• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketidak sepakatan tentang siapa yang seharusnya mengontrol dan mengelola hutan dan “Kawasan Hutan” merupakan sumber dari berbagai ketegangan dan konflik sumberdaya hutan. Asal-usul kekacauan dan konflik ini sebagian besar terletak pada perbedaan pemaknaan atas hutan dan perbedaan penafsiran atas definisi dan lokasi hutan di Indonesia serta kewenangan Departemen Kehutanan.

25 Tafsir-tafsir yang berbeda tersebut menyebabkan perbedaan-perbedaan mendasar tentang peran pengawasan terhadap sumber daya hutan oleh pelaku dan lembaga yang berbeda.

Di Indonesia kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan sebagai ‘Kawasan Hutan’ pada kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali. Tanah-tanah tersebut sering secara otomatis diklasifikasi sebagai ‘hutan’ ketika wilayah tersebut tidak terdaftar sebagai tanah pertanian (Fay dan Michon 2005). Hal ini secara umum mengabaikan tata-guna tanah yang faktual di lapangan serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang hidup di tanah tersebut, dimana hal ini dilakukan oleh pemerintah kolonial atau pemerintahan pasca kolonial (Dove 1983; Lynch 1992). Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan pemaknaan atas kawasan hutan termasuk tata kelola hutan oleh berbagai pihak (aktor), khususnya aktor negara dan masyarakat adat. Pemaknaan terhadap hutan tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan yang membentuk rasionalitas dan mempengaruhi tindakan sosial aktor terhadap sumberdaya hutan.

Setiap aktor memiliki pengetahuan tentang tata kelola hutan, begitupun masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal sendiri. Pengetahuan lokal tersebut merupakan pengetahuan yang unik dari suatu budaya atau masyarakat tertentu. Pengetahuan ini menjadi dasar bagi masyarakat dalam menentukan pengolahan pertanian, kesehatan, penyiapan makanan, pendidikan, konservasi lingkungan, dan sejumlah kegiatan lainnya. Sebagian besar pengetahuan tersebut diturunkan dari generasi ke generasi, melalui media dari mulut ke mulut.

Masyarakat adat memiliki pengetahuan tentang bagaimana hidup selaras dengan ekosistem dan cara-cara untuk memastikan bahwa sumberdaya alam dipergunakan secara lestari. Oleh karena itu, pengetahuan lokal yang telah terakumulasi selama berabad-abad memiliki nilai potensial untuk pembangunan berkelanjutan. Hal ini juga dapat membantu orang lain belajar bagaimana untuk hidup dalam harmoni dengan alam dan lingkungan secara berkelanjutan. (diadaptasi dari Indigenous Knowledge and Sustainable Development, Sri Lanka Centre for Indigenous Knowledge, University of Sri Jayewardenapura, 1996, p. vii-vii).

26

Pengetahuan lokal masyarakat tradisional (adat) tersebut disebut juga pengetahuan tradisional (adat). Anna Hunter (2010) mendefinisikan pengetahuan tradisional (adat) sebagai pengetahuan terpadu yang berasal dari dan merupakan karakteristik dari masyarakat tertentu dan budayanya. Pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan lokal, yang dibangun oleh kelompok masyarakat melalui generasi ke generasi yang hidup dalam berhubungan dengan alam. Sebagaimana Aggie Brockman menjelaskan, pengetahuan tradisional dibangun berdasarkan sejarah, pengalaman dari orang dan menyesuaikan dengan perubahan sosial, ekonomi, lingkungan, spiritual dan politik (Brockman, 1997: 1).

Pengetahuan tradisional digunakan di tingkat lokal sebagai dasar untuk membuat keputusan keputusan penting tentang kegiatan kesehatan keselamatan, lingkungan dan regulasi. Pengetahuan tradisional termasuk persediaan mental lokal tempat, rute, sumber daya hayati, keturunan hewan, dan tanaman lokal, tanaman dan jenis pohon. Pengetahuan tradisional juga mencakup sistem kepercayaan yang memainkan peranan penting dalam mata pencaharian masyarakat, menjaga kesehatan mereka, melindungi dan pengisian lingkungan (Hansen dan VanFleet, 2003: 3). Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat tradisional (adat) memiliki pengetahuan lokal yang dikembangkan dari pengalaman dan sejarah hidup masyarakatnya secara turun temurun baik mengenai alam, tumbuhan, hewan maupun hubungan manusia dengan manusia lainnya.

Indonesia memiliki banyak masyarakat adat. Setiap masyarakat memiliki tradisi sendiri, budaya, bahasa, agama, berbeda dalam etnis, ras dan anatomi, termasuk pengetahuan lokal tentang tata kelola hutan. Namun dalam kerangka pembangunan, adakalanya negara mengintroduksi pengetahuan baru yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan terjadinya pelumpuhan kelembagaan adat dengan pengetahuan adatnya, tergantikan oleh pengetahuan dan kelembagaan modern. Dalam konteks seperti ini, maka pendekatan Foucault dapat digunakan untuk melihat bagaimana konstelasi kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dimainkan, dimana pengetahuan dipandang sebagai kekuasaan.

Dalam memahami konsep pengetahuan dan kekuasaan, ada dua ide di inti metodologi Foucault “arkeologi ilmu pengetahuan” (Foucault, 1966) dan

27 “genealogi kekuasaan” (Foucault, 1969). Meski ada petunjuk dalam karyanya bahwa ide yang disebut belakangan mendahului yang disebut pertama, Mitchell Dean (1994) memberikan kasus yang meyakinkan bahwa keduanya berdampingan dan saling mendukung. Alan Sheridan (1980) juga berpendapat bahwa arkeologi pengetahuan karya Foucault meliputi upaya penelitian untuk menemukan “seperangkat aturan yang menentukan kondisi (kemungkinan keseluruhan) yang dapat dikaitkan dalam diskursus khusus pada waktu tertentu”, sebagaimana diungkapkan Foucault (1980:48). Dengan kata lain arkeologi adalah pencarian “sistem umum dari formasi dan transformasi pernyataan (ke dalam formasi diskursif)” (Dean, 1994: 16).

Menurut Foucault, sistem tidak sadar karena sistem mendahulukan makna lantaran makna terletak dalam sistem-sistem yang menjadikan suatu makna efektif. Dengan demikian konsep fungsi menunjukkan bagaimana struktur organis dari hidup dapat diinterpretasi kembali kendati struktur organis itu sifatnya tidak sadar. Selanjutnya Foucault (1976) menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh arkeologi tidak lebih dari sekedar berperan sebagai satu instrumen yang memungkinkannya mengartikulasikan analisa tentang formasi sosial dan deskripsi-deskripsi epistemologis dengan cara yang lebih mengesankan ketimbang cara-cara yang ditempuh orang di masa lalu; atau instrumen yang memungkinkannya mengaitkan analisa tentang posisi satu subyek dengan satu teori sejarah sains; atau instrumen yang dapat menentukan tempat terjadinya persinggungan antara teori umum tentang produksi dengan analisa generatif tentang pernyataan-pernyataan.

Dalam menjelaskan arkeologi pengetahuan, Foucault menyebutkan tentang diskursus bahasa. Foucault (1976) mengatakan bahwa:

“saya berandai-andai, banyak orang yang melabuhkan hasrat yang sama agar bisa bebas dari desakan untuk mengawali, hasrat yang sama untuk menemukan diri mereka sendiri dari luar, dari sisi lain diskursus, tanpa harus melangkah keluar darinya, untuk menimbang-nimbang segi-segi diskursus yang partikular, mengerikan dan jahat. Dalam menanggapi perasaan-perasaan ini, institusi memberikan jawaban-jawaban ironis, karena institusi sangat mengagungkan permulaan-permulaan, mengelilinginya dengan perhatian kosong; agar permulaan-permulaan ini bisa dibedakan dari kelanjutan, maka institusi memberi bentuk-bentuk ritual terhadap permulan tersebut”.

28

Dalam pernyataannya tersebut, Foucault berusaha menerangkan bahwa adakalanya diskursus institusi berusaha memberikan warna atas diskursus individu. Selanjutnya Foucault menyebutkan bahwa ada juga individu yang berusaha menghindari diskursus karena menganggap diskursus sudah pasti dan final, dan satu persatu muncul dengan membawa kebenaran. Sementara institusi menawarkan diskursus yang sudah established. Menurut Foucault, jika diskursus menyimpan kekuatan tertentu, maka manusia itu sendirilah yang akan memberikan kekuatan itu padanya. Selanjutnya menurut Foucault (1976), “dalam masyarakat manapun, proses penciptaan diskursus pasti diatur, diseleksi, disusun dan disebarkan berdasarkan prosedur-prosedur tertentu yang perannya untuk menghindari kekuatan dan bahaya diskursus, untuk menangani peristiwa- peristiwa, menghindari segi materialnya yang menjemukan”.

Lebih lanjut Foucault menyebutkan bahwa dalam suatu masyarakat mengenal aturan-aturan pengecualian, termasuk apa-apa yang dilarang. Individu tidak bebas bicara tentang apa saja, tidak bisa berbicara sembarangan, kapan atau dimana kita suka; akirnya, tidak ada orang yang bisa membicarakan apa saja sekehendak perutnya. Ada tiga tipe larangan: obyek yang ditutupi, ritual- ritualbeserta keadaan yang menyertainya, hak bicara istimewa dan eklusif yang dimiliki subyek-subyek tertentu, larangan ini saling berelasi satu sama lain; saling menguatkan dan saling melengkapi satu sama lain, membentuk jaringan yang sangat kompleks dan sbyek yang tetap untuk merubahnya. Menurut Foucault, kawasan dimana jaringan ini tersebar dengan titik bahaya yang sangat banyak adalah politik dan seksualitas. Selanjutnya menurut Foucault bahwa dalam penampakannya, ucapan barangkali memang tidak ada apa-apa, tapi tiba-tiba larangan-larangan yang mengelilinginya memperlihatkan adanya mata rantai yang menghubungkan ucapan dengan hasrat dan kekuasaan.

Dari apa yang disampaikan oleh Foucault tersebut menyuratkan bahwa ada relasi antara diskursus dan kekuasaan, dimana kekuasaan tersebut bersumber dari aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatya yang berupa larangan. Namun dalam masyarakatpun masih mengenal adanya penyisihan lain, bukan hanya larangan, tetapi ada pembagian dan penolakan. Dengan demikian, pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Selanjutnya menurut Ritzer dan Goodman (2004)

29 bahwa perhatian untuk mengatakan kebenaran berhubungan langsung dengan geneologi kekuasaan, karena seperti dilihat Foucault, pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Kekuasaan dan pengetahuan saling menyiratkan secara langsung satu sama lain (Foucault, 1979: 27).

Menurut Malik (2010), hubungan kekuasaan dengan pengetahuan menurut Foucault, keduanya saling menyatakan antara satu dengan yang lain. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa dinyatakan dalam hubungannya dengan wilayah pengetahuan. Subjek yang mengetahui, objek yang diketahui dan modalitas- modalitas pengetahuan harus dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan atau kekuasaan dan transformasi historis mereka (Sutrisno dan Putranto, 2005). Dengan demikian maka pengetahuan dan kekuasaan saling bertautan dengan erat, begitu juga proses historis terkait dengan kekuasaan. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan (Foucault, 1980). Untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu.

Selanjutnya Malik (2010) menjelaskan bahwa kekuasaan (Power) terkait erat dengan kekuatan yang oleh Budimantra (2007) dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional (Weber, 1978). Pertimbangan tersebut bisa karena mengejar tujuan, mematuhi nilai, atau karena hal lain. Dengan kekuatan itu orang kemudian mempengaruhi atau dan mengendalikan orang lain, sehingga orang lain memiliki keterbatasan bertindak berdasarkan tujuannya. Kemampuan tersebut oleh Budimantra (2007) dikonseptualisasikan sebagai kekuasaan (power). Konsep kekuasaan yang demikian dimaknai sebagai produk dari hubungan-hubungan kekuatan yang muncul dari pelaku, meliputi pelaku yang menguasai dan yang dikuasai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekuasaan dapat mempengaruhi dan mengendalikan perilaku atau tindakan sosial aktor. Kekuasaan dapat menentukan suatu kebenaran atas tindakan sosial aktor. Seperti dikatakan Foucault (1980:131) bahwa "Kebenaran tidak ada di luar

30

kekuasaan. Setiap masyarakat memiliki rezim kebenarannya, politik kebenarannya".

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pemaknaan terhadap tata kelola hutan dipengaruhi oleh pengetahauan aktor. Pengetahuan adalah kekuasaan, kekuasaan menentukan kebenaran, mempengaruhi tindakan sosial aktor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindakan sosial aktor dipengaruhi pemaknaan aktor tersebut terhadap hutan.