• Tidak ada hasil yang ditemukan

g Dusun-Dusun Di Sekitar Dusun Sungai Utik:

Di sekitar kawasan hutan Sungai Utik terdapat Masyarakat Dayak Iban Ketemenggungan Jalai Lintang, yang terdiri atas: Dusun Sui Utik dan Dusun Kulan yang termasuk wilayah Desa Batu Lintang, Dusun Ungak, Dusun Sungai Teblian dan Dusun Apan yang termasuk dalam wilayah Desa Langen Baru dan Dusun Mungguk dan Dusun Laok Rugun yang masuk ke dalam wilayah administrasi Desa Rantau Perapat. Secara administratif, Dusun Sungai Utik, Kulan, Ungak, Apan, Sungai Teblian, Mungguk dan Laok Rugun masuk kedalam wilayah Kecamatan Embaloh Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat.

Ketujuh dusun di Jalai Lintang tersebut berada di bawah satu Ketemenggungan Jalai Lintang. Setelah ketemenggungan yang dipimpin oleh orang Sui Utik berakhir, kini jabatannya beralih ke Bapak Vincensius Jebang (VJ) yang bertempat tinggal di Dusun Kulan. Temenggung tersebut sebelumnya merupakan Tuai Rumah Dusun Kulan. Seorang temenggung dipilih berdasarkan

cara-cara demokratis oleh seluruh warga Masyarakat Dayak Iban

Ketemenggungan Jalai Lintang. Seseorang dapat diajukan untuk menjadi seorang temenggung dan diakui sebagai pemimpin apabila mereka mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang adat dan tradisi, dan biasanya usianya lebih tua daripada warga lainnya. Seorang temenggung, kekuasaannya mencakup 7 kampung di Jalai Lintang. Selain mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi, temenggung juga mempunyai wewenang yang lebih luas. Seorang

92

temenggung dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh dua orang pateh. Pateh memiliki kekuasaannya setingkat di bawah temenggung. Kewenangan temenggung adalah menyelesaikan perkara adat yang tidak mampu diselesaikan oleh pateh dan tuai rumah. Perkara yang tidak mampu ditangani oleh tuai rumah maka ditangani oleh pateh. Perkara yang tidak mampu ditangani oleh pateh maka diselesaikan oleh Temenggung. Seorang temenggung juga dituntut bersikap jujur,

bijaksana dan tegas, hal serupa juga berlaku bagi patehdantuai rumah.

Temenggung adalah kepala suku yang memimpin Masyarakat Dayak Iban di tujuh dusun, sedangkan yang memimpin Masyarakat Dayak Iban di masing-

masing dusun adalah tuai rumah. Tuai rumah adalah penguasa di rumah panjang.

Tuai rumah inilah yang mengatur dan memimpin masyarakat secara adat tradisi Dayak Iban yang diwariskan dari nenek moyang secara turun temurun. Keadaan jumlah Penduduk saat ini dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 7. Jumlah KK dan Jiwa di Tujuh Dusun Ketemenggungan Jalai Lintang

No Nama Kampung Jumlah KK Jumlah Jiwa

1 Sungai utik 61 251 2 Kulan, 47 271 3 Ungak 35 115 4 Apan, 53 235 5 Sungai Teblian 40 126 6 Mungguk TK TK 7 Lao’ Rugun TK TK

(Sumber: Dokumentasi Tertulis Tiap Dusun, 2012)

Dalam memandang hutan, masyarakat di ketujuh Dusun tersebut relatif mempunyai pengetahuan lokal yang hampir sama tentang konservasi hutan. Ada beberapa wilayah dengan sebutan khas untuk mendefinisikan setiap kawasan pada

Dusun-Dusun tersebut, yaitu: hutan simpan atau rimba galau; tanah mali; pulau

pendam; tembawai; damun. Untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar (kumpang), masyarakat kebanyakan mengambilnya dari tepi Sungai. Selain itu ada juga yang

mengambil dari rimba galau. Sekalipun konsep konservasi pada ketujuh

Kampung tersebut hampir sama, namun tindakan yang dilakukan oleh ketujuh Kampung terhadap hutan mereka berbeda-beda. Dari tujuh komunitas Dayak

Iban, ada beberapa komunitas/ Kampung yang terlibat dalam praktik illegal

93 Mungguk. Adapun Dusun Apan, Laok Ruggun dan Sungai Utik tidak pernah

melakukan kegiatan sawmill (illegal logging).

Ada berbagai perbedaan dan kesamaan dalam karakteristik, persepsi, sikap dan kejadian pada ketujuh dusun dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Perbedaan dan kesamaan ini yang menjadi pembeda karakteristik Dusun Sungai Utik dengan dusun-dusun lainnya. Kesamaannya adalah sama-sama sebagai satu kesatuan Masyarakat Dayak Iban yang memiliki tradisi dan pengetahuan yang sama tentang hidup selaras dengan alam. Kesamaan lain adalah memiliki masalah yang sama yaitu masalah perebutan penguasaan atas sumberdaya hutan baik dengan negara pusat (pemerintah pusat), maupun dengan negara lokal (pemerintah daerah atau pemda); gempuran pengaruh dari pengusaha/ cukong kayu dari Malaysia yang datang menawarkan dollar dan ringgit untuk ditukar dengan kayu. Lebih jelasnya perbedaan dan persamaan kondisi diketujuh Dusun dalam Ketemenggungan Jalai Lintang dapat dikemukakan dalam tabel berikut:

94

Tabel 8. Kondisi Masyarakat di Sekitar Hutan Sungai Utik

DAYAK IBAN

SUNGAI UTIK KULAN/ PULAN SUNGAI TEBLIAN APAN UNGAK MUNGGUK LAO’ RUGUN Mata Pencaharian

(Livelihood) Utama Pertanian padiPerkebunan karet Pertanian padi Perkebunan karet Pertanian padi Perkebunan karet Pertanian padi Perkebunan karet Pertanian padi Perkebunan karet Pertanian padi Perkebunan karet Pertanian padi Perkebunan karet

Merantau Ke Malaysia Sedikit Banyak Banyak Banyak Banyak Sedikit Sedikit

Zonasi Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada

Hukum Adat Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada

Pengelolaan Hutan Lestari Pernah

Illegal logging

Pernah

Illegal logging PernahIllegal logging

Pernah Illegal logging

Pernah

Illegal logging Lestari Luas Hutan 6.856,77 ha 6,016.89 ha 2,640.11 ha 165.36 ha 1,048.50 ha Tk Tk

Luas Kerusakan Hutan - 100 ha 100 ha 100 ha 100 ha 6000 ha -

Lahan Kritis/ Damon/

Damun 2,370.75 ha 1,381.18 ha 1,951.86 ha 943.06 ha 1,246.60 ha Tk Tk

Kepala Suku Ada Ada Merantau Ada Ada Ada Ada

Modal Sosial Kuat Lemah Lemah Lemah Lemah Kuat Kuat

Sistem Ketahanan

Pangan Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada

Ritual Adat bercampur

agama Adat bercampur agama

Adat tidak

kental Agama lebih dominan Adat lebih dominan Adat murni Adat lebih dominan Sumber: Dokumentasi Tertulis Desa Batu Lintang, Desa Langen Baru, Desa Rantau Prapat, Dokumentasi Tertulis Tiap Dusun dan

hasil wawancara Tahun 2012. Keterangan; TK = tidak diketahui

95 Masalah terkini yang sedang dihadapi oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan dusun-dusun lainnya dalam Ketemenggungan Jalai Lintang adalah menghaddapi kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu yang menerbitkan izin usaha perkebunan (IUP) untuk PT. RU berdasarkan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin Lokasi untuk Perkebunan Karet Seluar 14.000 Ha di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, yang kemudian dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan Surat Bupati Nomor 525/032/DKH/BPT-A tentang Persetujuan IUP Perubahan dari Karet Menjadi Kelapa Sawit tanggal 10 januari 2011. Keberadaan kebijakan pemerintah tersebut telah memberi tekanan (konflik) pada Masyarakat Dayak Iban Jalai Lintang dan Dayak Embaloh Hulu.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kapuas Hulu, Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu (Putussibau) melihat wilayah Sungai Utik dan Kecamatan Embaloh Hulu sebagai suatu peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan peningkatan pendapatan masyarakat. Dalam pertimbangannya, apabila wilayah tersebut dibangun melalui dana pemerintah maka pemerintah tidak akan sanggup. Oleh karena itu

Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu mencoba mendatangkan investor

untuk memanfaatkan kawasan di wilayahnya dengan harapan adanya keuntungan berlipat, seperti dibangunnya infrastruktur jalan, masuknya pendapatan ke kas daerah, tersedianya lapangan pekerjaan, tumbuhnya ekonomi lokal di sekitar kawasan. Atas dasar pertimbangan tersebut, dikeluarkan kebijakan pemberian izin (IUP) untuk mengkonversi lahan hutan menjadi kebun karet dan kebun sawit.

Pemikiran Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu tersebut tidak sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh masyarakatnya. Ada kekhawatiran di kalangan masyarakat bahwa jika lahan ladang masyarakat digunakan sebagai kebun sawit, maka masyarakat akan kehilangan lahan garapannya, dan terjadinya perubahan mata pencaharian dari petani karet menjadi buruh kasar di kebun sawit. Sementara itu, bekerja di kebun sawit membutuhkan intensitas kerja tinggi, padahal pengalaman kerja di kebun karet itu sangat santai, sehingga mereka khawatir tidak akan memperoleh hasil yang optimal. Hal tersebut menjadi salah satu pemikiran masyarakat untuk menolak kebijakan perkebunan sawit yang

96

direncanakan oleh pemerintah daerah. Pemikiran masyarakat tersebut menjadi sangat beralasan, manakala pengusaha hanya menawarkan harga tanah yang sangat rendah untuk mengganti lahan kebun karet milik masyarakat yang akan dijadikan sebagai kebun sawit. Tanah kebun karet warga dihargai Rp. 500.000,- per hektar, sedangkan tanah ladang padi dihargai Rp. 200.000 per ha. Rendahnya penggantian tanah tersebut tentu saja menimbulkan reaksi yang cukup keras dari masyarakat. Masyarakat yang tergabung dalam Ketemenggungan Jalai Lintang bersatu dan mengadakan sumpah beras kuning untuk melakukan penolakan terhadap perkebunan sawit.

Selain kekhawatiran karena kehilangan lahan garapan, juga ada kekhawatiran kehilangan sumber pendapatan. Jika kawasan karet masyarakat tersebut dirubah menjadi kawasan sawit, ada kekhawatiran dari masyarakat mengenai kehidupan mereka kelak. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan mereka kepada hasil tani dan hasil karet. Hasil pertanian padi baik sawah maupun ladang yang mereka peroleh hanya cukup untuk kebutuhan makan/ beras bagi keluarga mereka sendiri. Sedangkan kebutuhan lain-lainnya bertumpu pada hasil perkebunan karet. Dari hasil menoreh 100 batang pohon karet per hari dapat menghasilkan 3-5 kg karet, dengan harga karet paling murah Rp. 12.000,- dan paling mahal bisa sampai Rp. 19.000 per kg, sehingga rata-rata per hari pendapatan masyarakat yang hanya mampu menoreh karet 100 pohon per hari paling rendah akan memperoleh pendapatan sebesar Rp. 36.000,- dan paling tinggi akan memperoleh pendapatan Rp. 95.000,-.sebagai contoh keluarga Pak RM memiliki 5000 pohon karet, namun kemampuan menyadap karet perorang per hari sangat terbatas, paling banyak hanya bisa mencapai angka 500 pohon perhari. Keluarga rm pernah menyadap karet selama satu minggu (6 hari) mendapat 6 karung karet @ 50 kg, sehingga hasilnya sekitar 300 kg. Pada waktu itu harganya Rp. 19.000 per kg, sehingga dalam seminggu dapat hampir Rp. 5.700.000,-.

Berkenaan dengan kebijakan pemerintah daerah tentang penerbitan IUP untuk perkebunan sawit terssebut telah menimbulkan reaksi yang beragam dikalangan Masyarakat Dayak Iban dalam Ketemenggungan Jalai Lintang, termasuk Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Sekalipun menurut keterangan

97 beberapa pihak, Hutan Sungai Utik akan dikecualikan/ dikeluarkan dari kawasan rencana perkebunan sawit, karena Sungai Utik sudah memiliki sertifikat ekolabeling dan penerima penghargaan sebagai “desa teladan perduli hutan”. Namun kondisi hutan yang berdekatan, setidaknya akan mendapat pengaruh langsung dari keberadaan perkebunan sawit bagi kebun karet milik warga. Oleh karena kebijakan pemerintah daerah tersebut menjadi sumber masalah baru dalam konflik sumberdaya hutan. Adapun sikap masyarakat dalam menanggapi permasalahan ‘sawit” ini terbagi dalam tiga sikap, yaitu:

1. Kekhawatiran Masyarakat Dayak Iban lebih didominasi karena faktor

ekonomi, yaitu untuk keberlanjutan kehidupan mata pencaharian dan pendapatan mereka, sehingga keberadaan sawit dipandang merugikan untuk daerah-daerah yang kebetulan masyarakatnya memiliki pohon karet paling sedikit 500 pohon setiap rumahnya, seperti di Dusun Mungguk, Laok Rugun dan Sungai Teblian. Namun ketika “sawit” dipandang lebih menguntungkan,

masyarakat memilih untuk menerima sawit karena “sawit” dapat memberikan

alternatif mata pencaharian, disamping keberadaan sawit akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut dengan dibangunnya berbagai infrastruktur termasuk jalan. Sikap ini ditunjukkan oleh Masyarakat Dusun Ungak. Adapun dusun apan masih bersikap menunggu contoh keberhasilan sawit di tempat lain. Jika menguntungkan, masyarakat bersedia merubah lahannya menjadi perkebunan sawit.

2. Sikap masyarakat yang kedua adalah dilandasi karenapertimbangan ekonomi

dan lingkungan, dimana selain pertimbangan faktor mata pencaharian dan terambilnya lahan, juga mereka sudah mulai memikirkan lingkungan. Berdasarkan pengetahuan masyarakat bahwa tanaman sawit dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, karena “sawit” tidak memberi peluang untuk hidup tanaman lain, disamping berbagai zat kimia yang digunakan baik dari penggunaan pupuk atau obat-obatan akan menyebabkan kerusakan lingkungan dari limbah buangannya.

3. Sikap yang ketiga ditunjukkan oleh Masyarakat Sungai Utik dimana

pertimbangan utama yang mereka kemukakan untuk menerima dan menolak “sawit” adalah karena faktor bahaya lingkungan. Seringnya Masyarakat

98

Sungai Utik mengikuti berbagai macam lokakarya yang terkait dengan lingkungan membuat pemahaman mereka tentang pentingnya lingkungan jauh lebih baik dibandingkan dengan masyarakat dusun lain.

Sekalipun Ketemenggungan Jalai Lintang sudah menolak “perkebunan

sawit” dengan sumpah beras kuning, namun beberapa masyarakat memutuskan untuk menerima rencana pemerintah untuk membangun perkebunan sawit seperti yang terjadi di Dusun Ungak. Karena suara terbanyak memutuskan menerima “perkebunan sawit”, maka tuai rumah mengikuti keputusan masyarakat. Suara masyarakat mayoritas akhirnya yang menentukan. Namun demikian, keputusan ini bertentangan dengan keputusan ketemenggungan, sehingga di kalangan Masyarakat Dayak Iban di tujuh dusun dalam Ketemenggungan Jalai Lintang telah terjadi saling mencurigai (konflik laten antar dusun).

Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Masyarakat dapat diketahui bahwa ada kesamaan dan perbedaan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan Masyarakat Dayak Iban di dusun-dusun lain dalam Ketemenggungan Jalai Lintang. Berdasarkan perbandingan dengan Dusun-Dusun lain dapat dikatakan bahwa Sungai Utik mempunyai kekhasan yaitu sekalipun mengalami masalah yang sama, namun sikap yang ditunjukkan oleh Masyarakat Sungai Utik berbeda. Masyarakat tetap berusaha mempertahankan hutannya sekalipun sikapnya tersebut membawa Sungai Utik berkonflik dengan berbagai pihak.

4.3. Perbandingan TNGHS dan Sungai Utik (Analisis Fisik, Sosial, Politik)