Sejarah Islam di Lembah Palu
— 98 —
I Pue Imbatu atau Syekh Lokia
— 99 —
5. Menjauhkan diri dari makhluk dengan tidak condong hatinya kepada mereka
6. Benar-benar tawajuh kepada Allah 7. Sabar menghadapi malapetaka
8. Rela kepada kada dan kadar, menyerahkan semua perkara kepadaNya
9. Terus menerus zikir lahir dan batin, tidak alpa kepada Allah
10. Benar-benar mendekati Allah36, seperti bunyi hadis:
Suatu ketika Malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad lalu bertanya tentang ihsan. Nabi Muhammad menjalaskan bahwa ihsan adalah engkau menyembah Allah seperti engkau melihatNya. Jika engkau tidak mampu melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihat kamu (beribadah).37
Kemudian syarat zikir menurut ahli Fana ada 10 langkah untuk sampai kepada maksud mendapat pertolongan Allah, yaitu:
1. Cari tempat yang sepi, tidak terdengar seorang pun.
2. Pakaian zahir suci, badan zahir dan batin suci, dengan wudhu.
3. Melepaskan asap wangi untuk memudahkan pada waktu zikir.
4. Duduk bersila waktu zikir.
5. Menghadap kiblat
6. Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha, kemudian
36 Ibid., hlm. 59.
37 Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Hadis Nomor 8.
mengangkat jeriji telunjuk waktu nafi dan meletakkannya pada waktu ithbat.
7. Ikhlas dalam niat hanya karena Allah.
8. Mendatangkan arti yang hakiki dalam sirr (rahasia).
9. Berzikir dengan kemauan, hormat, dan takzim.
10. Tawajuh dengan sempurna terhadap Allah dengan menyisihkan selain Dia dari perasaan, menyisihkan diri sendiri kemudian yang berzikir dan zikirnya menjadi yang diingat sendiri, karena fana fillah.38
Kesepuluh langkah itu disebut tirakat, yang menuntun peserta tarekat untuk konsentrasi dalam pikiran, sehingga potensi zikir yang terdapat jiwa, sedikit demi sedikit terpancar dalam kesaktian dan keharuman pribadi yang sudah sampai pada tingkat tajalli. Masyarakat muslim sangat menggandrungi aspek ritual ini karena dianggap sebagai buah (halawah) dari pekerjaan beribadah selama hidupnya.
Pada umumnya peserta tarekat yang masih belajar terdiri dari orang-orang yang mengetahui ala kadarnya tentang Islam, dan memanglah mereka kebanyakan terdiri dari orang-orang yang telah matang, malahan pun orang-orang yang telah berumur. Maka tinggallah mereka untuk beberapa minggu lamanya pada pusat latihan bertarekat itu, atau mereka mengunjungi pusat-pusat latihan pada waktu tertentu di mana mereka sudah sanggup mematuhi aturan yang berlaku dalam tarekat masing-masing. Ada yang membatsi jenis dan jumlah makanan dan minuman. Ada pula yang membagi waktu dengan cermat. Tiap bagian diperuntukkan bagi amal (biasanya ibadah) yang tertentu, sedangkan keseluruhan hidup selama latihan disediakan untuk zikir dan wirid.39
38 Tujimah, Syekh Yusuf…, h. 59.
39 Deliar Noer, Gerakan …, hlm. 12.
Sejarah Islam di Lembah Palu
— 102 —
I Pue Imbatu atau Syekh Lokia
— 103 —
VI. PENUTUP
Setelah membaca dan menelisik lebih jauh mengenai keberadaan dan peran sosial I Pue Imbatu di Towale, maka ada lima hal yang perlu disampaikan sebagai simpulan dari pembahasan ini. Pertama, berdasarkan cerita di atas dan dengan menggunakan tipologi ulama yang dikemukakan oleh Ahmad Adaby Darban, ada empat tipologi ulama yaitu (1) golongan ulama yang merangkap sebagai penguasa pusat pemerintahan, (2) golongan ulama yang masih berdarah bangsawan, (3) golongan ulama sebagai alat birokrasi kerajaan/pemerintahan, dan (4) golongan ulama pedesaan yang hidup di desa-desa dan tidak memiliki hubungan dengan kekuasaan.40 “Kaum ulama desa ini bekerja independen menurut kemauannya sendiri untuk mengembangkan agama islam di daerahnya.”41 Dengan demikian, I Pue Imbatu adalah seorang ulama pedesaan.
Kedua, belum diketahui secara pasti tahun kelahiran I Pue Imbatu, namun berdasarkan metode yang dikembangkan dengan asumsi usia setiap generasi di Towale berusia antara 25-30 tahun, maka periode hidup dari I Pue Imbatu dapat diperkirakan, yakni sekitar akhir abad delapan belas hingga awal abad sembilan belas. Kemudian tiga abad sebelum kedatangan I Pue Imbatu ke Towale, Islam telah masuk di Towale. Ketiga, sosok I Pue Imbatu sangat istimewa bagi masyarakat Towale, sebab sampai sekarang beliau adalah ikon Islam Towale yang sangat penting di Teluk Palu. Saya menyebutnya Islam Towale, sebuah kehidupan masyarakat Islam yang tidak serta merta timbul begitu saja dan berkembang, melainkan memiliki proses panjang. Hal ini telah diabadikan lewat pembangunan Yayasan Pendidikan Islam Syekh Lokiya. Terlepas dari kesangsian saya atas pemberian gelar syekh kepada I Pue Imbatu. Keempat, menurut hemat saya bahwa berdasarkan data yang telah
40 Ahmad Adaby Darban, “Ulama Jawa Dalam Perspektif Sejarah”, Humaniora Volume 16, No. 1, Pebruari 2014, hlm. 31-32.
41 Ibid., hlm. 32.
dikprelasikan dengan data di Towale, maka saya begitu meyakini bahwa Tuan Hadji yang dimaksud oleh David Woodard adalah I Pue Imbatu. Beliau adalah satu-satunya orang Travalla yang mampu berbahasa Melayu. Tuan Hadji yang dimaksud Woodard itu sering ke Sindue dan Tambu, Sabang dan lain- lain. Cerita mengenai I Pue Imbatu yang pernah berlayar ke berbagai Tanjung di Teluk Palu. Bahkan lebih jauh, saya masih agak sangsi bila dikatakan bahwa beliau adalah seorang ulama keturunan Towale asli pada masa itu.
I. TAWAELI: Sebuah Gambaran Umum
Tawaeli adalah satu daerah yang pernah menjadi kerajaan lokal selain Sigi, Banawa, Biromaru, Pantoloan, Sindue, Dolo, Bangga, Palu, Sibalaya, dan Parigi. Tawaeli sama dengan kerajaan-kerajaan lokal lainnya yang berdiri sendiri sebagai suatu komunitas kaum yang luas dan mempunyai kekuasaan yang saama dalam prinsip dan strukturnya di Lembah Palu. Setiap kerajaan memiliki rumah adat yang disebut dengan Baruga, tempat atau lambang kewibawaan dan adat kekuasaaan. Adapun pola dan struktur pejabat-pejabat adat kekuasaan pemerintahan kerajaaan Tawaeli dan kerajaan lokal lainnya digambarkan sebagai pemerintahan yang dipinpin oleh seseorang raja yang disebut Magau. Dalam melakukan pemerintahan kerajaan yang terdiri dari Madika Malolo, Madika Matua, Ponggawa, Galara, Tadulako, Pabicara, dan Sabandara.1
Di samping Dewan Pemerintahan Kerajaan, terdapat Dewan Hadat, Pola dan struktur pejabat-pejabat adat (kekuasaan) pemerintahan kerajaan Tawaeli, antara lain;
1 Mattulada, “Sejarah Kebudayaan To-Kaili (Orang Kaili)” (Palu:
Tadulaku University Press, 1985), hlm. 45-46.