• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

5.2. d Konflik Livelihood

Konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik disebut juga sebagai konflik livelihood. Konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan tindakan sosial akan sumberdaya hutan yang didasarkan atas kepentingan yang berbeda, dimana masyarakat adat memiliki kepentingan terhadap hutan sebagai sumber livelihood mereka, sedangkan negara memandang hutan dalam kerangka pembangunan nasional. Baik dalam konsep konservasi maupun hutan produksi, negara tidak memberi ruang masyarakat adat untuk membuka lahan garapan pada kawasan hutan bagi kepentingan livelihood masyarakat tersebut.

Dalam kasus TNGHS, konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara negara dan Masyarakat Kasepuhan. Bagi Masyarakat Kasepuhan, hutan memiliki nilai manfaat yang tinggi bagi sumber penghidupan

livelihood mereka, baik memanfaatkan hutan untuk diambil kayunya maupun manfaat dari non kayu termasuk pemanfaatan lahan hutan sebagai lahan garapan pertanian, sumber mata air, maupun sumber obat-obatan. Sekalipun demikian, pemanfaatan hutan oleh Masyarakat Kasepuhan tidaklah semena-mena melainkan didasarkan atas pengetahuan lokal dan aturan-aturan adat Kasepuhan. Misalnya dalam hal pemanfaatan kayu, dalam kelembagaan Kasepuhan pengambilan kayu dibolehkan hanya pada kawasan leuweung garapan dan leuweung cawisan, sementara itu terlarang mengambil kayu pada leuweung titipan dan leuweung tutupan. Selain itu, jika ingin mengambil kayu pada leuweung cawisan (kawasan hutan yang kayunya boleh diambil), ada persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Jika masyarakat akan menebang satu pohon kayu, maka dia terlebih dahulu harus menanam 10 sampai 20 batang pohon kayu tersebut, sesuai syarat yang diberikan oleh abah berdasarkan jenis kayu yang akan diambil.

Dalam kasus TNGHS, negara (BTNGHS) memiliki kepentingan terhadap hutan sebagai hutan konservasi (taman nasional). Kepentingan negara terhadap hutan konservasi tercermin dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 33 bahwa (1) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional; (2) perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional meliputi mengurangi,

143 menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli; (3) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional. Selanjutnya dalam pasal 34 UU Nomor 5 Tahun 1990, menyebutkan bahwa (1) pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah; (2) di dalam zona pemanfaatan taman nasional, dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan; (3) untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional dengan mengikut sertakan rakyat. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tersebut diketahui bahwa hutan dalam konsep taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola oleh pemerintah dengan sistem zonasi, dengan memberi ruang pemanfaatan kawasan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Dalam upaya pemanfaatan inilah diperkenankan untuk melibatkan masyarakat, sementara aktivitas untuk pertanian terlarang di kawasan taman nasional. Pelarangan aktivitas pada kawasan taman nasional tersebut memberi konsekuensi kepada sistem livelihood ditingkat lokal, membuat Masyarakat Kasepuhan kehilangan sumber livelihood mereka.

Konsep hutan menurut taman nasional (negara) jelas berbeda dengan konsep hutan menurut Masyarakat Kasepuhan. Dalam Masyarakat Kasepuhan dikenal

konsep wewengkon leuweung. Konsep tersebut juga sama membagi lokasi

kedalam beberapa zonasi. Hanya saja salah satu zona yang merupakan zona

pemanfaaan (leuweung garapan) memperkenankan adanya kegiatan ekonomi

livelihood masyarakatnya. Konsep hutan menurut Masyarakat Kasepuhan bukan hanya harus dijaga kelestariannya, tetapi hutan juga harus mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. “leuweung hejo masyarakat ngejo” adalah

simbol tujuan Masyarakat Kasepuhan untuk melestarikan hutan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Pada kasus Hutan Sungai Utik, konflik livelihood terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara negara (Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, pengusaha (PT BRW yang mengantongi IUPHHK dan PT. RU yang mengantongi IUP) dan Masyarakat Dayak Iban

144

Sungai Utik. Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, hutan memiliki manfaat sebagai sumber livelihood masyarakatnya, sebagai tempat berburu, tempat mengambil kayu, tempat obat-obatan, penyedia bahan konsumsi, sumber mata air dan hutan cadangan. Sekalipun hutan dianggap sebagai sumber livelihood, namun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak semena-mena memanfaatkan hutannya. Masyarakat mengelola hutan berdasarkan pengetahuan lokal dan aturan-aturan adat. Misalnya dalam hal mengambil kayu, tidak semua tempat boleh diambil

kayunya, hanya pada kawasan kampong galao dan kampong endor kerja kayunya

boleh diambil. Selain pembatasan tempat, juga ada pembatasan jumlah pengambilan kayu yaitu tidak boleh lebih dari 30 pokok kayu dalam satu pengambilan untuk kepentingan rumah dan tidak untuk diperjual belikan. Selain pemanfaatan kayu, hutan juga dimanfaatkan sebagai lahan garapan pertanian atau tempat berladang. Walaupun demikian, masyarakat mengatur mana kawasan yang boleh diladangi, mana yang tidak boleh diladangi. Hanya kawasan kampong endor kerja yang dapat digarap oleh masyarakat sebagai tempat berladang. Konflik terjadi manakala kepentingan negara untuk melestarikan hutan telah menegasikan Masyarakat Kasepuhan dengan kepentingan (livelihood)-nya terhadap hutan.

Dalam kasus Sungai Utik, sikap negara dalam memperlakukan hutan didasarkan atas konsep hutan produksi. Dalam konteks ini, negara (Departemen Kehutanan) memiliki tujuan untuk mengambil manfaat dari hutan bagi pendapatan negara sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan. Negara berafiliasi dengan pengusaha untuk memanfaatan hutan seoptimal mungkin bagi pendapatan negara untuk kepentingan pembangunan yang didasarkan atas tuntutan pasar kapitalis. Selanjutnya peran negara dalam kehutanan di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah Satunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Sesuai pasal 18 PP No. 6 Tahun 2007 tersebut, hutan dapat dimanfaatkan dan bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan kecuali pada kawasan cagar alam, zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Selanjutnya berdasarkan pasal 31 ayat (2) bahwa pemanfaatan hutan pada hutan produksi dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu. Dengan PP Nomor 6 Tahun 2007 tersebut memberi ruang bagi negara

145 untuk memanfaatkan hutan sebesar-besarnya bagi peningkatan ekonomi, sebagai wujud sumbangsih subsektor kehutanan terhadap pembangunan bangsa, yang dinilai berdasarkan berapa besar sumbangan subsektor ini dalam pembangunan nasional, khususnya bagi peningkatan ekonomi.

Bila dilihat dari sudut pandang ekonomi makro, peran subsektor kehutanan secara konvensional ditunjukkan oleh besaran persentase nilai tambah bruto (NTB) yang disumbangkan subsektor ini terhadap total produk domestik bruto (PDB). Dalam penyajian angka PDB Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), subsektor kehutanan hanya mencakup komoditi primer dari kehutanan seperti kayu log, rotan, jasa kehutanan, dan lain-lain. Sementara itu sesuai Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, cakupan binaan oleh Departemen Kehutanan meliputi hasil produk primer kehutanan sampai industri kehutanan seperti industri penggergajian kayu, industri kayu lapis, panel kayu, dan veneer.

Berdasarkan data BPS (2012), bahwa jika dilihat dari data PDB tahun 2000- 2011, PDB subsektor kehutanan menyumbang rata-rata 0,97% (persen) setiap tahunnya terhadap total PDB Indonesia, dengan penurunan setiap tahun. Data di tahun 2011 menunjukkan bahwa sebenarnya nilai PDB subsektor kehutanan lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 51.638,1 milyar rupiah, namun jika dihitung berdasarkan total PDB Indonesia di tahun 2011 yaitu 7.427.086,1 milyar rupiah, maka sumbangan PDB subsektor kehutanan terhadap total PDB hanya 0,70%, jauh lebih kecil dari prosentase sumbangan ditahun-tahun sebelumnya. Lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut:

146

Tabel 10. Kontribusi Subsektor Kehutanan Terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2000-2011

No

Tahun/

Year

Produk Domestik Bruto (PDB)/

Gross Domestic Product (Miliar Rupiah/ Billion Rupiahs)

Kontribusi Subsektor Kehutanan Terhadap PDB Kehutanan/ Forestry Total PDB/ GDP Total Contribution of Forestry Sub Sector To GDP (%) 1 2 3 4 5 1 2000 16.343,0 1.389.769,9 1,18 2 2001 16.962,1 1.646.322,0 1,03 3 2002 17.602,4 1.821.833,0 0,97 4 2003 18.414,6 2.013.674,6 0,91 5 2004 20.290,0 2.295.826,2 0,88 6 2005 22.561,8 2.774.281,1 0,81 7 2006 30.065,7 3.339.216,8 0,90 8 2007 36.154,1 3.950.893,2 0,92 9 2008 40.375,1 4.951.356,7 0,82 10 2009 44.952,1 5.613.441,7 0,80 11 2010 48.050,5 6.422.918,2 0,75 12 2011 51.638,1 7.427.086,1 0,70

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012.

Salah satu sumber pendapatan di sektor kehutanan adalah dari pemanfaatan hasil hutan kayu melalui IUPHHK. Kawasan hutan yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu berupa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) secara keseluruhan sampai dengan oktober 2009 adalah: jumlah IUPHHK-HA (Hutan Alam) sebanyak 299 unit dengan luasan 25.384.650 ha; jumlah IUPHHK-HTI (Hutan Tanaman Industri) sebanyak 211 unit dengan luasan 8.441.976 ha; dan jumlah IUPHHK-HTR (Hutan Tanaman Rakyat) sebanyak 9 unit dengan luas 21.157,35 ha. Sedangkan kawasan hutan yang telah dimanfaatkan untuk izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKM) sebanyak 55 izin dengan luas 7.708,09 ha. (Departemen Kehutanan, 2009). Salah satu kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan IUPHHK adalah Hutan Sungai Utik. Hutan Sungai Utik ini adalah hutan yang masih primer, masih banyak potensi kayu yang ada dikawasan ini. Oleh karena itu, hutan ini menjadi incaran, bukan hanya oleh Departemen Kehutanan (pemerintaah pusat) untuk dijadikan kawasan IUPHHK, tetapi juga incaran pemerintah daerah untuk dijadikan kawasan IUP.

147 Perlakuan masyarakat terhadap hutan berbeda dengan perlakuan negara terhadap hutan. Sikap negara dalam memperlakukan hutan bersifat mendua, tergantung dari kebijakan negara tentang jenis hutan. Dalam kasus TNGHS, sikap negara dalam memperlakukan hutan didasarkan atas konsep pelestarian hutan taman nasional, yang mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sedangkan dalam kasus Hutan Sungai Utik, sikap negara didasarkan pada hutan produksi yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Konflik terjadi manakala kepentingan negara untuk menjadikan hutan sebagai kawasan hutan produksi yang akan dimanfaatkan kayunya melalui perusahaan pemegang IUPHHK bertentangan dengan kepentingan livelihood Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang membatasi pengambilan kayu pada hutannya hanya untuk kepentingan membangun rumah sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan.

Menurut Dahrendorf, konflik terjadi karena masing-masing pihak mengejar kepentingannya. Baik pihak negara selaku pihak yang memiliki kekuasaan akan mengejar kepentingannya, sementara masyarakat adat sebagai pihak yang tidak memiliki kekuasaan juga mengenjar kepentingannya. Padahal, kepentingan kedua pihak ini bertentangan. Itulah yang menjadi sumber konflik. Dalam kasus TNGHS, baik negara maupun Masyarakat Kasepuhan sebenarnya memiliki kepentingan yang sama terhadap hutan yaitu untuk pelestarian hutan. Namun konsep pelestarian negara dan Masyarakat Kasepuhan berbeda. Dalam konsep pelestarian hutan menurut Masyarakat Kasepuhan menyertakan kepentingan

livelihood masyarakatnya. Hutan sebagai sumber livelihood masyarakat dan cadangan bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, tujuan masyarakat melestarikan hutan karena mengemban tugas dari nenek moyang mereka untuk kelangsungan hutan bagi anak cucu mereka kelak di masa datang. Kepentingan kedua kelompok tersebut menjadi bertentangan, karena konsep taman nasional tidak memberi ruang bagi masyarakat untuk menggarap lahan garapannya yang berada dalam kawasan TNGHS. Sementara itu, dalam kasus Hutan Sungai Utik, konflik menjadi tidak terelakkan ketika ada perbedaan kepentingan terhadap hutan. Negara memiliki kepentingan untuk memanfaatkan hasil kayu dari hutan

148

melalui IUPHHK yang diberikan kepada pengusaha, sementara Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki kepentingan untuk melestarikan hutan dan sumber livelihood masyarakatnya. Berdasarkan fakta di atas, dapat dipetakan kepentingan dari masing-masing pihak yang berkonflik di dua lokasi TNGHS dan Sungai Utik sebagai berikut:

Matrik 6. Kepentingan Antar Aktor Dalam Penguasaan Sumberdaya Hutan di TNGHS dan Sungai Utik

TNGHS Hutan Sungai Utik Aktor BTNGHS Masyarakat

Kasepuhan Menteri Kehutanan Masyarakat Dayak Iban Pengusaha Kepentingan Kelestarian hutan (konservasi) Kelestarian hutan dan basis livelihood Potensi ekonomi nasional yang bernilai ekspor (ekonomi kapitalis) Kelestarian hutan dan basis livelihood Keuntungan ekonomi (ekonomi kapitalis)

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa ada perbedaan kepentingan negara dalam konflik di kawasan TNGHS dan Hutan Sungai Utik. Di kawasan TNGHS, kepentingan negara untuk konservasi, sedangkan di Sungai Utik untuk kepentingan ekonomi kapitalis. Adapun masyarakat adat memiliki kepentingan yang sama untuk pelestarian hutan dan basis livelihood masyarakatnya. Baik dalam kasus TNGHS maupun Hutan Sungai Utik, kebijakan negara baik itu untuk

kepentingan konservasi maupun ekonomi kapitalis telah meng“exclude”

masyarakat adat dari tanah/ kawasan/ hutan yang selama ini diklaimnya. Bila melihat kedua gejala di dua lokasi dapat dikatakan bahwa apapun alasannya baik untuk konservasi maupun untuk alasan ekonomi kapitalis, kebijakan negara selalu menegasikan kelembagaan masyarakat adat.