• Tidak ada hasil yang ditemukan

a Kasus Konflik TNGHS: Kebijakan Negara Tentang Pelestarian

5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

5.1. a Kasus Konflik TNGHS: Kebijakan Negara Tentang Pelestarian

kebijakan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak di tahun 2003 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003. Taman Nasional Gunung Halimun bergabung dengan kawasan Gunung Salak di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun- Salak seluas 113.357 hektar (ha). Penggabungan kedua kawasan ini mencakup pula beberapa kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani.

Dampak dari penggabungan hutan tersebut menyebabkan masyarakat kehilangan akses dan berbagai macam haknya. Jika mengacu pada teori property right dari ostrom dan schlager (1990), dapat dibedakan hak yang dimiliki oleh masyarakat sebelum dan sesudah tahun 2003, sebagai berikut:

Tabel 9. Hak Masyarakat Kasepuhan Sebelum dan Sesudah Tahun 2003

Tipe hak (right) Sebelum tahun 2003 Sesudah tahun 2003 Access right Ya Tidak (ya tapi terbatas) Withdrawal right Ya Tidak

Management right Ya Tidak Exclusion right Ya Tidak Alienation/ diversion right Tidak Tidak

Sejak tahun 2003, masyarakat mulai kehilangan berbagai macam hak, hak untuk mengelola hutan berdasarkan konsep mereka, hak untuk memanfaatkan hasil hutan, bahkan terlarang untuk memotong pohon yang pernah mereka tanam di lahan pekarangan mereka sendiri. Satu-satunya hak yang masih ada adalah hak akses untuk memasuki kawasan hutan karena beberapa masyarakat terlanjur bermukim di lokasi tersebut. Dalam kontek ini, kondisi Masyarakat Kasepuhan menunjukkan bahwa mereka kehilangan berbagai macam hak, walaupun masih ada akses untuk memasuki kawasan tapi sifatnya sangat terbatas. Ketiadaan hak (property right) membuat akses juga terbatas. Konflik menjadi tidak terhindarkan manakala kebijakan perluasan TNGHS tersebut menyebabkan Masyarakat

119 Kasepuhan kehilangan akses terhadap hutan, bahkan masyarakat kehilangan lahan garapan mereka yang berada di dalam kawasan hutan taman nasional. Mereka dilarang untuk mengerjakan lahan pertanian yang sudah lama dimiliki, padahal hutan merupakan sumber livelihood masyarakat tersebut.

Kebijakan perluasan TNGHS dikeluarkan atas pertimbangan adanya kerusakan lingkungan di kawasan tersebut. Selama tahun 1998-2001, hutan alam berkurang 25% atau penurunan sebesar 22 ribu hektar. Penurunan ini diikuti dengan peningkatan semak-semak, ladang dan lahan matang. Namun ternyata hilangnya hak akses masyarakat terhadap pengelolaan kawasan hutan, tidak serta merta memperbaiki kerusakan hutan, bahkan masih terjadi penurunan tutupan lahan setelah tahun 2003 di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak disertai terjadinya peningkatan pada kawasan ladang, kebun campuran, semak- semak termasuk lahan terbangun.

Pada tahun 2004-2007 terjadi penurunan tutupan hutan sebesar 2163,65 ha dan penurunan tutupan semak yang cukup besar yaitu dari 16.386 ha menjadi 7.875,27 ha atau sebesar 8.510,73 ha. Penurunan tutupan hutan dan semak ini diikuti oleh kenaikan pada tutupan kebun campuran seluas 4275,83 ha, tutupan ladang sebesar 2.293 ha, tutupan lahan kosong sebesar 2737 ha dan tutupan lahan terbangun seluas 1970 ha. Selama periode tahun 2007-2008, luas hutan alam di kawasan TNGHS hanya sedikit mengalami penurunan, yaitu sebesar 0,06% atau berkurang sebesar 136,44 ha. Namun terjadi kenaikan yang signifikan untuk luas kebun teh sebesar 1,4%. Kenaikan ini diikuti dengan penurunan luas kebun campuran sebesar 1,5% dan lahan kosong sebesar 1,32%. Selain itu, luas lahan terbangun juga mengalami kenaikan sebesar 0,41%. Lebih jelasnya lihat gambar berikut:

120

Grafik 1. Kondisi Hutan Selama Tahun 1989-2008 (Sumber: BTNGHS, 2010) Masyarakat Kasepuhan tidak dapat menerima begitu saja kebijakan negara tentang perluasan taman nasional. Kebijakan negara tersebut telah menghilangkan hak akses masyarakat terhadap hutan, termasuk hilangnya akses pada lahan garapan yang menjadi sumber livelihood mereka. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan tumbuhnya kesadaran akan kepentingan tujuan bersama di antara Masyarakat Kasepuhan (kelompok kuasi dalam istilah Dahrendorf). Masyarakat Kasepuhan yang tadinya merupakan kelompok kuasi bergeser menjadi "kelompok konflik" yang sesungguhnya. Konflik antara Masyarakat Kasepuhan dan negara (BTNGHS) pun menjadi tidak terhindarkan.

Salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan Masyarakat Kasepuhan adalah tidak mengindahkannya perintah negara untuk penghentian aktivitas di dalam kawasan TNGHS. Rahmawati et al. (2008) menyebutkan bahwa penolakan masyarakat terhadap perluasan TNGHS pada awalnya melahirkan tindakan anarkis berupa pengrusakan beberapa fasilitas di TNGHS oleh masyarakat yang terjadi pada tahun 2003. Camat Cisolok kemudian memfasilitasi penyelesaian konflik tersebut dengan memediasi pertemuan antara masyarakat dengan pihak pengelola kawasan (BTNGHS). Hasil penting dari pertemuan tersebut adalah penanda-tanganan surat pernyataan oleh pihak pengelola kawasan yang berjanji akan merevisi peta kawasan. Meskipun sudah dicapai kesepakatan untuk meninjau ulang peta kawasan namun kesepakatan itu tidak dilaksanakan oleh pihak pengelola kawasan. Kegagalan negosiasi yang difasilitasi oleh camat tersebut semakin memojokkan kondisi Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat berusaha melawan dengan tidak mengindahkan larangan untuk melakukan aktivitas di

0.00 10,000.00 20,000.00 30,000.00 40,000.00 50,000.00 60,000.00 70,000.00 80,000.00 90,000.00 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1997 1998 2001 2003 2004 2007 2008 TAHUN L U A S T U T U PA N (H A ) Hutan Hutan tanaman Kebun campuran Kebun karet Kebun teh Semak Rumput Sawah Ladang Lahan kosong Lahan terbangun Badan air

121 dalam kawasan. Kondisi ini kemudian melahirkan bentrokan antara masyarakat dengan pihak BTNGHS pada tahun 2005. Konflik ini bermula dari penangkapan terhadap warga yang mengambil kayu di dalam kawasan oleh pihak BTNGHS. Alasan penangkapan adalah warga tersebut tidak memiliki surat izin tebang (SIT), sedangkan menurut warga, mereka menebang pohon yang dulu mereka tanam sendiri. Konflik ini akhirnya dapat diselesaikan oleh Kepala Desa Sirna Resmi, namun warga yang menebang pohon di kawasan tersebut tetap dipenjara.

Dengan melihat kasus di atas menunjukkan bahwa konflik terjadi karena ada pemaknaan yang berbeda atas sumberdaya hutan antara negara dan masyarakat adat. Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 24, bahwa pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Menurut UU tersebut bahwa pemanfaatan hutan tidak dapat dilakukan pada kawasan taman nasional khsusnya zona inti dan zona rimba. Sementara dalam konsep Masyarakat Kasepuhan, bahwa dalam pengelolaan hutan memberi ruang bagi masyarakat adat untuk melakukan aktivitas pengelolaan lahan garapan sebagai sumber livelihood mereka. Perbedaan pemaknaan terhadap hutan tersebut membuat terjadinya perbedaan perlakuan terhadap hutan. Hal tersebut menjadi masalah ketika ada tumpang tindih klaim atas kawasan tersebut.

Dari beberapa fakta konflik di kawasan TNGHS, diketahui bahwa kekalahan masyarakat dalam beberapa kejadian tersebut menunjukkan bahwa posisi Masyarakat Kasepuhan sebagai pihak yang tersubordinasi sementara negara pusat (BTNGHS) sebagai pihak yang superordinat. Melalui kebijakan perluasan taman nasional atas nama pelestarian lingkungan inilah negara menguasai (menundukkan) Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat dipaksa untuk menerima kebijakan negara atas alasan keselamatan lingkungan (biodiversity). Sekarang ini, konflik di TNGHS memasuki babak “konflik laten” di ruang wacana, dimana proses negosiasi sedang dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang dapat memberikan keputusan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Hanya saja konsensus tersebut belum dicapai.

122

5.1.b. Kasus Konflik Hutan Sungai Utik: Kebijakan Negara tentang