• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis-jenis Strategi dan Metode Pembelajaran Berbasis Karakter Menurut (Muchlas Samani., dkk, 2012: 144-145) Dalam kaitannya

STRATEGI PEMBELAJARAN PAI BERBASIS KARAKTER

D. Jenis-jenis Strategi dan Metode Pembelajaran Berbasis Karakter Menurut (Muchlas Samani., dkk, 2012: 144-145) Dalam kaitannya

(pace making), memberikan kesempatan untuk berhasil, mengadakan penilaian, dan menghargai peserta didik

2. Melibatkan peserta didik dalam proses belajar mengajar, yaitu memberikan kemerdekaan kepada peserta didik untuk mengemukakan ide, gagasan, pendapat, komentar, saran, dan kritik yang membangun, menciptakan suasana belajar mengajar yang terbuka (fair) dalam batas-batas yang wajar dan etis dan memberikan penghargaan atas keterlibatan peserta didik dalam proses belajar mengajar dengan cara memberikan nilai tambah, membangun cara pesrcaya diri peserta didik di hadapan teman-temannya, mengurangi dominasi pendidik dalam proses pembelajaran

3. Pandai menarik minat dan perhatian peserta didik, yaitu tampil dengan prima pada saat memulai pelaksanaan proses pembelajaran, variasi dalam penggunakan metode dan media pembelajaran, kuasi materi pembelajaran dengan keterampilan didaktik, selingi proses pembelajaran dengan humor yang terkendali, sesuaikan proses pembelajaran dengan kondisi dan kapasitas kemampuan peserta didik, ciptakan suasana kelas aman, tertib, hangat, dan terkendali., hargai setiap peserta didik sebagai manusia yang utuh, ciptakan suasana pembelajaran yang serius, tetapi santai, ikutkan para peserta didik untuk menata ruangan kelas sehingga menarik minat dan perhatian mereka untuk belajar, berikan penekanan pada materi-materi tertentu dengan komunikasi yang baik, libatkan indra dan perasaan peserta didik dalam proses belajar, pujilah peserta didik apabila menunjukkan prestasi sekecil apapun, pahami kebutuhan peserta didik dan patuhi kebutuhan itu. (Anas Salahudin, 2013: 216)

D. Jenis-jenis Strategi dan Metode Pembelajaran Berbasis Karakter

misalnya dalam sajian malam kesenian, tontonan panggung di alam terbuka (opened air) yang bersponsor, yang dipengaruhi dengan slogan-slogan atau moto tentang karakter atau nilai.

Strategi pujian dan hadiah berlandaskan kepada pemikiran yang positif (positive thinking), dan menerapkan penguatan positif (positive reinforcement), strategi ini ingin menunjukkan anak yang sedang berbuat baik (catching students being good). Sayangnya strategi semacam ini tidak dapat berlangsung lama, karena jika semula yang terpilih adalah benar-benar anak yang tulus ingin berbuat baik, kemudian mendapatkan pujian dan hadiah, pada perkembangan selanjutnya tidak sedikit anak yang sengaja ingin terpilih dan melakukan kebaikan semata-mata hanya karena ingin mendapat pujian dan hadiah.

Strategi define-and-drill menuntut para siswa untuk mengingat-ingat berbagai macam nilai kebaikan dan mendefenisikannya. Setiap siswa mencoba mengingat-ingat secara definitif atau makna nilai tersebut sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya dan terkait dengan keputusan moralnya.

Strategi forced formality pada dasarnya berupaya menegakkan disiplin dan melakukan pembiasaan (habituasi) kepada siswa untuk secara rutin melakukan sesuatu yang mengandung nilai moral. Seperti contoh mengucapkan salam kepada guru, kepala sekolah, pegawai sekolah, bahkan sesama teman yang dijumpai. Di Indonesia terdapat sekolah swasta Islam yang memiliki slogan yang merupakan kewajiban bila bertemu guru yang disebut dengan budaya 4-S yakni , senyum, sapa, salam dan salim (tersenyum, menyapa, berjabat tangan dan mencium tangan). Hal yang serupa juga diterapkan dinegara-negara Barat seorang anak dibiasakan berkata ya pak, ya bu (yes sir, yes ma’am) untuk afirmasi atau no ma’am, no sir, untuk negasi, serta dibiasakan untuk tertib berbaris satu-satu (antre) saat masuk kelas, tidak berjalan bergerombol di jalanan, dan sebagainya.

Strategi traits of the month pada hakikatnya menyerupai strategi cheerleading, tetapi tidak hanya mengandalkan poster-poster, spanduk, juga menggunakan segala sesuatu terkait dengan pendidikan karakter, misalnya pelatihan, introduksi oleh guru dalam kelas, sambutan Kepala Sekolah pada upacara, dan sebagainya, yang difokuskan pada penguatan perangai tunggal yang lebih disepakati. Model tersebut menerima banyak kritikan karena pada hakikanya setiap nilai karakter tidak pernah berdiri sendiri, tetapi amat terkait dengan implementasi nilai karakter yang lain.

Freire (dalam Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie, 2013: 153) menawarkan metode pendidikan dengan mengembangkan kesadaran kearah keterbukaan, yaitu proses pendidikan terdiri atas guru yang memposisikan dirinya sebagai murid dan murid yang dijadikan guru serta realitas dunia. Dalam pendidikan gaya demikian, hanya guru dan murid, tanpa memperhatikan kontek dunia. Jadi, pendidikan yang benar adalah pendidikan yang menjadi kekuatan penyadaran dengan pembebasan, yaitu pendidikan yang menekankan pada penyelesaian masalah (problem solving). Pendidikan pemecahan masalah adalah proses: Kodifikasi dan dokumentasi, Diskusi kultural dan Aksi kultural.

Situasi menghadapi masalah digambarkan sebagai berikut. Guru menggali informasi dari siswa dan siswa mencari informasi dari guru.

Guru menjadi rekan siswa yang saling melibatkan diri dan menstimulasi daya pikir kritis para siswanya. Guru dan siswa dapat mengembangkan diri dalam menghadapi masalah, sehingga senantiasa terbuka rahasia yang menantang dan menuntut respon. Dengan pendekatan semacam ini, guru dan siswa dibawa pada dedikasi yang sesungguhnya, yaitu kemampuannya untuk mengerti secara kritis mengenal dirinya sendiri dan dunianya. Bagi mereka, pengetahuan dan komitmen tidak bisa dipisahkan. Dibawah ini akan dijelaskan macam-macam strategi pembelajaran berbasis karakter, yaitu sebagai berikut :

1. Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Oleh sebab itu, hasil pembelajaran ini akan lebih berkesan dan bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer.

(M. Syukri, 5)

Selain itu, pembelajaran kontekstual dapat melatih kemandirian belajar anak. Menurut Johnson (2006:161) menjelaskan bahwa para siswa dengan pembelajaran secara mandiri tidak hanya menentukan rancangan kerja, tetapi juga merumuskan bagaimana mereka berperan serta dalam setiap aktivitas pembelajaran, mereka juga menentuka gaya belajar yang tepat bagi dirinya seraya mencari keterkaitan antara tugas sekolah dan kenyataan yang terdapat dalam kehidupan keseharian

mereka. Menurut Johnson (2006:173) dijelaskan bahwa dalam pembelajaran mandiri, dimana siswa sendiri yang menentukan tujuan belajarnya, siswa memilih kegiatan pendukung dalam upaya pencapaian tujuan, yaitu penentuan tundakan, mengajukan pertanyaan, membuat pilihan, mengumpulkan dan mengolah informasi, serta berpikir kritis dan kreatif. Pembelajaran kontekstual memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan masalah yang terkait dengan materi yang dipelajarinya, merancang pembelajarannya, menentukan tujuan pembelajaran, merumuskan masalah, menemukan dan mencari data dan membahasnya, serta melaporkan hasil temuannya.

Para siswa secara mandiri dapat menggali dan mengembangkan potensi diri mereka. Mereka secara mandiri dapat menemukan minat- minat baru dan bakat-bakat terpendam sambil mengembangkan untuk mencapai keunggulan akademik. Di samping itu, siswa juga dapat mengetahui bahwa mereka mampu mempengaruhi lingkungan mereka. Melalui proses belajar mandiri, mereka belajar bahwa mereka memiliki peran untuk menjadi perancang kondisi bersama dalam dunia tempat tinggal mereka. Dengan demikian mereka menyadari bahwa merupakan tanggung jawab mereka juga untuk menciptakan kembali sebuah dunia dimana setiap makhluk hidup akan betah tinggal di dalamnya. (Margulis & Sagan, 1995:122-138)

Little, (1991:4) menjelaskan bahwa: “Kemandirian belajar adalah : (1) Kapasitas seseorang untuk tidak bergantung pada orang lain. (2) Bertanggung jawab sendiri dalam proses belajar. (3) Kebebasan dalam berpikir, kemampuan dan kemauan seseorang untuk berpartisipasi dalam memilih dan membentuk pengalaman belajar, baik secara mandiri atau bersama-sama dengan orang lain sebagai dimensi konasi atau perilaku intensional untuk meraih keadaan yang diinginkan dimasa mendatan. (4) Banyak akal (resourcefulness) dalam belajar. (5) Inisiatif sendiri dalam belajar. (6) Persistensi dalam belajar. Sementara itu, Brooks & Brooks, (1993: 103) menyatakan bahwa dalam komponen masyarakat belajar atau kerja sama merupakan salah satu cara siswa memperoleh kemandirian dalam belajar. Adapun tindakkan kemandirian siswa pada komponen masyarakat adalah sebagai berikut:

(1) Mengambil Tindakan (2) Mengajukan Pertanyaan (3) Membuat Pilihan, (4) Membangun Kesadaran Diri dan (5) Kerjasama.

Menurut Karso Mulyo (M. Syukri, 6), menjelaskan bahwa pembelajaran kontekstual dapat diterapkan untuk membangun nilai- nilai karakter siswa melalui pendekatan pembelajaran, yaitu : 1)

constructivism, 2) inquiry, 3) questioning, 4) learning community, 5) modeling, 6) reflection, serta 7) authentic assessment.

a. Contructivism. Guru memberikan pemahaman terhadap siswa bahwa ia akan mengalami proses pembelajaran yang penuh makna jika ia mampu bekerja sendiri, menemukan pengetahuan secara mandiri, dan membentuk atau membangun pengetahuan atau keterampilan barunya sendiri.

b. Inquiry. Guru dan siswa masing-masing melaksanakan kegiatan yang dapat menghasilkan suatu penemuan pengetahuan secara mandiri. Kegiatan tersebut menjadi inti dari pembelajaran kontekstual. Komponen yang terkandung dalam pembelajaran dengan pendekatan inquiry sangat mendorong tumbuhnya nilai kemandirian pada siswa.

c. Questioning. Guru dan siswa senantiasa mengajukan dan mengembangkan pertanyaan agar merangsang rasa ingin tahu.

Komponen ini mendorong terwujudnya nilai orientasi pada keunggulan. Hal ini juga merupakan media bagi siswa untuk dapat menyelesaikan masalah belajar ketika mendapati tantangan.

d. Learning Community. Guru senantiasa membiasakan kegiatan belajar kelompok, atau dapat juga berpasangan. Kemudian siswa dilatih dan dikembangkan pengetahuannya untuk bekerja secara individu. Komponen ini sangat penting bagi upaya terwujudnya nilai demokratis, menghargai, gotong royong, bertanggung jawab, dan orientasi pada keunggulan.

e. Modelling. Dalam sebuah pembelajaran keterampilan tertentu diperlukan adanya model yang dapat ditiru, baik dari guru, siswa maupun alat peraga yang digunakan untuk mempermudah pemahaman siswa. Komponen ini dapat menimbulkan nilai-nilai berakhlak mulia, iman dan takwa, cinta tanah air, dan kreatif. Hal ini dapat dipahami misalnya ketika guru sejarah menerangkan sosok Pangeran Diponegori yang religius berjuang dengan jiwa dan raga untuk menjaga martabat bangsa.

f. Reflection. Cara berpikir tentang apa yang baru saja dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dipelajari dan dilakukan. Refleksi dapat berupa pernyataan langsung tentang hal-hal yang diperolehnya pada saat melaksanakan kegiatan pembelajaran, baik berupa catatan atau jurnal di buku siswa, kesan maupun saran dan kritikan siswa. Komponen ini dapat menimbulkan kesadaran untuk senantiasa berintropeksi diri pada saat atau telah

melakukan sesuatu.

g. Authentic-Assessment. Proses pengumpulan data secara menyeluruh dan meliputi berbagai aspek yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa, baik oleh guru maupun siswa. Khususnya bagi siswa, komponen ini dapat membiasakan siswa untuk mengukur perkembangan diri sendiri, apakah sudah baik? Apakah sudah maju? Apakah sudah siswa sudah berhasil?

Adakah hambatan? Atau bagaimana cara mengatasi hambatan?

Anak yang sejak usia dini telah terbiasa dengan penilaian autenti (Authentic Assessment) akan menjadi harapan dan menjadi tulang punggung negara dalam membangun bangsa.

Banyak nilai karakter yang terbangun melalui pembelajaran kontekstual dari berbagai komponen atau melalui 7 pilar atas. Belajar melalui pendekatan-pendekatan ini akan membiasakan siswa untuk memperoleh karakter yang baik. Oleh sebab itu, guru mesti berusaha menggunakan pembelajaran kontekstual utamanya dalam pembelajaran akhlak. Konsep akhlak, tidak hanya dipahami dan diketahui oleh siswa, lebih dari itu siswapun harus terbiasa mengaplikasikan akhlak atau karakter mulia dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran kontekstual, siswa tidak hanya belajar tetapi juga sekaligus mempraktekkan nilai- nilai mulia yang harus dimilikinya sejak hingga ia dewasa terlebih lagi ketika ia akan mengabdikan diri ke masyarakat. Siswa harus memiliki keterampilan dalam sejumlah karakter, agar ia mampu hidup dengan damai dan tenang bersama orang lain, dapat memanfaatkan ilmunya secara maksimal untuk masyarakat, dan melakukan pengabdian bagi bangsa dan negara.

Adapun nilai-nilai karakter yang terbangun dalam pembelajaran karakter adalah nilai kejujuran, kecerdasan, ketangguhan, kedemokratisan, kepedulian, kemandirian, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, keberanian mengambil risiko, berjiwa kepemimpinan, kerja keras, tanggung jawab, kedisiplinan, percaya diri, keingintahuan, cinta ilmu, kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, kepatuhan, menghargai karya dan prestasi orang lain, (Dit. PSMP Kemendiknas, 2010).

2. Pembelajaran Investigasi Kelompok Berbasis Pendidikan Karakter Model pembelajaran Investigasi Kelompok Berbasis Pendidikan Karakter adalah model pembelajaran yang dimulai dengan

menggunakan model pembelajaran Investigasi Kelompok sebagaimana yang tercantum pada langkah-langkah yang dikemukakan oleh Slavin. Tahap berikutnya peserta didik disuguhi contoh-contoh nilai karakter yang terkandung dalam pembelajaran yang relevan dengan pembelajaran model Investigasi Kelompok yang religius, jujur, toleransi, disiplin, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, bersahabat/komunikasi, menhargai prestasi, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. (Kharisma Ilyyana, 2013: 47)

3. Pembelajaran Tematik

Pembelajaran tematik merupakan pola pembelajaran yang mengintegrasikan seluruh aspek pembelajaran siswa meliputi pengetahuan, keterampilan, kreativitas, nilai, dan sikap pembelajaran dengan menggunakan tema tertentu. Pembelajaran tematik merupakan pembelajaran terpadu atau terintegrasi yang melibatkan beberapa mata pelajaran bahkan lintas rumpun mata pelajaran yang diikat dalam tema-tema tertentu. Pembelajaran ini melibatkan beberapa kompentesi dasar, hasil belajar, dan indikator dari suatu pelajaran atau bahkan beberapa mata pelajaran. Keterpaduan dalam pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek kurikulum, dan aspek belajar mengajar. (SB. Mamat, 2005: 3)

Pembelajaran Tematik atau terpadu dalam pembelajaran sangat membuka peluang bagi guru untuk mengembangkan berbagai strategi atau metodologi paling tepat. Pemilihan dan pengembangan strategi pembelajaran yang mempertimbangkan kesesuaian dengan tema- tema yang dipilih sebelumnya. Disinilah seorang guru dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam menghadirkan suasana pembelajaran yang dapat mengarahkan dan membawa peserta didik mampu memahami kenyataan hidup yang dijalaninya setiap hari, baik yang berkaitan dengan dirinya sebagai pribadi maupun hubungannya dengan keluarga, masyarakat, lingkungan dan alam sekitarnya. Dalam pembelajaran Tematik ini, pembelajaran tidak hanya mendorong peserta didik untuk mengetahui (learning to know), tetapi belajar juga untuk melakukan (learning to do), belajar untuk menjadi (learning to be), dan belajar untuk hidup bersama (learning to live together) (Trianto, 2011: 150)

Pembelajaran tematik menghendaki keaktifan siswa, baik dalam proses menemukan, mencari, dan menggali (eksplorasi) untuk menemukan makna serta membangun konsep baru dalam pembelajarannya. Aktifitas yang dilakukan siswa dalam pembelajaran

tematik ini, akan membiasakan siswa untuk mengembangkan karakter rasa ingin tahunya, tanggung jawab, kritis, ilmiah, disiplin, kreatif, kerja keras, ketekunan, ketelitian, disiplin, dan kemandirian. Sedangkan aktivitas siswa bekerja dalam kelompok akan menumbuhkan dan membiasakan siswa dengan karakter kepedulian, tenggang rasa, bekerja sama, toleransi, dan saling tolong menolong. Selanjutnya aktivitas dalam melaporkan tugasnya dalam diskusi terbuka akan menumbuhkan dan membiasakan karakter berani, bertanggung jawab, terbuka, percaya diri, terbuka dalam menerima kritikan, menghargai, keterampilan berkomunikasi, dan mendengar.

Salah satu cara yang dapat dikembangkan guru dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter adalah dengan menggunakan pembelajaran tematik IPS dan Agama. Pembelajaran tematik, sebagaimana dilansir oleh Kemenag adalah pembelajaran terpadu yang menggunaka tema untuk mengaitkan bebrapa aspek yang menjadi poko pembelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Model pembelajaran tematik adalah model pendekatan pembelajaran yang dilaksanakan dalam mengintegrasikan berbagai materi ajar dengan karakteristik dan aspek materi yang saling berkaitan di dalam satu kegiatan pembelajaran yang tersusun secara terencana dan sistematis. Model pembelajaran ini disusun untuk menjawab pendidikan yang semakin hari sarat muatan. (Depag, 2009:

1-2). Manfaat yang dapat diserap dalam pembelajaran tematik IPS dan PAI adalah pertama, dengan mengembangkan beberapa komponen dasar dan indikator serta isi aspek IPS dan PAI akan terjadi penghematan, karena tumpang tindih materi dikurangi bahkan dihilangi. Kedua, siswa mampu melihat hubungan antara mapel IPS dan PAI lebih bermakna.

Ketiga, pembelajaran IPS dan PAI menjadi utuh sehingga siswa akan mendapat pengertian mengenai mapel tersebut yang tidak terpecah- pecah. Keempat, dengan adanya perpadua mapel IPS dan PAI maka penguasaan konsep akan menjadi lebih baik dan meningkat. (Depag, 2009: 3)

Dalam mencerna mapel IPS dan PAI, siswa dikenalkan dalam berbagai kombinasi strategi pembelajaran. Dalam menelaah mapel IPS yang banyak berkaitan dengan kehidupan sosial seperti pelajaran ekonomi yang sangat bersentuhan dengan kegiatan di pasar, siswa difasilitasi untuk belajar setahap demi setahap konteks kehidupan di tempat bertemunya pedagang dan pembeli tersebut sehingga memungkinkan siswa memahami dengan mendalam dan menemukan sendiri tentang

apa dan bagaimana pasar tersebut. Sedangkan untuk mengaitkannya dengan mapel PAI, agar terbina rasa percaya di antara pelanggan dan penjual perlu dikenalkan ajaran tentang pentingnya silaturahmi dan kejujuran dalam kehidupan pasar. Dalam pembelajaran tematik IPS dan PAI inilah pada dasarnya merupakan proses mental siswa yang tidak terjadi secara mekanis. Melalui proses pembelajaran seperti ini dirapkan siswa berkembang secara utuh baik secara intelektual, mental emosional maupun pribadinya. (Wina Sanjaya, 2005: 119) Pembelajaran tematik IPS dan PAI menjadi salah satu alternatif dalam mengaktualisasikan beragamnya potensi yang dimiliki oleh siswa.

Sebagaimana diungkap oleh Djumransjah, potensi siswa sangat beragam untuk dikembangkan, yaitu sebagai berikut:

a. Potensi jasmani dan pancaindra. Potensi siswa dalam potensi jasmani akan terangkat manakala siswa tersebut diajarkan mengenai bagaimana hidup sehat, memelihara gizi makanan, dll.

b. Potensi pikir (rasional). Potensi pikir siswa akan tergali bila siswadiajarkan tentang bagaimana belajar mengembangkan kecerdasan suka membaca, belajar ilmu pengetahuan yang sesuai dengan minat, mengemabangkan daya pikir kritis, dan objektif.

c. Potensi perasaan. Potensi siswa akan berkembang bila siswa diajarkan bagaimana menggunakan perasaan yang peka dan halus dalam segi moral dan kemanusiaan, sosial budaya, dan filsafat.

Serta diajarkan pula, bagaimana siswa untuk memiliki perasaan etetika dengan mengembangkan minat kesenian dengan berbagai seginya, seperti sastra dan budaya.

d. Potensi karsa atau kemauan. Potensi karsa siswa akan menyala jika siswa diajarkan sikap rajin belajar/bekerja, ulet, tabah menghadapi segala tantangan, dll.

e. Potensi cipta. Potensi siswa dalam dimensi kreasi akan menyeruak bila daya kreasi dan imajinasi dari siswa tersebut didorong dan diaplikasikan dalam segi konsepsi-konsepsi pengetahuan maupun seni budaya.

f. Potensi karya. Imajinasi tidak cukup diciptakan sebagai konsepsi. Potensis siswa dalam berkarya perlu diciptakan untuk mengoperasionalkan potensi ciptanya dalam bentuk tindakan, amal, atau karya yang nyata.

g. Potensi budi nurani. Setiap siswa mempunyai kesadaran ketuhanan dan keagamaan, yaitu kesadaran moral yang meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berbudi luhur. (M. Djumransjah, 2004:

87-88)

4. Model Pembelajaran Competence Based Training Berbasis Karakter Untuk Pembelajaran Praktik

Model Pembelajaran Competence Based Training Berbasis Karakter Untuk Pembelajaran Praktik ialah model pembelajaran yang dijalani oleh peserta didik (siswa atau mahasiswa) guna mencari pengetahuan dan pemahaman terhadap nilai-nilai karakter yang terintegrasi melalui kegiatan praktek, sehingga diharapkan peserta didik mengetahui, memahami, dan membudayakan aspek karakter dalam kegiatan pembelajaran praktik. (Paryanto, dkk., 2013: 7-9).

Langkah-langkah kerja dalam pembelajaran dengan model ini adalah (1) eksplorasi nilai karakter yang sesuai dengan materi pembelajaran, misalnya kemampuan siswa memahami mater yang akan dipraktekkan, memilih alat kerja dan menggunakan alat kerja, menjaga sikap, menjaga lingkungan kerja, disiplin, mampu sebagai tim kerja, kepatuhan sebagai tim kerja. (2) Pada proses eksplorasi ini dilakukan dengan diskusi, mengidentifikasi aspek atau nilai karater apa saja yang harus dijalankan, sehingga mereka akan memiliki kesadaran untuk melaksanakan nilai-nilai karakter secara nyata, baik dalam kerja maupun dalam kehidupan sehari-hari. (3) Grouping, pembentukkan group dengan tujuan membiasakan siswa/mahasiswa memiliki rasa toleran dan kerja sama. Setelah kelompok terbentuk maka guru/dosen dapat membagi job kerja masing-masin kelompok dan kemudian kolompok kerja merancang work preparation (perencanaan kerja). (4) Sebelum melaksanakan praktek, kelompok kerja diwajibkan menyusun work preparation yang secara umum WP berisikan urutan langkah-langkah kerja dan media sebagai pedoman dalam melaksanakan praktik. Setelah WP selesai disusun oleh setiap kelompok, kemudian dipresentasikan dalam kelas sehingga kelompok lain dapat memberikan masukan terhadap WP yang dipresentasikan tersebut. Dalam tahapan ini dosen atau guru berperan sebagai fasilitator dalam diskusi. Nilai karakter yang diintegrasikan adalah bekerja sama dalam tim, berani mengungkapkan pendapat, dan toleransi. (5) Pelaksanaan pembelajaran praktik dengan berpedoman pada WP yang telah disusun. Dalam bekerjasama, setiap siswa/mahasiswa sudah mempunyai tugas masing-masing. Selain itu mereka harus memiliki rasa menyesuaikan diri atau toleransi. (6) Proses Assessment yaitu penilaian proses kerja, dimensi kerja dan hasil pengamatan aspek karakter. Untuk menanamkan karakter kejujuran

pada siswa/mahasiswa, maka proses assessment dilakukan secara self assessment yaitu mahasiswa dipersilakan memberikan point terhadap hasil kerja dengan menggunakan lembar assessment. (Paryanto, dkk., 2013: 7-9).

Pembelajaran model ini akan menghasilkan keterampilan kerja sekaligus karakter. Karakter yang terbangun melalui langkah-langkah kerja, seperti langkah eksplorasi kerja dan nilai karakter, yaitu mengembangkan sikap ilmiah, rasa ingin tahu, kerja sama, kepatuhan, dan kepedulian. Langkah pembentukkan kelompok, yaitu toleran dan kerja sama. Langkah penyusunan WP, yaitu karakter rasa ingin tahu, sikap ilmiah, kritis, kreatif, logis dan teliti. Langkah presentasi, keberanian, keterbukaan, ilmiah, dan saling menghargai. Langkah Assesment, yaitu kejujuran, keterbukaan, kepedulian, dan saling menghargai.

5. Model Pembelajaran Simulasi

Menurut Djamarah (Nurhajrani, 2013: 4) bahwa model pembelajaran simulasi yaitu model pembelajaran yang memperagakan atau mempertunjukkan kepada suatu proses, situasi atau benda tertentu yang sedang dipelajari, baik sebenarnya ataupun tiruan disertai dengan lisan. Selanjutnya Depdiknas (dalam Nurhajrani, 2013: 4) menjelaskan bahwa model pembelajaran simulasi merupakan model praktek yang sifatnya untuk mengembnagkan keterampilan peserta didik (ranah kognitif maupun keterampilan). Model pembelajaran simulasi situasi yang nyata kedalam kegiatan atau ruang belajar karena adanya kesulitan atau keterbatasan untuk melakukan praktek didalam situasi yang sesungguhnya. Dengan kata lain, pembelajaran yang dilakukan merupakan miniatur daripada keadaan sebenarnya di lapangan.

Model pembelajaran Simulasi merupakan model pembelajaran yang dapat menumbuh-kembangkan nilai-nilai karakter, seperti (1) pengalaman dan terampil, (2) kreatif, (3) imajinatif, (4) empati, (5) apreasiatif, (6) percaya diri, (7) jujur, (8) kepemiminan, (9) ketepatan analisis, (10) mandiri, (11) tanggung jawab. (Asih dalam Nurhajrani, 2013:2)

6. Pembelajaran Berbasis Masalah

Menurut Wheeler (I. Kd. Urip Astika dkk.,2013: 4) bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat melatih kecakapan dan ketangkasan berpikir tingkat tinggi siswa. Gallgher & Stpien (dalam