See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/325642831
Implementasi nilai-nilai karakter pada mata pelajaran pendidikan Agama Islam (PAI) tingkat SLTA
Book · November 2014
CITATION
1
READS
1,794
1 author:
Rianawati Rianawati
IAIN Pontianak, Kalimantan Barat 3PUBLICATIONS 4CITATIONS
SEE PROFILE
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KARAKTER PADA MATA PELAJARAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) DI SEKOLAH DAN MADRASAH
Rianawati
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KARAKTER PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) DI SEKOLAH DAN MADRASAH
Hak Cipta dilindungi undang-undang All Right Reserved (c) 2014, Indonesia: Pontianak
Rianawati
Layout & Design Cover Fahmi Ichwan
Diterbitkan ole IAIN Pontianak Press Jalan Soeprapto No 19 Pontianak, Kalimantan Barat
Cetakan Pertama, November 2014
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KARAKTER PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) DI SEKOLAH DAN MADRASAH
xii+300 halaman: 25 x17 cm
Dilarang mengutif dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin tertulis dari penerbit
Sanksi pelanggaran pasal 72:
Undang-undang nomor 19 Tahun 2002 Tentang Tentang Hak cipta:
(1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimak- sud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana pen- jara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan atau denda paling sedikit Rp.1000.000,- (Satu Juta Rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima Miliar Rupiah)
(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-edarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana di- maksud dalam ayat (1), dipidana dengan penjara paling lama (5) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah).
K
erusakan moral bangsa kita dewasa ini dapat dinilai sudah dalam tahap yang sangat mencemaskan utamanya dikalan- gan generasi muda saat ini. Nilai-nilai karakter mulia mulai mengalami pergeseran di mana-mana. Dengan sangat mudahnya dan tanpa berpikir panjang lagi generasi muda kita melakukan perbuatan kriminal yang sangat membahayakan jiwa, kehormatan, harga diri dan harta seseorang karena hanya mengikuti keinginan dan hawa nafsun- ya sesaat. Perbuatan tabu bukan lagi tabu dalam pandangan mereka.Tata krama, adat istiadat dan agama bukan lagi menjadi pandangan dan tujuan hidup mereka. Justru sebaliknya kehidupan hedonisme dan materialistis telah menjadi tujuan hidup generasi muda kita sekarang.
Tidak ada kata kerja keras dan berjuang dalam memperoleh sesuatu yang mereka inginkan, justru sebaliknya mereka ingin memperoleh sesuatu dengan instan dan cepat. Tidak ada kata gagal dalam sem- boyan hidup mereka, sehingga mereka menghalalkan cara-cara yang ilegal untuk memperoleh yang mereka inginkan, tanpa mengindah- kan aturan-aturan yang berlaku atau agama yang mereka anut. Tanpa mengindahkan berapa besar kerugian yang diderita orang lain, baik materi maupun psikis. Atau berapa besar kerugian negara akibat sepak terjangnya. Fenomena karakter buruk ini sepertinya sudah lazim ber- laku dimasyarakat bahkan sudah dianggap pemandangan biasa, dan ti- dak ada daya dan upaya lagi apa yang harus dilakukan oleh masyarakat kecuali diam membisu. Bukankah gambaran ini semua telah menjadi tanda-tanda awal kemungkinan adanya kehancuran karakter dalam masyarakat, bangsa, dan negara kita?
Penulisan buku ini paling tidak dimaksudkan untuk mengingat- kan kepada semua pihak, khususnya pihak-pihak yang berkecipung dalam dunia pendidikan, tentang bahaya kerusakan moral tersebut, dan yang terpenting adalah bagaimana menemukan jalan keluar yang
KATA PENGANTAR
karakter, antara lain merupakan salah satu solusi jangka panjang yang harus dilakukan. Satu solusi yang harus menjadi perhatian kita semua adalah pendidikan karakter yang dilaksanakan secara sadar, terencana, dan sistemik di lembaga pendidikan sekolah. Sekolah harus dapat kita jadikan ladang yang subur untuk menyemaikan dan menumbuhkan pi- lai-pilar nilai karakter bagi generasi masa depan di negeri ini.
Buku ini berjudul ”Impelementasi Nilai-nilai Karakter Pada Mata Pelajaran PAI (Tingkat SLTA)”. Buku ini disusun dalam upaya mengim- plementasi nilai-nilai karakter pada mata pelajaran PAI. Sesungguhn- ya PAI sendiri adalah induknya pendidikan karakter, akan tetapi selama ini terkesan PAI disajikan dalam pembelajaran hanya bersifat dogmatis dan normatif. PAI hanya terkesan disajikan sebagai sebuah pengeta- huan bukan sebagai sebuah nilai moral yang harus dihayati, dimiliki, dan diaplikasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, buku ini memberikan arahan bagaimana nilai-nilai karakter dapat diimplementasi ke dalam RPP dan Silabus, Materi Pembelajaran PAI, Strategi, Sumber Belajar dan Evaluasi pembelajaran, selanjutnya bagaimana implementasinya dalam pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasinya (Authentic Assessment). Buku ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di SMA Muhammadiyah 1 Pontianak. Ha- sil-hasil penelitian di lapangan yang selanjutnya dibahas dan dianalisis dengan berbagai teori-teori pendidikan yang relevan dan up to date.
Selanjutnya dikembangkan oleh penulis sebagai buku bacaan, pegan- gan dan rujukan bagi guru-guru PAI di SMA khususnya dalam meny- usun RPP berkarakter dan mengaplikasikannya dalam kegiatan pembe- lajaran.
Sangat disadari bahwa dalam buku ini tentu saja masih banyak kekurangan yang mungkin belum memenuhi harapan pembaca khu- susnya bagi para guru, mahasiswa, dan kalangan akademik. Namun subtansi yang terkandung dalam buku ini, paling tidak menyadarkan dan mengajak para guru khususnya, dapat membangun karakter mulia peserta didik. Sangat diharapkan guru PAI tidak hanya berorientasi pada hasil belajar berupa kompetensi kognitif peserta didik saja, akan tetapi melalui pembelajaran PAI yang berkarakter, guru dapat memba- ngun kompetensi afektik dan psikomotor peserta didik. Buku ini ditulis dengan tujuan antara lain untuk dapat dijadikan rujukan atau bahkan pegangan bagi para pegiat pendidikan. Oleh karena itu, maka dalam buku ini akan dijelaskan hal-hal yang praktis, mudah, dan sederhana, untuk dapat dipraktikkan dalam proses penyelenggaraan pendidikan.
Atas dorongan dari berbagai pihak, khususnya penerbit LP2M IAIN Pon- tianak yang membantu penerbitan buku ini. Buku tentang pelaksanaan pendidikan karakter pada pembelajaran PAI khususnya ini, akhirnya dapat diwujudkan dalam bentuk buku yang telah ada di tangan pem- baca ini. Kepada semua pihak yang telah ikut memberikan dukungan dalam penerbitan buku ini, penulis tidak lupa menyampaikan penghar- gaan dan ucapan terima kasih Sekali lagi, penulis berharap mudah-mu- dahan buku ini bermanfaat bagi upaya kemanusiaan untuk meningkat- kan karakter anak-anak bangsa di negeri kita tercinta Indonesia. Amin
Pontianak, Agustus 2014 Penulis,
Dr. Rianawati, M.Ag
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II IMPLEMENTASI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN 19
1. Pengertian Karakter 19
2. Pengertian Pendidikan Karakter 20
3. Tujuan Pendidikan Karakter 21
4. Nilai-nilai Dasar Dalam Pendidikan Karakter 24 BAB III PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Pendidikan Agama Islam 71
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam 71
2. Tujuan Pendidikan Islam 71
3. Ruang Lingup Materi dalam Pendidikan Agama Islam 72 4. Karateristik Pendidikan Agama Islam 74 5. Konsep Pendidikan Karakter dalam Pendidikan
Agama Islam 77
B. Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Karakter 79
C. Silabus PAI Berkarakter 81
1. Prinsip Pengembangan Silabus 81
2. Langkah-langkah Pengembangan Silabus 82 3. Pengembangan Silabus Berkelanjutan dan Berkarakter 83 D. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 86 E. Komponen Dalam RPP (Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar ,
Tujuan Dan Indikator) 87
1. Kompetensi Inti 87
2. Kompetensi Dasar 90
3. Tujuan Pembelajaran 95
4. Indikator Pembelajaran 98
BAB IV STRATEGI PEMBELAJARAN PAI BERBASIS KARAKTER 109 A. Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode dan Teknik 109
DAFTAR ISI
B. Prinsip-prinsip Penggunaan Stategi Pemebelajaran 113 C. Pengembangan Strategi Pembelajaran Berkarakter 115 D. Jenis-jenis Strategi dan Metode Pembelajaran Berbasis
Karakter 121
1. Pembelajaran Kontekstual 123
2. Pembelajaran Investigasi Kelompok Berbasis Pendidikan
Karakter 126
3. Pembelajaran Tematik 127
4. Model Pembelajaran Competence Based Training Berbasis Karakter Untuk Pembelajaran Praktik 130
5. Model Pembelajaran Simulasi 131
6. Pembelajaran Berbasis Masalah 131 7. Pembelajaran STAR (Student Teacher Aesthethic
Role-Sharing) 133
8. Pembelajaran Kooperatif 134
9. Metode Diskusi dan Berbagai Variannya 145 BAB V PENGEMBANGAN MATERI PAI BERKARAKTER 155
A. Pengertian Materi Pembelajaran 155
B. Fungsi Materi Pembelajaran 156
C. Jenis-jenis Materi Pembelajaran 157 D. Prinsip-prinsip Pemilihan Materi Pembelajaran 158 E. Pendekatan Penentuan Scope Materi 162 F. Pengembangan Materi Berbasis Karakter 163
1. Keterkaitan dengan konteks lingkungan dimana siswa
berada 163
2. Keterkaitan dengan materi pelajaran lain secara
terpadu 165
3. Mampu diaplikasikan dalam kehidupan siswa 165 4. Memberikan pengalaman langsung melalui kegiatan
inquiry 166
5. Mengembangkan kemampuan kooperatif sekaligus
kemandirian 166
6. Mengembangkan kemampuan melakukan refleksi 166 7. Mengaitkan materi PAI dengan Cerita 167 8. Analisis Materi Pendidikan Agama Islam Berbasis
Karakter 172
BAB VI INTEGRASI PENDIDIKAN KARAKTER PELAKSANAAN
PEMBELAJARAN 177
A. Integrasi Pendidikan Karakter dalam Proses
Pembelajaran 177
B. Pelaksanaan Pembelajaran 180
C. Kegiatan Pra dan Awal Pembelajaran 181
1. Pengertian 181
2. Tujuan Kegiatan Awal 182
3. Kegiatan guru dalam kegiatan awal 182 4. Nilai Karakter Dalam Kegiatan Awal 189
D. Kegiatan Inti 191
1. Pengertian 191
2. Tujuan Kegiatan Inti 192
3. Kegiatan Belajar Dalam Kegiatan Inti 193 4. Nilai-nilai Karakter dalam Kegiatan Inti 200
E. Kegiatan Akhir Pembelajaran 202
1. Pengertian 202
2. Tujuan Kegiatan Akhir 203
3. Komponen Kegiatan Akhir 203
4. Nilai-nilai Karakter dalam Kegiatan Akhir 206 5. Proses Penanaman Pendidikan Karakter dalam Pelaksanaan
Pembelajaran 209
BAB VII MEDIA PEMBELAJARAN BERKARAKTER 213
A. Pengertian Media Pembelajaran 213
B. Fungsi Media Pembelajaran 214
C. Prinsip-Prinsip Penggunaan Media Pembelajaran 217
D. Jenis-Jenis Media 219
E. Pengembangan Media Berbasis Karakter 220
1. Internet 223
2. Film 225
3. Komik Digital 226
4. Media Pembelajaran Macromedia Flash 226
5. Software Adobe Flash CS3 227
BAB VIII SUMBER BELAJAR BERBASIS KARAKTER 229
A. Pengertian Sumber Belajar 229
B. Fungsi Sumber Belajar 232
C. Macam-macam Sumber Belajar 234
1. Materi Bahan Bacaan (Reading Materials) 234
a. Buku Teks 234
b. Lembar kerja Siswa (LKS) 234
c. Ensiklopedia 235
d. Buku Referensi Lain 235
e. Internet 236
f. Majalah 236
g. Kliping 236
2. Materi Bukan Bacaan (Non Reading Materials) 236 a. Gambar-gambar, Foto, Ilustrasi 237
b. Film 237
c. Filmstrips 238
d. Rekaman (recording) 238
e. Grafik 238
f. Kartun 238
g. Poster 239
h. Papan Buletin 239
i. Karyawisata (Field trip) 239
j. Museum 240
k. Lingkungan Alam 240
D. Pemilihan dan Pemanfaatan Sumber Belajar 241 E. Sumber Belajar Berbasis Karakter 253
BAB IX PENILAIAN AUTHENTIC ASSESSMENT 257
A. Pengertian Penilaian Authentic Assessment 257 B. Tujuan Dan Fungsi Authentic Assessment 258
C. Prinsip-Prinsip 262
D. Aspek-Aspek Authentic Assessment 263 E. Keunggulan Authentic Assessment 266 F. Alat Dan Teknik Authentic Assessment 268
1. Penilaian Unjuk Kerja 269
2. Penilaian Sikap 272
3. Penilaian Proyek 277
4. Penilaian Produk 278
5. Penilaian Portofolio 280
6. Penilaian Diri (Self Assessment) 281 G. Sumber dan Teknik Pemilihan Alat-alat Penilaian 282
1. Sumber Alat-alat Penilaian 282
2. Teknik Pemilihan Alat Penilaian 284
H. Analisis Penggunaan Hasil Penilaian 285
1. Identifikasi Ketuntasan Belajar 285
2. Pemanfaatan Informasi Hasil Penilaian 285
3. Pelaporan Hasil Belajar 286
DAFTAR PUSTAKA 293
BAB 1
PENDAHULUAN
I
ndividu yang berkarakter baik atau unggul merupakan usaha seseorang melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Allah Swt, orang tua dan keluarga, tetangga, kerabat, dan temannya, lingkungan, dirinya sendiri, bangsa dan negara serta dunia internasional.Dia berusaha dengan optimal melakukan hal yang terbaik sesuai dengan kapasitas dan potensi yang ada dalam dirinya. Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter. Dari perspektif Islam, menurut Shihab (1998:321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula.
Dalam konteks ini, al-Qur’an dalam banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang sama. Di sinilah, tulis Quraish Shihab, muncul gagasan dan ajaran tentang amar ma`ruf dan nahy munkar; dan tentang fardhu kifayah, tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk.
Pembangunan karakter bangsa dijadikan arus utama pembangunan nasional. Hal ini mengandung arti bahwa setiap upaya pembangunan harus selalu diarahkan untuk membarikan dampak positif terhadap pengembangan karakter. Mengenai hal ini secara konstitusional sesungguhnya sudah dari misi pembangunan nasional yang
memposisikan pendidikan karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi pembangunan nasional, sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025, “yaitu…
“ Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi ipteks.” (Warsono dalam Zubaidi, 2011:7)
Salah satu lembaga yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya menanamkan dan mengembangkan karakter mulia adalah lembaga pendidikan. Secara konstitusional, pembudayaan nilai moral melalui institusi pendidikan telah dimulai sejak tahun 1945. Hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan tujuan pendidikan Nasional pada setiap perundang-undangan yang ditetapkan Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah. Seperti usulan BP KNIP tanggal 29 Desember 1945 yang mengemukakan bahwa pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warga negara yang mempunyai rasa tanggung jawab, kemudian Kementerian PPK merumuskan :“……….
mendidik warga negara yang sejati yang bersedia menyumbang tenaga dan pikiran untuk Negara dan masyarakat”. Dengan ciri-ciri sebagai berikut:
“Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa; perasaan cinta kepada negara; perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan; perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuatannya; keyakinan bahwa orang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keluarga dan masyarakat; keyakinan bahwa orang yang hidup bermasyarakat harus tunduk pada tata tertib; keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajadnya sehingga sesama anggota masyarakat harus saling menghormati, berdasarkan rasa keadilan dengan berpegang teguh pada harga diri; dan keyakinan bahwa Negara memerlukan warga Negara yang rajin bekerja, mengetahui kewajiban dan jujur dalam pikiran dan tindakan” (Djojonegoro, 1996:26)
Sementara Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 Bab II Pasal 3 merumuskan:
“……… membentuk manusia yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air”.
Dan dalam UU Nomor 12 Tahun 1954 yang dilengkapi dengan Keputusan Presiden RI No. 104 Tahun 1965 mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah :
“……… melahirkan warga Negara sosialitas, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, baik spiritual maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila”.
Kemudian dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merumuskan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah : “………mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, ………..”, yang ciri-cirinya dirinci menjadi “……….beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan………..”. (UU No. 2 Tahun 1989 Pasal 4).
Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional terakhir diungkap dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab II Pasal 3 yang menyatakan :
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga sekarang, nuansa nilai- moral senantiasa melekat dalam cita-cita Pendidikan Nasional, dan pendidikan nilai sudah menjadi bagian integral dari pendidikan nasional. Walaupun tiap rumusan tujuan pendidikan nasional itu menggunakan kalimat yang berbeda, tapi memiliki kandungan makna yang salma yaitu memiliki esensi pendidikan nilai moral.
Berdasarkan cita-cita Pendidikan Nasional di atas, maka peran lingkungan sekolah menjadi begitu penting karena sebagian keluarga
justru menyerahkan sepenuhnaya proses pembentukkan karakter dan kecerdasan peserta didik kepada pihak sekolah. Waktu efektif peserta didik untuk menerima pendidikan karakterpun lebih banyak di sekolah dari pagi hingga siang hari dan bahkan ada peserta didik yang pulang dari sekolah hingga sore hari. Kalau diperhatikan, ternyata tanpa disadari sungguh banyak waktu efektif peserta didik justru ada di sekolah. Oleh karena itu, sangat disayangkan apabila sekolah kurang serius memperhatikan pendidikan karakter.
Sekolah adalah institusi pendidikan, yaitu tempat dimana pendidikan berlangsung. Pendidikan di sekolah adalah proses belajar mengajar atau proses komunikasi edukatif antara guru dan murid.
Dilihat dari pandangan sosial, sekolah merupakan institusi sosial yang tidak berdiri sendiri. Sebagai institusi sosial, sekolah berada dalam lingkungan institusi sosial lainnya dalam masyarakat. Sekolah bukanlah tempat yang steril dari pengaruh luar. Siswa datang dari keluarga dan masyarakat yang berbeda-beda. Demikian pula guru, karyawan, dan kepala sekolah. Oleh karenanya, sekolah tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Bahkan lebih dari itu, sekolah merupakan gambaran atau miniatur dari masyarakat lingkungannya.
Sebagai institusi sosial, sekolah memiliki peranan dan fungsi tersendiri. Sekolah berperan membimbing dan mengarahkan siswa untuk mengenal, memahami, dan mengaktualisasikan pola hidup yang berlaku dalam masyarakat. Orang-orang yang baik ditengah masyarakat merupakan figur yang diidolakan untuk dicontoh siswa. Nilai moral dan etika kesopanan menjadi acuan untuk dapat dilakukan siswa, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Dengan demikian, sekolah pada hakekatnya merupakan institusi yang mewariskan dan melestarikan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat.
Peranan sekolah tidak berhenti pada pewarisan dan pelestarian nilai-nilai saja. Tetapi juga menjadi lokomotif atau pembaharuan masyarakat, karena bagaimanapun sekolah merupakan tempat dilangsungkannya proses pembinaan manusia yang akan mengisi masa depan masyarakat. Kondisi dimasa depan berbeda dengan kondisi dan situasi hari ini. Karena itu, orientasi sekolah adalah orientasi ke masa depan dengan perangkat system yang harus dimilikinya. Proses pembelajaran tidak berhenti pada penyampaian materi kurikulum, tetapi pengembangan dan reproduksi budaya dan kebiasaan baru yang lebih unggulpun seyogyanya dilakukan.
Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer
of knowledge” belaka. Seperti dikemukakan Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan usaha sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola perkembangannya.
Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai- nilai. Apakah nilai-nilai tersebut? Secara umum, kajian-kajian tentang nilai biasanya mencakup dua bidang pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral, budi pekerti). Estetika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap apa yang dipandang manusia sebagai “indah”, apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat, baik yang bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan standar- standar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Mengingat begitu urgennya karakter, maka institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menanamkan karakter melalui proses pembelajaran dan kegiatan pendidikan di sekolah pada umumnya.
Pendidikan seyogyanya mampu mengembangkan semua potensi peserta didik secara utuh, bukan hanya pada pengembangan aspek kecerdasan intelektual saja, melainkan juga pada pengembangan aspek efektifnya, yang antara lain dapat dilakukan melalui pendidikan karakter. Kihajar Dewantara (dalam Munawar, 2010:339) menyatakan bahwa karakter dapat dibentuk melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan alat yang paling efektif untuk menyadarkan individu dalam jati diri kemanusiaannya. Dengan pendidikan akan dihasilkan kualitas manusia yang memiliki kehalusan budi dan jiwa, memiliki kecemerlangan pikir, kecekatan raga, dan memiliki kesadaran penciptaan dirinya. Dibanding dengan faktor lain, pendidikan memberikan dampak dua atau tiga kali lebih kuat dalam pembentukkan kualitas manusia.
Namun, sayangnya justru pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap situasi ini. Dalam konteks
pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitik beratkan pada pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft kill atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan. Saat ini, ada kecenderungan bahwa target-target akademik masih menjadi tujuan utama dari hasil pendidikan, seperti halnya ujian nasional, (UN) sehingga proses pendidikan karakter masih sulit dilakukan.
Dengan kata lain, aspek-aspek lain yang ada dalam diri siswa yaitu aspek efektif kebajikan moral kurang mendapat perhatian. Koesoema (dalam Zubaidi, 2011:3) menegaskan bahwa persoalan komitmen dalam mengintegrasikan pendidikan dan pembentukkan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional.
Sekolahpun dituntut untuk menyelesaikan kurikulum dalam waktu yang telah ditentukan dan peserta didikpun harus memenuhi KKM (kriteria ketuntasan minimal), sehingga guru sepertinya harus berpacu bagaimana semua peserta didik dibawah bimbingan mata pelanjaran yang diampunya memiliki KKM. Oleh karena itu, sistem pembelajaran di sekolah pada umumnya adalah transfer pengetahuan saja. Aspek- aspek pendidikan karakter menjadi terabaikan. Bukan itu saja, kadang- kadang dari fakta yang telah terjadi, nilai-nilai kejujuran menjadi korban karena sekolah harus melakukan kebohongan dengan membocorkan jawaban soal ujian nasional, mengubah jawaban peserta didik yang seharusnya tidak lulus menjadi jawaban yang benar sehingga peserta didik tersebut lulus. Kadang-kadang guru membiarkan saja peserta didik yang asyik berdiskusi sesama temannya mengenai jawaban ujian nasional.
Belum lagi tuntas masalah di atas, guru pada umumnya enggan mencoba dan menggunakan strategi belajar yang dapat melatih dan membiasakan tumbuh dan berkembangnya karakter mulia, seperti nilai kemandirian, disiplin, kejujuran, kerjasama dalam kelompok, solider, saling menghargai, dan nilai-nilai positif lainnya. Kondisi inipun semakin diperparah dengan minimnya sarana dan fasilitas belajar yang dapat menumbuh kembangkan karakter mulia peserta didik. Selain itu juga, kurangnya kemauan guru-guru untuk mengembangkan keterampilan mengajar dan mendidik melalui KKG (kelompok kerja guru), diskusi sesama teman mengenai strategi mengajar yang dapat menumbuh kembangkan nilai-nilai karakter mulia peserta didik, melalui PTK (penelitian tindakan kelas) atau melalui kegiatan pelatihan-pelatihan.
Pendidikan karakter seharusnya juga terkait dengan bidang-bidang lain, khususnya budaya, pendidikan, dan agama. Ketiga-tiga bidang kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi masyarakat. Pendidikan mencakup proses transfer dan transmissi ilmu pengetahuan juga merupakan proses sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya. Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat yang berkarakter, berkeadaban, dan berharkat. Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi mengalami disorientasi karena terjadinya perubahan-perubahan cepat berdampak luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali globalisasi.
Kemajuan industrialisasi, urbanisasi, modernisasi, dan globalisasi berkembang dengan sangat pesat dan tidak seimbang dengan kemajuan budaya leluhur yang positif, kemajuan agama, dan kemajuan dibidang pendidikan. Padahal efek negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi sangat cepat dan dengan mudah mempengaruhi kehidupan masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, bila sekolah sebagai lembaga ke dua setelah lembaga keluarga tidak segera berbenah menanamkan dan menghidupkan kembali nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa, maka dapat dipastikan nilai-nilai agama dan budaya yang tercakup dalam karakter mulia akan terkikis dan hanya merupakan slogan, simbol, atau wacana tak kunjung terlaksana.
Dengan demikian, salah satu hal yang perlu diperhatikan pada pendidikan karakter di sekolah adalah pada bagaimana melaksanakan pendidikan karakter secara efektif. Untuk itu, diperlukan pendekatan, metode, dan strategi pembelajaran yang tepat untuk melaksanakan pendidikan karakter tersebut. Pendidikan karakter diharapkan bukan sekedar mentransfer sejumlah daftar pengetahuan, baik pengetahuan agama atau umum. Tetapi yang lebih penting adalah peserta didik tidak saja mengetahui, memahami, dan menghayati nilai-nilai karakter yang diterima ketika belajar di kelas maupun lingkungan pergaulan di sekolah dan peserta didik terdorong untuk menerapkan nilai-nilai karakter mulia dalam kehidupannya sehari-hari.
Menurut Sudarminta, (dalam Zubaidi, 2011:3) praktik pendidikan yang mestinya memperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata malah bertolak belakang dengan apa yang di ajarkan. Dicontonkan bagaimana pendidikan Moral pancasila (PMP) dan agama pada masa lalu merupakan dua jenis mata pelajaran tata nilai, yang ternyata tidak berhasil menanamkan sejumlah nilai moral dan humanisme kedalam pusat kesadaran siwa. Bahkan merujuk hasil penelitian Afiyah, (dalam Zubaidi, 2011:3) bahwa materi yang di ajarkan oleh pendidikan agama termasuk didalamnya bahan ajar ahklaq, cenderung terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif), sedangkan pembentukkan sikap (afektif), dan pembiasaan (psikomotorik) sangat minim. Pembelajaran pendidikan agama lebih didominasi oleh transfer ilmu pengetahuan agama dan lebih banyak bersifat hafalan dan tekstual, sehingga kurang menyentuh pada aspek sosial mengenai ajaran hidup yang toleran dalam bermasyarakat dan berbangsa.
Padahal Pendidikan Islam mendidik individu agar berjiwa suci dan bersih. Dengan jiwa yang demikian individu akan hidup dalam ketenangan bersama Allah, keluarga, teman, masyarakat dan ummat manusia di seluruh dunia. Dengan demikian pendidikan Islam telah ikut andil dalam mewujudkan tujuan-tujuan khusus agama Islam, yaitu menciptakan kebaikan umum bagi individu, keluarga, masyarakat dan ummat manusia.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasisonal dinyatakan: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu bidang studi yang harus yang dipelajari oleh peserta didik di madrasah adalah Pendidikan Agama Islam, yang dimaksud untuk membentuk peserta didik menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
Pembentukan karakter merupakan bagian dari pendidikan nilai (values education) melalui sekolah merupakan usaha mulia yang
mendesak untuk dilakukan. Bahkan, kalau kita berbicara tentang masa depan, sekolah bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan kepribadian. Dan hal ini relevan dan kontekstual bukan hanya di negara-negara yang tengah mengalami krisis watak seperti Indonesia, tetapi juga bagi negara-negara maju sekalipun (cf. Fraenkel 1977: Kirschenbaum & Simon 1974). Usaha pembentukan watak melalui sekolah, dapat pula dilakukan melalui pendidikan nilai dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan pendekatan “modelling” atau “exemplary”
atau “uswah hasanah”. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup (living exemplary) bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.
Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan kontinu; memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan;
membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan prasangka baik (husn al-zhan) dan tujuan-tujuan ideal; membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus menerus dan konsisten.
Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character- based education). Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan character- based approach ke dalam setiap mata pelajaran nilai yang ada di samping matapelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan karakter, seperti pelajaran agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn), sejarah, Pancasila dan sebagainya. Memandang kritik terhadap matapelajaran-matapelajaran terakhir ini, perlu dilakukan reorientasi baik dari segi isi/muatan dan pendekatan, sehingga mereka tidak hanya
menjadi verbalisme dan sekedar hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan kembali karakter dan jati diri bangsa.
Sekolah memiliki kedudukan strategis dalam membentuk generasi bangsa yang berkarakter unggul dan berakhlak mulia. Latif (dalam, Sauri dan Herlan Firmansyah, 2010:38) meng-ungkapkan bahwa sekolah memiliki 8 fungsi strategis, yaitu sebagai berikut: 1) Sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan. 2) Sekolah memberikan keterampilan dasar. 3) Sekolah membuka kesempatan memperbaiki nasib. 4) Sekolah menyediakan tenaga pembangunan. 5) Sekolah membantu memecahkan masalah-masalah social. 6) Sekolah mentransmisikan kebudayaan. 7) Sekolah membentuk manusia yang social. 8) Sekolah merupakan alat transformasi kebudayaan.
Lebih lanjut diuangkapkan bahwa: “Sekolah biasanya menjadi tempat dimana budaya secara teoritis dijelaskan sehingga peserta didik bias mengenali, mengakui, kemudian meng-internalisasikan dalam dirinya. (Sauri dan Herlan Firmansyah, 2010:38). Dengan demikian, pendidikan akan memberinya penyadaran dan akuisisi nilai-nilai yang dijunjung oleh para pendahulu. Sementara itu Sauri (dalam Sauri dan Herlan Firmansyah, 2010:38) mengungkapkan bahwa
“Peranan sekolah tidak berhenti pada pewarisan dan pelestarian nilai, tetapi juga menjadi lokomotif atau agen pembaharuan masyarakat.
Karena bagaimanapun sekolah merupakan pembinaan manusia yang akan mengisi masa depan masyarakat. Kondisi dimasa depan berbeda dengan kondisi dan situasi hari ini. Karena itu, orientasi sekolah adalah orientasi kemasa depan dengan segala perangkat system yang harus dimilikinya. Proses pembelajaran tidak berhenti pada penyampaian materi kurikulum, tetapi pengembangan dan reproduksi budaya dan kebiasaan baru yang lebih unggul seyogyanya dilakukan.”
Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Latif dan Sauri di atas, jelaslah bahwa sekolah memiliki peranan yang sangat vital dalam membentuk karakter anak bangsa, sekolah menjadi miniatur sekaligus pabrik yang akan menhasilkan produk-produk berupa sumber daya manusia yang akan menjadi pelaku utama dalam pembentukan masyarakat dan bangsa yang bermartabat. Baik buruknya suatu bangsa pada masa depan, besar dipengaruhi oleh bagaimana sekolah berperan optimal dalam menjalankan fungsinya.
Pendidikan karakter pada tingkat satuan pendidikan dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai melalui belajar pembiasaan, pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler, bimbingan konseling dan
pendekatan terintegrasi dengan menanamkan moralitas dan akhlak mulia dalam semua mata pelajaran yang diajarkan di kelas. Bagi tenaga pendidik, pendidikan karakter yang menjadi kebijakan pemerintah merupakan tugas utama pada pengembangan aspek sikap (afektif) selain aspek pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor).
Pengetahuan dan keterampilan adalah kemampuan yang penting dimiliki oleh peserta didik, akan tetapi penanaman sikap untuk membentuk mental peserta didik tidak kalah pentingnya, agar sikap peserta didik ketika memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depannya lebih terarah.
Pendidikan Agama Islam, menjadi salah satu materi pelajaran yang wajib diikuti. PAI merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok (dasar) yang menjadi satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan mata pelajaran yang lain yang bertujuan untuk pengembangan moral dan kepribadian peserta didik. Semua mata pelajaran yang memiliki tujuan tersebut harus seiring dan sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh mata pelajaran PAI. Diberikannya mata pelajaran PAI bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt, berbudi pekerti yang luhur (berakhlak mulia) dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam, terutama sumber ajaran dan sendi-sendi Islam lainnya, sehingga dapat dijadikan bekal untuk mempelajari berbagai bidang ilmu atau mata pelajaran tanpa harus terbawa oleh pengaruh-pengaruh negatif yang mungkin ditimbulkan oleh ilmu dan mata pelajaran tersebut. PAI menjadi mata pelajaran yang tidak hanya mengantarkan peserta didik menguasai berbagai kajian keIslaman, tetapi PAI lebih menekankan bagaimana peserta didik mampu menguasai kajian KeIslaman tersebut sekaligus dapat mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari ditengah- tengah kehidupan masyarakat. (Depdiknas, 2006:2)
Dengan demikian, PAI tidak hanya menekankan pada aspek kognitif, tetapi yang lebih penting adalah pada aspek afektif dan psikomotornya.
Secara umum, mata pelajaran PAI didasarkan pada ketentuan yang ada pada dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan Al- Sunnah/Al-Hadits Nabi Muhammad Saw. (dalil naqli). Dengan melalui metode ijtihad (dalil aqli) para ulama mengembangkan prinsip-prinsip PAI tersebut dengan lebih perinci dan detail dalam bentuk fiqih dan hasil-hasil ijtihad lainnya. Prinsip-prinsip dasar PAI tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu Aqidah, Syariah, dan Akhlak.
Aqidah merupakan penjabaran dari konsep iman; Syariah merupakan
penjabaran dari konsep Islam; Syariah memiliki dua dimensi kajian pokok, yaitu Ibadah dan Muamalah, dan Akhlak merupakan penjabaran dari konsep Ihsan. Dari ketiga prinsip dasar itulah berkembang berbagai kajian KeIslaman (ilmu-ilmu Agama) seperti Ilmu Kalam (Teologi Islam, Ushuluddin, Ilmu Tauhid) yang merupakan pengembangan dari Aqidah, Ilmu Fiqih yang merupakan pengembangan dari Syariah, dan Ilmu Akhlak (Etika Islam, Moralitas Islam) yang merupakan pengembangan dari Akhlak, termasuk kajian-kajian yang terkait dengna ilmu dan teknologi serta seni dan budaya yang dapat dituangkan dalam berbagai mata pelajaran.
Tujuan akhir dari mata pelajaran PAI adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak yang mulia (budi pekerti yang luhur). Tujuan ini sebenarnya merupakan misi utama diutusnya Nabi Muhammad Saw di dunia. Dengan demikian, pendidikan akhlak (budi pekerti) adalah jiwa Pendidikan Agama Islam (PAI). Mencapai akhlak yang karimah, (mulia) adalah memperhatikan pendidikan jasmani, akal, ilmu, ataupun segi- segi praktis lainnya. Tetapi maksudnya adalah bahwa pendidikan Islam memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak, seperti juga segi-segi lainnya. Peserta didik membutuhkan kekuatan dalam hal jasmani, akal, dan ilmu, tetapi mereka juga membutuhkan pendidikan budi pekerti, perasaan, kemauan, cita rasa, dan kepribadian. Sejalan dengan konsep ini, maka semua mata pelajaran atau bidang studi yang diajarkan pada peserta didik haruslah mengandung muatan pendidikan akhlak dan setiap guru haruslah memperhatikan akhlak atau tingkah laku peserta didiknya.
Pendidikan Agama di sekolah seharusnya memberikan warna bagi lulusan pendidikan, khususnya dalam merespon segala tuntutan perubahan yang ada di Indonesia. Hingga kini Pendidikan Agama dipandang sebagai acuan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, tetapi dalam kenyataan dipandang hanya sebagai pelengkap. Dengan demikian, terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Akibatnya, peranan serta efektifitas Pendidikan Agama di sekolah sebagai pemberi nilai spiritual terhadap kesejahteraan masyarakat dipertanyakan. Dengan asumsi jika Pendidikan Agama dilakukan dengan baik, maka kehidupan masyarakatpun akan lebih baik.
Mengingat signifikansi keberadaan mata pelajaran PAI dalam membangun karakter atau akhlak peserta didik, maka guru PAI dituntut mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan guru-guru lainnya. Guru PAI, disamping melaksanakan tugas keagamaan, ia juga
melaksanakan tugas pendidikan dan pembinaan bagi peserta didik, ia membantu pembentukkan kepribadian, pembinaan akhlak disamping menumbuhkan dan mengembangkan keimanan dan ketakwaan para siswa.
Nilai-nilai karakter dalam pembelajaran PAI dapat diimplementasikan dengan melaksanakan pembelajaran PAI secara utuh, tidak hanya ranah produknya saja, tetapi juga pada ranah proses dan mengembangkan sikap siswa. Dengan kata lain, agar nilai-nilai yang terkandung di dalam PAI dapat dipahami, dihayati dan diamalkan dengan baik oleh peserta didik, maka guru PAI harus mampu mengembangkan silabus dan RPP berbasis karakter mulia, guru juga harus mampu mengembangkan materi pembelajaran yang tidak hanya bersifat tekstual saja, akan tetapi juga harus kontekstual yang didukung dengan media dan sumber belajar yang kontekstual juga. Disamping itu guru juga dituntut mampu memahami dan menerapkan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mengembangkan karakter mulia.
Dan guru juga harus mampu mendesain alat-alat evaluasi, yang tidak hanya dapat menilai ranah kognitif siswa akan tetapi juga pada ranah efektif dan psikomotor. Oleh karena itu, kemauan, kesungguhan, dan penguasaan guru terhadap pembelajaran PAI berbasis karakter merupakan salah satu faktor yang menentukan karakter peserta didik di masa ini dan dimasa yang akan datang.
Namun Pendidikan Agama Islam di sekolah masih banyak memiliki kekurangan dan masih mengalami kegagalan. Banyak faktor yang menyebabkan kelemahan dan bahkan kegagalan dalam pendidikan Islam. Kegagalan ini disebabkan karena praktek pendidikan hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama) dan mengabaikan aspek afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam aplikasi kehidupan sehari-hari peserta didik. Akibat dari kelemahan sistem pendidikan ini pada akhirnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama. Atau dalam praktek pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal intisari dari pendidikan agama adalah pendidikan moral.
Kenyataan di atas ditegaskan kembali oleh Menteri Agama RI, Muhammad Maftuh Basyuni (dalam Muhaimin, 2005:23) bahwa
‘pendidikan agama yang berlangsung saat ini cenderung lebih
mengedapankan aspek kognisi (pemikiran) kepada afeksi (rasa) dan psikomotorik (tingkah laku). Selain itu dalam kualitas proses belajar mengajar yang dikembangkan dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) berakibat langsung pada rendah dan tidak meratanya kualitas hasil yang dicapai para siswa, kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh sekolah dalam kaitan ini adalah adanya aspek formal serta disiplin dalam kegiatannya. Adanya aspek tersebut biasa dirumuskan kompetensi- kompetensi serta materi belajar sekaligus bentuk dan sistem penilaiannya.
Kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh sekolah dalam kaitan munculnya kesenjangan dalam mengimplementasikan kurikulum PAI adalah terbatasnya sarana serta fasilitas yang disediakan untuk kepentingan, kondisinya sistemik, sehingga pemenuhan pada salah satu sektor tertentu dari keterbatasan ini, tidak dapat mengatasi persoalan secara keseluruhan, sebab terbentur pada aspek lainnya seperti alokasi waktu yang disediakan sangat terbatas.
Menurut Komaruddin Hidayat (dalam Muhaimin, 2005:23)
‘pendidikan agama lebih berorientasi pada belajar tentang agama, sehingga hasilnya banyak orang mengetahui nilai-nilaiajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya’.Amin Abdullah juga berpendapat(dalam Muhaimin, 2005:23) bahwa pendidikan agama lebih banyak terkonsentrasipada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif dan kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai”
yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai caramedia dan forum.
Sedangkan menurut Towaf (dalam Muhaimin, 2005:25) telah mengamati adanya kelemahan-kelemahan Pendidikan Agama Islam di sekolah, antara lain: Pertama, pendekatan masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma-norma yang sering kali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian; Kedua, kurikulum Pendidikan Agama Islam yang dirancang di sekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi guru PAI sering terpaku padanya, sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh;Ketiga, sebagai dampak yang menyertai situasi tersebut di atas, maka Guru Pendidikan Agama Islam
kurang menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, akibatnya pembelajaran cenderung monoton;
Keempat,keterbatasan sarana/prasarana, sehinga pengolahan cenderung seadanya. Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek yang penting sering kali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas.
Atho’ Mudzhar (dalam Muhaimin, 2005:25-26) mengemukakan hasil-hasil Studi Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Tahun 2000, bahwa ‘merosotnya moral dan akhlak peserta didik disebabkan antara lain akibat kurikulum agama yang terlampau padat materi, dan materi tersebut lebih mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran keberagamaan’. Selain itu metode pendidikan agama kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan serta terbatasnya bahan-bahan bacaan keagamaan. Buku-buku paket Pendidikan Agama saat ini belum memadai untuk membangun kesadaran beragama, memberikan keterampilan fungsional keagamaan dan mendorong perilaku bermoral dan berakhlak mulia pada peserta didik.Dalam konteks metodologi, hasil penelitian Furchan 1993) (dalam Muhaimin, 2005:26) juga menunjukkan bahwa, ‘Penggunaan metode pembelajaran PAI di sekolah kebanyakan masih menggunakan cara-cara pembelajaran tradisional yaitu ceramah monoton dan statis akontekstual, cenderung normative, monolitik, lepas dari sejarah, dan semakin akademis’ .
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat dipahami berbagai kritik dan sekaligus yang menjadi kelemahan dari pelaksanaan Pendidikan Agama yang lebih bermuara pada aspek metodologi, strategi pembelajaran dan orientasi yang lebih bersifat normative, teoritis, kognitif, termasuk di dalamnya aspek guru yang kurang mampu mengaitkan dan berinteraksi dengan nilai-nilai social dan budaya lainnya. Aspek lainnya yang banyak disoroti adalah menyangkut aspek muatan kurikulum, sarana pendidikan, di dalamnya buku-buku dan bahan materi pendidikan bahan ajar.
Dengan demikian perlu dicari suatu bentuk perbaikan dengan strategi tepat untuk mengatasi adanya kesenjangan penerapan akhlak secara keseluruhan. Pembiasaan-pembiasaan untuk melibatkan anak di dalam memecahkan masalah tidak sekedar melatih kemampuan berfikir dan mengajarkan cara pemecahan masalah, akan tetapi tujuan yang lebih subtansial adalah menanamkan pemahaman kepada anak-anak bahwa ada mekanisme yang baik melalui tanya jawab. “Di dalam proses komunikasi, guru memberi contoh dan menunjukkan
bagaimana belajar mendengar pendapat orang lain. Oleh karena itu perlu menanamkan aspek dini kesadaran pada mereka akan pentingnya saling menghargai pemikiran-pemikiran orang lain (Aunurrahman, 2010:13), Mc. Crae dalam Sunaryo (1989:6) mengungkapkan “karakter, emosi dan kemampuan komunikasi masyarakat Indonesia saat ini masih sejajar dengan Negara-negara Afrika seperi Nigeria, Etiopia atau Uganda”
Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sendiri kurang mendapat perhatian bahkan diremehkan oleh sebagian siswa, karena mereka sudah merasa bisa tentang Agama. Untuk itu perlu diterapkan suatu alternatif guna meningkatkan minat dan pemahaman dan motivasi untuk mengembangkan potensi beraktifitas sehingga menghasilkan prestasi yang optimal khususnya pada mata pelajaran pendidikan agama Islam. Salah satu alternatif yang digunakan adalah dengan mengubah strategi. Strategi pembelajaran yang menarik untuk mempelajari PAI yang menyenangkan, lebih mudah dipahami peserta didik dan meningkatkan motivasi belajar siswa dalam proses balajar mengajar sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.
Pembelajaran yang dimaksud sebagaimana menurut Kama Abdul Hakam (2010:137) adalah pola belajar yang menumbuh kembangkan karakter keagamaan. Pertama nilai-nilai keimanan dan ketakwaan siswa, yaitu memperkokoh Aqidah beragama dan mencerahkan fitrah beragama peserta didik. Kedua, nilai kebenaran dan keyakinan yaitu untuk memperluas pengetahuan dan keyakinan peserta didik terhadap hukum-hukum agama yang harus ditaati dan dihindari. Ketiga, etika dan moral beragama (akhlak) yaitu untuk melatih peserta didik berperilaku terpuji dalam hubungannya dengan sesama manusia dan Tuhannya.
Karakter kepribadian atau akhlak pada diri sendiri yaitu akhlak kemandirian yaitu akhlak yang memberikan kebebasan pada siswa untuk menemukan, membangun, melakukan analisis, kritik, dan kesimpulan dengan pola berpikir logis dan akhlak lainnya seperti, percaya diri, jujur, disiplin, kreatif, optimis, tolong menolong, menghargai, ketekunan, ulet, dan kerja keras.
Sehubungan dengan kemandirian, Ali, M. dan Asrori, M. (2009: 718) memprediksikan bahwa situasi kehidupan yang tidak mengarah pada kemandirian dapat menyebabkan manusia menjadi serba bingung atau larut ke dalam situasi baru tanpa dapat menyeleksi lagi jika tidak memiliki ketahanan hidup yang memadai. Hal ini disebabkan nilai- nilai baru yang belum banyak dipahami. Salah satu nilai yang dimaksud
adalah nilai kemandirian. Bila nilai kemandirian dikaitkan dengan pembelajaran dari aspek persiapan, proses dan evaluasi, ternyata ketiga aspek tersebut belum begitu memberikan hasil yang optimal, terutama dari aspek evaluasi. Namun, apabila kemandirian peserta didik dikembangkan dan dikemas secara optimal akan memberikan suatu yang berbeda.
Mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran PAI merupakan tugas dan tanggung jawab guru yang besar. Pola integrasi karakter dalam pelajaran PAI meliputi integrasi pada RPP PAI, yaitu bagaimana guru mencantumkan kompetensi karakter pada kompetensi dasar. Merumuskan nilai-nilai karakter pada tujuan dan indikator pembelajaran. Guru PAI juga harus melatih keterampilannya mengembangkan materi yang berkarakter, mengembangkan strategi dan metode pembelajaran yang bervariasi yang dapat menumbuhkembangkan nilai-nilai karakter siswa. Selain itu juga guru PAI harus mampu merumuskan media dan sumber belajar yang bervariasi agar nilai-nilai karakter agamis khususnya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Selanjutnya pada proses pelaksanaan pembelajaran, dianjurkan guru dapat menerapkan dengan baik RPP yang telah dirancang sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Baik pada kegiatan awal, kegiatan inti, maupun kegiatan penutup. Sedangkan pada kegiatan inti, diharapkan guru PAI mampu melaksanakan langkah-langkah pembelajaran sesuai dengan strategi dan metode pembelajaran berkarakter sesuai dengan apa yang telah dirumuskan pada RPP.
Terakhir dalam kegiatan pembelajaran adalah guru mampu melakukan penilaian pembelajaran yang berbasis karakter, baik penilaian yang dilakukan pada proses pembelajaran maupun penilaian yang dilakukan pada akhir pembelajaran. Penilaian berbasis karakter tidak hanya semata-mata berorientasi pada kompetensi kognitif siswa, tetapi yang sangat penting adalah juga berorientasi pada berhasil atau tidaknya proses pembelajaran yang tentu saja mengacu pada keberhasilan pendidikan karakter siswa.
Salah satu contoh kegiatan yang menumbuh kembangkan nilai kepedulian dan kasih sayang pada fakir miskin dan yatim piatu adalah setiap hari Jumat, para siswa dengan keikhlasan memberikan sumbangan untuk selanjutnya dikumpul selama perbulan. Dari dana yang telah terkumpul itulah selanjutnya disumbangkan kepada fakir miskin yang memerlukannya.
Pada mata pelajaran PAI sendiri, guru PAI telah mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada mata pelajaran PAI. Namun sekeras- kerasnya usaha yang dilakukan oleh guru dan pihak sekolah untuk menginternalisaikan nilai-nilai karakter pada siswanya, namun masih ada saja siswa-siswa yang berperilaku kurang sopan, bolos sekolah, tidak shalat berjamaah, suka bergurau pada saat belajar, kurang mandiri, disiplin, tekun, dan kerja keras. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis sangat tertarik mengangkat permasalahan ini untuk di teliti lebih mendalam. Permasalahan yang diteliti adalah tentang,
“Bagaimana Imlementasi nilai-nilai karakter pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dan Madrasah.
BAB 2
IMPLEMENTASI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN
A.Pengertian Karakter dan Pendidikan Karakter, Fungsi, Tujuan, Nilai-nilai Karakter dan Landasan Pendidikan Karakter Dalam Islam
1. Pengertian Karakter
I
stilah karakter adalah istilah yang baru digunakan dalam wacana Indonesia dalam lima tahun terakhir ini. Istilah ini sering dihubungkan dengan istilah akhlak, etika, moral, atau nilai.Karakter juga sering dikaitkan dengan masalah kepribadian, atau paling tidak ada hubungan yang cukup erat antara karakter dengan kepribadian seseorang. Secara etimologis, kata karakter (Inggris:
character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan & Bohlin, 1999: 5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memaatkan, atau menggoreskan (Echols & Shadily, 1995: 214). Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata
“karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak.
Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682). Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak.
Dengan demikian, karakter merupakan watak dan sifat-sifat seseorang
Dengan makna seperti itu karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri, karakteristik, atau sifat khas diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan bawaan sejak lahir ( Koesoema, 2007: 80).
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona yang mendefinisikan karakter sebagai “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya, Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Karakter mulia (good character), dalam pandangan Lickona, meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral khowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior).
Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat.
Menurut Amin (1995: 62) bahwa kehendak (niat) merupakan awal terjadinya akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education).
2. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter menurut David Elkind & Freddy Sweet (dalam Suparlan, 2010:305) adalah character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical value.
(Pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar) untuk membantu manusia memahami, peduli tentang, dan melaksanakan nilai-nilai etika inti). Sedangkan menurut Creasy (dalam Zubaidi, 2011:16) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah upaya mendorong peserta didik tumbuh dan berkembang dengan kompetensi berpikir dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral
dalam hidupnya serta mempunyai keberanian untuk melakukan yang benar meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan.
Berdasarkan pengertian di atas, jelaslah bahwa pendidikan karakter adalah usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk menanamkan nilai-nilai karakter mulia pada peserta didik. Pendidikan karakter, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991: 51). Di pihak lain, Frye (2002:
2) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai, “A national movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young people by modeling and teaching good character through an emphasis on universal values that we all share”
Jadi, pendidikan karakter harus menjadi gerakan nasional yang menjadikan sekolah (institusi pendidikan) sebagai agen untuk membangun karakter peserta didik melalui pembelajaran dan pemodelan. Melalui pendidikan karakter sekolah harus berpretensi untuk membawa peserta didik memiliki nilai-nilai karakter mulia seperti hormat dan peduli pada orang lain, tanggung jawab, jujur, memiliki integritas, dan disiplin. Di sisi lain pendidikan karakter juga harus mampu menjauhkan peserta didik dari sikap dan perilaku yang tercela dan dilarang. Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral
3.Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan nilai dalam proses sesungguhnya berupaya membentuk nilai-nilai pada siswa yang tercermin dalam prilaku sehari-hari baik disekolah maupun di lingkungan luar sekolah. Dalam pelaksanaannya dilakukan dengan bimbingan yang intensif dan konsisten gar diperoleh hasil yang maksimal. Asia and the :Pasifik Programe of Educational Indonesia for Development (APEID) dalam Mulyana (2004 :120) bahwa pendidikan nilai secara khusus ditujukan untuk (1) nilai yang diinginkan dan (3) membimbing prilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut.
Tujuan pendidikan karakter adalah mengajarkan nilai-nilai tradisional tertentu, nilai-nilai yang diterima secara luas sebagai landasan perilaku
yang baik dan bertanggung jawab (Zuchdi, 2009:39). Selanjutnya pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang kompetitif, tangguh, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan, dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pancasila (Sri Narwanti, 2011:16). Tujuan pendidikan karakter adalah :
a. Memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah).
b. Mengoreksi perilaku anak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang diajarkan.
c. Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama (Sri Narwanti, 2011:17).
Berdasarkan uraian tujuan pendidikan karakter di atas, jelaslah bahwa pendidikan karakter bertujuan memberikan penguatan, mendorong pengembangan karakter yang sudah menjadi diri dan mempertahankan karakter yang sudah ada dalam diri peserta didik.
Lebih lanjut pendidikan karakter juga bertujuan mengoreksi dan memperbaiki karakter yang kurang baik pada diri peserta didik.
Dengan terbentuknya karakter mulia yang tangguh, konsisten, dan tak tergoyahkan pula dengan sesuatu apapun, maka maka tujuan pendidikan karakter selanjutnya adalah membangun hubungan yang harmonis peserta didik dengan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan.
Pendidikan karakter juga bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggara dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia anak secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai dengan norma dan nilai yang ada. Melalui pendidikan karakter diharapkan anak mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi nilai- nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari (Sri Narwanti, 2011:17).
Sementara itu menurut Darf Kurikulum Berbasis Kompetensi (dalam Nurul Zuriah, 2007:104-105), bahwa fungsi dan kegunaan pendidikan budi pekerti/karakter bagi peserta didik ialah sebagai berikut :
a. Pengembangan yaitu untuk meningkatkan perilaku yang baik bagi peserta didik yang telah tertanam dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat.
b. Penyaluran, yaitu untuk membantu peserta didik yang memiliki bakat tertentu agar dapat berkembang dan bermanfaat secara optimal sesuai dengan budaya bangsa.
c. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan, dan kelemahan peserta didik dalam perilaku sehari-hari.
d. Pencegahan, yaitu untuk mencegah perilaku negative yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa.
e. Pembersih, yaitu untuk membersihkan diri dari dari penyakit hati seperti sombong, egois, iri, dengki, dan riya’ agar anak didik tumbuh dan berkembang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa.
f. Penyaringan (filter), yaitu untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budi pekerti.
Berdasarkan pernyataan di atas, fungsi pendidikan karakter, adalah : 1) Pengembangan yaitu guru sebagai pendidik karakter berusaha menginovasi berbagai strategi untuk meningkatkan karakter siswa, baik karakter yang dikembangkan melalui mata pelajaran di kelas, pengembangan budaya karakter di sekolah, dan pada kegiatan pengembangan diri. 2) Penyaluran, agar karakter siswa dapat berkembang dengan maksimal, guru dapat menggali potensi bakat dan minat siswa. Melalui pengembangan bakat siswa sekaligus berbagai karakter yang berkaitan dengan bakat akan berkembang pula dengan sempurna. 3) Perbaikan, karakter yang berkembang belum optimal dalam diri siswa diupayakan diperbaiki agar karakter negatif pada siswa akan hilang dengan sendirinya. 4) Pencegahan, melalui pendidikan karakter, karakter yang negatif diupayakan dicegah dan diantisipasi sedini mungkin. 5) Pembersih, melalui pendidikan karakter, karakter negatif siswa dapat dibersihkan agar dapat tumbuh dan berkembang karakter yang mulia. 6) Penyaring, melalui pendidikan dapat disaring berbagai karakter yang kurang baik, terutama yang berasal dari dunia barat.
Sedangkan menurut Cahyoto (2001;13) fungsi pendidikan karakter antara lain sebagai berikut :
a. Siswa memahami susunan pendidikan karakter dalam lingkup etika bagi pengembangan dirinya dalam bidang ilmu pengetahuan b. Siswa memiliki landasan karakter bagi pola prilaku sehari-hari yang
didasari hak dan kewajiban sebagai warga Negara
c. Siswa dapat mencari dan memperoleh informasi tentang karakter, mengolahnya dan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah nyata di masyarakat
d. Siswa dapat berkomunikasi dan bekerjasama dengan orang lain untuk mengembangkan nilai moral.
Pendidikan karakter berfungsi memberikan dasar dan pedoman bagi siswa dalam berperilaku, pendidikan karakter menjadi landasan dalam berperilaku yang sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan kepribadian. Berdasarkan hal ini, pendidikan karakter tidak saja bersifat teoritis tapi juga bersifat aplikatif, sehingga pendidikan karakter bukan hanya wacana akan tetapi dapat dan mudah dilaksanakan. Pembelajaran berbasis pendidikan karakter adalah dengan memberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari dan memperoleh informasi tentang karakter, mengolahnya dan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah nyata di masyarakat. Selanjutnya pendidikan karakter juga memfasilitas siswa agar dapat berkomunikasi dan bekerjasama dengan orang lain untuk mengembangkan nilai moral.
4. Nilai-nilai Dasar Dalam Pendidikan Karakter
Dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025 ditegaskan bahwa karakter merupakan hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan karsa. Olah hati terkait dengan perasaan sikap dan keyakinan/
keimanan, olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif, olah raga terkait dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas, serta olah rasa dan karsa berhubungan dengan kemauan dan kreativitas yang tecermin dalam kepedulian, pencitraan, dan penciptaan kebaruan (Pemerintah RI, 2010: 21).
Nilai-nilai karakter yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila pada masing- masing bagian tersebut, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Karakter yang bersumber dari olah hati antara lain beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik;
b. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks, dan
reflektif;
c. Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika antara lain bersih, dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih;
dan
d. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air (patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.
Dari nilai-nilai karakter di atas, Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) mencanangkan empat nilai karakter utama yang menjadi ujung tombak penerapan karakter di kalangan peserta didik di sekolah, yakni jujur (dari olah hati), cerdas (dari olah pikir), tangguh (dari olah raga), dan peduli (dari olah rasa dan karsa). Dengan demikian, ada banyak nilai karakter yang dapat dikembangkan dan diintegrasikan dalam pembelajaran di sekolah. Menanamkan semua butir nilai tersebut merupakan tugas yang sangat berat. Oleh karena itu, perlu dipilih nilai-nilai tertentu yang diprioritaskan penanamannya pada peserta didik. Direktorat Pembinaan SMP Kemendiknas RI mengembangkan nilai-nilai utama yang disarikan dari butir-butir standar kompetensi lulusan (Permendiknas No. 23 tahun 2006) dan dari nilai-nilai utama yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Depdiknas RI Pusat Kurikulum Kemendiknas, (2009: 9-10) Dari kedua sumber tersebut nilai-nilai utama yang harus dicapai dalam pembelajaran di sekolah (institusi pendidikan) di antaranya adalah:
a. Kereligiusan, yakni pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.
b. Kejujuran, yakni perilaku yang didasarkan pada upaya menjadika n dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan p(ihak lain.
c. Kecerdasan, yakni kemampuan seseorang dalam melakukan suatu tugas secara cermat, tepat, dan cepat.
d. Ketangguhan, yakni sikap dan perilaku pantang menyerah atau tidak pernah putus asa ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehingga mampu mengatasi kesulitan tersebut dalam mencapai tujuan.