ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO
1.3 Makro Fiskal
Sebagai instrumen kebijakan fiskal, APBN memiliki peran strategis dalam memengaruhi perekonomian. Peran tersebut diselenggarakan melalui tiga fungsi (pilar) utama kebijakan fiskal: fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
Fungsi alokasi dijalankan dengan fokus pada upaya Pemerintah untuk memperbaiki kinerja ekonomi melalui kebijakan pengeluaran dan penerimaan negara yang meningkatkan efisiensi dan memperbaiki kinerja pembangunan jangka panjang. Dalam konteks kekinian, fungsi alokasi ini lebih populer dengan sebutan kebijakan fiskal yang ramah terhadap
Pertumbuhan Ekonomi (%,yoy) 5,2 5,0 -2,1 3,7 5,1 – 5,4 5,3
Inflasi (%,yoy) 3,1 2,7 1,7 1,9 4,0 – 4,8 3,6
Nilai Tukar (Rp/US$) 14.247 14.146 14.577 14.312 14.500-14.900 14.800
Tingkat Suku Bunga SUN 10 Tahun (%) * 7,41 7,50 6,95 6,35 6,85 – 8,42 7,9
Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan (%) 4,97 5,62 3,19
Harga Minyak Mentah Indonesia (US$/barel) 67 62 40 68 95 – 105 90
Lifting Minyak Mentah (ribu barel per hari) 778 746 707 660 625 – 630 660
Lifting Gas (ribu barel setara minyak per hari) 1.145 1.057 983 995 956 – 964 1.100
* Sebelum tahun 2021 menggunakan asumsi suku bunga SPN 3 Bulan Proyeksi PDB Nominal 2023 sekitar Rp21.037,9 triliun
Sumber: Kementerian Keuangan
APBN 2023 TABEL 1.3
ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO 2018-2023
Indikator 2018 2019 2020 2021 Outlook
2022
pertumbuhan (growth-friendly fiscal policies), yaitu langkah-langkah fiskal yang berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap pertumbuhan ekonomi jangka menengah dan jangka panjang.
Fungsi distribusi bertujuan untuk menyesuaikan distribusi pendapatan, peluang, aset, atau risiko yang muncul dari aktivitas pasar. Fungsi ini lebih dikenal sebagai kebijakan fiskal yang mempromosikan pertumbuhan inklusif.
Artinya, kebijakan fiskal memiliki peranan penting untuk memastikan bahwa manfaat pertumbuhan dapat dinikmati lebih luas ke seluruh lapisan masyarakat. Implementasi fungsi distribusi ini terlihat pada pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan melalui instrumen APBN, termasuk berbagai upaya untuk mengatasi ketimpangan antarwilayah (spasial).
Fungsi kebijakan fiskal yang ramah pertumbuhan (alokasi) dan inklusif (distribusi) memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Ketika Pemerintah merealokasikan belanja untuk pembangunan jalan (infrastruktur), dampak positifnya terhadap pertumbuhan ekonomi juga akan berimplikasi pada distribusi pendapatan dan pengelolaan risiko sosial. Sebagai contoh pembangunan jalan baru yang menghubungkan daerah terpencil (daerah pinggiran) dengan kota-kota besar, akan dapat memperbaiki tingkat pendapatan masyarakat miskin karena terbukanya akses ke pasar baru dan harga input pertanian yang lebih murah.
Fungsi stabilisasi ekonomi kebijakan fiskal memiliki fitur jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, kebijakan fiskal dapat digunakan terutama untuk mengimbangi dampak guncangan ekonomi
makro yang menciptakan kesenjangan besar atau persisten antara permintaan agregat dan output potensial sehingga membantu mencegah pengangguran siklis yang berlebihan dan tekanan inflasi serta risiko ekonomi mengalami overheating. Sementara dalam jangka panjang, fungsi stabilisasi ini berkaitan dengan upaya mempertahankan agar defisit fiskal dan utang negara tetap berada pada jalur yang sustainable, sehingga keuangan negara tidak menjadi sumber ketidakstabilan ekonomi makro.
Fungsi stabilisasi jangka pendek atau countercyclical fiscal policy merupakan instrumen fiskal yang digunakan untuk menstabilisasi siklus bisnis atau siklus ekonomi (business cycle).
Dengan kata lain, kebijakan stabilisasi fiskal ditempuh sebagai respon terhadap kesenjangan output (output gap)—yaitu perbedaan antara output aktual (actual GDP) dengan output potensial (potential GDP)—dalam perekonomian.
Adanya kesenjangan output tersebut tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang berfluktuasi dan volatile.
Ketika perekonomian menguat atau mengalami ekspansi (good times) dimana output gap bernilai positif (output aktual > output potensial), maka perusahaan-perusahaan beroperasi dengan baik dan banyak orang yang bekerja. Dalam kondisi seperti ini penerimaan pajak akan tercapai (bouyant) dan Pemerintah harus menekan belanja (kontraktif). Dengan langkah ini anggaran negara akan mengalami surplus dan Pemerintah memiliki penyangga untuk membiayai kebijakan-kebijakan yang ekspansif ketika terjadi krisis. Sebaliknya, ketika perekonomian melemah atau mengalami kontraksi (bad times) dimana output gap bernilai negatif (output aktual < output potensial), maka masyarakat dan perusahaan akan mengurangi pengeluaran mereka. Jika
ini terjadi maka perekonomian akan terus menurun atau bahkan terancam resesi. Dalam situasi ini, respon Pemerintah adalah melalui kebijakan fiskal yang bersifat ekspansif, yaitu dengan mendorong pengeluaran, atau dengan mengurangi pajak.
Fungsi strategis APBN, baik secara langsung maupun tak langsung dalam memengaruhi perekonomian Indonesia dapat diamati dari pengaruhnya terhadap sektor riil (permintaan agregat), sektor moneter, dan sektor eksternal (neraca pembayaran).
1.3.1 Dampak Terhadap Sektor Riil
Peran kebijakan fiskal (APBN) diharapkan mampu mempercepat proses pemulihan ekonomi, yang tecermin dari pengaruhnya terhadap sektor riil (permintaan agregat).
Dampak APBN terhadap permintaan agregat dapat ditinjau dari sisi pengeluaran konsumsi Pemerintah, pembentukan modal tetap bruto Pemerintah, dan dukungan terhadap konsumsi rumah tangga.
Konsumsi Pemerintah merupakan salah satu penopang perekonomian di masa pandemi Covid-19. Selama periode 2019–2021, konsumsi Pemerintah menunjukan tren positif dengan pertumbuhan nominal rata-rata sekitar 5,5 persen per tahun. Komponen utama konsumsi Pemerintah berasal dari belanja pegawai dan belanja barang baik di pusat maupun daerah.
Faktor utama penopang pertumbuhan tersebut adalah tingginya belanja Pemerintah untuk penanganan pandemi Covid-19. Dalam tahun 2021, konsumsi Pemerintah menyumbang sekitar 9,1 persen terhadap PDB. Penurunan porsi konsumsi Pemerintah tahun 2021 utamanya dikarenakan pemulihan ekonomi nasional didominasi kinerja ekspor dalam
PDB. Meskipun porsinya sedikit lebih rendah dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 9,5 persen terhadap PDB, konsumsi Pemerintah menjadi satu-satunya komponen pengeluaran PDB yang tumbuh positif.
Memasuki tahun 2022, konsumsi Pemerintah diperkirakan mengalami kontraksi, utamanya disebabkan oleh lebih rendahnya perkiraan realisasi belanja negara untuk penanganan Covid-19. Hal ini sejalan dengan membaiknya kondisi Covid-19 sehingga belanja untuk penanganan Covid-19 (antara lain penanganan pasien, serta pengadaan alkes dan vaksin) mengalami penurunan. Secara nominal, konsumsi Pemerintah tahun 2022 diperkirakan terkontraksi dibandingkan dengan konsumsi Pemerintah tahun 2021. Dengan alokasi belanja negara yang lebih berkualitas, konsumsi Pemerintah tahun 2023 diperkirakan kembali tumbuh positif dan diharapkan memiliki multiplier effect yang lebih tinggi terhadap perekonomian.
Pemerintah terus berupaya memberikan dukungan terhadap PMTB. Sumber utama anggaran Pemerintah untuk PMTB berasal dari belanja modal baik yang bersumber dari Pemerintah Pusat maupun dari pemerintah daerah. Pada tahun 2020, dukungan anggaran Pemerintah terhadap PMTB mengalami kontraksi seiring refocusing anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 yang menyebabkan beberapa proyek infrastruktur seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) mengalami penundaan. Dengan semakin pulihnya perekonomian, belanja Pemerintah untuk PMTB pada tahun 2021 tumbuh positif melalui penguatan belanja modal Pemerintah Pusat terutama carry over proyek infrastruktur yang tertunda pada tahun 2020. Peningkatan anggaran Pemerintah tersebut memengaruhi
nilai nominal PDB dari sisi PMTB tahun 2021 hingga mencapai 8,7 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 7,7 persen.
Memasuki tahun 2022, dukungan anggaran Pemerintah terhadap PMTB diperkirakan mengalami penurunan karena adanya carry over belanja modal di tahun 2021 (high base effect).
Tahun 2023, dampak belanja Pemerintah terhadap PMTB akan didukung oleh kebijakan Pemerintah untuk menyelesaikan proyek infrastruktur strategis dan diharapkan mampu mendorong perbaikan kinerja investasi secara keseluruhan. Penguatan belanja modal di tahun 2023 sejalan dengan upaya Pemerintah mendorong akselerasi pelaksanaan reformasi struktural terutama untuk penguatan infrastruktur dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas nasional.
Anggaran Pemerintah juga memberikan dampak tidak langsung terhadap konsumsi rumah tangga. Selama periode 2019–2021, dampak anggaran Pemerintah terhadap dukungan konsumsi rumah tangga cukup tinggi, dengan pertumbuhan tertinggi pada tahun 2020. Dampak terhadap konsumsi rumah tangga yang tinggi tersebut bersumber dari peningkatan perlindungan sosial dalam
rangka penanganan pandemi Covid-19 dan juga tingginya pembayaran kompensasi energi. Pada tahun 2022, dampak belanja Pemerintah terhadap konsumsi rumah tangga diperkirakan meningkat. Belanja subsidi dan kompensasi energi merupakan faktor utama yang memengaruhi perkiraan meningkatnya konsumsi rumah tangga tersebut. Dampak APBN terhadap sektor rill dapat dilihat pada Tabel 1.4.
1.3.2 Dampak Terhadap Moneter
Transaksi keuangan Pemerintah melalui APBN memberikan dampak terhadap besaran moneter (likuiditas) dalam perekonomian.
Dampak kontraktif bersumber dari segala jenis transaksi untuk meningkatkan penerimaan Pemerintah, baik melalui instrumen perpajakan maupun bukan pajak dan instrumen pembiayaan anggaran. Artinya, melalui instrumen penerimaan dan pembiayaan tersebut, Pemerintah menyerap likuiditas yang ada dalam perekonomian. Sementara dampak ekspansif timbul dari transaksi belanja Pemerintah yang hakekatnya merupakan injeksi likuiditas ke dalam perekonomian.
Secara keseluruhan, dampak neto dari transaksi keuangan dalam APBN terhadap likuiditas dalam perekonomian sangat tergantung pada
2019 2020 2021 Proyeksi 2022 1.394,6
1.474,1 1.551,7 1.495,0 412,1
374,8 455,1 397,1 279,6
484,7 426,6 734,5
1.
2.
TABEL 1.4
DAMPAK TERHADAP SEKTOR RIIL (Rp triliun)
Sumber: Kementerian Keuangan, diolah Catatan:
Dampak langsung dihitung dari komponen-komponen APBN yang memengaruhi pengeluaran konsumsi pemerintah (PKP) dan pembentukan modal tetap bruto pemerintah yang ada dalam struktur PDB.
Dampak tidak langsung terhadap konsumsi rumah tangga hanya mempertimbangkan besaran belanja pemerintah yang diterima oleh rumah tangga namun belum mencerminkan besaran konsumsi rumah tangga.
URAIAN Pengeluaran Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) Konsumsi Rumah Tangga
selisih antara penerimaan dan pembiayaan yang kontraktif, dengan belanja Pemerintah yang ekspansif.
Operasi keuangan Pemerintah dalam periode 2019–2021 memberikan dampak neto yang ekspansif. Dalam tahun 2019 operasi keuangan Pemerintah memberikan dampak neto yang ekspansif terhadap likuiditas dalam perekonomian sebesar Rp499,7 triliun (sekitar 3,2 persen dari PDB), bersumber dari selisih penerimaan sebesar Rp1.813,0 triliun yang kontraktif serta dari belanja Pemerintah sebesar Rp2.263,2 triliun dan pembiayaan anggaran sebesar Rp49,5 triliun yang ekspansif.
Pembiayaan anggaran memberikan dampak ekspansif karena pembayaran SBN yang jatuh tempo lebih besar dari SBN yang diterbitkan Pemerintah sehingga secara neto menambah likuiditas dalam perekonomian.
Dalam tahun 2020 dampak neto ekspansi likuiditas dalam perekonomian turun menjadi sebesar Rp256,2 triliun (sekitar 1,7 persen dari PDB). Penurunan ini bersumber dari dampak ekspansif belanja Pemerintah sebesar Rp2.553,0 triliun, yang diimbangi dengan kontraksi dari penerimaan sebesar Rp1.547,0 triliun dan pembiayaan anggaran dari penerbitan SBN di pasar dalam negeri sebesar Rp749,9 triliun. Dampak ekspansi belanja Pemerintah tahun 2020 meningkat sebesar 12,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya terkait
dengan belanja penanganan pandemi Covid-19.
Sementara dampak kontraksi dari penerimaan berkurang dibandingkan tahun 2019 akibat penurunan koleksi penerimaan. Namun di sisi lain, dampak kontraksi pembiayaan anggaran meningkat seiring dengan penerbitan SBN yang jauh lebih besar dibandingkan pembayaran SBN yang jatuh tempo.
Selanjutnya, operasi keuangan Pemerintah dalam tahun 2021 secara neto berdampak ekspansif sebesar Rp474,1 triliun terhadap likuiditas perekonomian. Hal ini dikarenakan injeksi likuiditas ke dalam perekonomian melalui belanja negara lebih besar dari penerimaan dan pembiayaan anggaran.
Dalam tahun 2022, dampak operasi keuangan Pemerintah diperkirakan masih ekspansif sekitar Rp396,2 triliun, lebih rendah dibandingkan realisasi tahun 2021. Dampak ekspansi neto ini ditopang oleh ekspansi belanja negara yang diperkirakan mencapai Rp3.069,2 triliun yang diimbangi dengan kontraksi pada penerimaan sebesar Rp2.112,8 triliun dan pembiayaan sebesar Rp560,3 triliun. Dampak ekspansi operasi keuangan Pemerintah terhadap likuditas perekonomian pada tahun 2022 diperkirakan mencapai 2,1 persen dari PDB, sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 2,8 persen.
Dampak APBN terhadap sektor moneter dapat dilihat pada Tabel 1.5.
URAIAN 2019 2020 2021 Proyeksi
2022 a. Penerimaan Rupiah 1.813,00 1.547,00 1.852,90 2.112,80 b. Belanja Rupiah 2.263,20 2.553,00 2.742,50 3.069,20
c. Pembiayaan Rupiah -49,5 749,9 415,6 560,3
d. Dampak Rupiah (a+b+c) -499,7 -256,2 -474,1 -396,2 Sumber: Kementerian Keuangan, diolah
TABEL 1.5.
DAMPAK TERHADAP MONETER (Rp triliun)
1.3.3 Dampak Terhadap Neraca Pembayaran
Dampak APBN terhadap neraca pembayaran Indonesia (NPI) direpresentasikan melalui pengaruh transaksi keuangan Pemerintah terhadap transaksi valuta asing (valas).
Dalam periode 2019–2021, operasi keuangan Pemerintah memberikan dampak yang positif terhadap penerimaan valas Pemerintah, dipengaruhi oleh valas yang bersumber dari transaksi berjalan serta transaksi modal dan finansial. Dalam tahun 2019, penerimaan valas Pemerintah mencapai sekitar Rp202,0 triliun, ditopang oleh valas dari transaksi berjalan serta transaksi modal dan finansial.
Dalam tahun 2020 penerimaan valas Pemerintah meningkat 22,3 persen menjadi Rp247,1 triliun dibandingkan tahun 2019.
Peningkatan ini bersumber dari penerimaan valas transaksi yang terkait dengan ekspor dan impor barang dan jasa, serta aliran masuk valas dari penarikan pinjaman dan penerbitan SBN luar negeri yang lebih besar dibandingkan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri Pemerintah dan SBN luar negeri yang jatuh tempo.
Penerimaan valas operasi keuangan Pemerintah dalam tahun 2021 turun sebesar 6,1 persen menjadi Rp232,1 triliun, dibandingkan tahun 2020. Hal ini terutama karena adanya
penurunan penerimaan valas dari transaksi berjalan dan aliran masuk valas dari transaksi modal dan finansial. Penurunan penerimaan valas dari transaksi berjalan terutama bersumber dari aliran keluar valas pada neraca jasa terkait pembayaran bunga utang luar negeri. Sementara pada neraca modal dan finansial terjadi penurunan aliran masuk valas neto akibat peningkatan pembayaran SBN luar negeri yang jatuh tempo. Dalam tahun 2022 penerimaan valas dari operasi keuangan Pemerintah diperkirakan mencapai Rp206,1 triliun, terkontraksi sebesar 11,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini terutama akibat penurunan aliran masuk valas dari transaksi berjalan serta transaksi modal dan finansial. Dampak APBN terhadap neraca pembayaran dapat dilihat pada Tabel 1.6.
1.4 Pencapaian Sasaran dan Indikator