• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak milik (kepemilikan) dalam Hukum Islam a. Pengertian Hak

MAKNA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK MASYARAKAT ADAT ATAS

A. Hak Milik (Kepemilikan) dalam Hukum Positif dan Hukum Islam Hukum Islam

2. Hak milik (kepemilikan) dalam Hukum Islam a. Pengertian Hak

terbatas dalam menggunakannya. Batasan-batasan hak milik dalam KHUHPerdata pasal 570 antara lain;

Undang-undang dan peraturan umum 1.

Tidak menimbulkan gangguan 2.

Kemungkinan adanya pencabutan hak (

3. onteigening)

Sedangkan pembatasan hak milik di luar pasal 570 antara lain;

Hukum tetangga, di mana aturan ini juga membatasi seseorang 1. dalam memepergunakan hak miliknya. Hukum tetangga ini dalam Islam masuk dalam pembagian hak yakni hak bertetangga atau hak berdampingan (haqqul jiwar) dengan Contoh, adanya kewajiban menerima aliran air dari tanah yang lebih tinggi ke tanah yang datarannya lebih rendah, kewajiban untuk memberi jalan keluar menuju jalan besar bagi yang memiliki pekarangan yang terletak ditengah-tengah, dll

Penyalahgunaan hak, yakni menggunakan haknya sedemikian 2. rupa sehingga mengganggu hak-hak orang lain

Beberapa hal yang diatur dalam hukum positif juga diatur dalam hukum Islam. Secara detailnya akan diuraikan secara tersendiri pada sub judul lainnya di bawah ini.

2. Hak milik (kepemilikan) dalam Hukum Islam

itu Allah disebut al haqq, kedua, sesuatu yang dijadikan (objek) yang mengandung hikmah, karenanya seluruh perbuatan Allah itu disebut al haqq. Ketiga, keyakinan bagi sesuatu yang sesuai dengan keadaannya seperti keyakinan si fulan terhadap kebangkitan, pahala, siksa, syurga dan neraka. Keempat, perbuatan dan perkataan yang terjadi sesuai dengan keadaan dan ukuran yang layak.

Menurut M., Ali Hasan, Hak adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Ia juga berarti kewenangan menurut hukum. Sedangkan Umar Shihab mengartikan hak secara harfiah sebagai kewenangan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukannya. Hak menurutnya, merupakan lawan dari kewajiban yang merupakan suatu tuntutan bagi seseorang untuk melakukan sesuatu.111

Pengertian secara umum hak ialah suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum.112Ada juga yang mendefinisikan hak yaitu kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseorang kepada yang lainnya.125

Secara terminologi Syar’, Mustafa Ahmad al Zarqa mendefinisikan Hak adalah ikhtisas (kewenangan) yang ditetapkan syar’ baik berupa sultah ataupun taklif. Sultah (kekuasaan) dapat di terapkan pada manusia seperti hak mendapatkan hadanah (pemeliharaan) dan wilayah (perwalian) ataupun benda tertentu seperti hak al milkiyyah (hak memiliki sesuatu) dan memanfaatkannya.

Definisi yang diberikan Mustafa Ahmad al Zarqa mencakup haqq al diini (hak agama) seperti hak Allah kepada hamba-Nya berapa shalat puasa dan lainnya. hak al-madani (hak perdata), yakni hak memiliki sesuatu, al haqq al Adabi (hak moral) seperti hak orang tua untuk ditaati anaknya, hak istri untuk dilindungi suami, haqq al maali

111Fauzi, Teori Hak, Harta & Istislahi Serta Aplikasinya Dalam Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2017) hal 20

112H. Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2016), hal.32 125 Ibid. hal 33

(hak harta) seperti hak nafkah, dan al haqq gayral maali (hak non harta) seperti hak untuk menolong diri sendiri. 113

Menurut wahbah al Zuhaili, definisi ini cukup bagus dikarenakan di dalamnya mencakup berbagai macam hak yang bersifat agama seperti hak Allah terhadap hamba-hamba-Nya seperti shalat, puasa, dan sebagainya, hak sosial seperti hak kepemilikan, serta hak-hak moral seperti hak orang tua terhadap anak, hak negara terhadap rakyatnya, serta hak-hak yang bersifat harta. 114 Definisi ini juga mencakup keterangan inti dari hak yakni ikatan khusus yang melekat pada orang tertentu dalam kaitan dengan objek tertentu, misalnya hak si penjual untuk menentukan harga sebagai suatu kekhususan yang dimilikinya. Karena jika tidak ada kewenangan terhadap barang yang akan dijual tersebut maka disebut dengan al ibahat al-ammah, artinya siapa saja boleh melakukan dan menguasainya seperti berburu, berkayu dan lainnya. Itu tidak dinamakan hak tetapi disebut dispensasi bagi manusia (rukhsoh al ammah lin naas).

Akan tetapi jika seseorang diberikan kewenangan maka pemberian kewenangan tersebut menjadi “hak” bagi yang diberi wewenang untuk menguasai sesuatu yang menjadi haknya tersebut.

Akan tetapi menurut hukum Islam kewenangan tersebut tentunya harus mendapatkan pengakuan secara Syar’, jika tidak diakui secara Syar’ maka tidak dapat dinamakan “hak”. Semisal, seseorang mencuri atau merampas milik orang lain secara defacto barang tersebut menjadi milik si pencuri akan tetapi secara Syar’ perbuatan mencuri tidaklah dibenarkan, sehingga kewenangan si pencuri terhadap barang tersebut tidaklah dinamakan “hak”.

Karenanya hak dalam penerapannya selalu dikaitkan dengan pemeliharaan kemaslahatan orang lain dan tidak merugikan kepentingan umum. Artinya bahwa setiap individu tidaklah memiliki kebebasan mutlak untuk menggunakan haknya, sebab dia bukanlah pemilik mutlak yang tidak dibatasi oleh kemaslahatan

113Ibid hal 21

114Wahbah Al Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid IV (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 364.

orang lain dalam menggunakan haknya dengan sewenang-wenang dan merugikan pihak lain. Sehingga “hak” menurut Fauzi adalah kewenangan yang ditetapkan Syar’ berkaitan dengan kekuasaan.115 b. Pengelompokan Hak

Dalam pengelompokkan hak ini terdapat perbedaan di kalangan ulama, namun sesungguhnya dalam penjelasannya tidaklah jauh berbeda. Menurut Wahbah al Zuhayli hak dapat ditinjau dari tiga sisi, subjek hak, objek hak, dan kewenangan pengadilan. Jika ditinjau dari subyeknya maka hak tersebut dibagi lagi menjadi tiga yakni; hak Allah, hak manusia dan hak musytarak (hak serikat) yakni gabungan antara hak Allah dengan hak manusia. Sedangkan dari segi objeknya hak dapat dibagi menjadi al haqq al mali (hak harta) dan al haqq gairu al mali (non harta), hak personal dan hak benda, serta al haqq mujarrad (hak murni) hak yang tidak memberikan dampak apa-apa ketika mundur dari hak tersebut, dan al haqq gairu mujarrad (hak tidak murni) yaitu hak yang memberikan dampak apabila terjadi tanazul (pemunduran diri dari hak tersebut). Sedangkan al haqq mali (hak harta) dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu al haqq al syakhsy (sesuatu yang diterima seseorang dari pihak lain berdasarkan ketetapan Syar’) seperti hak penjual mendapatkan bayaran dan hak pembeli mendapatkan barang, dan al haqq aini (hak yang ditetapkan secara Syar’ bagi seseorang terhadap sesuatu barang tertentu). Sedangkan jika dilihat dari wewenang pengadilan, dapat dibagi dua yakni al haqq al diyani (hak yang tidak boleh diintervensi oleh pengadilan) artinya hak itu tidak boleh memaksa terhadap seseorang tentang suatu perkara apabila tidak terdapat bukti dan al haqq al qada’i (hak yang berada dalam kewenangan hakim dan memungkinkan pemilik untuk membuktikannya di depan hakim).

Melihat pengelompokan tersebut maka hak cipta atas Ekspresi Budaya Tradisional maka jika ditinjau dari subjek hak maka dia merupakan hak manusia, jika ditinjau dari objek hak maka Ekspresi Budaya Tradisional ini masuk dalam kelompok harta khususnya

115Opcit hal. 22

harta yang tidak berwujud, adapun pada pengelompokkan lainnya tergantung pada posisi dan situasi di mana Ekspresi Budaya Tersebut berada.

1. Subjek Hak