ia biasanya beroperasi mencari ikan dalam jangka waktu harian, dan menggunakan kapalnya sendiri tanpa bantuan anak buah kapal lain. Penghasilannya tergolong lebih dari cukup, sehingga ia dapat menabung untuk keperluan di saat masa sepi tangkapan ikan, sekaligus menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang menengah kejuruan. Ia juga berhasil membangun rumahnya menjadi dua lantai untuk menghindari banjir akibat hujan atau rob yang bisa meluap dari sungai banger yang berada di samping rumahnya.209 Kehidupan yang dapat dikatakan lebih baik ini hanya terjadi pada segelintir orang saja. Jumlah warga Tambak Lorok dengan ekonomi yang lebih memerihatinkan lebih banyak.
Pada tahun 1980-an, ketika rob sudah mulai memasuki Tambak Lorok, maka nasib perekonomian warga miskin semakin tertekan. Banyak warga miskin
208Kusnadi, Konflik Sosial Nelayan, hlm 21.
209Wawancara dengan Weli, 7 Oktober 2017. Ia merupakan seorang nelayan yang tinggal di Tambak Lorok RW XII sejak 1982.
di Tambak Lorok yang tinggal dalam gubuk reyot di tengah ancaman rob. Selama rob ini berlangsung di Tambak Lorok, rumah-rumah kayu milik warga banyak yang mulai keropos, barang-barang hancur akibat terendam rob. Nasib warga miskin sungguh memrihatinkan.210 Bagian rumah dan barang yang rusak dan tidak dapat diperbaiki akhirnya menjadi tumpukan sampah yang bertebaran di beberapa tempat di Tambak Lorok, sehingga semakin membuat Tambak Lorok menjadi kumuh.
Pada masa rob melanda Tambak Lorok, kebutuhan warga semakin membengkak. Mengingat sebagian besar warga di Tambak Lorok, memiliki pola pemenuhan kebutuhan hidup menyesuaikan dengan penghasilan yang diperoleh maka dengan bertambahnya kebutuhan untuk memerbaiki rumah, mereka harus lebih berhemat. Tidak jarang ada yang terpaksa harus makan sehari dua kali sebagaimana puasa. Pada masa sepi tangkapan ikan maka ekonomi mereka sangat kritis, dalam keadaan seperti ini, barulah mereka akan menempuh jalan mencari pinjaman atau utangan ke berbagai pihak dan menggadaikan barang yang dimiliki atau menjualnya, bergantung pada tingkat kebutuhan uang kontan yang diperlukan. Kondisi demikian memerlihatkan kepada kita bahwa tidaklah berlebihan jika jaringan utang piutang di kalangan rumah tangga nelayan sangat kompleks dibandingkan dengan kelompok sosial yang lain.
Pada tahun 1984, sebagian tambak milik warga Tambak Lorok tidak dapat diselamatkan lagi akibat abrasi yang telah menggerus pantai sejak beberapa tahun sebelumnya, akibat tidak adanya tanaman bakau pelindung pantai. Tambak- tambak di ujung pantai terus tenggelam secara perlahan. Pengusaha tambak di ujung pantai pun mengalami kerugian. Pengusaha tersebut harus membuat tambak yang baru atau menghentikan usaha tambaknya agar terhindar dari kerugian yang sama. Warga yang tinggal agak jauh dari pantai juga mulai melakukan
210Wawancara dengan Jumani, 10 Oktober 2017.
pengurukan tanah secara rutin setiap tahunnya agar rumah mereka tidak terkena banjir rob yang semakin bertambah tinggi dari waktu ke waktu.211
Beban kehidupan semakin berat bagi rumah tangga nelayan miskin yang hanya menyandarkan kelangsungan hidup dari penghasilan melaut. Bagi rumah tangga yang demikian, ketika menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi atau kebutuhan lain yang mendesak maka mereka harus memobilisasi seluruh jaringan sosial baik kerabat, teman kerja, atau teman dekat yang dimilikinya untuk memeroleh sumber daya yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Rumah tangga yang masih memiliki barang-barang berharga yang bisa digunakan untuk mengatasi situasi krisis ekonomi, seperti perhiasan, pakaian, dan perabotan rumah tangga atau dapur, jaringan sosial akan dijadikan pilihan pertama untuk mendapatkan sumber-sumber bantuan. Jika jaringan sosial itu sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi, istri nelayan akan menggadaikan atau menjual barang-barang rumah tangga yang dimilikinya. Sebaliknya, bagi rumah tangga nelayan demikian yang tidak memiliki barang-barang berharga, jaringan sosial adalah pilihan satu- satunya yang harus didayagunakan untuk mendapatkan batuan sumber daya ekonomi. Gambaran kesulitan kehidupan rumah tangga nelayan buruh di Tambak Lorok Semarang, dapat disimak dalam contoh kasus di bawah ini.
Sokeh (67) adalah seorang warga Tambak Lorok yang berprofesi sebagai nelayan dari sejak tahun 1965. Ia memiliki 11 orang anak.
Dulu ketika di masa-masa awal menjadi seorang nelayan dan masih bekerja dengan para juragan dan buruh kapal lainnya, ia merasa bahwa hidup sebagai nelayan sangat sulit. Kapal yang digunakan waktu itu belum terdapat mesin tempel, sehingga masih menggunakan dayung dan layar. Mereka hanya mampu mencapai wilayah perikanan yang tidak sejauh saat ini. Untuk berlayar ke lokasi keberadaan ikan membutuhkan waktu hampir setengah hari.
Ketika mereka sampai di tujuan dengan kelelahan setelah mendayung perahu, mereka harus menebar jaring yang juga tidak pasti mendapatkan hasil. Pendapatan yang diperoleh tidak pasti selalu ada setiap kali mereka berlayar mencari ikan. Sering kali mereka justru kembali dengan tangan hampa. Mereka tidak mampu mengejar ikan ke laut yang lebih jauh, karena memakan waktu dan
211“Penggerusan Pantai Utara Pulau Jawa Makin Meluas”, Kompas, 26 Desember 1989, hlm 9.
tenaga, sedangkan jumlah perbekalan terbatas dan masih ada tanggungan keluarga di rumahnya.
Pada tahun 1974 ke atas, saat perahu sudah menggunakan mesin dalam dua hari berlayar mereka biasanya mendapatkan sekitar Rp.
33.000. Hasil tersebut berasal dari jumlah tangkapan sebanyak Rp.
200.000 yang kemudian dibagi separuh dengan juragan kapal dan sisanya Rp. 100.000 dibagi dengan ketiga buruh kapal yang lain.
Keadaan ekonomi yang sulit ini menyebabkan Sokeh kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk membuatkan baju baru bagi anak-anak, istri dan dirinya saja ia sulit, harus berhutang dan sering kali para penjahit menolak pesanan Sokeh karena terlambat membayar. Ia dan keluarganya selama bertahun-tahun tidak memiliki rumah sendiri, ia terkadang menumpang, dan kadang kala mengontrak secara berpindah-pindah selama beberapa tahun. Meski demikian ia tetap berusaha mencari penghasilan tambahan sebagai seorang tukang perbaikan perahu ketika tidak melaut. Hasil bengkel perahunya dapat ia tabung sedikit demi sedikit. Ketika anak-anaknya sudah mencapai usia kerja barulah kehidupan Sokeh berangsur membaik. Pada tahun 1980-an ke atas, anak-anaknya ada yang bekerja menjadi buruh industri, pedagang dan sebagainya. Jika ia hanya mengandalkan penghasilannya sebagai seorang nelayan maka ia tidak dapat memerbaiki kehidupannya. Begitu pula keadaan tetangga-tetangganya, bagi mereka yang masih tidak mampu dalam perekonomiannya maka rumahnya akan tampak pendek antara atap dan lantainya disebabkan karena penurunan permukaan tanah dan pengurugkan tanah untuk menutupi banjir rob yang dilakukan warga sekampung setiap tahunnya.212
Keadaan warga di Tambak Lorok sudah sejak lama memrihatinkan. Mereka merupakan lapisan masyarakat yang cukup sulit berubah apabila tidak ada dorongan dari pihak luar. Pemerintah dan berbagai pihak yang memiliki wewenang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sudah semestinya memandang perlu melakukan upaya yang terfokus untuk mengubah nasib mereka.
Terutama ketika banjir dan rob yang tidak hanya merusak rumah-rumah para nelayan, tetapi juga merusak perabotan-perabotan rumah mereka, alat-alat untuk membuat kapal seperti gerinda, palu, gergaji, pahat dan alat lainnya, kendaraan seperti sepeda serta alat-alat lainnya yang mengandung logam besi tidak tahan
212Wawancara dengan Sokeh, 6 April 2018.
korosi air laut menjadi rusak. Akibatnya mereka harus mengeluarkan biaya tambahan untuk merawat dan memerbaiki barang-barang milik mereka dan kegiatan ekonomi mereka turut terganggu. Ditambah pula jalan perkampungan tergenang rob dan sulit surut, akhirnya harus sering ditinggikan, sehingga antara jalan dan pondasi rumah selalu bergantian untuk ditinggikan.
Pada tahun 1987, banjir rob sudah merembes ke perumahan elite di sebelah barat Tambak Lorok yaitu Tanah Mas. Perumahan itu berada satu kilometer dari pantai utara Semarang, sedangkan Tambak Lorok hanya berjarak beberapa meter saja dari bibir pantai utara Semarang. Kawasan elite Tanah Mas dengan kondisi masyarakat yang sebagian besar berisi rumah tangga dengan golongan mampu secara ekonomi ternyata juga kesulitan menghadapi rob yang melanda permukiman mereka. Lokasi Tanah Mas tidak jauh dari Tambak Lorok.
Kawasan yang awalnya merupakan kompleks elite di wilayah utara Semarang perlahan berubah menjadi kumuh setelah mulai berlangganan dengan banjir rob.
Air rob memiliki sifat yang lebih merusak dibanding banjir biasa. Warga di perumahan Tanah Mas mengakui kondisi tersebut. Sejak tahun 1988, di Tanah Mas secara perlahan terus mengalami keadaan perumahan menjadi lebih rendah dibandingkan jalan yang ada di sekitarnya. Bahkan ada yang sampai setengah meter lebih rendah dari jalan. Hal itu tidak hanya terjadi pada sebuah bagian kompleks, tetapi merata di setiap wilayah Tanah Mas. Itu semua karena rob terus menggenang jalanan, sehingga waga meninggikan jalan yang ada. Akibatnya rumah-rumah di kawasan Tanah Mas mirip rumah di bawah tanah.213
Pada tahun 1990-an ke atas, tambak-tambak di ujung Tambak Lorok sudah hampir habis tenggelam. Air laut sudah jauh meninggi dari beberapa tahun sebelumnya. Bahkan lahan bagian utara Tambak Lorok sudah tenggelam beberapa puluh meter ke darat.214 Hal itu diperkuat oleh kondisi Tanah Mas yang terletak satu kilometer dari pantai sudah parah tergenangi oleh rob. Beberapa rumah di
213“Semarang Kaline Banjir, Semarang Laute Banjir”, Kompas, 4 Mei 1997 (http://adhisthana.tripod.com/artikel/semarang.txt, dikunjungi pada 23 Mei 2017).
214Wawancara dengan Jumani, 10 Oktober 2017.
Tambak Lorok sudah terlihat tidak tinggi sebagaimana di perumahan Tanah Mas, sedangkan pemiliknya memutuskan untuk pergi mencari kontrakan, karena genangan air yang memasuki rumah mereka sudah sulit dikeluarkan. Sebagiannya ada yang berusaha mencari urukan dari runtuhan bekas bangunan di perkampungan lain, agar bisa menghemat biaya membeli tanah urukan. Warga Tambak Lorok yang berpenghasilan lebih dari cukup, masih ada yang bisa bertahan dengan meninggikan pondasi dan atap rumah mereka secara bergantian.
Warga juga terus melakukan peninggian tanggul pemecah gelombang pantai agar tanah di ujung pantai Tambak Lorok tidak tergerus oleh ombak. Semua memerlukan biaya yang tidak sedikit. Warga Tambak Lorok melakukan pengurukan jalan perkampungan dengan cara swadaya, mengumpulkan iuran bersama, mengadakan kerja bakti meninggikan jalan-jalan di setiap gang secara berturut-turut. Dana yang terkumpul biasanya tidak dapat langsung digunakan untuk menguruk seluruh area jalan di perkampungan, tetapi harus bergantian karena dana yang terkumpul tidak mampu membiayai pengurukan secara langsung dan menyeluruh di Tambak Lorok. Percekcokan antar RT terkadang sempat terjadi, karena merasa tidak betah dengan banjir rob yang terus menggenang di jalan-jalan depan rumah mereka dan berebut ingin lebih dahulu mendapatkan urukan tanah.215
C. Upaya Masyarakat dan Pemerintah Menghadapi Kekumuhan di Tambak