• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsepsi Syekh Yusuf tentang Allah

DAENG KONDA DI TAVAELI (1660)

B. Konsepsi Syekh Yusuf tentang Allah

itu merupakan pembudayaan diri yang etis dan meditasi. Sama halnya dengan penyatuan antara sifat Jalal dan Jamal Allah, ia merupakan kebulatan rasa (dzauq) yang harus senantiasa menjadi hiasan atau sikap rohaniah seorang salik.

Sikap muraaqabah yang melalui bentuk renungan (meditation), bukan saja sebagai hasil dari haqqul yakin yang sempurna, melainkan cinta yang membara terhadap Tuhan melalui pernyataan sungguh-sungguh sifat Jalal dan Jamal-Nya.

Syekh Yusuf dalam hubungan ini mengembangkan metode mahabbah (cinta)23 atas dasar keimana sempurna kepada Tuhan, melalui cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini berarti menyatukan antara syariat dengan hakikat, seperti konsepsi yang terbesar dalam risalahnya.

Apabila kita meninjau wawasan berpikir umat Islam, khususnya di Sulawesi Selatan, sesungguhnya istilah maqamaat tersebut diatas sering kali disebut oleh ulama dan mubalig dan berbagai ceramah serta khotbah Jum’at. Misalnya istilah tawakal, sabar, ridha (rela), qanaah, zikir, dan lain-lainnya dengan interpretasi sendiri menurut bobot ilmu yang dimilikinya.

Pengetahuan keagamaan dilestarikan dan disosisalisasikan lewat simbol-simbol bahasa yang mempunyai makna bervariasi.

Pendalaman makna-makna tersebut lebih khusus dan lebih menukik di hati oleh para anggota tarekat bukan saja harus di pandang dari segi lahir makna simbol itu, melainkan makna hakiki yang mengarah pada pengungkapan pada inti amal ibadah.

Pengamatan terhadap kelompok-kelompok sosial penganut tarekat Khalwatiyah akan menarik perhatian, jika kita mulai melihat sikap dan interaksi mereka, persepsi, dan pandangan-pandangan yang menunjukkan berbagai hal berbeda dengan masyarakat muslim pada umumnya lebih jauh pada Bab V dalam karya ini.

23 Ibid, hlm. 93.

Sejarah Islam di Lembah Palu

— 142 —

I Pue Bulangisi atau Daeng Konda Di Tavaeli

— 143 —

Gambaran dari ilmu yang dimiliki oleh gurunya itu, dapat dikatakan turut mewarnai pengetahuan tasauf Syekh Yusuf atau sekurang-kurangnya memberi pengaruh terhadap alam pikirannya. Sebagai mana kita ketahui dalam tarekat, bahwa pola hubungan guru-murid itu amat kuat berpegang pada bai’at (sumpah setia), bahkan seorang syekh dianggap ayah rohani oleh murid-muridnya.25

Sama halnya dengan sufi pendahulunya, Syekh Yusuf selalu menjadikan ayat-ayat Alquran serta Hadits Nabi Muhammad SAW sebagai dasar pendapatnya. Kemudian ia memperkuat pandangannya dengan mengutip pendapat para sufi termasyhur, seperti Muhyiddin Ibnu Al-‘Arabi (638H/1241 M); Abd. Karim al-jili (811 H/1409 M); Abu Yazid al-Busthami (261 H/877 M); Abu Qasim al-Junaid al-Bagdadi (298 H/910 M); Abu Said al-Harrazi (286 H/899 M); Ibrahim bin Hayan bin Syihabuddin (kurang lebih 185 H/801 M); Abu Hamid al- Ghazali (1058-1111 M), dan sufi terkenal lainnya.

a. Wujud Allah

Berdasarkan hasil kajian terhadap karya-karya Syekh Yusuf tentang Islam, khususnya aspek-aspek tasauf, diperoleh kesan kuat bahwa ajarannya tidak terlepas dari teologi Asy’ariyah.

Rumusan dari ajarannya itu dapat disederhanakan, seperti percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang meng- ada dengan kesucian-Nya, menciptakan sesuatu dari tiada ke ada. Segala sesuatu bergantung kepada-Nya, sedangkan Dia sendiri tidak bergantung pada sesuatu. Wujud, sifat, dan

25 Lihat Hamka, Kunci Memahami Ilmu Tasauf, Surabaya: Bina Ilmu, 1959, hlm. 27. Catatan ini diperlihatkan untuk melihat kenyataan sosial yang berkembang di kalangan kelompok tarekat, tetap melanjutkan tradisi hubungan khalifah-murid sampai sekarang. Pola hubungan ini. Berfungsi bukan saja menjaga aspek-aspek sosial di antara mereka, melinkan lebih penting lagi menjaga berlakunya syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifah yang diwajibkan kepada setiap murid, agar mereka tidak menyimpang salah paham dan jatuh pada maksiat atau kemusyrikan.

karya-Nya bersifat amat khas berbeda dengan makhluk- Nya. Esensi dan pengetahuan-Nya berbeda dengan segala makhluk. Karya mencipta adalah sifat-Nya dari tiada dan ada dan Dia memiliki Amr (perintah atau memimpin) yang khas pula. Tingkah laku (behaviour) manusia juga adalah cipta dan pimpinan-Nya, namun manusia diberi kebebasan untuk memilih mana yang baik dan yang buruk. Manusia diberi akal- budi untuk menjalankan perintahnya sebagai khalifah di dunia.

Esensi seluruh makhluk adalah ketiadaan (‘adamun), namun keberdaan mereka selalu berzikir menurut cahaya masing- masing sebagai tanda kemakhlukannya.

Dikatakan bahwa Tuhan melingkupi (muhithun) segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu itu, sedangkan batas kedekatan-Nya tidak dapat diketahui. Mengenai hal ini, Syekh Yusuf mengembangkan konsepsinya dengan istilah al- ihathah dan al-ma’iyah (sesuai Surat Al-Mujadalah ayat 7 dan Surat Al-Hadid ayat 4). Dia (Tuhan) bersama kalian dimana pun engkau berada dan Allah meliputi segala sesuatu dengan pengetahuan-Nya (Ilmu-Nya). Kebersamaan Tuhan dengan hamba-Nya adalah kepada orang yang senantiasa berzikir (mengingat) kepada-Nya. Kebersamaan ini berarti melingkupi semisal kebersamaan si pembuat dengan pembuatannya.

Tuhan melingkupi atau meliputi, seperti melingkupi terhadap yang disifati-Nya.

Penjelasan lebih lanjut mengenai konsep al-ma’iyah (beserta) dan al-ihathah (melingkupi) ini, dikatakan dalam risalah An-Nafathu as-Sailaniyah (NA-101, Halaman 23):

“Bahwa Allah Taala adalah Gaib, lagi Mahagaib dan tidak ada yang tahu hakikat-Nya, kecuali Dia sendiri. Bahwa Dia dari rahasia ke-Dia-anNya dalam al-Kulli dan dengan al- Kulli pada awal dan akhir, tanpa mudakhalah (memasuki) dan tanpa menyatu. Dia meliputi al-Kulli (segala yang ada) lahir dan batin, tanpa percampuran dan tanpa perpaduan.

Dia beserta al-Kulli secara sempurna dan menyaksikan

tanpa penyesuaian dan tiada menyerupainya. Dia terawal tanpa permulaan dalam ‘ain yang lain, dan Dia terakhir tanpa penghabisan dalam ‘ain permulaan”.

Rumusan tersebut di atas merupakan dasar teori imanensi yang menyatakan bahwa Tuhan hadir di mana-mana Dia (Tuhan) beserta kamu sekalian di mana pun engkau berada.

Tuhan hadir sebagai dziil (bayangan) yang dipantulkan oleh banyak cermin, namun kejamakan ini tidak mempengaruhi ke-Esa-anNya. Tuhan amat dekat dengan hamba-Nya.

Beberapa ayat Al-Quran yang menopang pendapat Syekh Yusuf sesuai dengan alur doktrin yang dipahaminya, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 115: “Kepunyaan Allah Timur dan Barat, kemana pun engkau menghadap disitulah wajah Allah:

Surat Al Baqarah ayat 186: ”Apabila hamba-hamba bertanya kepadamu tentang Aku, (jawablah) bahwasanya Aku adalah deakat”; Al-Hadid ayat 3: “Dialah yang awal dan yang akhir, yang lahir dan yang batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (urusan); dan Surat At-Thalaaq ayat 12: “Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”.

Peliputan Tuhan terhadap hamba-Nya itu adalah secara sifat terhadap mereka yang fana dan baqa dengan-Nya. Dari segi pengertian ini, menurut Syekh Yusuf, fana adalah hamba yang tidak memiliki kesadaran tentang dirinya, -bukan mabuk kepayang- bagi dirinya sendiri merasa ada, hanya ia menyadari sebagai yang mewujudkan, yang diwujudkan, dan perwujudan, namun bagaimanapun hamba mersa meng-ada dengan Tuhan, hamba tetap Tuhan. Hamba merasa meng-ada dengan Tuhan, jika menyifati sebgai sifat Tuhan. Tuhan tetap adanya, walaupun tajalli26 dan ta’ayyun dalam hamba-Nya, dan menyifati sebagian

26 Lihat R.A Nicholson, Studies In Islamic Maysticism, New York:

Cambridge, 1921, hlm. 125, dijeaskan bahwa kata yang bisa dipakai tanda self-manifestation of God in His essence, attributes and names, adalah Tajalli tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya bisa disebut suatu illumination.

sifat-sifat hamba-Nya. Allah mempunyai sifat laisa kamitslihi syai’un (Al-Quran 42: 11).

Sumber itikad yang telah disebutkan terdahulu dikategorikan masuk sebagai tauhid dalam hal pengenalan wujud Allah, seperti dikatakan dalam risalah Mathaalibu as- saalikiyn (NA-101: 81):

“Adapun tauhid itu ada dua macam. Pertama, Wihdat al- Wujud seperti paham para sufi muhakiki yang mendalami hal. Mereka berkata bahwa tidak ada yang maujud pada alam gaib dan pada alam nyata, tidak ada pada lahir dan batin, kecuali wujud yang waahid (satu). Zat yang ahad (tunggal), dan hakikat yang satu. Seperti anggota badanmu misalnya terbagi-bagi, sedangkan engkau tetap memiliki zat-mu, kecuali roh. Demikian pula segala sesuatu (al- asyyaa) berbeda dengan Allah, sedangkan Allah ada pada Zat-Nya. Nisbah keber-ada-an sesuatu dengan Allah itu, seumpana nisbah keber-ada-an jasad dengan roh, maka disebut insan, yakni terdiri atas jasad dan roh. Insan tidak roh saja dan tidak jasad saja bahkan keduanya. Demikian Tuhan dinamai Tuhan, karena mempunyai Zat dan sifat.

Adapun sifat kesempurnaan-Nya seperti mengetahui, mendengar, melihat, dan lain-lain nama dan sifat uluhiyah (keilahian), maujud semua pada satu, yaitu maujud pada al-asyyaa (segala sesuatu). Kalaupun Allah tidak terdapat pada sesuatu, karena memang Dia suci dari tempat dan waktu dan dari apa yang tidak layak bagi Zat-Nya, seperti halnya roh tidak menetap pada suatu anggota badan,namun roh maujud pada badan. Demikian Allah tidak menetap pada sesuatu, namun dia maujud pada segala sesuatu… segala sesuatu sudah berada dalam Ilmu Tuhan, sedangkan ilmu-Nya adalah sifat-Nya. Sifat dengan Zat adalah Esa. Tidak akan tergambar pemisahan jasad dari roh sebelum meniggal… inilah makna dari firman Allah

“Adalah Allah meliputi sesuatu”. Adalah Allah azali, tak ada sesuatu yang menyertai, Ia abadi sebagaimana Ia dalam ke-azalian-Nya. Kedua, yakni Surat Al-Ikhlas dan

Sejarah Islam di Lembah Palu

— 146 —

I Pue Bulangisi atau Daeng Konda Di Tavaeli

— 147 —

laisa Kamitslihi Syai’un (Surat Asy-Syuura ayat 11), artinya

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia”.

Kutipan di atas mengingatkan kita pada ajaran Syekh Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi (w. 1241 M) dengan mahzab Wihdat al-Wujud yang mempunyai banyak pendukung maupun penyanggah. Memang nama Ibnu al-‘Arabi seringkali disebut dalam risalah-risalahnya bersama dengan sufi lainnya, seperti Abu Yazid al-Busthami (w. 877 M), Abd. Karim al-Jili (w. 811 M), Abu Hamid al-Gazali (w. 1111 M), dan lain-lainnya.

Melihat konsepsi dan ajaran Syekh Yusuf, tampak ada kemiripan pendapat filsafat-mistik Ibnu al-‘Arabi yang lazim dibicarakan oleh Orientalis Barat sebagai pantheisme27. Namun berbeda dengan Syekh Yusuf, bahwa ia tetap berpegang pada aspek-aspek teologi Asy-aryah (seperti rumusan di depan).

denagamn sangat hati-hati Syekh Yusuf mengembangkan konsepsinya, yaitu al-ihathah dan al-ma’iyah. Konsepsinya ini merupakan jalan keluar agar para muridnya tidak terjerumus memahami bahwa wujud Tuhan itu hadir di mana-mana yang bisa berarti Tuhan menjelma sebagai batu, di pohon kayu, dan lain-lain benda-benda alami atau menjelma dalam diri manusia.

Konsep al-ma’iyah (kesetaraan) dan al-ihathah (peliputan)

27 Lihat Ibnu ’Arabi, fushuushul hikaan, ed. A.A. Afifi, Kairo, 1947, hlm. 158. Secara sederhana, filsafat mistik Ibnu al-‘Arabi dirumuskan, bahwa hakikat wujud adalah satu pada esensinya dan jamak pada sifat dan namanya. Keragaman yang tampak ini dari hakikat yang Esa itu, disebabkan oleh nisbah, relasi, dan i’tibar. Yang Esa itu qadim dan azali, tidak berubah meskipun bentuk dan cinta wjud yang lahir daripada-Nya selalu berganti atau berubah. Ditamsilkan sebagai laut yang tidak bertepi, sedang wujud yang empiris ini merupakan ombak yang tampak dipermukaan. Jadi, dari segi esensi, hakikat yang Esa itu adalah Tuhan dari segi sifat Ia adalah alam.

Hakikat yang Esa mengandung dalam dirinya hal-hal yang berlawanan:

Tuhan dan alam, Esa dan jamak, qadim dan baharu awal dan akhir, lahir dan batin. Tuhan mempunyai dua wujud, yaitu wujud hakiki dan wujud idhafi (wujud sifat dan empiris). Wujud idhafi adalah dzill (bayangan) bagi Tuhan, sehingga Ia menjangkau dunia gejala.

Tuhan itu adalah secara ilmu. Seperti yang di tunjukkan dalam firman Tuhan yang mengatakan: “qad ahathah bikulli syai’in Ilman” (Surat Ath-Thalaaq: 11), sungguh Allah Ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.

Kemudian Syekh Yusuf menjelaskan bahwa kesertaan Allah dan peliputan-Nya kepada hamba-Nya harus dipandang tidak terpisah, yakni al-ihathah al-ma’iyah. Allah amat dekat dengan hamba-Nya, karena beserta dan peliputanya seperti terhadap yang disifati-Nya dengan beberapa sifat tertentu.

Jadi, tidak berarti kesertaan dua hal yang bersamaan dalam satu arus, tetapi kesertaan-Nya meliputi. Konsep al-ihathah al-ma’iyah tidak terpisahkan seumpama pembuat dengan pembuatannya atau pencipta dengan ciptaannya. Dengan demikian, sifat-sifat uluhiyah meliputi segala sesuatu.

Kemudian Syekh Yusuf lebih menjelaskan konsepsinya ini, bahwa Tuhan beserta dan meliputi hamba-Nya, adalah mereka yang senantiasa berzikir (mengingat) pada Allah terutama mereka yang fana dengan-Nya. Dengan jalan mengingat itu, maka tuhan juga mengingatnya. Lewat ingatan Tuhan selalu dan ilmu-Nya dan sifat uluhiyat-Nya maka Tuhan selalu melindungi, dalam arti meliputinya. Hamba yang berzikir sepanjang waktu dan pada semua tempat, sehingga berkekalan rindu dan cintanya, maka Tuhan pun mencintainya dan selalu beserta dia.28

Dalam hubungan konsep ini, Syekh Yusuf menghindari istilah al-hulul29 seperti yang diajarkan oleh husain bin Mansur al-Hallaj al-Bagdadi (w. 922 M) dan istilah ittihad seperti yang

28 Lihat Syekh Yusuf, Zubdatu al-Asraar, op.cit., hlm. 31.

29 Dalam arti harafiah masuknya sesuatu kedalam sesuatu. Doktrin al-hulul diajarkan oleh al-Hallal yang memahami sesuatu unsur makhluk masuk ke dalam diri Tuhan. Apabila “sesuatu selain Tuhan” tidak ada, maka doktrin ini seperti tidak terwadahi lagi. Hulul adalah sesuatu tingkatan yang dialami oleh seorang sufi, yaitu sudah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Dilihat dari rasa kebersatuan ini, disebut pula dalam istilah lain ittihad.

diajarkan oleh Abu Yazid al-Busthami, namun pengalaman batin dari keduanya dalam ekstate, dijadikan misal untuk orang telah berada pada puncak keharuan hasil cintanya kepada Allah Taala. Kalimat yang berasal dari Ibnu al-‘Arabi: al-‘abid walma’ budu waahidin (penywmbah dan yang disembah adalah satu) seperti yang dilikiskan oleh Hamka (1987: 146) tidak pernah disebutnya.

Pendirian Syekh Yusuf dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat penyesuaian (adjusment). Syekh Yusuf berusaha menjelaskan filsafat-mistik Ibnu al-‘Arabi yang diikutinya dengan sesuatu tekanan perhatian, yaitu penyucian Tuhan diatas segala-galanya. Oleh karena itu, dalam ajaran ia selalu menekankan prinsip tauhid yang berdasarkan Surat Al- Ikhlas dan Surat Asy-Syuraa ayat 11, yaitu kamitslihi syai’un.

Selain itu, ia pula mengembangkan dasar doktrin imanensi dengan konsepsi al-ma’iyah al-ihathah seperti disebutkan diatas.meskipun al-‘Arabi mempunyai prinsip laisa kamitslihi syai’un, yang dianut pula oleh Syekh Yusuf, namun Syekh Yusuf memberi penegasan bahwa wujud segala sesuatu itu berbeda dengan wujud Allah, betapapun hamba taraqqi (menaik) dan Tuhan tanazzul (menurun), bahwa hamba tetap hamba dan Tuhan tetap Tuhan.

Bagi Syekh Yusuf, wujud Allah adalah Esa dan hakiki, dibedakan secara tajam dengan wujud alam ini yang merupakan bayangan atau mazdar (pernyataan) bagi Allah. Syekh Yusuf pula tidak mempunyai pandangan yang menempatkan wujud alam ini sebagai degradation (setingkat lebih rendah) dari wujud Allah karena seperti itu bisa membawa kemusyrikan.

Ajaran ini dalam hubungannya dengan meditasi terhadap wajah Allah melalui zikir, dikatakan oleh Syekh Yusuf dalam risalahnya zubdatu al-Asraar (NA-101: 32):

Kemudian dipahami oleh hamba yang tersebut makna kalimat zikir saat ia berzikir, bahwa tak ada yang disembah,

tak ada yang dituntut, tak ada yang dimaksud, tak ada yang dicintai, tak ada yang dirindui, tak ada yang berbuat, dan tak ada maujud sebenarnya, kecuali Allahdan tidak yang lainnya, bahwa yang selain Dia, adalah dzillu (bayangan) bagi Allah Taala. Bayangan sesuatu tiada wujudnya, hanya seperti rupa wujud menurut yang sebenarnya.”

Di lain pihak, Syekh Yusuf menggunakan kata shurah (bentuk atau penampakan diri) dalam menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada ini adalah mazdhar (pernyataan diri) Allah. Shurah (bentuk bentuk) dan batas-batasnya itu, bukanlah gambaran lahiriah dari Allah karena Dia tidak serupa dengan segala sesuatu. Jadi istilah shurah (bentuk atau cinta), dimaksudkan adalah hubungan antara zat, sifat, dan perbuatan Tuhan yang kemudian tercipta sesuatu.

Salah satu itikad yang menjadi pendirian Syekh Yusuf adalah prinsip mempertemukan dua hal yang berlawanan.

Prinsip ini ditarik dari sifat-sifat Tuhan yang berpasangan dan berlawanan, seperti: lahir dan batin, awal dan akhir, memberi petunjuk (al-Haadid) dan memberi sesat (Mudhil), menghidupkan (Muhyi) dan mematikan (Mumit), memberi rahmat dan pembalasan, dan sebagainya.

Sifat ini dipandang satu kesatuan pengertian yang kembali pada wujud Allah Taala. Dengan demikian, sikap khauf (cemas) seorang salik tidak mutlak dan ia mengimbangi dengan sikap rajaa’ (harap) dan sebaliknya. Bukan salah satu yang harus dimutlakkan, melainkan kesatuan sikap dari keduanya menjadi sikap mutlak, sehingga muncul sikap keikhlasan beribadah, tanpa disebabkan cemas dan mengharap. Sama halnya juga dalam menyucikan Allah dalam sikap tanzih (mengkuduskan) dan tasybih (menyerupakan). Pendirian Syekh Yusuf harus dirasakan dan berada diantara keduanya, bukan hanya tanzih karena akan menyebabkan tafrith (tidak sampai batas) dan

Sejarah Islam di Lembah Palu

— 150 —

I Pue Bulangisi atau Daeng Konda Di Tavaeli

— 151 —

kalau hanya semata-mata tasybih akan menjadi ifraath (melampaui batas). Kemutlakan zat Allah yang dituntut dan dimaksud adalah untuk sampai bertemu dengan wajah Allah yang sempurna atas kerelaan-Nya. Jadi tauhid yang hakiki tidak dapat diperoleh hanya dengan usaha manusia dengan melalui akal, tetapi kerelaan dan atas anugrah Tuhan melalui kasyaf (keterbukaan tabir). Konsepsi tentang mempertemukan dua hal yang berlawanan bukanlah hal baru, karena beliau menyadarkan pendapatnya pada Abi Zaid al-Harrazi. Pendirian ini berdasar pula dari ajaran muhyiddin Ibnu al-‘Arabi yang tidak bertentangan dengan teologi Asy’ariah.

Karya ini tidak berusaha membandingkan ajaran Syekh Yusuf tentang Ketuhanan dengan pendapat para sufi dan pemikir lain, tetapi berusaha menurut pada sumber asal ajarannya untuk sampai melihat penyebaran ajaran tersebut dengan segala gejala yang tampak dalam realitas kehidupan keagamaan masyarakat. Dengan dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsepsi dan ajaran Syekh Yusuf termasuk aliran Wihdat al-Wujud dari Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi.

Kemudian Syekh Yusuf menyesuikan konsepsinya dengan teologi Asy’ariah, lalu mendalamin muthlaq al-wujud (wujud mutlak) atau kemutlakan Tuhan yang berwatak imanensi, dalam arti Tuhan meliputi dan beserta dengan segala sesuatu sesungguhnya Surat Al-Ikhlas dan Surat Asy-syuraa ayat 11, sudah cukup melukiskan kemutlakan Tuhan dan bahkan wujud berada-Nya disegala tempat, sehingga tidak mudah untuk diinterprretasi pantheistis30

30 Lihat muhammad Ikbal, pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Djakarta: bulan bintang 1996, hlm. 76. Dijelaskan bahwa metafora cahaya yang digunakan buat Tuhan haruslah menurut pandangan pengetahuan modern, dianggap untuk menyarankan Kemutlakan Tuhan dan bukan wujud ber-ada-Nya disegala tempat yang dengan mudah dapat dipergunakan bagi suatu penafsiran patheistis.

b. Zat dan sifat

Sesungguhnya Syekh Yusuf lebih suka berbicara tentang sifat daripada Zat. Hanya bila mana dikemukakan sifat Tuhan tanpa ada kaitan dengan Zat, maka memungkinkan pengertian tentang Zat itu akan hilang. Bagaimana Syekh Yusuf berbicara tentang Zat, sedangkan beliau sendiri kurang menyebutkan kata itu? Ini penglihatan sementara jika didikuti uraian dalam beberapa risalahnya. Apabila kita merenungi konsepsinya mengenai Muthlaq al-Wujud dengan doktrin imanensi yang dianut, ternyata pendiriannya lebih mengarah pada pengungkapan tentang Zat Tuhan.

Ada empat ayat dalam Surat Al-Ikhlas yang menjadi sumber itikad, direnungi secara mendalam kandungan makna hakiki dan dikaitkan dengan asma serta sifat-sifat Tuhan interpretasi terhadap makna hakiki kemudian dijadikan kerangka konseptual dalam menganalisis keberadaan Allah, karya cipta dan ciptaan-Nya terhadap segala sesuatu (al- asyyaa) ayat-ayat itu adalah:

1. Katakanlah: Huwa (Dia) Allah itu Ahad (Tunggal) 2. Allah itu, tempat bergantung segala sesuatu 3. (Dia) tidak bernak dan tidak diperanakkan 4. Dan tidak ada satu pun serupa dengan-Nya.

Kata Huwa adalah bermakna Zat Allah Yang Ahad (Tunggal), bukan Wahid (Satu) yang bisa berkelanjutan jadi dua, tiga dan seterusnya berbilang-bilang. Artinya masih memerlukan perbandingan dan penajaman. Allah cukup ahad saja.

Secara simbolik, Syekh Yusuf memberi predikat terhadap zat ini dengan Ilahi, kemudian diberi identitas masing-masing huruf, yakni huruf Alif yang menunjukkan ke-Esa-an-Nya, huruf lam menunjukkan keberdaan-Nya, sedangkan huruf ha menunjukkan sifat-sifat-Nya. Aspek simbolik dalam dunia

pengetahuan berfungsi komunikatif yang mendekatkan pikiran pada obyek tertentu. Dari kata Ilah-tiga huruf-bersumber predikat Allah sebagai himpunan nama-nama ke-ilahi-an.

Satu prinsip penting dapat digunakan dalam melukiskan sifat Ahad yang berkaitan dengan Zat-Nya dalam hal kesatuan perwujudan-Nya, sedangkan keagamaan hanyalah dalam perwujudan-Nya melalui sifat-sifat secara rohaniah, beserta, dan meliputi.

Ayat kedua, bahwa Zat Allah itu shamad, berarti tempat bergantung segala sesuatu. Dia berdiri sendiri, tidak bergantung pada sesuatupun. Kemudian kata tiada beranak tiada diperanakkan, menunjukkan kezalian, tiada berawal dan dan tiada berakhir, bahkan Dia awal dan Dia terakhir. Lalu kata tidak ada satu pun serupa dengan-Nya adalah pada segenap sesuatu yang ada dahulu, sekarang, dan mendatang. Disini ditarik itikad yang kedua, laisa kamitsli syai’un (Dia Zat Allah tidak serupa dengan sesuatu pun).

Empat ayat dalam Surah Al-Ikhlas tersebut disimpulkan tentang adanya dua hal, yakni Zat Allah berhadapan dengan sesuatu atau segala sesuatu. Disinilah para sufi membuat teori, konsep-konsep, dan pengertian-pengertian mengenai hubungan keduanya. Selain Alquran memiliki ayat-ayat muhakkamah dan mutasyabihah yang menjadi sumber inspirasi dan sandaran pemikir, Alquran tidak menjelaskan pula sifst hubungan antara asma dan sifat-sifat Allah dengan Zat-Nya.

Mengenai masalah kenuhanan, bahwa Tuhan dapat pula disebut Syai’ memungkinkan Dia dapat diketahui ataupun dikenali, maka Syai’ kemudian diberi predikat zat yang bermakna mempunyai milik atau pemilik sesuatu yaitu memiliki sifat-sifat.

Dalam hal perwujudan sifat-sifat (zat) Ilahi, menimbulkan asyyaa (segala sesuatu) yang beragam. Wujud asyyaa itu adalah

‘Ain Tuhan. Pernyataan ini bertolak dari phrase subhana man khalaqa al-asyyaa wa Huwa ‘ainuha” (Mahasuci Tuhan yang

menjadikan segala sesuatu dan Dia ‘Ain-Nya). Huwa adalah Dia Zat Tuhan yang menjadi ‘Ain al-asyyaa (segala sesuatu).

Syekh Yusuf menafsirkan ‘Ain segala sesuatu dengan kata Ia ghirah (bukan selain-Nya), tidak dari selain diri al-Haq Taala dilihat dari segi wujudnya, yaitu wujud yang berdiri dengan sendirinya. Tidak dari segala sesuatu (Syai’) itu. Dia adalah Dia dan Syai’ adalah Syai.31 Refleksi dari pemikiran ini, dikatakan bagaimanapun hamba dalam taraqqi, Tuhan tetap Tuhan dan hamba tetap hamba, namun atas anugrah Tuhan sesudah kasyaf, hamba dapat memperoleh kenikmatan yang sempurna.

Zat Allah bagi Syekh Yusuf adalah Maha Suci dan Maha Tinggi, di atas dari segala-galanya, amat sukar di bayangkan dan tidak terbetik dalam pikiran. Zat dan sifat tidak di bandingkan dengan sesuatu, namun keberadaan-Nya sangat dirindui dan didambakan. Dalam hubungan pembahasan mengenai Zat, rupanya Syekh Yusuf sangat hati-hati, mungkin untuk menjaga murid-muridnya yang masih awam agar tidak salah paham. Meskipun gaya tulisannya selalu menempatkan suatu masalah pada maqam-maqam (station) tertentu menurut tingkat pengetahuan dan pengalaman batin para pengikutnya.

Apabila kita memasuki lapangan I’tibar (dugaan atau hayalan) mengenai Zat Tuhan, Syekh Yusuf mengembangkan konsep mengenai apa yang melekat dengan Zat, yakni ilmu (pengetahuan), wujud (eksistensi), nur (cahaya), dan syuhud (penyaksian). Pendirian Syekh Yusuf tetap taat asas berpegang pada doktrin imanensi dalam Muthlaq al-Wujud. Zat melingkupi dan meliputi seluruh makhluk, sama juga dikatakan bahwa Tuhan meliputi segala sesuatu dengan ilmu-Nya.

Kata Allah adalah nama bagi zat yang berasal dari kata Al- Ilah, sedangkan Ilahi adalah sesuatu yang dituntut, dimaksud, dan dicari dalam ibadat untuk berhubungan dengan wajah- Nya yang sempurna. Oleh karena itu, diwajibkan menyucikan

31 Lihat Syekh Yusuf, taju al-Asraar, op.cit., hlm. 73.