• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARYA TULIS ILMIAH - Repository Poltekkes Kaltim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "KARYA TULIS ILMIAH - Repository Poltekkes Kaltim"

Copied!
204
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Rumusan Masalah

Gagal ginjal kronik (End-Stage Renal Disease (ESRD) atau End-Stage Renal Disease (PGTA) merupakan stadium akhir dari perjalanan penyakit ginjal kronik (CKD).

Tujuan Penulisan

  • Tujuan Umum
  • TujuanKhusus

Manfaat Penulisan

  • Bagi Penulis
  • Bagi Tempat Penelitian
  • Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Penyakit ginjal kronik (PGK) didefinisikan sebagai kerusakan fungsi ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional ginjal dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dengan manifestasi kelainan patologis. atau adanya tanda-tanda penyakit ginjal, termasuk kelainan komposisi kimia darah, urin, atau kelainan radiologis. Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan berbagai etiologi yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan ireversibel dan umumnya berakhir pada gagal ginjal. Pada CKD derajat 5 disebut juga gagal ginjal kronik (Laju Filtrasi Glomerulus (GFR) ˂ 15 mL/menit/1,73 m2), terjadi penurunan massa dan fungsi ginjal sehingga terjadi penimbunan zat toksik uremik dan terjatuh. dalam fungsi hormon (Suwitra, 2009).

Gagal ginjal kronis merupakan kondisi menurunnya fungsi ginjal sehingga racun, cairan, dan elektrolit menumpuk di ginjal. Penumpukan racun, cairan dan elektrolit ini menyebabkan sindrom uremik yang dapat menyebabkan kematian kecuali racun tersebut dikeluarkan dengan terapi pengganti ginjal menggunakan dialisis atau transplantasi ginjal.

Anatomi Fisiologi Ginjal

Etiologi

Manifestasi Klinik

Patofisiologi

Hilangnya protein dan antibodi yang mengandung albumin dapat membuat tubuh rentan terhadap infeksi dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah. Sindrom uremia juga menyebabkan asidosis metabolik, yang dapat meningkatkan produksi asam dalam tubuh dan menyebabkan mual, muntah, bahkan maag akibat iritasi lambung. Ginjal juga mengalami penurunan produksi hormon eritropoietin, tugas hormon tersebut adalah merangsang sumsum tulang belakang untuk memproduksi sel darah merah.

Hal ini menyebabkan produksi sel darah merah yang mengandung hemoglobin menurun sehingga klien mengalami anemia. Sel darah merah juga berfungsi mengedarkan pasokan oksigen dan nutrisi ke seluruh tubuh, sehingga ketika sel darah merah berkurang, tubuh tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup, sehingga tubuh menjadi lemah, kurang energi, dan sesak napas.

Pathway

Konduksi listrik pada jantung terganggu sehingga mengakibatkan penurunan COP (Cardiac Output), sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung dan terganggunya aliran darah ke seluruh tubuh.

Faktor Resiko

Data CKD di Indonesia (IRR) dan Australia menunjukkan bahwa risiko terjadinya CKD pada pria lebih besar dibandingkan pada wanita. Hal ini disebabkan adanya pengaruh perubahan hormon reproduksi, gaya hidup seperti konsumsi protein, garam, rokok dan alkohol pada pria dan wanita. Sebuah studi kohort di Amerika Serikat juga menyimpulkan bahwa pria kulit putih dan wanita Afrika-Amerika dengan status sosial ekonomi rendah memiliki risiko lebih besar mengalami CKD dibandingkan dengan status sosial ekonomi tinggi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa penderita DM memiliki risiko 2,5 kali lebih besar terkena CKD dibandingkan tanpa DM. Sedangkan penderita hipertensi 3,7 kali lebih besar kemungkinannya terkena CKD dibandingkan mereka yang tidak menderita hipertensi.

Komplikasi

Hubungan CKD dengan hipertensi bersifat siklus, penyakit ginjal dapat menyebabkan tekanan darah meningkat dan sebaliknya hipertensi dapat menyebabkan gangguan ginjal dalam jangka waktu yang lama. Obesitas menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis, aktivasi sistem renin-angiotensin (RAS), sitokin lemak (misalnya: leptin), kompresi fisik ginjal akibat penimbunan lemak intrarenal dan matriks ekstraseluler, perubahan hemodinamik-hiperfiltrasi akibat peningkatan tekanan intraglomular, penurunan tekanan ginjal, natriuresis (tekanan), diperlukan ekskresi natrium yang tinggi).

Pemeriksaan Penunjang

Kreatinin serum merupakan salah satu indikator kuat fungsi ginjal, dimana jika terjadi peningkatan kreatinin sebanyak tiga kali lipat maka menandakan adanya penurunan fungsi ginjal sebesar 75%. Analisis gas darah (BGA): Digunakan untuk melihat adanya asidosis metabolik yang ditandai dengan penurunan pH plasma. Pemeriksaan urinalisis dilakukan yaitu untuk melihat keberadaan sel darah merah, protein, glukosa dan leukosit dalam urin.

Urinalisis juga untuk mengetahui volume urin yang biasanya < 400 ml/jam atau oliguria atau tidak ada urin/anuria, perubahan warna urin mungkin karena adanya nanah, darah, bakteri, lemak, partikel koloid, miglobin, berat jenis <1,015 menunjukkan gagal ginjal, osmolalitas <350 menunjukkan kerusakan tubulus.

Penatalaksanaan

Mengurangi asupan protein dapat memperbaiki asidosis, namun jika kadar bikarbonat serum kurang dari 15 mEq/L, beberapa ahli nefrologi meresepkan terapi alkali, baik natrium bikarbonat atau natrium sitrat dengan dosis 1 mEq/kg/hari secara oral. Jika asidosisnya parah, maka akan diobati dengan pemberian natrium bikarbonat parenteral (Price dan Wilson, 2006). Pemberian natrium bikarbonat secara bolus IV lebih signifikan dibandingkan dengan infus IV dalam meningkatkan pH darah dan bikarbonat serum.

Menurut Ortega dan Arora (2012), pemberian suplementasi bikarbonat pada pasien gagal ginjal kronik dengan asidosis metabolik telah terbukti merupakan pilihan terapi yang mudah diterapkan, ekonomis dan hampir tidak memiliki efek samping. Inhibitor enzim pengubah angiotensin (ACE) sangat berguna dalam memperlambat kerusakan. 2) Masa Penatalaksanaan Anemia Ginjal, RAMP diusulkan karena adanya hubungan antara gagal jantung kongestif dan anemia yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik.

Konsep Asuhan Keperawatan

  • Pengkajian Keperawatan
  • Diagnosa Keperawatan
  • Perencanaan Keperawatan
  • Tindakan Keperawatan
  • Evaluasi Keperawatan

METODE PENULISAN

Subjek Studi Kasus

Batasan Istilah

Lokasi dan Waktu Studi Kasus

Prosedur Studi Kasus

Metode dan Instrumen Pengumpulan Data

Dalam studi kasus ini, penulis mengumpulkan data dengan cara mengumpan langsung ke sumber data utama (responden) sehingga teknik ini membuahkan hasil secara langsung. Data lain juga dapat diperoleh dari sumber data lain seperti keluarga klien, perawat ruangan atau rekam medis. Dalam studi kasus ini observasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan secara langsung dan cermat terhadap responden untuk mencari perubahan atau hal-hal yang perlu diteliti atau hal-hal yang menyimpang.

Pada teknik observasi ini juga dilakukan pemeriksaan fisik dengan pendekatan IAPP (inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi) pada seluruh sistem tubuh klien. Dalam studi kasus ini, data yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik dicatat dalam format Asuhan Keperawatan Medik Bedah. Pendokumentasian harus dilakukan setiap hari setelah pelaksanaan asuhan keperawatan bangsal, sebagai bukti tindakan keperawatan yang dilakukan dan untuk meninjau keberhasilan tindakan keperawatan yang dilakukan.

Instrumen pengumpulan data pada studi kasus ini adalah penggunaan format pengkajian Medical Surgical Nursing (MSN) yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan, dan pengkajian keperawatan.

Keabsahan Data

Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh dari orang-orang terdekat klien seperti orang tua, saudara kandung, atau pihak lain yang mempunyai wawasan mengenai kondisi dan keadaan klien saat ini. Data tersier merupakan sumber data yang diperoleh dari catatan medis atau rekam medis, riwayat penyakit, hasil uji diagnostik, dari perawat lain dan dapat juga berasal dari literatur atau literatur yang berkaitan dengan masalah klien.

Analisis Data

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Asuhan Keperawatan

Pembahasan

Dari hasil studi kasus diperoleh data pengkajian dari dua pasien yaitu : pasien mengatakan sesak nafas, penggunaan otot bantu pernafasan dan pernafasan lubang hidung, pola nafas tidak normal yaitu Kussmaul pada pasien I dan takipnea pada pasien. II. Terjadi peningkatan frekuensi pernafasan pada kedua pasien yaitu 32x/menit pada pasien I dan kanula hidung 3 lpm dan SpO2: 91% dan 27x/menit pada pasien II dan kanula hidung 1,5 lpm dengan SpO2: 96%. Kondisi ini terjadi pada pasien I dan II, keduanya pasien menderita asites. Pada penelitian positif shifting dumbness didapatkan peningkatan frekuensi pernafasan yaitu 32x/menit pada pasien I dan 27x/menit pada pasien II.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari diperoleh hasil, masalah keperawatan pasien I teratasi dan pasien 2 teratasi sebagian. Menurut pendapat lain (Lubis, 2014) menyatakan bahwa penyebab umum terjadinya anemia pada pasien penyakit ginjal kronik adalah kehilangan darah pada saat hemodialisa dan rendahnya kadar zat gizi yang terdapat pada makanan yang dikonsumsi. Teori ini sesuai dengan kondisi kedua pasien dimana CRT pasien I : 5 detik dan CRT pasien II : 4 detik, kemudian dilakukan perawatan selama 5 hari, hasilnya CRT pasien I dan II adalah 2 detik, dan konjungtiva anemia masih terlihat pada kedua pasien.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari, permasalahan hipervolemia pada pasien I dan pasien II teratasi. Setelah melakukan tindakan keperawatan selama 5 hari, kedua pasien melaporkan pembengkakan mereda, edema berkurang, ditandai dengan kembalinya turgor kulit <3 detik, tidak ada bunyi napas tambahan, pasien mampu memahami pentingnya membatasi asupan cairan dan garam, serta mampu mengukur dan mencatat asupan dan haluaran urin secara mandiri, keseimbangan cairan negatif menggunakan diuretik yaitu -125,5 mL pada pasien I dengan haluaran urin 1.150 mL/24 jam dan - 98 ml pada pasien II dengan produksi urin 780 ml/24 jam. Berdasarkan data pengkajian pasien I dan pasien II diperoleh data sebagai berikut: pasien I menyatakan mual tanpa muntah, sedangkan pasien II menyatakan mual diikuti muntah dengan produksi muntahan berwarna kuning, konsistensi cair dengan volume. sebesar ±50cc.

Berdasarkan hasil laboratorium kimia klinik ditemukan adanya peningkatan ureum pada kedua pasien yaitu: 210 mg/dL pada pasien I dan 135,5 mg/dL pada pasien II. Teori diatas sesuai dengan data pengkajian yang terdapat pada pasien I yaitu pasien merasa takut dengan kondisi yang dialaminya saat ini, pasien merasa apakah hemodialisis dapat berhasil dan memperpanjang umur. Teori ini sesuai dengan data penelitian pasien I yaitu: Pasien I baru terkena penyakit ginjal kronik, berusia 66 tahun, berpendidikan SD dan sebelumnya bekerja sebagai petani, serta pasien selalu menanyakan keadaannya. penyakitnya, tidak tahu apa-apa tentang cuci darah dan cara merawat pasien di rumah.

Keterbatasan Penulis

Berdasarkan hasil studi kasus penerapan asuhan keperawatan pada pasien I dan pasien II pada pasien penyakit ginjal kronik di ruang Flamboyan RS Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Kalimantan Timur, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut. Pada pasien penyakit ginjal kronik, perawat wajib melakukan pengkajian secara lengkap, menyeluruh, dan komprehensif untuk memudahkan perawat dalam menegakkan diagnosis keperawatan. Pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis, terdapat permasalahan pada sistem pernafasan, sistem saluran kemih, cairan dan elektrolit, serta permasalahan psikososial.

Pelaksanaan keperawatan yang dilakukan pada pasien I dan pasien II telah sesuai dengan rencana yang direncanakan berdasarkan teori yang ada dan sesuai dengan kebutuhan pasien. Guna meningkatkan mutu pelayanan keperawatan pada pasien penyakit ginjal kronik diperlukan perubahan dan perbaikan antara lain: Motivasi pasien gagal ginjal kronik menjalani hemodialisis di ruang hemodialisis RSUD Kabupaten Jombang.

Upaya penanganan pola pernafasan tidak efektif pada pasien penyakit ginjal kronik di RSUD Dr. RSUD Soehardi Pridjonegoro. Hal ini menimpa orang-orang yang tidak peduli dengan kesehatannya, termasuk gagal ginjal kronis. SAP tentang Gagal Ginjal Kronik membahas tentang pengertian gagal ginjal kronik, etiologi/penyebabnya, manifestasi klinis, cara pencegahan dan pengobatannya.

Setelah mengikuti konseling gagal ginjal kronik (CKD) selama 30 menit, pasien dan keluarganya dapat memahami tentang gagal ginjal kronik. Pada gagal ginjal kronis, banyak nefron yang rusak sehingga nefron yang ada tidak dapat berfungsi secara normal. Gagal ginjal kronis termasuk hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron).

Gambar

Lampiran 7. Tabel Balans Cairan Pasien I dan II  Lampiran 8. Tabel Skala HARS
Gambar 2.1 Anatomi Ginjal
Gambar 2.2 Fisiologi Ginjal
Tabel 2.2 Klasifikasi etiologi PGK
+7

Referensi

Dokumen terkait

menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul “ Asuhan Keperawatan Pada Pasien Skizofrenia Dengan Masalah Keperawatan Harga Diri Rendah di Ruang Flamboyan Rumah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peran perawat sebagai care giver dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) yang menjalani

38 BAB 3 TINJAUAN KASUS Untuk mendapatkan gambaran nyata tentang pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga pada pasien cva hemoragik dengan masalah keperawatan gangguan mobilitas

Pengkajian pada Risiko Jatuh 2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Asuhan keperawatan keluarga adalah suatu rangkaian kegiatan yang diberikan melalui praktik keperawatan kepada keluarga,

Pada hari Jumat tanggal 01 juli 2021, telah dilakukan implementasi pertama namun masalah keperawatan belum teratasi Risiko Ketidak seimbangan kadar glukosa darah berhubungan dengan

menemani An.N saat mengkonsumsi obat kelasi besi O : Ny.S tampak mampu melakukan perawatan kesehatan pada An.N A : Ny.S mampu memberikan asuhan dalam keluarga P :

Data yang diperoleh pada klien 1 Nilam 2018 diagnosa keperawatan yang muncul yaitu kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif, hipertermia berhubungan dengan

Rabu, 03 April 2019 D.0077 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis D.0019 Defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis keengganan untuk makan S : Pasien