• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSMISI KEILMUAN IMAM LAPEO

KH. MUHAMMAD TAHIR

III. TRANSMISI KEILMUAN IMAM LAPEO

Lahir dari keluarga yang taat beragama menjadikan Imam Lapeo kecil dikenal sebagai anak yang patuh kepada kedua orangtua, jujur, pemberani, dan punya kemauan yang keras.

Di usianya yang masih belia, 14 tahun, Junaihim Namli telah khatam membaca Al-Quran, meskipun belum mempelajarinya

2 Alimuddin, Orang Mandar Orang Laut Kebudayaan Bahari Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zaman (Jakarta: KPG, 2005), hlm. 2.

secara mendalam. Ia belajar membaca Al-Quran dari kakeknya, Abdul Karim, yang terkenal sebagai penghapal Al-Quran di Pambuang. Selain belajar dengan kakeknya sendiri, Imam Lapeo juga berguru kepada Sayyid Alwi bin Sahl Jamalullail3 atau yang lebih dikenal dengan sebutan Puang Towa oleh masyarakat setempat.

Imam Lapeo tidak hanya belajar di kampung halamannya saja. Ia sering berkelana dari dari tempat satu ke tempat lainnya untuk menambah wawasannya. Memasuki masa remaja, pada saat usianya 16 tahun Imam Lapeo pergi belajar ke Pare-Pare.

Selanjutnya, untuk memperdalam ilmu membaca Al-Quran, ia juga diketahui pergi ke Salemo yang saat itu memiliki sebuah pesantren yang banyak melahirkan ulama di bawah bimbingan Ulama dari Gresik, Jawa Timur4. Pada usia 20 tahun Imam Lapeo mengikuti pamannya, H. Bukhari, berlayar ke Padang untuk berdagang lipa’ sa’be (sarung sutra)5 Mandar. Di tanah Minang tersebut Imam Lapeo diceritakan tinggal selama empat tahun sebelum ia melanjutkan perjalanannya menuju Mekkah.

Di Mekkah, Imam Lapeo selanjutnya menimba ilmu dengan berguru kepada sejumlah Ulama guna mempelajari ilmu fikih, tafsir, hadits, teologi, dan lain-lain. Setelah beberapa tahun nyantri di Mekkah. Imam Lapeo kemudian memutuskan kembali ke tanah kelahirannya untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah Mamuju.

3 Sayyid Alwi merupakan keturuna Arab yang lahir di Lasem, Jawa Tengah. Ia kemudian datang ke wilayah Sulawesi Barat, antara lain: di Manjopai, Campalagian, dan Pambuang untuk mengajarkan agama Islam.

4 Yasil, Ensiklopedi Sejarah, Tokoh, dan Kebudayaan Mandar (Makassar:

Lembaga Advokasi, dan Pendidikan Anak, 2002), hlm, 340.

5 Salah satu komoditas barang dagangan andalan daerah Mandar adalah Kain tenun sarung sutera Mandar. Di Pambuang sarung sutera ini diproduksi oleh ibu-ibu rumah tangga sebagai upaya mereka dalam membantu suami mencari nafkah. Sarung sutera ini dijual hingga ke Padang, Sumatera Barat yang oleh orang-orang Minang biasa digunakan sebagai sarung upacara adat.

Berdasarkan tulisan Muhsin6 diketahui Imam Laepo menimba ilmu kepada guru-guru yang membentuk suatu transmisi atau jaringan keilmuan antara lain:

1. Muhammad (ayah Imam Lapeo) 2. Abdul Karim (Kakek Imam Lapeo)

3. Guru Langgo di Pambuang untuk belajar bahasa Arab 4. Guru-guru di Salemo (Pangkep) untuk belajar tentang

akhlak

5. Al-Yafi’I di Pare-Pare belajar tentang fiqih dan tafsir

6. Syaikhuna Kholil Bangkalan di Madura dalam rangka belajar tasawuf

7. Sayyid Alwi bin Sahal Jamalullail memperdalam ilmu tasawuf

8. Syekh Hasan Yamani untuk mempelajari fiqih

9. Guru di Padang untuk memperdalam tentang agama dan silat

10. Guru-guru di Malaka, Singapura, dll, meskipun tidak diketahui kepada siapa Imam Lapeo belajar.

Sementara itu, dalam tulisan Kadir7 disebutkan bahwa pada tahun 1851 Imam Lapeo menuntut ilmu selama lima tahun pada kadi Jampue, Pinrang, Sulawesi Selatan. Setelah itu ia melanjutkan perjalanan menuntut ilmu ke Padang, lalu menyeberang ke pulau Jawa tepatnya di Banten dan selanjutnya ke Ampel, Jawa Timur.

Setelah berkelana cukup lama untuk menimba ilmu agama, pada usia 27 tahun Imam Lapeo dinikahkan oleh gurunya, Sayyid Alwi bin Sahl Jamalullail (lebih dikenal dengan sebutan Puang Towa) dengan seorang gadis bernama Rugaiyyah. Pada

6 Muhsin, Perjalanan Hidup K.H. Muhammad Thahir Imam Lapeo dan Pembangunan Masjid Nuruttaubah Lapeo (t.t, Pengurus Besar Masjid Nuruttaubah Lapeo, 2010), hlm. 7-8.

7 Kadir, Tosalama’ Imam Lapeo, K.H. Muhammad Thahir (Jakarta:

Intermedia Kreasi Mandiri, t.th), hlm. 16-23.

Sejarah Islam di Lembah Palu

— 354 —

Imam Lapeo atau KH. Muhammad Tahir

— 355 —

pernikahannya inilah nama pemberian dari orang tuanya, Junaihim Namli, diganti oleh Puang Towa menjadi Muhammad Thahir. Berdasarkan catatan pernikahannya diketahui Imam Lapeo menikah sebanyak enam kali. Sebagian besar istri-istrinya merupakan wanita yang berasal dari kalangan bangsawan Mandar.

Pernikahannya dengan wanita-wanita golongan bangsawan tersebut menjadi salah satu akses bagi Imam Lapeo yang mudahkannya dalam menyebarkan ajaran Islam di kalangan masyarakat setempat. Istri pertama Imam Lapeo seperti yang telah disebutkan sebelumnya bernama Rugaiyyah.

Dari hasil pernikahannya ini ia dikarunia tujuh orang anak, antara lain: Sitti Fatima, Sitti Hadiyyah, Muhammad Yamin, Abd. Hanim, Muhammad Muchsin, Sitti Aisah, dan Sitti Marhum. Istri keduanya bernama Sitti Khalifah, namun tidak memperoleh keturunan. Istrinya yang ketiga bernama Sitti Khadijah. Dari pernikahannya ini ia memperoleh seorang

anak laki-laki bernama Nadjamuddin. Istri keempat bernama Sitti Attariah. Seperti pernikahannya yang kedua, ia juga tidak memiliki keturunan dari pernikahannya ini. Istri kelimanya merupakan seorang gadis yang berasal dari Mamuju yang bernama Syarifah Hamidah, tetapi ia tidak memperoleh keturunan. Istri Imam Lapeo yang terakhir bernama Amirrah yang memberikannya empat orang anak, masing-masing bernama: Abdul Muttalib, Sitti Sabbanur, Sitti Asiah, dan Sitti Aminah. Untuk memudahkan pengidentifikasian istri- istri Imam Lapeo dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Istri-istri Imam Lapeo dan Anak-anaknya

No Nama Istri Anak

1 Rugaiyyah 1. Sitti Fatima 2. Sitti Hadiyyah 3. Muhammad Yamin 4. Abd. Hanim

5. Muhammad Muchsin 6. Sitti Aisah

7. Sitti Marhum 2 Sitti Khalifah Tidak ada 3 Sitti Khadijah 1. Nadjamuddin 4 Sitti Attariah Tidak ada 5 Syarifah Hamidah Tidak ada

6 Amirrah 1. Abdul Muttalib 2. Sitti Sabbanur 3. Sitti Asiah 4. Sitti Aminah IV. DAKWAH IMAM LAPEO

Sebelum karirnya melejit sebagai seorang Imam di Lapeo, K.H Muhammad Thahir bersama gurunya, Sayyid Alwi bin Sahl Jamalullail, terlebih dahulu mengajarkan Islam di Buttu

Daala (bukit Dalla), Laiko, salah satu distrik yang terletak di pegunungan Mandar. Setelah beberapa tahun mengajar di Buttu Dalla, ia pun melanjutkan perjalanan dakwahnya menuju Lapeo. Meskipun masyarakat Lepeo ketika K.H Muhammad Thahir berdakwah di tempat itu sebagian besar telah beragama Islam, namun pada kenyataannya mereka masih menjalankan praktek-praktek nenek moyang yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Perjudian, menyabung ayam, minum-minuman keras (arak) merupakan kegiatan yang melekat dalam keseharian masyarakat Lapeo. Kondisi masyarakat Laepo seperti itulah yang kemudian diubah oleh K.H Muhammad Thahir.

Mengubah kebiasaan masyarakat Lapeo yang bertentangan dengan akidah Islam tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat Lapeo yang notabenenya merupakan suku Mandar dikenal dengan perangai yang keras, tegas, dan kasar. Belum lagi adanya “perlawanan” dari bangsawan setempat yang bernama Daenna Ikaring terhadap dakwah K.H Muhammad Thahir. Setidaknya ada tiga pendekatan yang digunakan oleh K.H Muhammad Thahir dalam menjalankan dakwahnya, yaitu: pendekatan sosial, pendekatan psikologis dan pendekatan budaya8.

Dalam menyiarkan ajaran Islam, Imam Lapeo senantiasa memperhatikan situasi dan kondisi sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat. Ia senantiasa melebur dalam kegiatan- kegiatan masyarakat dan menyelesaikan persoalan masyarakat, misalnya membantu membayar hutang, bergotong royong dan bersilahturahmi. Pendekatan sosial seperti ini membuat Imam Lapeo dengan mudah berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat setempat, sehingga pada akhirnya memunculkan ketertarikan dan simpati dari masyarakat untuk mengikuti Imam Lapeo.

8 Zuhriah, Jejak Wali Nusantara: Kisah Kewalian Imam Lapeo di Masyarakat Mandar. (Yogyakrta: Pustaka Ilmu, 2013), hlm. 34.

Imam Lapeo memberikan pengajaran kepada masyarakat selaku objek sasaran dakwah tidak sekaligus, melainkan secara bertahap dan sistematis. Secara psikologis, ia juga mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan tingkat kemampuan akal dan kejiwaan seseorang. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman Hasanuddin9 yang mengatakan bahwa sewaktu ia pertama kali memeluk ajaran Islam, ia tidak mendapati ajaran-ajaran Islam yang diajarkan oleh Imam Lapeo sulit untuk dilaksanakan10. Ini memperlihatkan bahwa Imam Lapeo berusaha untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan tingkat kemampuan seseorang secara bertahap hingga seiring berjalannya waktu orang tersebut dapat memahami Islam secara keseluruhan.

Imam Lapeo juga mendekati masyarakat melalui medium budaya. Ia senantiasa merangkul masyarakat Lapeo yang gemar melakukan sabung ayam (Pappasiala manu) yang telah menjadi kebiasaan masyarakat pada waktu itu. Ia secara tidak langsung melarang menyabung ayam tetapi ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Imam Lapeo bahkan terkadang menentukan waktu dan tempat sabung ayam, yaitu di sesudah sholat Ashar di samping Masjid. Dalam sabung ayam tersebut, ayam Imam Lapeo selalu menang, sehingga ayam yang kalah diberikan kepada beliau lalu disembelih untuk di makan bersama-sama.

Hal ini dilakukan untuk mencegah kebiasaan sabung ayam masyarakat setempat dari dalam.

Imam Lapeo juga mengubah kesenian yang biasa ditujukan oleh masyarakat Lapeo hanya untuk menghibur raja. Dalam masyarakat Mandar dikenal kesenian Sayyang

9 Seorang pedagang Cina bernama Thie Siong Tjiang yang datang ke Lapeo untuk berdagang yang akhirnya memutuskan memeluk ajaran Islam atas ajakan Imam Lapeo dan kemudian mengganti namanya menjadi Hasanuddin.

10 Lihat Muslimin, “Tinjauan Historis Tentang K.H. Muhamammad Thahir Imam Lapeo dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Kesadaran Agama Masyarakat di Daerah Mandar. (Naskah tidak diterbitkan, Ujung Pandang, 1981), hlm. 78.

Sejarah Islam di Lembah Palu

— 358 —

Imam Lapeo atau KH. Muhammad Tahir

— 359 —

Pattudu, yakni suatu kesenian atau upacara yang menggunakan kuda yang dapat “menari” dan hanya boleh ditunggangi oleh para bangsawan. Imam Lapeo kemudian mengubah konsep kesenian tersebut yang tadinya hanya dilakukan oleh para bangsawan juga telah dilakukan oleh masyarakat kebanyakan.

Imam Lapeo menjadikan Sayyang Pattudu sebagai kesenian yang dimainkan oleh anak-anak yang telah khatam Quran dengan menunggangi kuda dan berpakaian jubah layaknya orang-orang Timur Tengah lalu diarak keliling kampung.

Arak-arakan tesebut juga disertai oleh kelompok parrabana, yaitu orang yang memainkan rabana sekaligus berkalindadaq atau berpantun menggunakan bahasa Mandar yang isinya mengajak orang untuk berbuat kebaikan. Salah satu kalindaq yang biasa dilantukan oleh orang Lapeo saat itu adalah:

Passambayang mo’o dai Pallima wattu mo’o

Iya mo’tu ‘u pewongan di akhera’

Artinya:

Dirikanlah sholat Sebanyak lima waktu

Karena akan menjadi bekal di akhirat11

Dalam karirnya sebagai seorang ulama, Imam Lapeo pernah diangkat menjadi seorang mara’diana syara12 atau kadi di Kerajaan Tappalang13 yang mengurus persoalan-persoalan agama di masyarakat Tappalang. Meskipun demikian, ia lebih memilih untuk menetap di Lapeo sebagai seorang Imam,

11 Zuhriah, Op. Cit., hlm. 38.

12 Maradiana syarah berasal dari kata maradia yang berarti pemimpin atau tuan, dan syara yang berarti syariat agama. Dengan demikian maradiana syarah dapat diartikan sebagai pemimpin agama

13 Kerajaan Tappalang merupakan salah satu dari Pitu Ba’ba’na Binanga (tujuh kerajaan pesisir) yang bersama-sama membentuk ikatan suku Mandar.

sehingga selama menjadi kadi Tappalang ia pulang-pergi dari Lapeo ke Tappalang14. Meskipun dianggap sebagai seorang ulama, namun sulit untuk mengetahui seperti apa pemikiran keislaman imam Lapeo, sebab ia tidak mempunyai hasil karya berupa buku atau tulisan yang dapat digunakan sebagai bahan untuk mengetahui seperti apa pemikirannya mengenai Islam.

Satu-satunya peninggalan yang diketahui berasal dari Imam Lapeo adalah lontara bilang atau catatan-catatan pribadinya yang ditulis dalam bahasa Arab Serang atau bahasa Mandar dan lontara Bugis. Namun, lontara bilang tersebut hanya memuat catatan tentang aktifitasnya yang dianggap penting secara fragmen.

Berdasarkan tulisan van Bruinessen15 dapat dikatakan bahwa Imam Laepo mengamalkan tarekat Naqsabandiyah.

Bruinessen menjelaskan bahwa pengaruh tarekat Naqsabandiyyah menyebar di antara orang Bugis dan Makasaar, namun yang paling kuat terdapat di antara orang Mandar.

Imam Lapeo bertindak sebagai guru tarekat Naqsabandiyyah yang terkenal di Majene pada masa awal penyebarannya.

Meskipun demikian, ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa Imam Lapeo juga berafiliasi dengan beberapa tarekat lainnya, seperti khalwatiyah dan syadziliah16.

V. IMAM LAPEO: Berdakwah dengan Ilmu Zahir dan