“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al- Nur:38).
Hukum potong tangan, jika dilihat sepintas memang nampak kejam dan melanggar hak asasi manusia, tetapi perlu diingat bahwa di balik hukum tersebut tersimpan hikmah yang amat besar. Pencuri atau perampok, lebih-lebih koruptor telah merampas hak orang lain atau hak negara. Pada kenyataannya, dengan dihukum penjara, jarang dari mereka yang kemudian jera dan berhenti dari perbuatan mencuri. Tetapi dengan adanya pencuri yang dipotong tangannya, orang lain akan takut dan berpikir panjang untuk melakukan pencurian, karena dia takut jika ketahuan akan dipotong tangannya.
Hukuman lain bagi koruptor adalah ta’zir (hukuman), mulai yang paling ringan berupa dipenjara, lalu memecatnya dari jabatan dan memasukkannya dalam daftar orang tercela (tasyhir), penyitaan harta untuk negara, hingga hukuman mati. Hukuman ini disesuaikan dengan besar kecilnya jumlah uang/barang yang dikorupsi dan dampaknya bagi masyarakat.
yang seharusnya hanya sebagai wasilah (perantara) berubah menjadi ghayah (tujuan akhir) (Mustofa, 2004). Dengan memandang dunia sebagai tujuan akhir, seseorang akan berlomba-lomba mengum- pulkan harta benda sebanyak-banyaknya dengan cara apapun, tidak peduli halal atau haram. Nabi SAW menegaskan bahwa cinta dunia adalah pangkal segala kejahatan (HR. Al-Baihaqi). Dalam hadis lain, Nabi SAW bersabda:
َنَكَس اَم بُح اَين دلا َبلَق ٍدبَع لِإ ُهَلاَتْ با ُللا صِِبِ
ٍثلاَث ٍلا ٍلَمَأِب ُغُلبَي َل
ُهاَهَ تنُم
ٍرقَفَو ُكَردُي َل ُهاَنِغ ٍلغُشَو كَفنَي َل
ُهاَنَع ( . هاور ىمليدلا )
“Jika cinta dunia telah menjangkiti hati manusia, maka Allah mengujinya dengan tiga hal: angan-angan yang tidak pernah tercapai, kefakiran yang tidak pernah tercukupi, dan kesibukan yang selalu melelahkan.” (HR. Al-Dailami)
b. Sikap Tamak dan Serakah
Tamak dan serakah merupakan dua sikap yang sering mengakibatkan umat manusia mengalami kehinaan dan kehancuran, sebab kedua sikap ini mengantarnya kepada sikap tidak pernah puas dan tidak pernah merasa cukup, meskipun harta yang dimilikinya melimpah ruah. Para koruptor umumnya bukan orang-orang miskin, tetapi orang-orang kaya yang bergelimang harta. Sikap serakahlah yang menjadikan mereka tidak pernah puas untuk menumpuk kekayaan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:
ول ناك نبل مدآ داو نم لام ىغتبل ايناث ولو ناك ول نايداو ىغتبل املْ
اثلاث
لو لأيم فوج نبا مدآ لإ باترلا بوتيو للا ىلع نم بات ( ور ها ىراخبلا
ملسمو )
“Seandainya anak adam mempunyai satu lembah harta, niscaya dia akan mencari yang kedua, dan seandainya dia telah punya yang kedua, niscaya dia akan cari yang ketiga. Dan tidaklah dapat memenuhi perut anak adam kecuali tanah (kematian). Dan Allah menerima taubat hamba-Nya yang mau bertobat”
(HR. Bukhari dan Muslim).
c. Sikap Hidup Konsumtif dan Hedonis
Sikap konsumtif adalah sikap berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi atau membelanjakan harta tanpa peduli pada nasib orang lain. Sementara hedonis adalah sikap yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Dengan dua sikap tersebut manusia tidak segan menghalalkan
segala cara, termasuk korupsi, untuk mendapatkan harta yang berlimpah. Harta yang berlimpah inipun tidak memberi rasa puas, ia selalu merasa kurang setiap saat. Nabi SAW bersabda.
سعت دبع رانيدلا دبعو مىردلا دبعو ةفيطقلا دبعو ةصيملخا
، نإ يطعأ يضر ناو
لم طعي لم في . ( هاور نبا وجام )
“Rasulullah SAW bersabda: Celakah hamba dinar dan hamba dirham, hamba permadani, dan hamba baju. Apabila ia diberi maka ia puas dan apabila ia tidak diberi maka iapun menggerutu kesal” (HR. Ibnu Majah).
d. Pemahaman Agama yang Dangkal
Meskipun sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, tetapi kasus korupsi masih terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku korupsi itu adalah orang Islam.
Padahal sesungguhnya shalat, salah satu ajaran agama Islam yang terpenting, dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar termasuk di dalamnya mencegah perbuatan korupsi. Namun kenyataannya banyak orang yang rajin melaksanakan ibadah ritual (seperti shalat, puasa, zakat, haji) tetapi mereka tetap melakukan korupsi. Hal ini disebabkan oleh karena pelaksanaan ajaran agama itu tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sekaligus tidak mendalami makna yang terkandung dalam ibadah itu. Ibadah yang mereka laksanakan baru sebatas ibadah ritual seremonial (bersifat upacara), belum teraktualisasi dalam kehidupan.
e. Hilangnya Nilai Kejujuran
Kejujuran adalah aset yang sangat berharga bagi orang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, sebab kejujuran mampu menjadi benteng bagi seseorang untuk menghindari perbuatan-perbuatan munkar seperti perbuatan korupsi ini. Hanya saja nilai-nilai kejujuran telah hilang dari pelaku-pelaku korupsi itu. Oleh karena itulah maka sejak kecil dalam rumah tangga dan di sekolah seharusnya ditanamkan nilai-nilai kejujuran kepada anak-anak. Nabi SAW bersabda: “Katakanlah yang benar itu walau pahit sekalipun”
(HR. Ibnu Hibban) 2. Motif Eksternal
Selain motif internal, terdapat pula motif eksternal yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi. Motif eksternal itu antara lain: (1) adanya kesempatan dan sistem yang rapuh, (2)
faktor budaya, (3) faktor kebiasaan dan kebersamaan, dan (4) penegakan hukum yang lemah.
a. Adanya Kesempatan dan Sistem yang Rapuh
Salah satu sebab seseorang melakukan tindak pidana korupsi adalah adanya kesempatan dan peluang serta didukung oleh sistem yang kondusif untuk berbuat korupsi, antara lain karena tidak adanya pengawasan yang melekat dari atasan, atau terkadang justru atasan mengharuskan seseorang untuk berbuat korupsi. Hal ini bisa juga terwujud dalam bentuk sistem penganggaran yang memang mengharuskan seseorang berbuat korupsi, seperti diperlukannya uang pelicin agar anggaran kegiatan disetujui, atau diperlukannya uang setoran kepada atasan di akhir pelaksanaan kegiatan.
b. Faktor Budaya
Adalah sebuah kebiasaan bagi orang Indonesia bahwa setiap seseorang menjadi pejabat tinggi dalam sebuah lembaga pemerin- tahan, maka yang bersangkutan akan menjadi sandaran dan tempat bergantung bagi keluarganya. Akibatnya dia diharuskan melakukan perbuatan korupsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya tersebut, apalagi jika permintaan tersebut berasal dari orang yang sangat berpengaruh bagi dirinya, seperti orang tua. Selain itu dalam budaya kita, seseorang akan dianggap bodoh bila dia memiliki jabatan penting tapi tidak mempunyai penghasilan lain selain penghasilannya resminya. Akibatnya ia “dipaksa” untuk melakukan korupsi.
c. Faktor Kebiasaan dan Kebersamaan
Fakta menunjukkan bahwa sangat banyak pejabat, kepala daerah atau wakil rakyat yang diadili di pengadilan karena melakukan korupsi secara berjamaah. Nampaknya korupsi telah menjadi kebiasaan yang tidak perlu diusik dan dipermasalahkan. Akhirnya terjadilah pembiasaan terhadap perbuatan yang salah. Padahal seharusnya kita membiasakan yang benar dan bukan membenarkan yang biasa tapi salah. Apalagi perbuatan salah itu merugikan banyak orang dan menjadi masalah serius bagi bangsa Indonesia seperti korupsi.
d. Penegakan Hukum yang Lemah
Salah satu penyebab orang tidak takut korupsi adalah kenyataannya tidak ada sanksi hukum yang jelas bagi pelaku korupsi.
Padahal hukuman terhadap mereka telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi karena
penegakan hukumnya lemah, ditambah dengan aparat penegak hukumnya juga pelaku korupsi, maka para pelaku korupsi tidak jera dengan perbuatannya, dan bahkan semakin parah. Akibatnya, perbuatan negatif tersebut menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan.