• Tidak ada hasil yang ditemukan

A­01­2 Sistem Pemungutan Pajak:

Dalam dokumen Kumpulan Materi Perpajakan (Halaman 29-33)

BAGIAN A PENDAHULUAN

A­01­2 Sistem Pemungutan Pajak:

1. Official Assessment System

Suatu sistem pajak yg memberi wewenang kpd pemerintah utk menentukan besarnya pajak yg terutang.

2. Self Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yg memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kpd WP utk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yg terutang dan hrs dibayar.

3. Witholding Assessment System

Suatu sistem pemungutan pajak yg memberi wewenang kpd pihak ketiga utk memotong/memungut besarnya pajak yg terutang oleh WP. Pajak yg dipotong/dipungut oleh pihak lain ini, nanti dpt menjadi kredit pajak atau mrp pelunasan atas pajak terutang.

Tarif Pajak:

1. Tarif Proporsional/Sebanding

Tarif pajak berupa prosentase tetap thd jml brp pun yg menjadi DPP. Sering juga disebut dgn Tarif Tunggal krn hanya menggunakan 1 tarif dgn prosentase tetap. Contoh: Tarif PPN 10%, PBB 0,5%, Pph badan 28% (thn pjak 2009) atau 25% (thn pajak 2010 dan seterusnya).

2. Tarif Progresif

Tarif pajak yg prosentase nya menjadi lbh besar apabila jml yg menjadi DPP-nya semakin besar. Contoh: Tarif utk WP Badan dan UT (tahun pajak 2001 s.d. 2008):

Lapisan s.d. Rp 50 juta, tarifnya 10%

Lapisan di atas Rp 50 juta s.d. Rp 100 juta, tarifnya 15% Lapisan di atas Rp 100 juta, tarifnya 30%

3. Tarif Degresif

Tarif pajak yg prosentase nya menjadi lbh kecil apabila jml yg menjadi DPP-nya semakin besar. 4. Tarif Tetap

Tarif pajak yg berupa jml yg tetap thd brp pun jml yg menjadi DPP. Contoh: Tarif Bea Meterai dgn struktur tarif Rp 3 ribu dan Rp 6 ribu.

5. Tarif Advalorem

Tarif pajak dgn prosentase tertentu atas hrg barang atau nilai suatu barang. Contoh: Tarif Bea Masuk seb 10% dari nilai Cost Insurance Freigt (CIF) dlm transaksi impor.

6. Tarif Pajak Spesifik

Tarif pajak dgn jml tertentu atau suatu jenis/satuan jenis barang tertentu. Contoh: Tarif Bea Masuk yg besar Rupiahnya ditetapkan atas suatu barang yg diimpor.

Asas Pemungutan Pajak:

Pungutan pajak hendaknya didasarkan pd asas yg dikemukakan Adam Smith dlm buku An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations:

1. Equality

Pemungutan pajak hrs bersifat adil dan merata.WP yg berada dlm kondisi yg sama hrs dikenai pajak yg sama besar. Asas keadilan dlm perinsip perpu perjakan maupun dlm hal pelaksanannya hrs dipegang teguh walaupun keadilan itu sangat relatif.

2. Certainty

Penetapan pajak tdk ditentukan sewenang-wenang. Hrs dpt diketahui scr jelas dan pasti pajak yg terutang, kapan hrs dibayar, serta batas waktu pembayaran shg memiliki kepastian hukum yg tinggi. 3. Convenience

Saat membayar pajak sebaknya sesuai dgn saat yg tdk menyulitkan WP. Contoh pd saat WP baru saja memperoleh penghasilan. Disebut juga dgn Pay As You Earn (PAYE).

4. Economical

Biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi WP diharapkan seminimum mungkin. Pajak yg dipungut hs lbh besar dari biaya pemungutan pajak.

Dasar Teori Pemungutan Pajak:

Teori-teori yg menjadi dasar bagi negara utk memungut pajak, a.l.: 1. Teori Asuransi

Teori ini menyamakan pembayaran premi asuransi dgn pembayaran pajak. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan kemanan jiwanya kpd negara shg masyarakat hrs membayar

A­01­3 

‘premi’ kpd negara. Pd kenyataannya menyamakan pajak dgn premi tdk tepat, krn jika masyarakat mengalami kerugian, negara tdk dpt memberikan penggantian layaknya perusahaan asuransi. 2. Teori Kepentingan

Teori ini diartikan bahwa negara yg melindungi kepentingan harta dan jiwa warga negara dgn memperhatikan pembagian beban yg hrs dipungut dari masyarakat. Pembebanan ini didasarkan pd kepentingan setiap orang termasuk perlindungan jiwa dan hartanya. Oleh krn itu, pengeluaran negara utk melindungintya dibebankan kpd masyarakat. Warga negara yg memiliki harta lbh banyak akan membayar pajak yg lbh besar, dan sebaliknya yg memiliki harta lbh sedikit akan membayar pajak lbh kecil utk melindungi kepentingannya.

3. Teori Daya Pikul

Teori ini berpangkal dari asas keadilan yaitu setiap orang dikenakan pajak dgn bobot sama. Pajak yg dibayar adalah mnr daya pikul dgn ukuran besarnya penghasilan dan pengeluaran seseorang. Kekuatan (daya pikul) utk membayar pajak baru ada stl terpenuhinya kebutuhan primer seseorang. Teori ini lbh menekankan unsur kemampuan seseorang dan rasa keadilan.

4. Teori Bakti

Teori ini mendasarkan bahwa negara mempunyai hak mutlak utk memungut pajak. Di lain pihak, masyarakat menyadari bahwa membayar pajak sbg suatu kewajiban utk membuktikan tanda baktinya thd negara krn negaralah yg bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya. Dgn demikian dasar hukum pajak terletak pd hubungan masyarakat dgn negara. Teori ini disebut juga dgn teori kewajiban pajak mutlak.

5. Teori Daya Beli

Pembayaran pajak dimaksudkan utk memelihara masyarakatnya. Pembayaran pajak yg dilakukan kpd negara lbh ditekankan pd fungsi mengatur dari pajak agar masyarakat tetap eksis. Teori ini mendasarkan pd penyelenggaraan kepentingan masyarakat yg dianggap sbg dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu/nagara, shg pajak lbh menitikberatkan pd fungsi mengatur. Dlm teori ini kemaslahatan masyarakat akan tetap terjamin dgn pembayaran pajak. Pembagian Hukum Pajak:

Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dgn WP. 1. Hukum Pajak Formal

Memuat bentuk/tata cara utk mewujudkan hukum material menjadi kenyataan, meliputi: UU KUP, UU Penagihan Pajak dgn Surat Paksa, UU Pengadilan Pajak.

2. Hukum Pajak Material

Memuat norma-norma yg menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yg dikenakan (objek pajak), siapa yg dikenakan pajak (subjek pajak), berapa besar pajak yg dikenakan, segala sesuatu yg timbul dan hapusnya pajak, dan hubungan hukum antara pemerintahan dan WP, meliputi: UU PPh, UU PPN dan PPnBM, UU PBB, UU BPHTB, UU Bea Meterai.

Penafsiran dlm Hukum Pajak: 1. Penafsiran Autentik

Penafsiran ketentuan dlm UU dgn melihat hal-hal yg tlh dijelaskan dlm UU tsb. Dlm suatu UU umumnya terdapat pasal mengenai ketentuan umum atau definisi-definisi, shg sering disebut terminologi mrp penafsiran autentik. Penafsiran ini memiliki kekuatan hukum tertinggi. Penjelasan suatu pasal yg dimuat dlm tambahan lembaran negara bukanlah mrp penafsiran autentik.

2. Penafsiran Sistematik

Penafsiran ketentuan tertentu dgn mengkaitkannya dgn ketentuan (pasal-pasal) lain dlm UU tsb atau dari UU lainnya. Ketentuan yg tdk jelas dpt dsiketahui dgn melihat/mengkaitkan dgn pasal lainnya. Dlm proses pembuatan sebuah UU selalu ada kesatuan konsep dan pemikiran serta dilakukan sinkronisasi dgn UU lain sbl diundankan oleh pemerintah.

3. Penafsiran Historis

Penafsiran UU dgn melihat sejarah dibuatnya UU tsb. Penafsiran ini dpt diketahui dari dokumen pd waktu proses dibuatnya UU. Dgn penafisran ini dpt diketahui maksud penyusun UU.

4. Penafsiran Sosiologis

Penafsiran atas ketentuan UU yg disesuaikan dgn kehidupan masyrakat yg selalu berkembang. Krn itu perlu penyesuaian antara UU dgn perkembangan kehidupan masyarakat.

5. Penafsiran Tata Bahasa (Gramatikal)

Penafsiran ketentuan dlm UU berdasarkan bunyi kata-kata scr keseluruhan dlm kalimat-kalimat yg disusun. Penfsiran ini mrp penafsiran yg kurang memperhatikan aturan lainnya, tetapi semata-mata

A­01­4 

melihat bunyi atau redaksi pasal yg bersangkutan. Scr tata bahasa, sutau ketentuan UU hrs memberikan kepastian hukum, yaitu apabila kata-kata dlm kalimat suatu pasal tlh jelas maksudnya. 6. Penafsiran Analogis

Penfsiran ketentuan dgn cara memberi kiasan pd kata-kata yg tercantum dlm UU atau suatu model yg sejenis yg diatur di dlm ketentuan lain, shg suatu peristiwa yg sesungguhnya tdk termasuk dlm ketentuan menjadi termasuk berdasarkan analogi yg dibuat. Penafsiran ini dlm hukum pajak tdk diperbolehkan krn akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

7. Penafsiran A Contrario

Penafsiran ketentuan UU berdasarkan pd perlawanan pengertian (kebalikan) antara masalah yg dihadapi dan masalah yg diatur dlm UU. Diambil sutau kesimpulan bhawa atas masalah yg dihadapi yg tdk diatur dlm UU berada di luar ketentuan (tdk diatur). Penafsiran ini dlm hukum pajak tdk diperbolehkan krn akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Perlawanan Thd Pajak: 1. Perlawanan Pasif

Perlawanan yg inisiatifnya bukan dari WP itu sendiri tetapi terjadi krn keadaan yg ada di sekitar WP itu. Hambatan-hambatan tsb biasanya terkait dgn struktur ekonomi suatu negara, perkembangan intelektual dan moral warga negara, dan sistem pemungutan pajak itu sendiri.

2. Perlawanan Aktif

Scr nyata terlihat pd semua usaha dan perbuatan yg scr lsg ditujukan kpd pemerintah (fiskus) dgn tujuan utk menghindari pajak.

a. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)

Suatu skema transaksi yg ditujukan utk meminimalkan beban pajak dgn tdk melanggar ketentuan perpajakan shg skema tsb diartikan sbg kegiatan yg lega).

1) Menahan diri → WP tdk melakuana sesuatu yg dpt dikenai pajak. Contoh: Tdk merokok agar terhindar dari cukai tembakau.

2) Pindah lokasi → memindahkan lokasi usaha/ domisili yg tarif pajaknya tinggi ke lokasi yg tarif pajaknya rendah. Contoh: Diberikan keringanan bagi investor yg ingin menanamkan modalnya di wilayah Indonesia Timur.

3) Penghindaran pajak scr yuridis → biasanya dilakukan dgn memanfaatkan kekosongan atau ketidakjelasan UU (loopholes).

b. Pengelakan atau Penyelundupan Pajak (Tax Evasion)

Suatu skema memperkecil pajak yg terutang dgn cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) yg dpt dihukum dgn sanksi pidana. Contoh: Tdk melaporkan sebagian penjualan, Memperbesar biaya dgn cara fiktif.

c. Melalaikan Pajak

Dilakukan dgn cara menolak membayar pajak yg tlh diitetapkan dan menolak memenuhi formalitas yg hrs dipenuhi, shg termasuk sbg pelanggaran thd ketentuan perpajakan.

A­02­1 

UU PERPAJAKAN

1. UU 6 Thn 1983 ttg Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo UU 9 Thn 1994 jo UU 16 Thn 2000 jo UU 28 Thn 2007 jo UU 16 Thn 2009 → UU KUP

Aturan Pelaksanaan: PP 74 Thn 2011

2. UU 7 Thn 1983 ttg Pajak Penghasilan jo UU 7 Thn 1991 jo UU 10 Thn 1994 jo UU 17 Thn 2000 jo UU 36 Thn 2008 → UU PPh

Aturan Pelaksanaan: PP 94 Thn 2010

3. UU 8 Thn 1983 ttg Pajak Pertambahan Nilai Brg dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah jo UU 11 Thn 1994 jo UU 18 Thn 2000 jo UU 42 Thn 2009 → UU PPN

Aturan Pelaksanaan: PP 1 Thn 2012

4. UU 12 Thn 1985 ttg Pajak Bumi dan Bangunan jo UU 12 Thn 1994 → UU PBB 5. UU 13 Thn 1985 ttg Bea Meterai

6. UU 19 Thn 1997 ttg Penagihan Pajak dgn Surat Paksa jo UU 19 Thn 2000 → UU PPSP 7. UU 14 Thn 2002 ttg Pengadilan Pajak

8. UU 28 Thn 2009 ttg Pajak Daerah dan Retribusi Daerah → UU PDRD

9. UU 21 Thn 1997 ttg Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan jo UU 20 Thn 2000 → UU BPHTB

A‐03‐1 

Dalam dokumen Kumpulan Materi Perpajakan (Halaman 29-33)