• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Konflik Sumberdaya Alam

5 KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

5.5. Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Konflik Sumberdaya Alam

Konflik sumberdaya hutan menjadi semakin kompleks manakala pemerintah daerah dengan otonomi daerahnya turut masuk kedalam arena konflik. Pada kasus TNGHS, pemerintah daerah membantu Masyarakat Kasepuhan untuk menyelesaikan konflik dengan BTNGHS, dengan mendukung keberadaan masyarakat adat di kawasan TNGHS. Pada kasus Hutan Sungai Utik, pemerintah daerah mengeluarkan IUP untuk PT. RU di kawasan yang sama dengan IUPHHK untuk PT. BRW.

Pada kasus TNGHS, dukungan langsung Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi kepada Masyarakat Kasepuhan dilakukan dengan jalan menjembatani penyelesaian konflik antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS. Pemerintah daerah membantu memfasilitasi pembuatan draf akademik untuk rancangan kesepakatan antara Masyarakat Kasepuhan dan BTNGHS, walaupun usaha pemerintah daerah tersebut belum mencapai konsesus namun proses penyelesaian konflik dengan jalan negosiasi sudah dilakukan. Selain dukungan langsung, pemerintah daerah juga pemberikan dukungan tidak langsung berupa alokasi dana pembangunan bagi masyarakat adat untuk pembuatan jalan tembus dari Desa Sirna Resmi ke lokasi pemukiman Kasepuhan Cipta Gelar yang nyata-nyata berada di tengah kawasan TNGHS. Keberadaan jalan tembus tersebut membuka akses masuk dari luar ke dalam kawasan. Masyarakat menjadi lebih mudah untuk datang dan pergi dari dan ke dalam kawasan TNGHS. Hal tersebut bermakna bahwa pembangunan jalan tersebut merupakan bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap masyarakat adat dalam menentang kebijakan taman nasional.

155 Dalam kasus Hutan Sungai Utik, Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu dengan kebijakan otonomi daerahnya turut memperunyam masalah dan menambah rumitnya konflik sumberdaya hutan. Melalui kewenangan yang diperoleh berdasarkan legitimasi UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 22, pemerintah daerah menggunakan kewenangannya untuk mengelola lingkungan, termasuk sumberdaya hutan didalamnya. Dengan dasar tersebut, Pemerintah Daerah Kapuas Hulu mengeluarkan izin usaha perkebunan (IUP) kepada PT. RU untuk usaha perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 tentang Izin Lokasi untuk Perkebunan Karet Seluar 14.000 Ha di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, yang kemudian dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan Surat Bupati Nomor 525/032/DKH/BPT-A tentang Persetujuan IUP Perubahan dari Karet Menjadi Kelapa Sawit tanggal 10 Januari 2011. Pemerintah daerah dengan kebijakan IUPnya tersebut telah membuat konflik sumberdaya hutan menjadi semakin kompleks, menghadapkan masyarakat adat vis avis dengan pemerintah pusat, dengan pengusaha pemegang IUPHHK, dengan pemerintah daerah dan dengan pengusaha pemegang IUP. Keberadaan kebijakan pemerintah daerah tersebut telah memberi tekanan tersendiri bagi Masyarakat Dayak Iban.

Sebenarnya, kebijakan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan, peran serta masyarakat, dan peningkatan daya saing pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Percepatan kesejahteraan masyarakat tersebut dilakukan melalui pembagian kewenangan pusat dan daerah yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan diperbaiki dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Bab III tentang Pembagian Urusan Pemerintahan (selanjutnya disebut UU otonomi daerah) Pasal 10 menyebutkan bahwa (1) pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang

156

oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Selanjutnya dalam Ayat (2) disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Adapun urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud disebutkan dalam Aayat (3) yaitu meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. (4) dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud, pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan desa.

Berdasarkan Pasal 10 UU otonomi daerah tersebut bahwa yang menjadi kewenangan pemerintah pusat hanya 6 bidang yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Adapun perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta pengendalian lingkungan hidup menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah provinsi (Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004) dan pemerintah daerah kabupaten/ kota (Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004). Berdasarkan UU otonomi daerah tersebut, daerah memiliki otoritas dalam perencanaan tata ruang wilayahnya termasuk bagaimana mengendalikan lingkungan hidup. Dengan kata lain daerah memiliki tanggung jawab dan kewenangan dalam peruntukan ruang dan pengendalian lingkungan hidup termasuk hutan didalamnya.

Tanggung jawab daerah dalam pengendalian linkungan tersebut terkait dengan semangat awal otonomi daerah yang salah satunya adalah untuk pengelolaan sumberdaya alam secara efektif, sebagaimana termuat dalam ketetapan (TAP) MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN, Bab IV Arah Kebijakan Huruf H Sumberdaya Alam Lingkungan Hidup Angka 3 menyebutkan

bahwa: “mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap

157

Daerah Angka 1 Umum disebutkan bahwa “ ...mengembangkan otonomi

daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab...”, termasuk di dalamnya

pemanfaatan sumberdaya alam. Lebih lanjut TAP MPR tersebut menyebutkan

dalam Huruf H angka 4 yaitu: “mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yang

pengusahaannya diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan TAP MPR tersebut,

semestinya keberadaan UU Otonomi Daerah dapat memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumberdaya alamnya secara efektif dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan kelestarian lingkungan. TAP MPR tersebut memberi amanat untuk daerah dalam melaksanakan pembangunannya dengan mendayagunakan sumberdaya alam yang ada untuk kesejahteraan masyarakat namun tetap menjaga kelestarian lingkungan. Berdasarkan fakta pada kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, dapat dikatakan bahwa kewenangan hutan utamanya masih ada pada negara (pemerintah pusat). Hal tersebut menunjukkan ada ketidak-jelasan dan ketidak- pastian hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam (hutan). Kewenangan daerah dalam mengatur dan mengelola sumberdaya alam didaerahnya belum sepenuhnya bisa dijalankan karena masih tumpang tindih dengan kewenangan pemerintah pusat.

Hubungan kewenangan untuk pengendalian lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini diatur dalam

UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 17, yaitu bahwa: “hubungan dalam bidang

pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi: kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian; bagi hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya; dan penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan. Pasal 17 tersebut mengatur tentang pemanfaatan dan bagi hasil pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya yang pelaksanaannya diatur kemudian dalam peraturan perundang-undangan lebih lanjut. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa otonomi

158

daerah atau desentralisasi penguasaan dan pendayagunaan sumberdaya alam termasuk kehutanan belumlah bersifat final tetapi masih membutuhkan perjuangan dan masih akan menyeret daerah ke dalam konflik sumberdaya alam yang melibatkan negara dan masyarakat adat

Sebenarnya sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan hutan secara tersendiri, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disamping UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan dan undang-undang tersebut mengatur pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pengelolaan sumberdaya hutan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Kehutanan Kepada Daerah, Bagian Kedua Tentang Kepada Daerah Tingkat II,

Pasal 5 bahwa: “kepada daerah tingkat II diserahkan sebagian urusan

pemerintahan di bidang kehutanan, yang meliputi: a. penghijauan dan konservasi tanah dan air; b. persuteraan alam; c. perlebahan; d. pengelolaan hutan milik/hutan rakyat; e. pengelolaan hutan lindung; f. penyuluhan kehutanan; g. pengelolaan hasil hutan non kayu; h. perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru; i. perlindungan hutan; dan j. pelatihan keterampilan masyarakat di bidang kehutanan. berdasarkan peraturan pemerintah tersebut diketahui bahwa ada beberapa urusan kehutanan yang pengurusannya diserahkan kepada daerah, termasuk pengelolaan hasil hutan non kayu, mencakup kegiatan pengusahaan, pemungutan, dan pemasaran hasil hutan non kayu. Dari sejumlah urusan yang diserahkan kepada daerah maka yang dapat diambil manfaatnya oleh daerah dari keberadaan hutan di daerahnya adalah pemanfaatan hasil hutan non kayu. Adapun pemanfaatan hasil hutan kayu masih menjadi kewenangan pemerintah pusat, apalagi mengalihkan fungsi kawasan hutan menjadi daerah perkebunan tidak diatur dalam PP tersebut.

Selanjutnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 Bab VIII tentang Penyerahan Kewenangan, Pasal 66 menyebutkan bahwa: (1) dalam rangka penyelenggaraan

159 kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. (2) pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. (3) ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Berdasarkan UU di atas diketahui bahwa dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah yang dalam pelaksanaan teknisnya diatur dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang terbit setelah tahun 1999 tentang penyerahan kewenangan kepada daerah tidak ditemukan. Peraturan yang ada masih menggunakan peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 62 tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah.

Dengan demikian, seharusnya bahwa keberadaan kebijakan otonomi daerah tersebut membawa pengaruh positif pada pengelolaan sumberdaya alam khususnya kehutanan, sebagaimana yang dikatakan oleh Raharjo dalam Subadi

(2010) bahwa “dengan otonomi daerah dalam pemanfaatan sumberdaya alam

(SDA) untuk kesejahteraan rakyat, telah membawa perubahan positif pada hubungan antara rakyat dengan pembuat kebijakan (policy maker) menjadi lebih dekat sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat, terbukanya akses rakyat dalam pembuatan kebijakan”. Namun jika melihat kasus konflik di dua lokasi penelitian TNGHS maupun Hutan Sungai Utik, apa yang dikemukakan oleh Raharjo dalam Subadi (2010) tidak sepenuhnya benar. Ketidak jelasan hukum telah membuat otonomi daerah justru telah membuat konflik sumberdaya alam menjadi semakin rumit. Selama masih ada ketidak-pastian hukum dan otonomi daerah dijalankan setengah hati, dimana pemerintah pusat masih mengontrol pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, maka peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk hutan hanya akan membuat konflik sumberdaya alam semakin rumit dan masyarakat adat semakin jauh dari perjuangannya untuk memperoleh hak kelola hutan sebagai hutan adat mereka.

160