• Tidak ada hasil yang ditemukan

a.2 Kebijakan Pertanahan Setelah Indonesia Merdeka

Setelah Indonesia merdeka, Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konsep Negara Republik Indonesia, bahwa hak tanah seutuhnya merupakan hak negara, sebagaimana yang tertulis dalam UUD 1945 Pasal 33

103 Ayat (3), yaitu Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat”. Dari apa yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar tersebut

mengisyaratkan bahwa tanah termasuk sumberdaya hutan adalah milik negara,

artinya rightnya ada pada negara.

Sebenarnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, telah diatur mengenai hak masyarakat adat, yaitu pada pasal 18B(2), bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selanjutnya dalam pasal 28I (3) disebutkan bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dengan demikian, UUD 1945 mengakui adanya kesatuan masyarakat adat dan hak-haknya dengan syarat bahwa masyarakat hukum adat tersebut sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ini disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1948, Peraturan tentang penetapan aturan-aturan pokok mengenai pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri. Dalam penjelasan pasal 18 UU ini disebutkan bahwa menurut undang-undang pokok ini, daerah otonom yang terbawah ialah desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya.

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 18 UU tersebut disebutkan bahwa “untuk

memenuhi Pasal 33 UUD 1945, negara dengan rakyat Indonesia harus makmur.

Untuk mendapatkan kemakmuran ini harus dimulai dari bawah, dari desa”. Oleh

karena itu desa harus dibuat dalam keadaan senantiasa bergerak maju, (dinamis). maka untuk kepentingan itu pemerintahan desa dimasukkan didalam lingkungan pemerintahan yang diatur dengan sempurna (modern).

Untuk mengatur daerah di bagian Timur Indonesia UU Negara Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950, telah diterbitkan Undang-Undang Negara Indonesia Timur. Menurut Ayat 5 Pasal 17 Undang-Undang tersebut, Kepala

104

Daerah Swapraja diangkat oleh pemerintah pusat dari keturunan keluarga Swapraja dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat-istiadat di daerah atas pencalonan dari D.P.R.D. (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Swapraja yang bersangkutan. Pada undang-undang inipun tersurat adanya pengakuan atas adat istiadat. Undang-Undang Negara Indonesia Timur (NIT) No.44/1950 adalah satu-satunya undang-undang dari Pemerintahan N.I.T. dahulu yang berlaku di Indonesia Timur dan yang mengatur pokok-pokok tentang pemerintahan daerah. Namun kemudian UU No. 22 Tahun 1948 dan Undang-Undang Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950 ini dibatalkan dengan pemberlakukan UU Nomor 1 Tahun 1957 yang selanjutnya diganti dengan UU Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang dilengkapi dengan UU Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja, dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Tonggak penting pengakuan atas tanah dan sumberdaya alam negara maupun masyarakat hukum adat ada pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria disebut UUPA. Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya dalam Ayat (2) Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa Hak menguasai dari negara termaksud dalam Ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Pasal tersebut menegaskan bahwa negara memiliki hak menguasai atas bumi, air dan kekayaan didalamnya.

UUPA juga mengakui adanya hak ulayat (pada Pasal 3 Undang-Undang

tersebut), sebagai berikut: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1

105 adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan

peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Dalam penjelasannya dijelaskan

bahwa “Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka didalam pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 tersebut menentukan, bahwa: "Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan yang lebih tinggi". Pengaturan mengenai hak masyarakat dan hukum adat ini juga termuat dalam Pasal 5, Pasal 16 UUPA ini.

Hukum adat dan hak ulayat mendapat perhatian dalam UU Pokok Agraria ini, bahkan disebutkan dalam Pasal 22, bahwa (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 50, bahwa (1) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan undang-undang. Pasal 56 menyebutkan bahwa selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Namun dalam penjelasan UU Nomor 5 Tahun 1960 tersebut diterangkan sebagai berikut: “karena sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum-adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum Barat. UUPA bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian. Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada

106

hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat.

Agar tidak terjadi dualisme hukum yaitu antara hukum adat dan hukum Barat, maka dalam batang tubuh UUPA disebutkan bahwa sebagai acuan utama adalah hukum adat. Namun dalam penjelasan disebutkan bahwa “Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan

penduduk”. Dengan demikian UUPA hanya menegaskan bahwa negara

menguasai tanah dan kekayaan di dalamnya termasuk seluruh sumberdaya alam. Sekalipun ada pengakuan atas hukum adat dan tanah ulayat namun ketika dianggap bertentangan dengan kepentingan negara/ nasional, maka hukum adat dengan tanah ulayatnya harus direlakan untuk kepentingan negara.

Pada tahun berikutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, negara melakukan penyeragaman desa, dan masih mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum. Undang-undang ini tidak memberi ruang bagi masyarakat adat menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan konsep adatnya, sehingga di beberapa tempat terjadi dualisme kepemimpinan yaitu pemimpin adat dan kepala desa. Selanjutnya, dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, juga ada pengakuan negara terhadap hak ulayat yang dimiliki oleh suatu komunitas. Namun pengakuan ini hanya bersifat retorika, karena dalam prakteknya ada aturan lain dari negara dimana demi kepentingan orang banyak atau demi kepentingan negara, maka klaim atas tanah hak ulayat oleh komunitas adat tersebut bisa digugurkan. Pengakuan terhadap masyarakat adat ini juga disebutkan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengakui kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat dan asal usul. Selain itu, ada juga pengakuan terhadap masyarakat adat terpencil di dalam Keppres No. 111/1999

107 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil, dan dalam Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) RI No. 6/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.

Dalam hubungannya dengan pengaturan hubungan pemerintahan pusat dan daerah, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (MHA) juga disebutkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya disebutkan pula dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa. Selanjutnya, dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (lihat Pasal 2 Ayat 9 UU Nomor 32 Tahun 2004). Begitupun dengan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa, disebutkan bahwa salah satu kewajiban kepala desa dalam Pasal 15 Ayat 1 Huruf m, yaitu membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat. Berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah dan desa, maka sebetulnya undang-undang ini telah menempatkan masyarakat hukum adat dan adatnya sebagai bagian dari hukum negara yang harus diakui dan dihormati keberadaannya, artinya seluruh peraturan daerah yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan hukum masyarakat adat dan adat istiadat masyarakatnya.

Lebih lanjut kebijakan mengenai kelola adat atas hutan diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999, mengakui hutan adat dan hak masyarakat hukum adat di kawasan hutan secara terbatas sekali. Namun UU tersebut belum ditindak lanjuti dengan peraturan pemerintah (PP). Sederet peraturan perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut hanya mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, hukum adat dan hak ulayat, namun dalam prakteknya masih setengah hati, dimana hukum adat atau hak masyarakat adat diakui ketika tidak bertentangan dengan hak dan hukum negara.

108