ladang dan sawah. Pertanian pola Kasepuhan didasarkan pada pengetahuan turun- temurun tentang metode pertanian yang mengandalkan keberadaan kepercayaan terhadap alam. Luas penguasaan lahan masyarakat sulit untuk diukur, karena masyarakat setempat memiliki pengukuran sendiri, seperti untuk lahan pertanian mereka menggunakan jumlah benih sebagai pengukuran atau produksi padi. Sementara itu, untuk halaman atau taman, tidak ada pengukuran untuk perbandingan di semua unit.
Dalam hal bekerja pada pertanian padi, posisi pria dan wanita (suami dan istri) seimbang, mereka bekerja sama, ada bagian yang harus dilakukan oleh laki- laki dan ada bagian yang harus dilakukan oleh perempuan. Sebagai contoh dalam
kasus "ngasek" (membuat lubang di tanah), tugas laki-laki adalah untuk membuat
lubang di tanah, maka perempuan menempatkan benih padi ke dalam lubang. Masyarakat Kasepuhan menanam padi lokal bernama Pare Ageung. Mereka mengenal lebih dari 100 jenis padi. Namun umumnya orang menggunakan sekitar
50 spesies. Selanjutnya Abah Asep menjelaskan bahwa ‘Padi paling unggul
Ada dua jenis petani, sebagai pemilik (petani) dan sebagai pekerja (buruh). Sebenarnya, para buruh memiliki tanah ladang, namun luas tanahnya sangat kecil, maka mereka menjadi pekerja di tanah orang lain setelah mereka selesai mengerjakan tanah mereka sendiri. Gaji sebagai pekerja (buruh tani) diatur oleh sistem 05:01. Ini berarti bahwa pemilik mendapatkan 80% dan pekerja mendapatkan 20% dari hasil padi. sedangkan jika membayar secara tunai, kurang lebih sebesar Rp. 30.000 per hari, sejak jam 08:00 AM sampai 15:00 WIB.
70
adalah Sri Kuning, bijinya banyak, namun rasanya kurang puleun (kurang enak).
Jenis padi cere mempunyai biji kecil-kecil tapi rasanya puleun (enak)”.
Berdasarkan penjelasan Abah Asep diketahui bahwa Masyarakat Kasepuhan mengembangkan beragam jenis padi lokal.
Dalam hal pertanian, Masyarakat Kasepuhan memiliki prinsip: “saeutik
mahi loba nyesa” (sedikit cukup banyak bersisa). Hal inilah yang mendasari pola pertanian Kasepuhan yang tidak mengejar produktivitas melainkan keselarasan hidup dengan alam. Sehingga aktivitas pertanian masyarakat diusahakan tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu, ada banyak larangan yang dibuat oleh Kasepuhan dalam menjalankan usaha pertaniannya, salah satunya adalah dilarang menggunakan pupuk kimia atau pestisida.
Konsep pertanian yang dijalankan oleh Masyarakat Kasepuhan, tentu berbeda dengan konsep pertanian modern. Prinsip pertanian modern adalah pada pencapaian produktivitas yang tinggi dari lahan pertanian. Jika memungkinkan untuk menanam padi yang dapat dipanen dalam waktu 3-4 bulan, sehingga lahan sawah dapat ditanami selama 2-3 kali dalam setahun. Konsep ini menjadi kebijakan pertanian Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan produksi pertanian melalui program intensifikasi.
Seiring dengan adanya introduksi pertanian modern dari negara, telah terjadi perubahan pola pertanian pada Masyarakat Kasepuhan. Kebijakan negara tentang pertanian pada masa revolusi hijau telah menyebabkan masyarakat melakukan pelanggaran atas tradisi budayanya. Penggunaan jenis padi hibrida, pupuk kimia Sebagaimana yang disampaikan oleh Abah Asep di Kasepuhan Sinar Resmi, bahwa: “Pada zaman Aki Harjo, ada 113 jenis padi lokal, namun sejalan dengan perkembangan zaman, sekarang hanya tingal 46 jenis yang dibudidayakan oleh Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Adapun jenis-jenis padi tersebut antara lain: (1) Padi Raja Denok, (2) Padi Raja wesi, (3) Padi Sri Kuning, (4) Padi Sri Maki, (5) Padi Nemol, (6) Padi Angsana, (7) PadiTampey, (8) Padi Terong, (9) Padi Jambu, (10)Padi Rogol Beureum, (11) Padi Rogol Bodas, (12) Padi Beureum Beunying, (13) Padi Kewal, (14)Padi Peuteuy, (15) Padi Gadog, (16) Padi Maringgeung, (17) Padi Kadut, (18) Padi Harawa Benter, (19) Padi Hawara Nani, (20) Padi Hawara Jeuni, (21) Padi Cere Geulas, (22) Padi Cere Layaung, (23) Padi Cere Kawat, (24) Padi Cere Marilen, (25) Padi Cere Uni, (26) Padi Cere Murag, (27) Padi Ketan Beledug, (28) Padi Ketan Cikur, (29) Padi Ketan Rante, (30) Padi Ketan Lepo, (31) Padi Ketan Bogor, (32) Padi Ketan Hideung. Di sawah abah sendiri hanya mengembangkan beberapa jenis padi saja, antara lain: (1) Padi Sri Kuning, (2) Padi Raja Denok, (3) Padi Nemol, (4) Padi Angsana, (5) Padi Rogol, (6) Padi Ketan Beledug, (7) Padi Ketan Cikur, (8) Padi Cere Layung, (9) Padi Cere Gelas, (10) Padi Cere Marilen, (11) Padi Cere Uni”.
71 termasuk menjual hasil padi yang tadinya dilarang oleh Kasepuhan menjadi dilanggar oleh beberapa orang masyarakat.
Dari hasil perbandingan antara pengetahuan pertanian yang diintrodusir oleh pemerintah baik dalam hal penggunaan bibit padi maupun pupuk kimia sampai pada pola tanam satu tahun dua kali telah membuktikan bahwa pengetahuan lokal lebih unggul dibandingkan dengan pengetahuan pemerintah. Sekalipun jumlah produksi padi hibrida dan penggunaan pupuk kimia membuat produksi lebih banyak dibandingkan dengan padi lokal, namun karena tidak tahan lama dan terpaksa dijual, membuat keberadaan padi tersebut tidak cukup untuk mendukung hidup petani sampai panen berikutnya. Oleh karena itu, masyarakat kembali menggunakan cara-cara lokal. Sebagaimana yang dituturkan oleh Abah Asep lebih lanjut:
“Dulu pada tahun 1971, awalnya melalui Koperasi Unit Desa (KUD) pemerintah bukan hanya mengarahkan masyarakat menanam jenis padi hibrida, melainkan juga memberikan subsidi pupuk kimia (PSP dan Urea), selanjutnya membuat demplot percobaan”. Keberadaan pupuk kimia tersebut jelas bertentangan dengan kebiasaan Masyarakat Kasepuhan yang mengharuskan penggunaan pupuk organik. Dilihat dari aspek, dulu waktu menggunakan pupuk organik, 1 (satu) hektar sawah menghasilkan 4 ton, sedangkan setelah menggunakan pupuk kimia 1 (satu) hektar menghasilkan 4,5 ton. Namun dari sisi ketahanan, padi yang menggunakan pupuk kimia hanya bertahan 3 tahun, sedangkan padi yang menggunakan pupuk organik bisa bertahan sampai 5 tahun. Karena padi pemerintah tidak tahan lama, sehingga masyarakat terpaksa menjual padi tersebut, melanggar aturan adat yang melarang menjual padi. Akibatnya padi tidak cukup untuk biaya hidup dalam satu tahun sampai panen berikutnya”.
Seperti yang dijelaskan oleh Abah Asep bahwa “Pada tahun 1977, pada zaman revolusi hijau, pada zaman Kasepuhan masih dipegang oleh Abah Harjo, pemerintah menerapkan program komoditi unggulan, dengan mengarahkan masyarakat untuk menanam padi unggul yaitu PW5, PW8. Padi ini memiliki pola tanam satu tahun 2 (dua) kali. Hal ini bertentangan dengan pola tanam Masyarakat Kasepuhan yang memiliki pola tanam satu tahun satu kali. Masyarakat sebagian ada yang mengikuti anjuran pemerintah, namun sebagian lagi, khususnya dalam lingkaran adat kasepuhan tetap bertahan dengan menanam padi lokal. Abah Harjo bilang ingin tahu ditandingkan antara padi lokal dengan padi pemerintah, mana yang paling bagus. Ternyata padi pemerintah dalam hal produksi lebih unggul, lebih banyak namun tidak tahan lama. Baru 2 (dua) tahun disimpan di lumbung, padi pemerintah sudah lapuk, sementara padi lokal dari jumlah produksi memang lebih sedikit karena hanya panen satu kali dalam satu tahun, namun bijinya lebih berat, nilai kandungan gizinya lebih banyak dan ketahanannya lebih lama, bisa bertahan sampai 5 (lima) tahun”.
72
Dalam pengelolaan lahan untuk pertanian, sangat terlihat bagaimana Masyarakat Kasepuhan menghargai alam. Alam ditempatkan sebagai faktor penting dalam kehidupan manusia. Konsep Ibu Bumi, Bapak Langit dan Guru Mangsa mengajarkan bagaimana Masyarakat Kasepuhan mengerjakan tanah dan mengolah lahan untuk pertanian. Sebagaimana dikemukakan oleh Rahmawati (2012), bahwa:
“In general, Kasepuhan Community is still maintaining traditional farming methods. They work the land and plant it once a year. They do it for the sake of respect to Mother Earth. "You could not force mother for giving birth twice a year”. This earth is an organism. Therefore, the tradition teaches agricultural rites. Prior to cultivate the land, they do a ceremony. According to their beliefs, before they cultivate the land, they need to get permission from the ancestor, because this earth is an organism that has been contaminated. That is what they do.”
Masyarakat menanam padi hanya satu kali dalam satu tahun. Hal tersebut dilakukan untuk kepentingan terhadap Ibu bumi. Ibu bumi yaitu Dewi Sri (Dewi padi). Konsep Ibu bumi adalah penghormatan terhadap padi. Padi dalam konsep Kasepuhan dimaknai sebagai Dewi Sri, sehingga mulai dari tanam sampai panen, memasak dan memakannya menggunakan tata cara penghormatan tertentu.
Ada banyak upacara adat yang berhubungan dengan pertanian padi. Upacara adat diawali dari pertanian huma baru diikuti oleh pertanian sawah. Misalnya
mipit (panen) pertama di huma, melak (menanam) padi pertama di huma,
begitupun dengan ngasek (melobangi tanah) dilakukan untuk pertama kalinya di
huma, baru diikuti oleh kegiatan pertanian di sawah. Adapun upacara-upacara ritual yang mengiringi sejumlah aktivitas pertanian, sebagai berikut:
1. Ngored (mensiangi rumput)
2. Ngasek (melobangi tanah) dilanjutkan dengan melak (menanam padi) 3. Sapangjadian (1 minggu setelah ngasek)
4. Selametan Pare Nyiram (mulain tumbuh buah) 5. Mipit (panen)
6. Seren Tahun (upacara adat setelah selesai panen) tujuannya adalah untuk
ngampihkeun pare ka leuit (menyimpan padi pertama ke lumbung). Seren
tahun dilakukan pada hari Jum’at, Sabtu dan Minggu tiga hari secara berturut-
73 incu-putu kepada abah dan uang sebesar Rp. 100,- sebagai simbol kepengikutan incu-putu tersebut.
7. Rosulan (hari Senin) dilakukan setelah seren tahun tujuannya adalah bersyukur karena telah mengalami serangkaian kegiatan pertanian sampai
tuntas. Jika seren tahun terbuka untuk umum, maka rosulan hanya dilakukan
oleh keluarga dalam Kasepuhan saja.
Konsep “Bapak langit” menunjukkan adanya pengetahuan lokal yang didasarkan pada peristiwa alam semesta (langit) dalam hal pengolahan lahan pertanian, yaitu dalam menentukan waktu untuk bekerja pada lahan dengan melihat bintang-bintang Kerti dan Kidang. Kerti dan Kidang adalah rasi bintang
yang dilihat di langit pada malam hari. Kerti adalah bintang ngaronyok (kumpulan
bintang), Kidang adalah bintang waluku/ nu tilu (bintang yang berbentuk seperti
layang-layang). Dalam menentukan tanggal untuk kegiatan pertanian, digunakan
hukum alam. “Ketika sudah timbul kerti maka guru mangsa untuk turun besi”
(menyiapkan pakarang/ alat-alat pertanian), “Ketika timbul kidang guru mangsa
untuk turun kujang nibakeun sri ka bumi“ (waktunya untuk menanam padi), karena dianggap tanah sudah dingin. Penerapan hukum-hukum alam Kerti dan Kidang adalah sebagai berikut: Ketika bintang Kerti terlihat, masyarakat harus turun besi, maka mereka harus sudah mempersiapkan peralatan; ketika Kidang telah muncul, petani diperbolehkan untuk turun ke ladang atau untuk bekerja pada lahan pertanian.
Guru Mangsa berarti bahwa mereka mempelajari alam semesta dalam hal menentukan waktu untuk mulai tanam atau tidak. Tujuan dari pengetahuan ini
adalah untuk bersaing dengan makhluk lain, untuk “ngudag akuan” (mengejar
hak atas tanah). Bintang Kerti menjadi tanda awal untuk bekerja di darat. Meskipun hujan tidak turun lagi, mereka masih menanam sesuai dengan tradisi. Pada bulan September sampai April, tanah adalah hak petani, sementara itu, pada bulan Mei hingga Agustus, itu adalah hak makhluk lainnya, seperti serangga dan lain-lain (itu tidak boleh disebut). Setelah menanam padi, lahan pertanian dipagar dengan ajian (doa): ”Ulah arek comokot kana tetendenan aing, ulah herey, ulah bader (jangan mengambil simpanan aku, jangan main-main, jangan nakal)”. Di
74
bulan Mei-Agustus selain menanam padi, masyarakat diperbolehkan untuk menanam tanaman yang lain (tumpang sari) seperti tanaman palawija.
Sampai saat ini, konsep “ibu bumi, bapak langit dan guru mangsa” masih
digunakan oleh Masyarakat Kasepuhan. Pengetahuan mereka datang dari alam. Kerti dan Kidang adalah jenis bintang. Mereka digunakan sebagai tanda untuk memulai bertani. Tetapi orang yang memutuskan untuk memulai itu adalah abah. Ketika Kerti dan Kidang tidak muncul (tidak terlihat), maka abah akan mengambil keputusan berdasarkan "wangsit".
Ukuran produktivitas pertanian dalam Masyarakat Kasepuhan berbeda dengan ukuran produktivitas menurut negara atau menurut konsep umum. Dalam
Masyarakat Kasepuhan dikenal adanya konsep hidup: “beuteung seubeuh, imah
pageuh, baju weuteuh, pamajikan reuneuh” (perut kenyang, rumah kokoh, baju baru/ bagus, istri hamil). Hal tersebut bermakna bahwa tujuan hidup Masyarakat Kasepuhan adalah “perut kenyang, rumah kokoh, baju baru dan istri hamil”. Ini bermakna bahwa produktivitas hanya sebatas perut kenyang. Batasannya adalah bisa makan setiap hari sampai panen berikutnya. Selanjutnya rumah kokoh adalah memiliki rumah yang layak menurut konsep Masyarakat Kasepuhan, rumah yang
bisa memberi tempat berteduh dengan atap injuk. Baju baru artinya mereka
memiliki uang untuk membeli baju baru dan dapat membeli baju baru untuk setiap perayaan, misalnya ketika lebaran atau pada saat seren tahun. Adapun istri hamil bermakna bahwa Masyarakat Kasepuhan harus mempunyai keturuan dan meneruskan tradisi Kasepuhan.
4.1.d. Pengetahuan Masyarakat Adat Kasepuhan Tentang Tata kelola Hutan