Klasifikasi tanah merupakan suatu cara mengumpulkan dan mengelompokkan tanah berdasarkan persamaan dan persamaan sifat dan ciri-ciri tanah, kemudian diberi nama agar mudah diingat dan dibedakan tanah yang satu dengan tanah yang lain. Setiap jenis tanah mempunyai sifat dan karakteristik tertentu, potensi dan keterbatasan untuk pemanfaatan tertentu. Sistem klasifikasi tanah nasional dibangun oleh para ahli tanah dari Balai Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian untuk keperluan survei dan pemetaan serta interpretasi pengelolaan lahan berkelanjutan.
Sistem klasifikasi tanah ini direkonstruksi dari sistem sebelumnya oleh Dudal dan Soepraptohardjo (1957); Soepraptohardjo Suhardjo dan Soepraptohardjo (1981); dan staf peneliti di Pusat Penelitian Bumi (1983) dengan berbagai modifikasi dan penambahan, termasuk cakrawala diagnostik dan jenis tanah. Penyusunan sistem klasifikasi tanah nasional ini akan memudahkan dalam menjalin komunikasi dengan para ahli, pengambil kebijakan, penyuluh pertanian, pendidik, pelajar dan mahasiswa. Terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dan berpartisipasi dalam penerbitan panduan teknis ini.
PENDAHULUAN
Pengertian Dasar
Latar Belakang
Sistem klasifikasi ini sangat rinci dan memerlukan data analisis tanah yang lengkap, namun tidak mudah untuk mengkomunikasikannya kepada pengguna dan operator di lapangan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sistem klasifikasi tanah nasional dalam bahasa yang relatif mudah dipahami.
Maksud dan Tujuan
PERKEMBANGAN SISTEM KLASIFIKASI TANAH DI INDONESIA
Sistem Klasifikasi Tanah Indonesia
“Taksonomi tanah” dinilai oleh para ahli memiliki banyak keunggulan, sehingga telah dipelajari dan dipromosikan lebih luas oleh para peneliti dan tenaga lulusan universitas dari Amerika Serikat dan Eropa untuk diterapkan pada kegiatan pemetaan tanah di Indonesia. Meningkatnya penggunaan “Taksonomi Tanah” di lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi serta adanya kebutuhan mendesak akan keperluan survei dan pemetaan tanah, maka pada Kongres Nasional Ikatan Ilmu Tanah Indonesia ke-5 di Medan tahun 1989 memutuskan untuk menggunakan “Taksonomi Tanah” sebagai Sistem Klasifikasi Tanah, digunakan secara resmi di tingkat nasional untuk survei dan pemetaan tanah, pendidikan ilmu tanah di universitas-universitas dan praktik pertanian di Indonesia (Hardjowigeno 1993). Sejak saat itu penggunaan klasifikasi tanah nasional (Dudal dan Soepraptohardjo 1957) mulai ditinggalkan, malah mulai diterapkan oleh Balai Penelitian Tanah (sekarang Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, BBSDLP).
Kemudian digunakan untuk survei dan pemetaan tanah tingkat survei di Sulawesi Tenggara I dan II (1982 dan 1983) serta Sumatera Barat I dan II (1982 dan 1983). Demikian pula, pengukuran dan pemetaan tanah secara rinci di Cekungan Jratun Seluna dan Cekungan Brantas menerapkan taksonomi tanah hingga ke tingkat seri tanah. Dalam skala besar, penggunaan klasifikasi taksonomi tanah dengan kegiatan survei tanah dan pemetaan tingkat P.
Sumatra (Proyek LREP-I dan pemetaan tanah semi-detail di wilayah pengembangan di 18 provinsi di luar P. Pada Kongres Nasional Asosiasi Ilmu Tanah tahun 2011 di Surakarta, para ahli sepakat untuk menggunakan kembali Sistem Klasifikasi Tanah Nasional dan secara bertahap menyempurnakan sistem tersebut untuk memenuhi kebutuhan. penggunanya sesuai dengan kondisi sumber daya lahan yang ada dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanahan di Indonesia.
Satuan Tanah FAO
Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah
Penerjemahan ini dimungkinkan melalui kolaborasi internasional yang menangani masalah klasifikasi, termasuk klasifikasi tanah tropis. Buku pertama yang diterjemahkan adalah Kunci Taksonomi Tanah Edisi Keempat (Staf Survei Tanah 1990), dan kemudian Kunci Taksonomi Tanah edisi kedelapan (Staf Survei Tanah 1998) diterjemahkan menjadi Kunci Taksonomi Tanah Edisi Kedua (Penelitian Tanah dan Agroklimat). Pusat 1999).
KONSEP DASAR KLASIFIKASI TANAH NASIONAL
Pendekatan Morfogenesis
Perkembangan Morfologi Tanah
Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti menyimpulkan bahwa pada jenis tanah tertentu, penggunaan warna tanah pada jenis tanah tidak mencerminkan sifat dan potensi tanah yang sebenarnya. Misalnya warna tanah merah mencerminkan sifat oksisol yang telah mengalami perkembangan maju, namun pada tanah Mediterania warna merah tidak mencerminkan sifat perkembangan maju. Oleh karena itu, Suhardjo dan Soepraptohardjo (1981) menggunakan nama atau istilah ciri atau horizon ciri dari Sistem Taksonomi Tanah USDA dan/atau Satuan Tanah FAO/UNESCO.
Ciri-ciri tersebut masih digunakan dalam klasifikasi tanah nasional dengan berbagai revisi dan penyesuaian.
Horison Penciri
SISTEM KLASIFIKASI TANAH NASIONAL
Struktur Klasifikasi Tanah
Kunci Jenis Tanah
AR Tanah sangat dangkal (< 25 cm) di atas batuan padat Tanah Litosol AC mempunyai horizon umbrik A, ketebalan ≤ 25 cm Tanah Umbrisol AC mempunyai horizon A montok, dan tepat di bawahnya. AC Tanah berstruktur kasar (pasir, pasir lempung), mempunyai horizon A oker, umbrian atau histik, tebal > 25 cm. A(B)C Tanah berstruktur kasar (pasir, pasir liat) sedalam 50 cm dari permukaan, mempunyai sifat horizon okrik A, dan horizon bawah mirip argilik, kambik, atau oksik B, tetapi tidak memenuhi persyaratan karena faktor tekstur.
ABwC mempunyai ufuk molal atau umbrik A di atas ufuk kambik B, pada kedalaman ≥ 35 cm mempunyai satu atau kedua-duanya: (a) ketumpatan pukal < 0.90 g/cm3 dan didominasi oleh bahan amorf, (b) >60%. ABgC Mempunyai ciri hidromorfik sehingga kedalaman 50 cm dari permukaan; mereka mempunyai ufuk A oker, umbric, histic dan B cambic, sulfur, kalsit atau cyps. ABtC Ia mempunyai ufuk B argillaceous dengan kandungan tanah liat yang tinggi dan penurunan kandungan tanah liat adalah < 20% berbanding dengan tanah liat maksimum di bahagian 150 cm dari permukaan, kandungan mineral mudah lapuk < 10% dalam lingkungan 50 cm dari permukaan, tidak sifat plinit, menegak dan ortotoksik.
ABtC Mempunyai horizon B argilik, KB < 50% pada beberapa bagian horizon B dengan kedalaman 125 cm dari permukaan dan tidak mempunyai horizon Albian yang berbatasan langsung dengan horizon argilik atau fragipan. ABtC Mempunyai horizon B argilik, KB ≥ 50% pada beberapa bagian horizon B dengan kedalaman 125 cm dari permukaan dan tidak mempunyai horizon Albian yang berbatasan langsung dengan horizon argilik atau fragipan. AEBtgC Memiliki cakrawala-E Albian di atas cakrawala-B argilik atau sodik dengan permeabilitas lambat (perubahan tekstur yang signifikan, lempung berat, fragipan) dalam jarak 125 cm dari permukaan, setidaknya terdapat fitur hidromorfik pada lapisan cakrawala-E Albian.
Podsol ABoC Mempunyai ufuk B oksik (tanah liat KTK <16 cmol(+)/kg) Oxisol ABcC Mempunyai ufuk B yang mengandungi aras plintik atau.
Kunci Macam Tanah
Mempunyai ufuk A molik Nitosol Molik (Nm) Warna ufuk B ialah merah hingga merah gelap. teduh lebih merah daripada 5 YR). Nitosol Kromik (Nc) Mempunyai KB < 50% di ufuk B Daerah Nitosol (Nd) Lain-lain, mempunyai KB > 50% Nitosol Eutrik (Ne) ABtC PODSOLIC Mempunyai plinthit dalam jarak 125 cm. Jenis tanah Ciri ciri Jenis tanah ABtC MEDITERRANEAN Mempunyai alas dalam jarak 125 cm dari.
Gres Mediterania (Mg) Menunjukkan fitur vertikal Vertikal Mediterania (Mv) Memiliki cakrawala kalsit atau konsentrasi.
PENUTUP
REGOSOL Tanah lain yang mempunyai horizon Umbric A ≤ 25 cm, tidak mempunyai horizon karakteristik lain (kecuali ditimbun dengan material baru ≥ 50 cm). MEDITERRANEAN Tanah lain yang mempunyai horizon E albik di atas horizon permeabilitas lambat (horizon lempung atau sodik B yang menunjukkan perubahan tekstur yang nyata, lempung tinggi, fragipan) dalam kedalaman 125 cm dari permukaan, menunjukkan sifat hidromorfik pada setidaknya sebagian horizon E lapisan OXISOLETS Tanah lain yang mempunyai horizon B yang mempunyai kandungan plinthite dan/atau besi konkresi ≥ 30% (berdasarkan volume) pada kedalaman 125 cm dari permukaan tanah.
Tanah lain yang mempunyai ufuk A umbrik ≤ 25 cm tidak mempunyai ufuk ciri lain (kecuali tertimbus oleh ≥ 50 cm bahan baru). Tanah aluvium lain yang mempunyai KB < 50% (NH4OAc) sekurang-kurangnya di beberapa bahagian lapisan tanah antara 20-50 cm dari permukaan. Regosol lain yang mempunyai KB < 50% (NH4OAc) sekurang-kurangnya di beberapa bahagian lapisan tanah antara 20-50 cm dari permukaan.
Arenosol lain yang mempunyai KTK lempung < 24 cmol(+)/kg (NH4OAc) paling sedikit pada horizon B dan kedalaman 125 cm dari permukaan. Tanah lain yang mempunyai horizon kambik B tanpa atau mempunyai horizon ochreous, umbric atau mollic A, tanpa menunjukkan gejala hidromorfik pada penampang 50 cm dari permukaan. Chromic Cambisol (Bc) Cambisol lain yang mempunyai kontak litik atau kontak paralitik dalam kedalaman 50.
Gleisol lain dengan ufuk sulfur atau bahan sulfidik, atau kedua-duanya pada kedalaman <125 cm dari permukaan. Sol tanah liat lain dengan KB < 50% (NH4OAc), sekurang-kurangnya dalam lapisan tanah antara 20-50 cm dari permukaan. Tanah Podsolik lain dengan KTK < 16 cmol(+)/kg tanah liat (NH4OAc), sekurang-kurangnya di ufuk B di bahagian 125 cm dari permukaan.
Tanah Mediterania lainnya yang memiliki KTK < 24 cmol(+)/kg liat (NH4OAc), paling tidak pada horizon B dengan kedalaman 125 cm dari permukaan. Tanah lain yang mempunyai horizon E albik di atas horizon permeabilitas lambat (horizon lempung atau sodik B yang menunjukkan perubahan tekstur yang nyata, lempung tinggi, fragipan) dalam jarak 125 cm dari permukaan menunjukkan sifat hidromorfik pada paling sedikit sebagian lapisan horizon E. Planosol lain yang mempunyai horizon permeabilitas lambat KB < 50% (NH4OAc) sekurang-kurangnya sebagian pada lapisan permeabilitas lambat dalam kedalaman 125 cm dari permukaan.
Plinthic Oxysol (Op) Oxysol lain yang menunjukkan sifat hidromorfik pada kedalaman 50 cm. Tanah lain yang mempunyai horizon B dengan kadar beton alas dan/atau besi ≥ 30% (berdasarkan volume) pada kedalaman 125 cm dari permukaan tanah.