• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan dan Hambatan dalam Pengembangan Kompetensi ASN

Dalam dokumen BUKU MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK ERA40 uo. (Halaman 58-62)

Bab 3 Pengembangan Kompetensi ASN dalam Pelayanan Publik

3.6 Permasalahan dan Hambatan dalam Pengembangan Kompetensi ASN

3.6 Permasalahan dan Hambatan dalam

Lebih lanjut, Atmadji (2021), menyatakan ada beberapa permasalahan atau hambatan yang dialami dalam pengembangan kompetensi ASN, yaitu:

1. Penyusunan kebijakan pengembangan kepegawaian ASN saat ini belum didasarkan kepada analisa kebutuhan pendidikan dan pelatihan;

2. Pengembangan kompetensi ASN belum mengacu kepada perencanaan pembangunan baik tingkat nasional maupun daerah;

3. Pada tataran organisasional, tidak adanya benang merah antara perencanaan pembangunan nasional atau daerah dan rencana strategis pengembangan kepegawaian ASN yang disusun.

4. Pengembangan kompetensi hanya dianggap sebagai pendidikan dan pelatihan yang dilakukan secara klasikal;

5. Pengembangan kompetensi dilakukan secara terpisah dengan kebijakan pola karir ASN.

Sedangkan, Sartika dan Kusumaningrum (2017), menyatakan bahwa hambatan dalam penyelenggaraan pengembangan kompetensi ASN ini adalah 1. Inkonsistensi kebijakan, yaitu pemerintah pusat mengharapkan penerapan di daerah, padahal seharusnya sudah diterapkan duluan di pemerintah pusat, serta tidak ada upaya mempolitisasi kebijakan;

2. Penerapan lelang jabatan, yaitu masih menimbulkan masalah di lapangan dan instrumennya tidak disiapkan dengan baik oleh pemerintah pusat;

3. Paradoks dengan di lapangan, yaitu tapi BKD tetap taat aturan, salah satunya jika dalam 6 bulan tidak menunjukkan prestasi kinerja maka wajib dievaluasi.

4. Terkait pengangkatan dalam jabatan, yaitu bagi mereka yang sudah dididik dalam jabatan yang akan diisi.

5. Adanya calon pejabat yang ditawarkan dari luar, BKD telah menolak karena belum jelas track recordnya dan terindikasi menyalahgunakan jabatan (korupsi).

Bab 4

Etika dan Etiket dalam Pelayanan Publik

4.1 Pendahuluan

Setiap negara sudah pasti mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan publik yang berkualitas dalam berbagai segi kehidupan kepada masyarakatnya di manapun berada termasuk negara Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Revida, dkk (2021) dan Revida, dkk (2022), yang menyatakan bahwa salah satu tujuan suatu negara dibentuk antara lain untuk melayani masyarakatnya dengan memberikan pelayanan publik yang terbaik di manapun berada. Demikian halnya dengan pernyataan Rasyid (1997), yang menyatakan bahwa pelayanan publik pemerintah perlu terus dibuktikan ketersediaannya.

Pelayanan publik adalah penting bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Masyarakat tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya dengan sendirian. Oleh karena itu menurut Revida, dkk (2017) pemerintah adalah penyedia pelayanan publik. Sebagai penyedia pelayanan publik, maka pemerintah harus memberikan pelayanan publik yang berkualitas dalam berbagai segi kehidupan masyarakatnya di manapun berada.

Sesungguhnya telah banyak program dan kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik antara lain melalui pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi dan sebagainya. Namun, dalam kenyataannya, pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat hingga kini belum maksimal seperti yang diharapkan (Revida, E., Siahaan, A.Y. and Purba, S, 2018).

Rendahnya kualitas pelayanan publik juga disampaikan oleh Marit, dkk (2021) yaitu semangat otonomi daerah dalam rangka memperpendek birokrasi yang diharapkan mempermudah masyarakat dan dunia usaha untuk menjalankan usahanya di daerah, ternyata masih jauh dari harapan, masih banyak terjadi penyimpangan di daerah. Di sisi lain, Revida, E., Munthe, H.M and Purba, S.

(2020) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat khususnya bidang pariwisata masih rendah. Hal yang sama disampaikan oleh Dwiyanto (2002) yang menyebutkan bahwa pelayanan publik saat ini masih penuh dengan ketidakpastian biaya, waktu dan prosedur pelayanan. Hal ini antara lain menunjukkan bahwa pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat belum berdasarkan pada etika dan etika pelayanan publik.

4.2 Konsep Pelayanan Publik

Pelayanan publik adalah bantuan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat. Dalam kehidupannya, masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Masyarakat membutuhkan bantuan orang lain dalam hal ini pemerintah sehingga muncullah istilah pelayanan publik.

Untuk lebih jelasnya definisi pelayanan publik yang diajukan oleh para ahli disajikan sebagai berikut:

1. Ratminto (2007), menyatakan pelayanan publik adalah segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Hardiyansyah (2018), memberi batasan pelayanan publik yaitu melayani keperluan orang atau masyarakat atau organisasi yang memiliki kepentingan pada organisasi, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima layanan.

3. Keban (2001), pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun kemitraan dengan swasta dan masyarakat,berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar.

4. Revida, dkk (2022), mengartikan pelayanan publik yaitu setiap aktivitas, program, dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah serta bantuan yang diberikan kepada masyarakat baik material maupun immaterial dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat.

5. Kato, I, dkk (2021), menyebutkan pelayanan publik sebagai aktivitas pemberian pelayanan kepada masyarakat oleh birokrasi pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat.

Dengan demikian yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah segala aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan bantuan atau pertolongan kepada seluruh masyarakat dengan tujuan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai segi kehidupan. Pemberian pelayanan publik yang berkualitas akan sangat tergantung pada penerapan etika dan etiket pelayanan publik.

4.3 Konsep Etika Pelayanan Publik

Etika pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang mengandung arti watak atau kebiasaan (habit). Dengan demikian, etika adalah suatu pola tingkah laku yang diperankan oleh para birokrat setiap harinya dan menjadi kebiasaan atau habit yang ditampilkan yang dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat sebagai penerima (user) dari pelayanan publik.

Penerapan etika yang baik dan tidak baik sangat tergantung pada norma-norma yang berlaku di dalam pemerintahan dan kelompok masyarakat tertentu. Ada beberapa pengertian etika menurut para ahli sebagai berikut:

1. Bertens (2000), mendefinisikan etika dengan ada dua pengertian yaitu etika dalam pengertian praktis dan sebagai refleksi. Etika dalam pengertian praktis mengandung arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang baik yang berlaku dalam masyarakat, yaitu apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, sedangkan etika sebagai praktis sama artinya etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral.

2. Vos (1987), menyatakan etika adalah ilmu pengetahuan tentang kesusilaan atau moral.

3. Huda (1997), memberi arti etika sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dan apa yang salah. Etika merupakan bidang normatif, karena menentukan dan menyarankan apa yang seharusnya orang lakukan atau hindarkan.

4. Badroen (2006), mengartikan etika sebagai segala sesuatu yang memuat keyakinan ‘benar dan tidak sesuatu’.

5. Suseno (1991), mengatakan bahwa etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis.

Dengan demikian yang dimaksud dengan etika adalah seperangkat nilai moral dan tata krama yang memuat ketentuan yang benar dan salah yang harus dipatuhi oleh setiap orang yang berada dalam suatu kelompok tertentu, baik kelompok kecil maupun kelompok yang besar seperti negara.

Etika sering sekali belum diterapkan dalam memberikan pelayanan publik. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan publik yang diberikan masih belum benar.

Setiap ketentuan yang berkaitan dengan tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam memberikan pelayanan publik disebut dengan istilah etika pelayanan publik.

Dalam prakteknya pelayanan publik yang diberikan sering tidak sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan seperti diskriminasi, tidak transparan, tidak

jujur dan sebagainya (Siregar, dkk, 2020). Hal ini berarti etika pelayanan publik belum dilaksanakan dengan baik dan benar.

Untuk lebih jelasnya berikut diuraikan pengertian etika pelayanan publik yang diajukan para ahli sebagai berikut:

1. Kumorotomo (1997), menyatakan pengertian etika pelayanan publik sebagai suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik.

2. Darwin (1999), memberi arti etika pelayanan publik sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia organisasi.

3. Denhardt (1988), mengatakan bahwa etika pelayanan publik adalah

“profesional standards” (kode etik) atau “right rules of conduct”

(aturan perilaku yang benar), yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik.

4. Darwin (2012), membatasi pengertian etika pelayanan publik sebagai suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan- kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik.

Etika pelayanan publik merupakan salah satu kunci dalam menentukan kepuasan masyarakat dan menunjukkan keberhasilan organisasi pelayanan publik itu sendiri (Tjandra, dkk. 2005). Dengan demikian etika pelayanan publik penting bagi setiap birokrasi pemerintah khususnya dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Henry (1995), yang menyatakan bahwa penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi dan prinsip- prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap pelayanan publik yang mengutamakan kepentingan umum.

4.4 Prinsip-prinsip Etika Pelayanan Publik

Susanty (2020), menyatakan bahwa salah satu faktor yang memiliki peran sangat penting dalam meningkatkan kinerja pelayanan publik adalah faktor etika. Dengan demikian, etika pelayanan publik yang dilaksanakan pemerintah dengan baik dan benar akan memunculkan kepuasan masyarakat atas pelayanan yang diterima (Sisca, dkk, 2020). Dengan demikian, semakin baik pelaksanaan pelayanan publik, maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan masyarakat.

Etika pelayanan publik dilaksanakan dengan prinsip-prinsip tertentu. Prinsip adalah dasar atau patokan seseorang yang harus dijalankan dengan baik.

Prinsip mendasari setiap tindakan yang apabila tidak dilaksanakan akan menghambat pencapaian tujuan dengan efisien dan efektif.

Ada beberapa prinsip-prinsip dalam etika pelayanan publik. Gie (2006), mengutip pendapat Institute Josephson America, menyatakan prinsip-prinsip etika pelayanan publik sebagai berikut:

1. Jujur, dapat dipercaya, tidak berbohong, tidak menipu, mencuri, curang dan berbelit

2. Integritas, mempunyai prinsip, terhormat, tidak mengorbankan prinsip moral dan tidak bermuka dua

3. Memegang janji, memenuhi janji serta mematuhi jiwa perjanjian sebagaimana isinya dan tidak menafsirkan isi perjanjian secara sepihak

4. Setia, loyal dan taat pada kewajiban yang semestinya harus dikerjakan

5. Adil, memperlakukan orang dengan sama, bertoleransi, menerima perbedaan serta berpikiran terbuka

6. Perhatian, memperhatikan kesejahteraan orang lain, memberikan kebaikan dalam pelayanan

7. Menghormati martabat manusia, privasi dan hak menentukan nasib bagi setiap orang

8. Kewarganegaraan, bertanggungjawab menghormati, menghargai dan mendorong pembuatan keputusan yang demokratis

9. Keunggulan, memperhatikan kualitas pekerjaan.

Di sisi lain, Kumorotomo (1997) menyatakan ada 6 (enam) prinsip etika pelayanan publik yaitu: a. Keindahan (beauty), b. Persamaan (equality), c.

Kebaikan (goodness), d. Keadilan (fairness), dan e. Kebebasan (liberty).

Selanjutnya, dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2009 tertulis beberapa asas atau prinsip pelayanan publik yaitu sebanyak 12 (duabelas) unsur yaitu:

1. Kepentingan umum 2. Kepastian hukum 3. Kesamaan hak

4. Keseimbangan hak dan kewajiban 5. Keprofesionalan

6. Partisipatif

7. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif 8. Keterbukaan

9. Akuntabilitas

10. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi 11. Ketepatan waktu

12. Kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan

Gie (2006), mengutip pendapat American Society for Public Administration (ASPA) tentang kode etik pelayanan publik adalah sebagai berikut:

1. Pelayanan kepada masyarakat berada di atas pelayanan kepada diri sendiri

2. Rakyat berdaulat dan instansi pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat

3. Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah. Apabila hukum bermakna ganda, tidak bijaksana atau perlu perubahan, maka kepentingan rakyat harus menjadi patokan

4. Manajemen yang efisien dan efektif. Penyalahgunaan pengaruh, penggelapan, pemborosan atau penyelewengan tidak dapat

dibenarkan. Pegawai bertanggung jawab melaporkan jika ada tindakan penyimpangan

5. Sistem penilaian kinerja, kesempatan yang sama, dan niat baik harus didukung, dijalankan dan dikembangkan

6. Perlindungan terhadap kepentingan rakyat. Konflik kepentingan, penyuapan, hadiah, atau favoritisme tidak dapat diterima

7. Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri sifat keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetisi dan kasih sayang

8. Hati nurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan. Diperlukan kesadaran akan makna moral dalam kehidupan, pengkajian tentang prioritas nilai karena tujuan yang baik tidak pernah membenarkan cara yang tak bermoral (good and never justify immoral means)

9. Administrator negara tidak hanya terlibat untuk mencegah hal yang salah, tetapi juga untuk mengusahakan hal yang benar melalui pelaksanaan tanggung jawab dan penyelesaian tugas tepat pada waktunya.

4.5 Etiket Pelayanan Publik

Etiket adalah tata cara bertindak dan berperilaku ketika berhadapan dengan orang lain. Bertens (2000), membedakan konsep etika dan konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri, apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh untuk dilakukan, misalnya mengambil barang milik orang tanpa ijin.

Etiket pelayanan publik adalah tata cara suatu perbuatan dilakukan oleh birokrat publik yang berlaku dalam kalangan tertentu saja. Etiket berarti suatu sikap seseorang yang tampak ketika bertindak dan berperilaku sehari-hari seperti sikap sopan santun, mengayomi dan sebagainya.

Etiket pelayanan publik sangat penting diterapkan oleh birokrat di manapun berada terutama ketika melayani masyarakat. Pelayan publik yang mempunyai

etiket sopan santun, ramah sudah pasti akan lebih disenangi daripada birokrat yang diktator dan otoriter.

Sopan santun dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu sopan santun verbal yaitu cara berbicara dan cara mengungkapkan sesuatu, sedangkan sopan santun nonverbal yaitu cara berjalan, mimik wajah, cara berpakaian, cara bergaul, cara berjalan dan sebagainya. Sopan santun pada dasarnya sudah lama dibangun sejak kecil dalam lingkungan keluarganya dan bahkan sejak dalam kandungan ibunya sekalipun.

Demikian halnya dengan etiket pelayanan publik harus dibangun sejak seorang birokrat memasuki dunia kerja. Birokrat adalah gambaran atau wujud dari pemerintah. Oleh karena itu etiket pelayanan publik yang diberikan birokrat akan menunjukkan etiket pemerintah. Semakin baik etiket pelayanan publik yang diberikan birokrat, akan menunjukkan semakin baik etiket pemerintah dan sebaliknya.

Sesungguhnya ada beberapa perbedaan antara etiket pelayanan publik dengan etika pelayanan publik. Bertens (2000), membedakannya sebagai berikut:

1. Etika adalah niat. Suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak dilakukan akan sangat tergantung pada pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya. Etiket adalah menetapkan cara untuk melakukan perbuatan benar sesuai dengan yang diharapkan.

2. Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya. Etiket adalah formalitas (lahiriah), yang tampak dari sikap luarnya yang penuh dengan sopan santun dan kebaikan.

3. Etika bersifat absolut, yaitu tidak dapat ditawar-tawar lagi,kalau perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat hukuman. Etiket adalah bersifat relatif yaitu yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan daerah tertentu, tetapi belum tentu di tempat/daerah lain.

4. Etika berlakunya tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir, sedangkan etiket hanya berlaku jika ada orang lain yang hadir, dan jika tidak ada orang lain, maka etiket itu tidak berlaku.

4.6 Nilai-nilai Etika Pelayanan Publik

Para dasarnya, etika pelayanan publik berfungsi dua hal yaitu pertama etika adalah acuan atau pedoman birokrasi dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, dan kedua sebagai standar penilaian terhadap sikap dan perilaku serta tindakan birokrat, termasuk penilaian apakah sikap, perilaku dan tindakan birokrat sudah baik, sedang atau buruk, tidak menyalahi peraturan ataupun standar operasional prosedur (SOP) yang sedang berlaku.

Dasar dari etika pelayanan publik adalah nilai-nilai. Nilai adalah segala sesuatu yang baik oleh setiap orang atau pemerintah. Nilai selalu dijadikan acuan atau patokan dalam berperilaku dan bertindak. Nilai-nilai etika pelayanan publik adalah segala sesuatu yang dianggap baik dan dilaksanakan dalam setiap aktivitas pemberian pelayanan publik.

Nilai-nilai dalam pelayanan publik adalah segala sesuatu acuan dan pedoman dalam melaksanakan pelayanan publik dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat apakah pelayanan publik diberikan dengan baik dan benar.

Ada beberapa nilai yang dianut pemerintah dalam memberikan antara lain efisiensi, efektivitas, sistem merit (meryt system), kejujuran, keadilan, responsivitas, akuntabel dan sebagainya. Nilai-nilai ini akan tergambar dan terwujudkan dalam setiap aktivitas pelayanan publik.

1. Efisiensi.

Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara input (masukan) dengan output (keluaran). Bahasa ekonomi dari efisiensi adalah dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, akan diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Nilai efisiensi sesungguhnya berasal dari sektor privat. Namun dengan perkembangan zaman ilmu pengetahuan teknologi dan perubahan paradigma Ilmu Administrasi Publik, maka saat ini sektor publik (pemerintah) telah menganut nilai efisiensi dalam pelayanan publik. Darwin (1999) menyatakan dalam penggunaan dana publik saat ini sudah dengan sangat hati-hati dan tidak boleh boros.

2. Efektivitas.

Efektivitas adalah nilai yang menganut dengan masukan (input) tertentu akan tercapai tujuan dengan cepat dan tepat. Orientasi nilai

efisiensi adalah tujuan dapat tercapai dengan cepat dan tepat. Stoner (1982), menyatakan pentingnya nilai efektivitas dalam organisasi dalam pencapaian tujuan-tujuan organisasi dan efektivitas adalah kunci dari kesuksesan suatu organisasi. Di sisi lain Sharma (1982), menyatakan bahwa kriteria atau ukuran suatu efektivitas dapat dinilai dari produktivitas organisasi atau output, fleksibilitas organisasi, dan bentuk keberhasilannya dalam menyesuaikan diri dengan perubahan- perubahan di dalam dan di luar organisasi, serta dari ada tidaknya ketegangan dalam organisasi atau hambatan-hambatan konflik di antara bagian-bagian organisasi.

3. Sistem merit (meryt system).

Sistem merit adalah suatu nilai yang mengacu pada pengangkatan aparatur atau pegawai berdasarkan pada kecakapan, kemampuan atau keahlian yang dimiliki seseorang bukan karena faktor kedekatan, KKN atau kekerabatan, sealiran dan sebagainya yang dikenal dengan

“spoil system”. Dengan nilai sistem merit, maka semua aparatur dan pegawai akan berlomba-lomba untuk meningkatkan kemampuan, kecakapan dan keahliannya agar dapat terpilih dalam jabatan atau pekerjaan tertentu.

4. Kejujuran.

Kejujuran berasal dari kata jujur. Jujur adalah tulus. Nilai jujur selalu berpatokan pada peraturan dan standar operasional prosedur (SOP) dan tidak menyimpang. Kejujuran adalah nilai yang harus ada dalam pelayanan publik, sebab kalau tidak jujur, maka pelayanan yang diberikan cenderunng tidak benar atau bohong belaka. Birokrat yang jujur adalah idaman masyarakat, tidak mau korupsi atau tidak mau menggunakan uang negara untuk kepentingannya sendiri. Birokrat yang jujur menggambarkan adanya integritas yang selalu berpatokan pada undang-undang atau peraturan yang berlaku. Saat ini nilai kejujuran adalah barang langka. Dalam prakteknya kebohongan- kebohongan publik masih sangat sering ditemukan di lingkungan pemerintahan. Sesungguhnya, nilai kejujuran akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap birokrat.

5. Keadilan

Nilai keadilan adalah nilai yang memberikan rasa adil terhadap semua orang tanpa pandang bulu. Kaya miskin, laki-laki perempuan, tua muda diperlakukan sama. Nilai keadilan beranggapan bahwa

“equality pay for equal work atau equality before the law”. Semua orang sama kedudukannya di mata hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali dengan tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap semua orang. Nilai keadilan adalah nilai yang berdasarkan kebutuhan dan pengorbanan yang diberikan sebagai contoh kebutuhan anak Sekolah Dasar (SD) tentu berbeda dengan anak Sekolah Menengah Atas (SMA). Oleh karena itu dikatakan adil adalah apabila pemenuhan kebutuhannya tidak harus persis sama baik wujud maupun jumlahnya, akan tetapi disesuaikan dengan kebutuhan atau keperluannya masing-masing.

6. Responsivitas.

Responsif adalah nilai yang berdasarkan pada adanya daya tanggap atau peka terhadap kebutuhan masyarakat di manapun berada dan kapanpun pelayanan publik tersebut dibutuhkan oleh masyarakat.

Nilai responsivitas akan tampak pada adanya tanggapan birokrasi terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat terhadap sesuatu hal yang terjadi. Birokrasi publik yang memiliki responsivitas akan dengan segera untuk menanggapi dan memenuhinya, tidak suka mengulur-ulur waktu dan memperlama atau memperlambat pelayanan. Zeithaml, dkk (1990) menyatakan indikator responsivitas adalah: kemampuan merespon masyarakat, kecepatan melayani, ketepatan melayani, kecermatan melayani, ketepatan waktu pelayanan, dan kemampuan menanggapi keluhan.

7. Akuntabel

Akuntabel adalah pertanggungjawaban yang diberikan oleh birokrasi khususnya berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya sebagai pelayan publik. Berkaitan dengan nilai akuntabel menurut Sudarmanto, dkk (2001) menyatakan bahwa nilai akuntabel dapat dilihat dari seberapa besar dana yang digunakan sesuai dengan

peraturan yang berlaku. Demikian halnya dengan Napitupulu, dkk (2020) menyatakan bahwa sesuatu dikatakan akuntabel apabila sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Pada dasarnya akuntabel adalah nilai yang harus ada berkaitan dengan wewenang dan tugas yang telah diberikan kepada birokrasi dan wajib dipertanggungjawabkan kepada pejabat yang mengangkatnya.

Widodo (2001) menyatakan pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah).

4.7 Implikasi Etika Pelayanan Publik

Etika dan etika pelayanan publik sangat penting dalam implementasi pelayanan publik. Tanpa ada etika pelayanan publik, maka pelayanan publik yang diberikan tidak sesuai dengan harapan masyarakat sebagai pengguna (user) pelayanan publik.

Untuk menjamin implementasi etika pelayanan publik, maka perlu disusun kode etik pelayanan publik. Sujamto (1980) mendefinisikan kode etik sebagai suatu alat untuk menunjang pencapaian tujuan organisasi atau sub-organisasi atau bahkan kelompok-kelompok yang belum terikat dalam suatu organisasi.

Kode etik dapat dikatakan sebagai hukum etik yang disusun oleh pemerintah, satuan kerja, kelompok, yang menjadi panduan atau patokan yang menyangkut sikap mental yang wajib dipatuhi oleh para anggotanya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tertulis bahwa Pegawai Negeri Sipil memiliki kode etik yang merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil di dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan sehari-hari khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.

Selanjutnya, pada pasal 7 dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan tugas kedinasannya, seorang Pegawai Negeri Sipil wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara, dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam berorganisasi, dalam bermasyarakat, serta terhadap diri sendiri dan sesama Pegawai Negeri Sipil.

Dalam dokumen BUKU MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK ERA40 uo. (Halaman 58-62)