• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 2018–2022 dan Rencana

Dalam dokumen Buku II Nota Keuangan APBN 2023 (Halaman 90-96)

PENDAPATAN NEGARA

2.1 Pendahuluan

2.1.1.1 Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 2018–2022 dan Rencana

Tahun 2023

Penerimaan pajak dalam periode 2018–2022 mengalami fluktuasi seiring dengan dinamika kondisi perekonomian serta kebijakan-kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah. Pada tahun 2018, penerimaan pajak mengalami pertumbuhan signifikan 14,1 persen atau terealisasi sebesar Rp1.313.319,4 miliar. Hal ini didorong oleh tingginya harga komoditas utama dalam periode tersebut. Namun, pada tahun 2019 penerimaan pajak cenderung mengalami perlambatan, bahkan pada tahun 2020 mengalami kontraksi. Pada tahun 2019 penerimaan pajak hanya mampu tumbuh 1,5 persen atau terealisasi sebesar Rp1.332.666,3 miliar. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh perlambatan perekonomian global dan domestik akibat adanya perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Selanjutnya, pada tahun 2020 penerimaan pajak kembali mengalami tekanan yang sangat dalam atau terkontraksi 19,6 persen sehingga capaian penerimaan pajak hanya terealisasi sebesar Rp1.072.105,7 miliar. Hal ini dipengaruhi oleh kontraksi sebagian besar jenis pajak utama seperti PPh Badan, PPN dalam negeri, dan pajak-pajak dalam rangka impor sebagai akibat dari perlambatan ekonomi secara signifikan dan penurunan harga komoditas dampak pandemi Covid-19.

Selanjutnya, berbagai upaya penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional mampu mendorong perekonomian yang berimplikasi pada peningkatan penerimaan pajak sehingga mampu kembali tumbuh sebesar 19,3 persen pada tahun 2021. Dengan pertumbuhan tersebut, penerimaan pajak tahun 2021 terealisasi sebesar Rp1.278.627,8 miliar. Capaian positif tersebut terus berlanjut hingga tahun 2022 seiring dengan berlanjutnya pemulihan ekonomi nasional dan tren peningkatan harga komoditas utama yang salah satunya dipengaruhi oleh kondisi geopolitik dunia. Kondisi tersebut diperkirakan akan mendorong pertumbuhan penerimaan pajak tahun 2022 mencapai level 25,8 persen atau diperkirakan akan terealisasi sebesar Rp1.608.127,5 miliar.

Pada tahun 2023, penerimaan pajak diproyeksikan akan tetap tumbuh positif seiring dengan keberlanjutan pemulihan ekonomi nasional, meskipun masih akan menghadapi beberapa tantangan. Kondisi yang akan turut memengaruhi penerimaan pajak tahun 2023 diantaranya seperti pergerakan harga komoditas utama dunia, aktivitas perekonomian dengan penggunaan transaksi elektronik yang semakin meningkat, serta basis pajak dan tingkat kepatuhan WP yang akan terus ditingkatkan.

Berbagai kebijakan dan reformasi perpajakan melalui implementasi UU HPP diharapkan dapat mendukung optimalisasi penerimaan pajak tahun 2023. Implementasi UU HPP akan menutup berbagai celah aturan (loop holes) yang masih ada dan mengadaptasi perkembangan baru aktivitas bisnis khususnya yang berkaitan dengan maraknya bisnis yang berbasis digital.

Selain itu, UU HPP akan meningkatkan kepatuhan melalui strategi mendorong kepatuhan sukarela, memperkuat sistem administrasi pengawasan dan pemungutan perpajakan, serta memberikan kepastian

hukum perpajakan. Hal ini dilakukan antara lain dengan penggunaan NIK sebagai NPWP OP.

Dengan realisasi terkini dan kebijakan ke depan, penerimaan pajak pada APBN tahun anggaran 2023 dikan akan mencapai Rp1.718.032,8 miliar atau tumbuh sebesar 6,8 persen.

Pajak Penghasilan (PPh)

Penerimaan PPh sebagai kontributor terbesar penerimaan pajak turut mengalami fluktuasi sepanjang periode 2018–2022. Hal ini dipengaruhi fluktuasi capaian realisasi komponen PPh yang terdiri dari PPh migas dan PPh nonmigas seiring dengan dinamika harga komoditas serta kondisi perekonomian. Pada tahun 2018, penerimaan PPh migas mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 28,6 persen yang dipengaruhi oleh membaiknya harga minyak bumi. Sebaliknya, tahun 2019 penerimaan PPh migas mulai mengalami tekanan dan mengalami kontraksi pada tahun 2020 seiring dengan turunnya harga minyak bumi yang disebabkan menurunnya permintaan akibat pandemi Covid-19 dan perang harga minyak bumi antara negara-negara penghasil minyak bumi. Kondisi tersebut menyebabkan PPh migas terkontraksi 8,6 persen pada tahun 2019 dan 44,2 persen pada tahun 2020.

Selanjutnya, pada tahun 2021, penerimaan PPh migas kembali meningkat dan mencapai Rp52.839,0 miliar atau tumbuh 60,0 persen.

Hal ini terutama dipengaruhi tren penguatan harga minyak mentah Indonesia selama tahun 2021. Penerimaan PPh migas pada tahun 2022 diperkirakan juga masih berada level yang tinggi dengan estimasi pertumbuhan sebesar 22,4 persen. Hal ini didorong oleh membaiknya harga minyak sejalan dengan peningkatan harga komoditas utama di dunia. Kemudian, pada tahun 2023 PPh migas pada APBN tahun

anggaran 2023 ditargetkan sebesar Rp61.441,1 miliar atau terkontraksi 5,0 persen sejalan dengan proyeksi harga minyak bumi tahun 2023 yang diperkirakan akan lebih rendah.

Sementara itu, PPh nonmigas yang juga menjadi komponen PPh mengalami pertumbuhan sebesar 14,9 persen pada tahun 2018.

Peningkatan PPh nonmigas tersebut salah satunya merupakan dampak dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) dan perbaikan basis data wajib pajak yang berpengaruh pada meningkatnya pertumbuhan setoran pajak oleh wajib pajak peserta amnesti pajak.

Namun, pada tahun 2019 PPh nonmigas juga mengalami perlambatan seiring dengan pelemahan perekonomian dunia meskipun masih mampu tumbuh 4,1 persen. Tekanan terhadap PPh nonmigas sangat jelas terlihat

pada tahun 2020 yang mengalami kontraksi hingga 21,3 persen. Hal ini terutama dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi dan terganggunya rantai pasokan global akibat dari efek domino pandemi Covid-19, seperti konsumsi masyarakat terganggu, investasi terhambat, kegiatan ekspor- impor tertekan, serta turunnya kinerja sektor riil, termasuk profitabilitas dan solvabilitas perusahaan. Selain itu, melemahnya pasar tenaga kerja juga mendorong penurunan penerimaan PPh nonmigas.

Selanjutnya, pada tahun 2021 PPh nonmigas mampu kembali meningkat dengan tumbuh 14,8 persen seiring upaya pemulihan ekonomi yang terus dilaksanakan. Peningkatan tersebut diperkirakan terus berlanjut hingga tahun 2022 yang mendorong penerimaan PPh nonmigas mencapai pertumbuhan 29,0 persen. Hal ini terutama dipengaruhi aktivitas perekonomian BOKS 2.1

PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dilaksanakan sebagai amanat UU HPP. PPS merupakan kebijakan pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan/mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta. Program ini berlangsung selama 6 bulan dari 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022 dengan penjelasan dan tata cara PPS yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2021. Pelaporan PPS dilakukan secara online melalui akun wajib pajak di situs https://djponline.pajak.go.id/account/login dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam sehari, dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan standar Waktu Indonesia Barat (WIB).

Kebijakan PPS diimplementasikan dalam dua skema kebijakan. Skema pertama diperuntukkan untuk Wajib Pajak (WP) yang mengikuti Tax Amnesty (baik WP Orang Pribadi/OP dan WP Badan), tetapi terdapat harta yang kurang/belum diungkap (harta diperoleh 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015). Dalam skema pertama ini WP dapat mengungkapkan aset yang belum sepenuhnya diungkapkan pada pelaksanaan Tax Amnesty, dengan membayar PPh Final sebesar 11 persen untuk harta deklarasi luar negeri, 8 persen untuk harta luar negeri repatriasi dan harta dalam negeri, serta 6 persen untuk harta luar negeri dan harta dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN serta hilirisasi dan renewable energy.

Sementara, skema kedua diperuntukkan untuk WP OP yang memiliki harta bersih yang diperoleh pada tahun 2016 sampai dengan 2020 yang belum dilaporkan pada SPT 2020, kecuali WP OP yang sedang menjalani pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan (bukper), penyidikan, berkas penyidikan sudah

domestik yang diperkirakan terus mengalami perbaikan, tingginya kontribusi dari setoran PPh Badan tahunan, serta dampak dari kebijakan PPS yang berjalan sepanjang semester I tahun 2022. Realisasi pelaksanaan PPS dapat dilihat pada Boks 2.1.

Pada APBN tahun anggaran 2023, PPh nonmigas ditargetkan akan mencapai Rp873.627,5 miliar atau tumbuh sekitar 5,2 persen seiring prospek perekonomian domestik. Target tersebut telah

mempertimbangkan penerimaan tahun 2022 yang tidak berlanjut di tahun 2023 antara lain penerimaan dari PPS. Sementara itu, basis penerimaan PPh dan kepatuhan wajib pajak akan tetap dioptimalkan.

Secara total penerimaan PPh mencapai Rp935.068,6 atau tumbuh 4,5 persen.

Perkembangan PPh 2018–2022 dan proyeksi tahun 2023 ditunjukkan dalam Grafik 2.1.

lengkap, proses peradilan dan menjalani hukuman. Dalam skema kedua ini WP dapat mengungkapkan aset yang belum sepenuhnya diungkapkan pada pelaksanaan Tax Amnesty, dengan membayar PPh Final sebesar 18 persen untuk harta deklarasi luar negeri, 14 persen untuk harta luar negeri repatriasi dan harta dalam negeri, serta 12 persen untuk harta luar negeri dan harta dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN serta hilirisasi dan renewable energy.

Hingga akhir pelaksanaan PPS, jumlah WP yang mengikuti baik orang pribadi maupun badan adalah 247.918 wajib pajak. Selanjutnya, surat keterangan yang diterbitkan atas harta yang dilaporkan adalah sebanyak 308.059 surat keterangan. Sementara itu, jumlah harta yang diungkap Wajib Pajak (WP) sebanyak Rp594,82 Triliun, dengan jumlah pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) mencapai Rp61,01 Triliun.

Secara lebih rinci, harta yang dideklarasikan merupakan kombinasi dari deklarasi dalam negeri dan repatriasi sebesar Rp512,57 Triliun, deklarasi luar negeri sebesar Rp59,91 Triliun, dan harta yang diinvestasikan ke instrumen SBN sebesar Rp22,34 Triliun. Berdasarkan harta bersih yang diungkap, jumlah WP peserta PPS sesuai lapisan harta dapat dikategorikan sebagai berikut: (1) harta sampai dengan Rp10 juta sebanyak 38.870 orang atau 15,68 persen dari total peserta PPS; (2) harta antara Rp10 s.d.

100 juta sebanyak 82.747 orang atau 33,38 persen dari total peserta PPS; (3) harta antara Rp100 juta s.d. 1 Miliar sebanyak 75.110 orang atau 30,30 persen dari total peserta PPS; (4) harta antara Rp1 s.d.

10 Miliar jumlahnya 41.239 WP atau 16,63 persen dari total peserta PPS; (5) harta antara Rp10 s.d. 100 Miliar berjumlah 9.236 WP atau 3,73 persen dari total peserta PPS; (6) harta antara Rp100 Miliar s.d. 1 Triliun sebanyak 705 WP; (7) harta di atas Rp1 Triliun sebanyak 11 WP.

685,3 713,1 561,0 643,8 830,4 873,6

64,7 59,2

33,0

52,8

64,7 61,4

750,0 772,3

594,0 696,7

895,1 935,1

16,0

3,0

(23,1)

17,3 28,5

4,5

2018 2019 2020 2021 Outlook 2022 APBN 2023

GRAFIK 2.1

PAJAK PENGHASILAN, 2018-2023 (triliun rupiah)

PPh Non-Migas PPh Migas Pertumbuhan (%) sumber: Kementerian Keuangan

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Penerimaan PPN dan PPnBM yang menjadi salah satu kontributor utama penerimaan pajak juga mengalami pola yang sama dengan pola penerimaan PPh dalam periode 2018–

2022. Pada tahun 2018, PPN dan PPnBM tumbuh cukup tinggi sebesar 11,8 persen. Hal ini dipengaruhi oleh tingginya impor serta didukung oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh baik pada tahun 2018.

Namun pada tahun 2019, PPN dan PPnBM mengalami kontraksi sebesar 1,1 persen disebabkan oleh menurunnya kinerja impor akibat perlambatan perekonomian global dan kebijakan percepatan restitusi pajak sejak pertengahan tahun 2018. Selanjutnya, penerimaan PPN dan PPnBM pada tahun 2020 terkontraksi sebesar 15,3 persen sebagai akibat dari melemahnya tingkat konsumsi rumah tangga karena adanya pembatasan aktivitas sosial ekonomi masyarakat sebagai respon dari adanya pandemi Covid-19. Selain itu, berkurangnya permintaan impor bahan baku dan bahan modal akibat aktivitas produksi sektor manufaktur domestik yang terhenti

selama pembatasan sosial turut menyumbang penurunan penerimaan PPN dan PPnBM pada tahun 2020.

Selanjutnya, PPN dan PPnBM pada tahun 2021 mampu kembali tumbuh 22,6 persen yang dipengaruhi meningkatnya konsumsi dan permintaan domestik sejalan dengan upaya pemulihan ekonomi nasional yang telah dilaksanakan Pemerintah sejak tahun 2020. Peningkatan PPN dan PPnBM tersebut juga masih berlanjut pada tahun 2022 dan diperkirakan akan tumbuh sebesar 23,3 persen.

Hal ini sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi dan kebijakan penyesuaian tarif PPN sebagai implementasi UU HPP yang mulai diterapkan pada 1 April 2022.

Sementara itu, pada APBN tahun anggaran 2023 PPN dan PPnBM ditargetkan akan tumbuh sebesar 9,1 persen atau akan mencapai Rp742.953,6 miliar. Target tersebut sejalan dengan tingkat konsumsi dan permintaan dalam negeri yang tetap solid seiring semakin membaiknya aktivitas perekonomian.

Perkembangan PPN dan PPnBM 2018 sampai dengan 2022 dan proyeksi tahun 2023 ditunjukkan dalam Grafik 2.2.

537,3 531,6 450,3 551,9 680,7 743,0 11,8

(1,1)

(15,3)

22,6 23,3

9,1

2018 2019 2020 2021 Outlook

2022 APBN 2023 GRAFIK 2.2

PPN DAN PPnBM, 2018-2023 (triliun rupiah)

PPN & PPnBM Pertumbuhan (%) Sumber: Kementerian Keuangan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Penerimaan PBB mengalami pola penerimaan yang berbeda dari PPh dan PPN/PPnBM. Pada periode 2018-2019 penerimaan PBB masih menunjukkan pertumbuhan yang relatif baik.

Pada tahun 2018 penerimaan PBB mampu tumbuh 15,9 persen, sementara pada tahun 2019 penerimaan PBB juga masih tumbuh 8,7 persen.

Namun, pada tahun 2020 penerimaan PBB mengalami kontraksi meskipun tidak terlalu dalam sebagaimana yang dialami PPh dan PPN. Pada tahun 2020 penerimaan PBB terkontraksi 0,9 persen dibandingkan tahun 2019. Hal ini terutama dipengaruhi terutama oleh penurunan PBB pertambangan minyak bumi dan gas. Sementara itu, pada tahun 2021, pertumbuhan penerimaan PBB kembali terkontraksi cukup dalam sebesar 9,7 persen.

Selanjutnya, pada tahun 2022, penerimaan PBB diperkirakan kembali meningkat 10,5 persen. Faktor yang memengaruhi penerimaan PBB di tahun 2022 tersebut antara lain adanya peningkatan aktivitas sektor hulu migas berupa wilayah pertambangan lapangan onstream. Pada APBN tahun anggaran 2023, penerimaan PBB ditargetkan mencapai Rp31.311,0

miliar atau tumbuh signifikan sebesar 49,8 persen yang dipengaruhi antara lain oleh peningkatan objek pajak di sektor perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan sektor lainnya.

Perkembangan PBB 2018 sampai dengan 2022 dan proyeksi tahun 2023 ditunjukkan dalam Grafik 2.3.

Pajak Lainnya

Penerimaan Pajak Lainnya juga mengalami fluktuasi selama periode 2018–2022. Meskipun sempat mengalami kontraksi 1,6 persen pada tahun 2018, penerimaan Pajak Lainnya kembali tumbuh 15,8 persen pada tahun 2019.

Kemudian, Pajak Lainnya pada tahun 2020 kembali mengalami kontraksi cukup dalam sebesar 11,5 persen disebabkan oleh menurunnya aktivitas ekonomi dampak pandemi Covid-19. Namun demikian, Pajak Lainnya pada tahun 2021 mengalami pertumbuhan 63,8 persen yang disebabkan adanya kenaikan tarif bea meterai sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, yang efektif dilaksanakan sejak Januari 2021. Untuk penerimaan Pajak Lainnya pada tahun 2022 diperkirakan tumbuh sebesar 2,3 persen seiring

19,4 21,1 21,0 18,9 20,9

31,3

15,9 8,7 (0,9) (9,7) 10,5

49,8

2018 2019 2020 2021 Outlook

2022 APBN 2023 GRAFIK 2.3

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, 2018-2023 (triliun rupiah)

Pajak Bumi dan Bangunan Pertumbuhan (%) Sumber: Kementerian Keuangan

dengan pulihnya aktivitas perekonomian.

Selanjutnya, penerimaan Pajak Lainnya pada APBN tahun anggaran 2023 diperkirakan akan mencapai Rp8.699,5 triliun, mengalami kontraksi sebesar 23,6 persen yang disebabkan oleh menurunnya setoran dari komponen Bunga Penagihan sebagai dampak dari kepatuhan Wajib Pajak yang meningkat serta tingginya tren restitusi pada beberapa jenis Pajak Lainnya. Perkembangan Pajak Lainnya tahun 2018 sampai dengan 2022 dan proyeksi tahun 2023 ditunjukkan dalam Grafik 2.4.

2.1.1.2 Perkembangan Penerimaan

Dalam dokumen Buku II Nota Keuangan APBN 2023 (Halaman 90-96)