• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perebutan Hak dan Akses Dalam Konflik Sumberdaya Hutan

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (lihat Fuad dan Maskanah, 2000), diketahui bahwa salah satu penyebab terjadinya konflik sumberdaya hutan adalah adanya kepentingan atas klaim lahan kawasan hutan dari masing-masing pihak yang berkonflik. Selanjutnya menurut barber (1998), baik di kawasan konsesi ataupun konservasi, sejumlah masyarakat lokal mempertahankan hak atas tanah, namun, hak-hak ini jarang ditegakkan dan masyarakat adat sendiri yang harus menegosiasikan lebih konkrit tentang perlindungan atas tanah mereka. Klaim tanah oleh masyarakat adat tanpa bukti surat kepemilikan tidak bisa dibenarkan. Bahkan, masyarakat adat bisa diusir dari tanahnya sendiri yang telah diklaimnya selama puluhan tahun dan menjadi sumber penghidupan mereka apabila negara mengeluarkan kebijakan peruntukkan lain atas tanah tersebut. Oleh karena itu, mengacu kepada hasil penelitian sebelumnya, konflik sumberdaya hutan juga dapat dikatakan sebagai konflik tenurial.

Tenurial atau tanah merupakan sumber dari pertentangan antara konsep dan realita diantara persoalan hak penguasaan atas tenurial. Pertentangan konsep tenurial antara masyarakat dan negara menjadi sebuah konflik tenurial ketika pertentangan tersebut telah menghilangkan hak akses atas tenurial tersebut. Iskandar dan nugraha (2004) melihat pertentangan tenurial sebagai konflik laten karena persoalan ini tidak pernah dituntaskan dan menemukan momentumnya meledak menjadi konflik tenurial. Menurut Iskandar dan Nugraha (2004), konflik tenurial adalah muara dari pertentangan antara konsep dan realita diantara persoalan tenurial yang selama ini tidak pernah dituntaskan, dan hanya dianggap sebagai sekedar "potensi konflik yang hersifat laten" justru menemukan momentumnya. Pertentangan konsep tenurial masyarakat dengan pemerintah meledak menjadi konflik tenurial.

Persoalan tenurial ini selalu mengemuka sebagai salah satu faktor penyebab utama timbulnya konflik kehutanan dibanding faktor-faktor lainnya. Salah satunya

35 adalah aspek historis kultural dimana keberadaan sumberdaya hutan tidak dapat dipisahkan dari eksistensi masyarakat beserta seluruh sistem dan tata nilai sosial budayanya. Masyarakat secara turun temurun dan lintas generasi telah tinggal dan menggantungkan kelangsungan hidupnya pada sumberdaya hutan.

Ketika negara sebagai pemilik hak (property) atas sumberdaya hutan secara formal menerbitkan kelembagaan pengaturan atas akses terhadap pengelolaan dan pemanfaaatan hutan, adakalanya kelembagaan baru tersebut menegasikan kelembagaan yang sudah ada dan tumbuh dari dan dalam kehidupan masyarakat lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Berkenaan dengan hak akses tersebut, Ribot dan Peluso (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan untuk mengambil keuntungan dari sesuatu termasuk objek material, orang, institusi ataupun simbol-simbol. Akses berbeda dari property. Sekalipun bukan pemilik property tapi jika memiliki akses maka dapat mengambil keuntungan/ manfaat dari sumberdaya tersebut. Apa yang dikemukakan oleh Peluso dan Ribot tersebut seakan-akan mengisyaratkan bahwa akses jauh lebih penting dari right

(property). Sekalipun tanpa right tapi kalau memiliki akses, maka masyarakat atau pihak-pihak tertentu dapat memanfaatkan hutan untuk kepentingan mereka para pemilik akses.

Dalam menjelaskan mengenai akses ini, Peluso memberikan contoh kasus tentang sejarah Dayak di Sanggau (lihat Peluso, 2005), bahwa masyarakat adat Dayak Sanggau telah menduduki situs Sanggau sejak sekitar 1920. Mereka telah "membeli" hak untuk itu dari penghuni sebelumnya. Persyaratan dalam pengalihan hak hunian dan penggunaan telah dinegosiasikan oleh dua pemimpin adat dari masing-masing kelompok. Para pemukim asli setuju untuk mengalihkan hak untuk menempati situs - suatu wilayah - termasuk hak akses terhadap ladang tempat mereka dulu bertani, dan hak untuk memiliki dua tembawang, hutan dan kebun yang penuh dengan pohon buah-buahan, termasuk pohon durian (Durio zibethinus) yang ditanam oleh beberapa generasi nenek moyang mereka. Selanjutnya Peluso (2005) menjelaskan bahwa melalui warisan pohon oleh generasi-generasi keturunan para penanam pohon tersebut seluruh kelompok komunitas dapat mengklaim teritorial dengan tempat-tempat di luar batas-batas pemukiman desa mereka saat ini, karena setiap tembawai memiliki cerita

36

tersendiri. Tembawai tersebut merupakan situs hidup bekas dan tanda keluar teritorialitas daerah yang tidak sesuai dengan batas desa. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Peluso (2005) tersebut bahwa masyarakat menandai hak akses mereka atas suatu kawasan berdasarkan adanya pohon yang pernah ditanam oleh nenek moyang mereka atau dalam kasus Masyarakat Dayak Iban ditandai oleh tembawai (bekas rumah panjang). Keberadaan pohon atau tembawai tersebut menandai adanya teritori masyarakat tersebut dan menjadi penanda bahwa kepemilikan akses atas kawasan tersebut.

Apa yang terjadi dalam kasus yang diungkapkan Peluso tersebut adalah menunjukkan adanya suatu klaim atas suatu wilayah dimana right dari wilayah tersebut tetap dimiliki oleh orang terdahulu (nenek moyang) yang pertama kali membuka lahan tersebut dan menanam pohon durian sebagai penanda kepemilikan. Transaksi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut sama sekali tidak ada dalam ajaran hukum tanah kolonial ataupun kontemporer, dan mengingat perubahan besar politik yang terjadi sejak generasi sebelumnya mentransfer hak atas lokasi tersebut kepada generasi berikutnya. Mungkin hak atas tegakan dipindahkan kepada penghuni baru namun bukan hak untuk memotong pohon- pohon bermakna. Apa yang diklaim oleh masyarakat tersebut tidak ada bukti tertulis yang diakui dan ditanda-tangani secara resmi oleh agen pemerintah, tapi mereka membawa cerita perjanjian tersebut dari generasi ke generasi melalui sejarah lisan.

Dengan mengikuti pedoman "adat", teritorialisasi ala adat atau bagaimana cara adat melihat property dalam sebuah kawasan dapat mengacaukan rasionalitas yang dimaksudkan oleh pemerintahan dan praktek property formal (Peluso, 2005). Apa yang dimaksud hak akses dan hak property secara formal berbeda dengan hak property dan hak akses yang dimaknai oleh adat. Menurut Ribot dan Peluso (2003) akses membuat masyarakat dapat memperoleh manfaat atas sesuatu dalam hal ini sumberdaya, namun tanpa ada hak property, maka akses itu tidak memberikan ketenangan hidup.

Dalam mempelajari rezim milik umum (common property regimes). Schlager dan Ostrom (1992) menunjukkan bahwa dalam kasus kepemilikan kolektif atau kontrol atas sumberdaya ada dua hak dasar: akses (you can enter)

37 dan penarikan (you can take resources). Ada juga tiga tingkat keputusan yang dapat dibuat secara kolektif: manajemen adalah hak untuk mengatur penggunaan dan mengubah properti, pengecualian adalah hak untuk memutuskan siapa yang mungkin memiliki akses dan bagaimana hal itu dapat ditransfer, dan alienasi adalah hak untuk menyewakan atau menjual dari pilihan atas hak kolektif.

Mengingat perbedaan-perbedaan tersebut, Schlager dan Ostrom (1992) kemudian mengidentifikasi empat jenis bundel hak milik (bundles of property rights). Mereka berhipotesis bahwa bundel hak seseorang (the bundle of rights) dapat menentukan berapa banyak mereka bersedia untuk berinvestasi di properti

tersebut Mereka menyimpulkan bahwa pembentukan rezim manajemen yang efektif harus memperhitungkan insentif yang memadai (lihat Schlager and Ostrom, 1992). Lebih jelasnya konsep mengenai properti right dengan mengacu pada pendapat Schlager dan Ostrom (1992), dapat dibedakan dalam beberapa tipe hak kepemilikan (property rights), sebagai berikut:

1. Access rights: the right to enter the territory of resources that have clear boundaries and to enjoy the benefits of non extractive

2. Withdrawal right: the right to utilize the resources or the right to produce 3. Management right: the right to determine the operational rules of resource

use.

4. Exclusion right: the right to determine who should have the right to access and how access rights are transferred to other parties

5. Alienation right: the right to sell or lease part or all of the collective rights mentioned above.

Dalam kontek sumberdaya hutan, hak akses dapat dikatakan sebagai hak untuk memasuki wilayah sumberdaya hutan dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif yaitu manfaat yang tidak bisa dinikmati secara langsung, namun dengan keberadaannya dapat memberikan nilai kepuasan bagi setiap orang. Misalnya manfaat langsung non ekstraktif ini hanya digunakan untuk kegiatan wisata atau upacara ritual budaya didalam kawasan hutan. Sedangkan hak untuk memanfaatkan hutan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan secara langsung dari keberadaan hutan baik kayu maupun non kayu. Hak manajemen (management right) adalah hak untuk mengelola hutan sesuai dengan tata kelola/

38

kelembagaan pengaturan hutan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang memegang hak manajemen. Hak exclusion yaitu hak untuk mengatur siapa yang boleh atau tidak boleh mendapatkan hak akses terhadap kawasan-kawasan tertentu di dalam hutan. Adapun hak alienasi adalah hak untuk menjual atau menyewakan sebagian atau seluruh hak-hak kolektif yang disebutkan di atas.

Sebagaimana dikemukakan oleh Ribot dan Peluso (2003), bahwa akses seringkali lebih penting daripada hak formal. Oleh karena itu perlunya mengembangkan definisi "akses", mengingat kecenderungan masa lalu untuk menggabungkan akses dengan properti. Mereka berpendapat bahwa akses lebih seperti seikat kekuasaan (bundle of powers) dan properti lebih seperti seikat hak

(bundle of rights). Lebih lanjut Ribot dan Peluso (2003) menjelaskan bahwa akses adalah "kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari hal-hal", maknanya adalah bahwa akses dapat didefinisikan sebagai hubungan dan proses yang memungkinkan berbagai aktor untuk mendapatkan keuntungan dari sumberdaya, termasuk benda material, orang, lembaga, dan simbol.

Dengan berfokus pada kemampuan daripada hak memungkinkan untuk analisis hubungan sosial yang mengizinkan atau membatasi seseorang mengambil manfaat dari sumberdaya. Tujuannya adalah untuk melihat dengan jelas siapa yang diuntungkan dari hal-hal tersebut, dan siapa yang tidak. Ini membantu orang memahami "mengapa beberapa orang atau lembaga memperoleh keuntungan dari sumberdaya, apakah mereka memiliki atau tidak memiliki hak." (lihat Ribot dan Peluso, 2003: 154).

Lebih lanjut Ribot dan Peluso (2003:173) mengemukakan bahwa mekanisme properti hanya salah satu cara orang-orang untuk mendapatkan akses, dan mungkin bukan yang paling penting. Kerangka pemikiran mereka tentang akses tersebut dapat digunakan untuk "menganalisis konflik sumberdaya yang spesifik untuk memahami bagaimana konflik menjadi sangat berarti beberapa aktor memperoleh manfaat atau beberapa aktor lain kehilangan manfaat dari sumberdaya yang berwujud dan tidak berwujud (tangible and intangible resources).

Dalam memahami keberadaan sumberdaya kolektif (dalam rezim properti umum) tersebut, McKean membedakannya dari sumberdaya milik umum yang

39 memiliki open akses. Sebagaimana yang dikemukakan oleh McKean (2002:29- 30), sebagai berikut:

these regimes are often incorrectly conflated with common-pool resources,

which she defines as “open-access resources available to anyone – very difficult to protect and very easy to deplete.” (p. 29) In contrast, a common

property regime “is a property-rights arrangement in which a group of

resource users share rights and duties toward a resource.” (p. 30) McKean notes that “when a group of individuals and the property rights they share are well defined, common property should be classified as shared private property – a form of ownership; that should be of great interest to anyone who believes that private property rights promote long time horizons and responsible stewardship of resources.” (p. 30).

Menurut McKean, bahwa sumberdaya yang termasuk dalam kepemilikan umum dengan open akses memungkinkan setiap orang untuk mengaksesnya, sehingga sangat sulit dijaga dan mudah sekali untuk dikuras. Sebaliknya, rezim milik umum adalah pengaturan hak properti di mana sekelompok pengguna sumberdaya berbagi hak dan kewajiban terhadap sumberdaya tersebut. Selanjutnya McKean mengemukakan bahwa "ketika sekelompok individu dan hak properti bersama tersebut didefinisikan dengan baik, maka milik bersama tersebut harus diklasifikasikan sebagai milik pribadi bersama – yaitu suatu bentuk kepemilikan, yang harus menjadi perhatian besar bagi siapa saja yang percaya bahwa hak milik pribadi lebih bertahan lama dan bertanggung-jawab dalam pengelolaan sumberdaya.