• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ada banyak definisi mengenai konflik, namun dalam konteks ini, konflik akan didefinisikan sebagaimana dikemukakan oleh Coser dan Larsen (1976) dalam Harskamp (1996), yaitu sebagai salah satu stimulus utama dalam penajaman dan pengembangan pengetahuan mengenai struktur-struktur dan tindakan sosial. Mengingat konflik yang dimaksud dalam disertasi ini melibatkan antara masyarakat adat dan negara, maka konflik yang dimaksud adalah konflik sosial yaitu sebuah perjuangan atas nilai-nilai dan klaim-klaim atas status kekuasaan dan sumberdaya yang dapat memenuhi fungsi positif. Konflik dapat meningkatkan adaptasi penyesuaian hubungan sosial atau kelompok-kelompok (lihat Coser, 1964 dan Stefen, 1994 dalam Harskamp, 1996). Berdasarkan definisi konflik tersebut, maka konflik dapat dikatakan sebagai perjuangan atas nilai dan klaim atas kekuasaan (otoritas). Dalam konteks perebutan sumberdaya hutan, konflik dapat didefinisikan sebagai perjuangan atas kontrol terhadap sumberdaya hutan dan klaim atas kepemilikan atau hak penguasaan lahan kawasan hutan.

Dalam setiap konflik sosial yang diakibatkan karena perebutan sumberdaya, selalu melibatkan adanya peran aturan kelembagaan sebagai sumberdaya strategis, khususnya terjadi dalam konflik distribusi (lihat Knight, 1992). Dalam konteks ini, dimungkinkan untuk melihat efek dari mekanisme penegakan kelembagaan yang mendasari terjadinya perubahan desain kelembagaan sebagai respon terjadinya konflik. Perubahan kelembagaan tersebut terjadi karena beberapa aktor sosial bergantung pada aturan informal, namun bisa jadi aktor-aktor tersebut berpaling kepada kelembagaan negara untuk memperkuat kepentingan mereka.

31 Penyebab konflik sumberdaya antara masyarakat dan negara bisa berasal dari berbagai faktor, salah satunya adalah adanya perubahan kelembagaan yang dibuat negara yang secara langsung atau tidak langsung berbenturan dengan kelembagaan adat. Knight (1992) lebih lanjut menjelaskan bahwa setelah negara menjadi titik fokus untuk konflik atas perubahan kelembagaan, lembaga-lembaga negara menjadi sumber konflik baru. Hal tersebut terjadi karena lembaga-lembaga negara tersebut terlibat dalam persaingan otoritas dalam membuat kelembagaan/ aturan negara, dimana aturan negara disusun berdasarkan atas persaingan politik yang mempengaruhi distribusi otoritas dalam pengambilan keputusan negara. Sumber konflik baru ini secara signifikan dapat menyulitkan tawar menawar yang mendasari atas perubahan kelembagaan.

Selanjutnya Knight (1992) menjelaskan bahwa konflik atas perubahan kelembagaan formal sebagian bergantung pada konflik atas lembaga-lembaga politik. Hal tersebut akan menjadi masalah diantara aktor-aktor yang berkonflik karena adanya ketidak-pastian tentang masa depan kelembagaan, yang secara signifikan dapat mempengaruhi keuntungan kelembagaan di arena politik. Jika ketidak-pastian politik tinggi, maka aktor-aktor strategis akan dihadapkan pada dua pilihan, yaitu disatu sisi dituntut untuk merancang pengaturan kelembagaan yang meminimalkan efek distribusi harapan, sementara disisi lain harus dapat merancang kelembagaan yang dapat dengan mudah dirubah.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai definisi konflik dan penyebab konflik dapat dikatakan bahwa konflik sumberdaya hutan terjadi karena adanya benturan kelembagaan hutan yang dirancang oleh negara dengan kelembagaan masyarakat yang sudah ada sejak lama. Benturan terjadi karena kelembagaan negara tidak murni mencerminkan kepentingan negara untuk mensejahterakan masyarakatnya, melainkan ada kepentingan-kepentingan lain (ekonomi global dan politik), dimana kelembagaan negara merupakan hasil dari perebutan otoritas antara aktor negara dan lembaga-lembaga politik.

Dalam pengaturan kelembagaan atas sumberdaya hutan, bukan hanya mencerminkan tarik menarik kepentingan antara berbagai lembaga negara, kepentingan sosial, ekonomi maupun kepentingan politik, tidak jarang juga melibatkan adanya perebutan kepentingan negara dan aktor ekonomi. Analisis

32

North (1981) mengenai konflik antara negara dan pemilik sumberdaya ekonomi, menunjukkan bahwa keduanya memiliki kepentingan yang sama terhadap hak milik masyarakat. aktor-aktor ekonomi ingin menetapkan hak-hak yang memberikan keuntungan distribusi dalam interaksi ekonomi. aktor negara ingin menetapkan hak-hak yang memantapkan kepentingan negara, yaitu kepentingan pendapatan ekonomi dan kepentingan politik dalam mempertahankan tingkat pertumbuhan agregat untuk memuaskan para aktor sosial dalam rangka mempertahankan kekuasaan. Analisis North lebih lanjut menjelaskan bahwa kepentingan negara dapat meningkatkan inefisiensi lembaga sosial. Pada kenyataannya, ada banyak situasi di mana kepentingan negara akan menciptakan aturan kelembagaan yang lebih efisien dibandingkan yang diinginkan oleh pelaku swasta.

Menurut Knight (1992) bahwa ada dua kasus di mana negara dapat memilih sebuah lembaga yang lebih efisien secara sosial. Pertama, aktor negara secara langsung dipengaruhi oleh konsekuensi dari aturan tersebut dan akan mendapatkan keuntungan material dari aturan sosial yang lebih efisien. Kedua, negara dapat memilih sebuah lembaga sosial yang lebih efisien jika aktor negara secara tidak langsung dipengaruhi oleh aturan tersebut yang memberikan efek pada mereka untuk tetap berkuasa dan mereka akan mendapatkan keuntungan politis dari aturan yang lebih menguntungkan secara sosial. Penjelasan Knight tersebut menunjukkan bahwa konflik yang melibatkan negara dan masyarakat setidaknya disebabkan karena adanya perubahan kelembagaan yang secara langsung mempengaruhi distribusi akses sumberdaya masyarakat atau berbenturan dengan kelembagaan masyarakat. Keputusan untuk memilih kelembagaan seperti apa yang akan diputuskan oleh aktor-aktor negara sangat terkait dengan berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik dari aktor-aktor yang berkuasa atau kepentingan ekonomi bagi masuknya pendapatan negara atau aktor-aktor negara.

Kentalnya kepentingan politik dan ekonomi global dalam kelembagaan pengaturan hutan telah menyebabkan hutan menjadi sumber konflik. Meskipun pengelolaan hutan selalu mengandung prinsip-prinsip peningkatan kesejahteraan dan kelestarian hutan, namun fakta sepanjang sejarah pengurusan dan pengelolaannya menunjukkan bahwa hutan hanya meningkatkan kesejahteraan

33 sekelompok kecil masyarakat melalui mekanisme politik kekuasaan yang berorientasi pada kepentingan segelintir elit politik dan komunitas pemilik modal. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Iskandar dan Nugraha (2004) bahwa sistem pengelolaan hutan yang hanya bertumpu pada kepentingan politik yang berorientasi pada kekuasaan justru telah menyengsarakan sebagian besar masyarakat melalui sistem pengelolaan hutan yang sarat praktek kolusi, korupsi dan nepotisme sekaligus mengabaikan terhadap prinsip kelestarian hutan, sehingga menimbulkan terjadinya berbagai bencana, antara lain: bencana banjir dan tanah longsor di musim hujan maupun bencana kekeringan di musim kemarau.

Apa yang dikemukakan oleh Iskandar dan Nugraha (2004) tersebut juga menunjukkan bahwa konflik sumberdaya hutan membawa dampak pada kerusakan hutan dan terjadinya berbagai bencana. Di beberapa kawasan hutan ditemukan hutan yang mengalami tingkat kerusakan yang sangat tinggi dimana adanya dominasi yang dilakukan oleh penguasa (baik negara maupun pengusaha) yang melibatkan masyarakat lokal (adat) dalam kegiatan ekploitasi hutan. Woodhouse (1972) sudah memperingatkan bahwa ketika manusia mulai menggunakan segala cara untuk mencapai kesejahteraan, dengan alasan untuk kepentingan pembangunan, manusia mulai mengekploitasi sumberdaya alam. Berbagai kekayaan yang terkandung di darat dan di laut diekploitasi sebesar- besarnya untuk kepentingan manusia mencapai kehidupan yang lebih baik sebagai tujuan dari pembangunan.

Ketika hutan menjadi sebuah komoditas dimana pengusaha dan negara menjadi aktor utama dalam mengekploitasi hutan, masyarakat lokal yang sebelumnya bekerja untuk menjaga kelestarian hutan melalui kelembagaan adatnya, mulai berubah dan turut berpartisipasi dalam kerusakan hutan tersebut, dengan menjadi pekerja dari para pengusaha. Seperti yang ditemukan dalam studinya McCarthy bahwa dalam kegiatan pengrusakan hutan tersebut terutama kasus pembalakan liar melibatkan keberadaan masyarakat lokal (indigineous people). Masyarakat lokal terlibat dalam pembalakan liar biasanya dibayar untuk kontribusi kerja mereka dan bukan sebagai fungsi dari nilai pasar kayu (McCarthy, 2000a dalam Yonariza dan Webb, 2007). Berdaasarkan penjelasan

34

tersebut dapat dikatakan bahwa perubahan kelembagaan dalam pengaturan hutan dapat menimbulkan dua sebab, yaitu kerusakan hutan disatu sisi dan perubahan kelembagaan dan organisasi sosial disisi yang lain.