• Tidak ada hasil yang ditemukan

b.1 Penguasaan Tanah Menurut Masyarakat Kasepuhan

Sejarah keberadaan Masyarakat Kasepuhan di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak sudah sejak 634 tahun yang lalu. Menurut Abah Asep bahwa dari cerita turun-temurun, diketahui Masyarakat Kasepuhan adalah sisa-sisa kerajaan Pakuan Padjadjaran. Masyarakat Kasepuhan menandai wilayahnya dengan makam keramat. Makam keramat itulah yang menjadi simbol keberadaan Masyarakat Kasepuhan sejak dulu dan menjadi tonggak penguasaan adat atas teritori tersebut.

Secara komunal seluruh Masyarakat Kasepuhan mengakui bahwa Kawasan Halimun Salak adalah kawasan adat. Pada kawasan komunal ini dibagi lagi sesuai peruntukkan, ada kawasan hutan, ada kawasan lahan pertanian dan pemukiman. Pada kawasan hutan, penguasaan hutan diakui sebagai penguasaan bersama seluruh Masyarakat Kasepuhan, tidak ada batas yang terpisah untuk masing- masing Kasepuhan. Pengaturannya didasarkan atas tradisi nenek moyang yang dijaga secara turun temurun.

Menurut Abah Asep bahwa “klaim atas wilayah Gunung Halimun Salak oleh Masyarakat Kasepuhan sudah sejak lama, sejak sebelum Indonesia merdeka, bahkan sejak sebelum Indonesia dijajah. Penguasaan tanah adat pada Masyarakat Kasepuhan sudah dimulai sejak 634 tahun yang lalu sejak perpindahan pertama dari Jasinga ke Bogor”

109 Wilayah Kasepuhan, sejak tahun 1932 berpusat di Cicemet, kemudian tahun 1941 meluas ke wilayah Lebak Salak, Cijaha, Jeruk Nipis, Sodong/ Lebak Nangka, Cisuren. Dalam kawasan tersebut, hak akses masyarakat dibatasi berdasarkan adat aturan nenek moyang, yang dipercaya oleh masyarakat masih mengatur dan mengontrol kawasan tersebut sekalipun mereka sudah tidak ada lagi didunia ini. Berdasarkan tanda leluhur yang ditinggalkan, wilayah adat (batas tanah adat) yang diklaim oleh Masyarakat Kasepuhan, sebagai berikut:

1. Sebelah Selatan adalah Wilayah Jampang (Pandai Domas)

2. Laut sampai ke Puseran Agung

3. Timur di Gunung Sumping

4. Barat di Ujung Kulon

5. Utara di Baduy/ Bogor.

Dalam konteks di atas bisa dikatakan bahwa penguasaan lahan atau kawasan tidak pernah berpindah tangan melainkan masih menjadi hak dari para pionir pembuka kawasan yang pertama kali yaitu nenek moyang. Konsep ini hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Li (1996) bahwa hak properti berasal dari pembukaan lahan awal menjadi hak tak terbantahkan untuk menanam pohon komersial dan mengklaim penguasaan sepenuhnya. Kondisi ini masih dipraktekkan di sejumlah kawasan adat di Indonesia termasuk di kawasan Masyarakat Kasepuhan maupun Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Penghormatan terhadap nenek moyang dalam bentuk ritual pemberian sesajen dan sejumlah doa dipanjatkan kepada roh nenek moyang untuk meminta izin manakala mereka mau memasuki kawasan atau untuk mengambil manfaat dari kawasan tersebut termasuk untuk memotong kayu maupun mengolah lahan pertanian, bahkan untuk kawasan tertentu memasukinya saja harus melakukan ritual untuk meminta izin mereka. Mekanisme permintaan izin ini dipimpin oleh abah selaku ketua adat Kasepuhan atau tuai rumah selaku penguasa rumah panjang di Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.

Pada kawasan lahan pertanian, setiap komunitas Kasepuhan mempunyai klaim penguasaan atas kawasan yang berbeda-beda, dengan batas dan luasan yang sangat jelas. Penguasaan tanah tersebut ada yang bersifat komunal (tanah adat) ada yang bersifat individual. Tanah adat biasanya dikerjakan secara bersama-sama

110

oleh incuputu (warga Masyarakat Kasepuhan), selanjutnya hasilnya akan

disimpan di lumbung adat yang pemanfaatannya diatur oleh abah selaku ketua adat (kepala suku). Tanah komunal ini dalam istilah adat disebut tanah ulayat atau tanah adat. Dalam persepsi masyarakat bahwa hak ulayat ini adalah hak milik adat dan dikuasai oleh abah selaku ketua adat. Hak yang dimiliki oleh abah ini adalah hak pakai bukan hak milik. Namun menurut Li (1996), pengakuan atas hak ulayat ini lemah dan tunduk pada kepentingan nasional. Akibatnya, seringkali negara dengan mudah mengambil tanah tersebut. Hak ulayat dimaknai oleh negara sebagai tanah negara (lihat juga Moniaga, 1993).

Dalam Masyarakat Kasepuhan, selain penguasaan secara komunal, ada juga penguasaan yang diakui secara individual. Luasan penguasaan individual ini pada masa lalu diperoleh dari hasil kerja individu tersebut, yaitu seberapa jauh dan seberapa luas tanah yang dapat digarap oleh individu tersebut. Dimasa lalu, masyarakat melakukan praktek perladangan berpindah. Kawasan yang pernah dibuka sebagai ladang atau lahan pertanian menjadi hak milik dari orang yang membuka lahan tersebut. Setelah ladang tersebut ditinggalkan, penguasaan lahan tersebut masih menjadi penguasaan pelopor (orang yang pertama membuka ladang) dan diwariskan kepada keturunannya. Jadi orang-orang Kasepuhan sekarang hanya meneruskan apa yang diperoleh nenek moyangnya di masa lalu.

Ketika ladang ditinggalkan oleh pemiliknya, karena pemilik ladang tersebut berpindah ke tempat lain yang lebih subur, maka ladang tersebut bisa digarap oleh orang lain melalui hak pinjam. Artinya, orang lain bisa meminjam lahan tersebut untuk digarap sebagai lahan pertaniannya, namun status penguasaannya tetap ada

pada orang yang pertama (pioner) dan keturunannya, namun perjanjian

peminjaman inipun harus melalui dan seizin dari abah selaku ketua adat. Selain

ada hak pinjam, ada juga hak akses yang bisa diperoleh orang lain tanpa harus meminta izin terlebih dahulu, apabila kawasan tersebut memang tidak digarap atau lahan kosong. Akses tersebut berupa mengambil manfaat dari kawasan tersebut, seperti pengambilan kayu bakar, atau tanaman-tanaman yang masih tersisa di lahan tersebut. Namun apabila dilahan tersebut ada pohon kayu komersial atau tanaman komersial lainnya seperti kapolaga, maka akses untuk orang lain tersebut menjadi hilang. Artinya lahan tersebut tidak kosong atau

111 ditinggalkan, melainkan ada pengalihan peruntukan dari ladang pertanian menjadi perkebunan kayu atau tanaman komersial lain.

Seperti yang diungkapkan oleh Li (1996), bahwa dalam konsep perladangan berpindah gagasan warisan budaya tidak diuraikan. Tanah terus menjadi milik nenek moyang yang pertama kali membersihkan lahan tersebut, dan semua generasi muda secara efektif meminjam dari mereka. Apa yang dikemukakan Li tersebut terjadi juga pada Masyarakat Kasepuhan dimana generasi sekarang ketika akan menggarap lahan harus mengadakan upacara ritual terlebih dahulu, meminta izin kepada roh nenek moyang untuk menggarap lahan. Dengan demikian, masyarakat generasi sekarang mengerjakan lahan yang dipinjam dari nenek moyang mereka. Lahan tersebut secara adat tidak dapat diperjual-belikan, mereka hanya boleh menggarap lahan tersebut. Jika lahan tersebut penguasaannya akan dialihkan kepada orang lain, maka harus melalui izin nenek moyang melalui upacara ritual yang dipimpin oleh abah.

Apabila dilihat dari konteks negara, tanah-tanah penguasaan individu dalam adat Kasepuhan tersebut adalah juga tanah-tanah yang diklaim sebagai tanah hak guna usaha (HGU) yang dikuasai oleh Perum Perhutani dulunya. Secara formal

Perum Perhutani memiliki hak property di kawasan tersebut berupa HGU,

Masyarakat Kasepuhan memiliki hak tersebut berdasarkan persepsi adat budaya dan tradisi mereka, namun secara formal mereka tidak memiliki hak. Baik Perhutani maupun Masyarakat Kasepuhan keduanya memiliki akses yang sama pada kawasan yang sama. Tumpang tindih klaim penguasaan tersebut di masa lalu tidak menyebabkan konflik, karena ada pengaturan yang disepakati bersama antara Masyarakat Kasepuhan dan Perum Perhutani dalam memanfaatkan kawasan. Masyarakat Kasepuhan memanfaatkan lahan tersebut untuk kawasan pertanian padi, palawija dan pohon-pohon kayu yang tidak komersial, sedangkan Perhutani memanfaatkan lahan tersebut untuk menanam pohon-pohon kayu komersial.

Sebagian hasil pertanian masyarakat diberikan kepada Perhutani sebesar 15- 25% dari hasil tani tergantung besarnya jumlah hasil tani (istilah mereka cukai Perhutani), sesuai kesepakatan.

112

Konflik antara negara dan masyarakat terjadi setelah tahun 2003, dimana status HGU Perum Perhutani dicabut dan dialihkan menjadi kawasan taman nasional. Ketika status kawasan tersebut menjadi kawasan taman nasional, maka negara tidak lagi memberi ruang yang bebas termasuk tidak ada pengakuan atas penguasaan masyarakat adat. Masyarakat harus keluar dari wilayah lahan garapan

mereka. Ketika lahan garapan yang menjadi livelihood mereka terancam maka

konflik masyarakat dan negara menjadi tidak terelakkan.