• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aceh: Kesusastraan dan Hikayat

Sejarah Aceh mencatat bahwa sejak abad ke 17 telah muncul penulis dan sastrawan besar dengan karya-karya sastra mereka yang bernilai tinggi dan telah memberi pengaruh besar terhadap masyarakat pada masanya. Di antara tokoh-tokoh sastra pada masa ini adalah Hamzah Fanshuri,1 Nuruddin al-Raniri,2 Bukhari al-Jauhari, Abd al-Ra’uf al-Singkili,3 Teungku Chik Muhammad Pante       

1Karena itu tidak mengherankan apabila banyak kritikus, seperti al-Attas, Brakel dan Braginsky, memandang Hamzah Fansuri sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu, seorang perintis jalan yang melalui karya-karyanya berhasil membawa sastra Melayu memasuki babakan yang universal dan kosmopolitan dalam semangat penciptaan.Hamzah al-Fanshuri dipandang sebagai pencipta pertema bentuk kesusastraan bentuk sya’ir. Ia telah mengarang Ruba’i yang sangat indah yang ditulis dalam bahasa Melayu. Ruba’i Hamzah berisi falsafah tasawuf Wahdatul Wujud yang dianutnya. Di antara karya lain adalah Asrar al-‘Arifin, al-Mantani Syarah al-Salikin, Zinat al-Muwahidin, Sya’ir Burung Pungguk, Sya’ir si burung Pingai, syair siding fakir, dan syair perahu, semuanya berisi ajaran tasawuf. T. Iskandar, Hari Depam Kebudayaan Aceh, (Makalah disampaikan pada Seminar PKA II di Banda Aceh), hal. 12. Teeuw A., “Hamzah Fansuri, Pemula Puisi Indonesia”. Dalam Indonesia: AntaraKelisanan dan Keberaksaraan. (Jakarta: Pustaka Jaya: 1994), hal. 44-73.

2Nûr al-Dîn al-Ranirî mempunyai keahlian dalam berbagai bidang. Di samping sebagai seorang ulama besar juga seorang politikus dan negarawan pada masa Sultan Iskandar Muda. Pengarang karya terbesar dalam kesusastraan Melayu kuno, yaitu kitab Bustan al-Salatin pada tahun 1630 H. Menurut penelitian Lombard mengatakanan bahwa Bustan al-Salatin merupakan sejenis kumpulan ajaran yang cukup luas jangkauannya, yang bila ditelaah lebih mendalam pasti akan mengurangi pengetahuan kita mengenai kebudayaan melayu pada zaman itu. Di antara karyanya kitab Sirâj al-Mustaqîm yang berisi bantahan terhadap ajaran wahdah al-Wujud yang dikembangkan oleh Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Lihat Denys Lombard,

Kerajaan Aceh, Zaman Iskandar Muda, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal. 210

3Ia lebih dikenal dengan julukan Teungku Syiah Kuala dan pernah menjadi Qadhi Kerajaan Aceh sekitar tahun 1641 – 1699. Abd al-Ra’uf adalah seorang pujangga istana, seorang ulama besar, politikus dan negarawan yang terus-menerus menjadi Qadhi Malik al-Adl dalam

Kulu4 dan Do Karim. Sampai akhir abad ke-17 M, hampir seluruh ragam dan genre sastra Melayu yang dikenal sampai sekarang ini, telah muncul di Aceh sebagai buah dari kreativitas mereka yang berkelanjutan dan berkesinambungan sejak abad ke-15 M. Begitu juga wawasan estetika dan bentuk-bentuk pengucapan sastra seperti syair, pantun, bahasa berirama (teromba), dan lain-lain yang popular hingga sekarang, telah terbentuk pada zaman Aceh. Akan tetapi sangat disayangkan, memasuki abad ke-18 M kesultanan Aceh Darussalam mengalami kemunduran. Sejumlah pusat kebudayaan dan peradaban Islam lain bermunculan di kepulauan Nusantara. Peranan Aceh sendiri sebagai pusat kebudayaan lain lantas digantikan oleh kerajaan Islam lain yang silih berganti bermunculan di kepulauan Melayu seperti Palembang, Johor, Riau Lingga, Banjarmasin, Jambi, Kedah, Langkat, Deli, Pontianak, Riau Penyengat, dan lain-lain.

Para sarjana menyebut periode ini sebagai zaman klasik kesusastraan Melayu. Braginsky (1993)5 malah menyebutnya sebagai zaman ‘kesadaran diri’, dalam arti bahwa penulis-penulis Melayu Aceh telah menemukan jati dirinya secara estetik dan literer. Ketika itu tradisi keterpelajaran Islam telah tumbuh pesat dan bahasa Melayu naik pula martabatnya menjadi bahasa paling prestigius di Nusantara. Ia tidak lagi hanya sekadar lingua franca dan bahasa pengantar di lembaga pendidikan Islam di kepulauan Melayu, tetapi telah berkembang menjadi bahasa pergaulan utama antar etnik di Nusantara dalam bidang politik, keagamaan, keilmuan dan sastra. Pada masa ini pula Aceh benar-benar menjelma sebagai mercu suar peradaban Islam di Asia Tenggara dan sekaligus teladan bagi perkembangan kreativitas sastra.

        masa pemerintahan empat orang ratu. Karyanya yang terkenal Tafsîr Qur’ân Turjumun al-Mustafid, Mir’atu al-Thullâb sebuah kitab hukum Islam yang tebal dan lengkap dikarang atas permintaan Sri Ratu Safiatuddin. Lihat HB. Jassin, al-Qur’ân Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Djambatan, 1978), h. ix

4Teungku Chik Muhammad Pante Kulu, pengarang Hikayat Prang Sabi, sebuah karya sastra perang yang sangat panjang, diciptakan untuk membangkitkan perang Sabil rakyat Aceh melawan penjajah Belanda. A. Hasyimi menyatakan bahwa Hikayat Prang Sabi sebagian besar kandungan isinya berintikan ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur’ân dan bagian-bagian dari hikayat tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’ân yang dipuitisasikan. Lihat A. Hasyimi, Hikayat Prang Sabi Menjiwai Perang Aceh Melawan Belanda, (Banda Aceh: Firma Pustaka Farabi, 1971), hal. 21

5Braginsky, V. I., Tasawuf dan Sastera Melayu: Kajian dan Teks-teks, (Jakarta: RUL: 1993), Puisi Sufi Perintis Jalan. Ceramah di Sudut Penulis Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur 27-8 Oktober.

Sejak masa kemundurannya itu penulis-penulis Aceh lebih senang menulis dalam bahasa daerah mereka masing-masing seperti bahasa Aceh, Gayo, Alas, Melayu dialek Singkil, dan lain-lain. Namun demikian, karya-karya yang mereka tulis tetap merupakan kelanjutan dari yang sebelumnya. Karya-karya mereka ditulis tidak hanya dengan dorongan estetik dan sastra, tetapi juga oleh dorongan keagamaan dan budaya. Tidak jarang sya’ir-sya’ir dan hikayat yang muncul dalam bahasa-bahasa daerah ini merupakan saduran dari sya’ir dan hikayat Melayu yang telah muncul sebelumnya di daerah yang sama. Karena itu tidak mengherankan jika dalam hal estetika, serta norma-norma dan konvensi sastra yang berlaku dalam sastra Aceh dan Gayo misalnya, tidak jauh berbeda dengan estetika dan norma-norma sastra yang berlaku dalam sastra Melayu.6

Kegiatan penulisan sastra mulai berkembang di Aceh sebagai dampak dari kedatangan dan pesatnya perkembangan agama Islam berikut tradisi keterpelajaran dan intelektual. Selain menjadi pusat penyebaran agama Islam, negeri ini juga berperan sebagai pusat kebudayaan Melayu menggantikan peranan Sriwijaya yang pada abad itu mengalami kemunduran sebagai imperium dan emporium Hindu Buddha. Oleh karena itu bukanlah suatu kebetulan apabila perkembangan kesusastraan Melayu di Aceh beriring sejalan dengan perkembangan agama Islam. Ini berlanjut pada zaman-zaman berikutnya, terutama pada masa kejayaan kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M)7

Sejarah juga menunjukkan bahwa kebudayaan Aceh bercirikan Islam, di mana seluruh segi kehidupan masyarakat Aceh dijiwai oleh ajaran agama. Dengan masuknya agama Islam ke Aceh pada tahun pertama Hijriah, masuk pula huruf Arab atau al-Qur’an ke Aceh,8 dan dengan cepat berkembanglah huruf Arab Melayu atau tulisan jawi (jaweu). Bahasa al-Qur’an itu mempengaruhi bahasa dan sastra Aceh dan sekaligus menjadi media pengembangan dakwah islamiah. Dalam

      

6Abu Deeb, Al-Jurjani’s Theory of Poetic Imagery, (Warminster, Wilts: Aris & Philips Ltd.: 1979).

7Abdul Hadi W. M. dkk., Adab dan Adat: Refleksi Sastra Nusantara, (Jakarta: Pusat Bahasa: 2003), hal.

8Lihat perkembangan atau masuknya al-Qur’an ke aceh dalam Howard M. Federspiel,

Kajian al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan: 1996), hal.

pandangan Ali Hasyimi, sejak zaman dahulu bahasa dan sastra telah menyatu dengan dakwah islamiah.9

Eratnya kaitan perkembangan sastra di Aceh dengan lahirnya tradisi intelektual Islam Melayu dan penyebaran agama ini di kepulauan Nusantara, telah banyak diketahui para sarjana dan tidak pula terjadi secara kebetulan. Banyak faktor historis yang mendukungnya. Sastra Melayu bangkit kembali pada abad ke-13 M Samudra Pasai, kerajaan Islam pertama di Nusantara yang muncul pada akhir abad ke-13 M, sebagai pusat kebudayaan Melayu. Pesatnya perkembangan agama Islam dan lembaga pendidikannya di sini memberikan dampak besar bagi perkembangan kesusastraan.

Dilihat dari karya-karya ulama Aceh dalam bidang agama dan ilmu pengetahuan, dan memperhatikan bahwa mereka menulis dalam bahasa Melayu- Aceh, maka dapatlah disimpulkan bahwa mereka berperan baik sebagai ulama dan sastrawan, telah mempertahankan dan mengembangkan salah satu kebudayaan Aceh, Kebudayaan Nusantara, yaitu kebudayaan yang bernafaskan Islam, dan bahwa karya-karya sastra mereka berpengaruh kepada kebangkitan dan perkembangan kebudayaan Indonesia. Di bidang kesusastraan khususnya, sudah tidak dapat diragukan lagi bahwa kesusastraan Aceh yang bersemangat dan berjiwa Islam itu telah memberikan sumbangan yang besar bagi pembinaan bahasa dan kesusastraan Melayu Indonesia.10

Sebuah buku penting yang terbit pada tahun 1995 Seulawah: Antologi Sastra Aceh (diselenggarakan oleh L. K. Ara, Taufiq Ismail, dan Hasyim KS) sedikit banyak telah berhasil membuka mata bahwa kegiatan sastra penulis-penulis Aceh masih berlanjut dalam empat dasawarsa terakhir abad ke-20. Nama-nama seperti H. S. Ugati, Melalatoa, Rusli A. Malem, L. K. Ara, Maskirbi, dan beberapa lagi merupakan penulis-penulis penting era 1960 an-1990 an. Tetapi

      

9Ali Hasyimi, Mau Kemana Bahasa dan Sastra Aceh yang Dahulu Pernah Menyatu dengan Dakwah Islamiah, (Makalah Dewan Kesenian Aceh, 1985), hal. 8

10Ali Hasyimi, Sumbangan Kesusastraan Aceh dalam Pembinaan Kesusastraan Indonesia,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 24. Lihat juga A. Darwis Sulaiman, Sumbangan Kebudayaan Islam kepada Kebudayaan Indonesia, (Makalah yang disampaikan pada seminar ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Takengon Aceh), hal. 15

sayang sebagian dari mereka telah tiada, sedang yang lain telah mulai uzur sehingga tidak bisa diharapkan perkembangan lebih lanjut.11

Tetapi sangatlah menggembirakan bahwa dewasa ini kegiatan sastra di Aceh atau di lingkungan penulis Aceh mulai bangkit kembali, sebagaimana di beberapa daerah lain di Indonesia yang dahulunya merupakan daerah yang terpencil dari perkembangan sastra nasional. Nama-nama seperti Fikar W. Eda, Sulaiman Tripa, D. Kemalawati, Mustafa Ismail, Azhari, dan M. Nazir adalah nama-nama yang relatif baru, namun cukup menjanjikan dalam membawa kembali Aceh berkiprah lebih aktif dalam dunia kepengarangan di negeri ini dewasa ini dan di masa depan. Beberapa karangan mereka cukup terkenal, walaupun masih terlalu menggantungkan diri pada bakat alam.12

Sutardji Calzoum Bachri dalam esai antologi karangannya Isyarat. Merasa khawatir akan ketidakseimbangan antara tuntutan estetika dan kebebasan kreatif di satu hal, dengan tuntutan akan popularitas dan keterlibatan dengan ide-ide besar yang lagi naik daun di lain hal, banyak sekali penulis 1960-an harus menjadi korban dari eksistensialisme dan proletarianisme. Kini pada awal alaf ke-3, bukannya tidak mungkin nanti kita menyaksikan korban dari ide-ide besar lain yang sekadar dikunyah dan tidak diresapi secara mendalam dengan wawasan estetika yang selaras.13

Ini tidak berarti bahwa menggeluti ide-ide besar diharamkan, sebab pengarang-pengarang terdahulu yang berhasil juga menggeluti ide-ide yang juga tidak kalah besar dari ide-ide yang berkembang sekarang. Namun motivasi kepengarangan mereka tidak semata didorong oleh ide-ide besar itu, melainkan terutama didasarkan atas motivasi bersastra dan dorongan estetik yang benar. Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Chairil Anwar, Mochtar Lubis, Pramudya Ananta Toer, Sutardji Calzoum Bachri, Iwan Simatupang, Luntowijoyo, Danarto, Rendra, Subagio Sastrowardojo, Seno Gumilar Ajidarma, Taufiq Ismail, Zawawi Imron, dan lain-lain juga bergelut dengan ide-ide besar.       

11Abdul Hadi, W.M., “Sastra Islam di Dunia Melayu-Indonesia”, dalam Taufiq Abdullah dan Nurchalis Madjid (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baroe Van Hoeve: 2002), hal. 23

12Abdul Hadi, W.M., Penulis Aceh dan Estetika Islam: Dari Sastra Melayu ke Sastra Indonesia, 2007, hal. 18

Tetapi motivasi bersastra dan dorongan estetik mereka juga besar, mereka tidak jatuh menjadi korban dari ide-ide besar yang mereka yakini benar. Mereka juga tahu bahwa bakat alam tidak cukup, untuk meminjam istilah Subagio Sastrowardojo. Seorang pengarang dalam dirinya harus mengusahakan dan meningkatkan bobot intelektualnya hingga wawasannya, kalau tidak meluas, ya mendalam.14

Kesusastraan Aceh yang terbanyak ditulis dalam bentuk puisi yang disebut hikayat. Sastra tulisan itu merupakan puncak keagungan sastra Aceh dan melalui hikayat pulalah dakwah Islam dilaksanakan. Banyak hikayat yang kemudian ditulis dengan huruf latin, setelah Snouck Hurgronye menetapkan ejaan latin untuk bahasa Aceh, yaitu ejaan yang diambil dari ejaan bahasa Prancis karena huruf hidupnya banyak persamaan dengan bunyi huruf hidup dalam bahasa Aceh.

Mahjiddin Jusuf salah seorang ulama kharismatik Aceh, pada awalnya belajar ilmu agama kepada orang tuanya Fakir Yusuf sebagai seorang penyair pada masanya, karena ketekunannya, darah penyair mengalir dalam jiwa Mahjiddin. Sebagai penerus estafet pendahulunya, Mahjiddin berperan aktif dan memberikan kontribusi positif yang bermanfaat bagi masyarakat Aceh melalui karya monumental al-Qur’ân al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh.15

Sosok Mahjiddin yang pernah menjabat sebagai tokoh Majlis Ulama telah berhasil menerjemahkan al-Qur’ân dalam bahasa Aceh dalam bentuk nazham (puisi) dengan segala ketulusan hatinya. Terjemahan tersebut sangat bermanfaat guna mendorong dan membantu posisi bahasa Aceh dalam tradisi keilmuan. Secara tidak langsung meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Aceh dan umat Islam pada umumnya.16

Metode bersajak yang digunakan Mahjiddin hampir menyerupai metode yang dilakukan oleh HB. Jassin dengan pendekatan puisi. Karakteristik yang beliau gunakan dalam menerjemahkan al-Qur’an ke dalam nuansa kedaerahan, sehingga banyak hal-hal yang ditransformasikan ke dalam pemikiran orang Aceh       

14Abdul Hadi, W.M., Penulis Aceh dan Estetika Islam: Dari Sastra Melayu ke Sastra Indonesia, 2007, hal. 17

15Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’ân al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh,

(Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh, 2007), hal. xv 16Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’ân al-Karim, hal. xix

dan hal tersebut tidak mengubah makna keaslian al-Qur’an, bahkan memberikan gambaran yang mudah dipahami oleh pembacanya. Dalam sudut pandang tatanan bahasa Aceh, terlihat ketaatan dan kedisiplinannya dalam merangkai dan menyusun kata perkata.

Fungsi dan posisi hikayat dalam bidang agama tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai kebiasaan yang telah berkembang dari dulu. Bahwa masyarakat Aceh dalam kurun sejarah yang cukup panjang amat menyenangi karya sastra semacam hikayat. Baik kalangan penjabat, orang tua juga tak ketinggalan kaum muda laki-laki ataupun perempuan, semuanya menyenangi hikayat.17

Mencermati makna ungkapan di atas, betapa hikayat sebagai karya sastra telah mengikat masyarakat Aceh sebagai penikmat sastra pada masanya. Dengan kata lain, kecendrungan ini memegang peranan penting di Aceh karena hikayat sebagai “hasil produksi” dalam bentuk karya sastra telah dapat memenuhi selera rakyat Aceh sebagai “konsumennya”.

Esensinya, hikayat harus mampu menggambarkan kelebihan konsep-konsep Islam dalam kehidupan sosial dan budaya. Inilah syarat penting untuk menimbulkan pembaharuan yang hendak dicapai, yaitu syiar Islam yang dapat meresap ke dalam kehidupan masyarakat. Hikayat sebagai media syiar Islam mendapat posisi tersendiri dalam masyarakat Aceh. Baik hikayat sebagai karya sastra maupun media syiar Islam sama-sama menghendaki penghayatan dan pemahaman yang bisa meresap ke dalam kalbu manusia. Hikayat sebagaimana karya sastra pada umumnya memiliki kata-kata yang meninggalkan kesan-kesan dan perasaan, sama halnya seperti sendi-sendi agama Islam yang menuntut penghayatan dan keyakinan di dalam hati.

Sastra di mana pun dan kapan pun tidak lahir dari kekosongan. Sebagai wujud dari penuturan erlibnis (pengalaman hidup yang dihayati) seperti dikatakan Wilhelm Dilthey, karya sastra sebenarnya merupakan tanggapan atau penilaian pengarang atas kondisi kemanusiaan dan sosial budaya yang dihadapi masyarakatnya pada zamannya. Dalam membangun tanggapannya itu ia bertolak dari suatu pandangan dunia (Weltanschauung atau worldview) dan sistem nilai tertentu yang tengah bangkit pada zamannya. Weltanschauung penulis-penulis       

17Abu Bakar Meulaboh, Prasarana Bahasa dan Kesusastraan Aceh, dalam Petunjuk Panitia PKA II, 1972.

Melayu Aceh pada abad ke-16 dan 17 M, seperti dikatakan M. Naquib al-Attas (1972),18 dibentuk oleh tafsir terhadap ajaran Islam yang dilakukan ahli-ahli tasawuf atau sufi berkaitan dengan metafisika, etika, dan estetika. Oleh karena bukanlah suatu kebetulan atau dibuat-buat apabila kita harus menghubungkan wawasan sastra atau estetika yang melapisi kesusastraan Melayu pada masa formatifnya di Aceh itu dengan estetika yang dikembangkan para sufi seperti Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi, Fariduddin `Attar, Jalaluddin Rumi, Abdul Rahman Jami, dan Hamzah Fansuri sendiri.

Oleh yang demikian tentu ada suatu cara atau jalan yang dipakai Islam dalam menyiarkan dakwahnya tersebut. Dan diantara cara atau jalan yang dipilih atau dilalui itu adalah penggunaan hikayat atau cerita-cerita rakyat dengan sisipan unsur-unsur keislaman didalamnya. Selain itu, ada beberapa hal mendasar dari masyarakat Aceh pula yang tidak luput dari perhatian muballigh-muballigh Islam yang menjadi pertimbangan pokok dalam memainkan hikayat sebagai media syiar Islam. Faktor latar belakang agama tidaklah cukup semata-mata menjadi pertimbangan, akan tetapi aspek-aspek sosial budaya lainnya yang secara bersama-sama ikut mempertajam pula sentimen keagamaan masyarakat Aceh masa itu.

Dalam masyarakat Aceh kita akan menjumpai sejumlah karya sastra dari zaman lampau. Diantara karya sastra itu ialah hikayat. Hikayat ditulis hampir seluruhnya berbentuk puisi dengan menggunakan huruf Arab-Melayu tetapi tetap dalam teks berbahasa Aceh. Ditinjau dari segi masyarakat Aceh, hikayat tidaklah dipandang sebagai karya fiksi yang utuh. Hikayat dan cerita rakyat semacam itu lebih berat dipandang sebagai suatu peristiwa kehidupan yang benar-benar ada daripada sebagai buah pikiran pengarangnya. Juga, isi kandungan hikayat dianggap mewakili sekelumit peristiwa kehidupan sosial Aceh sehingga amat mempengaruhi tingkah laku, norma atau nilai-nilai sosial, kehidupan bermasyarakat dan berbudaya pada umumnya.19

Fungsi dan posisi hikayat dalam bidang agama tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai kebiasaan yang telah berkembang dari dulu. Bahwa masyarakat Aceh       

18M. Naquib al-Attas, Prelimanary Statement in a General Theory of Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka: 1969)

dalam kurun sejarah yang cukup panjang amat menyenangi karya sastra semacam hikayat. Baik orang-orang besar, apakah tua maupun muda, laki-laki ataupun perempuan, semuanya tergila-gila kepada hikayat.20

Mencermati makna daripada ungkapan di atas, betapa hikayat sebagai karya sastra telah mengikat masyarakat Aceh sebagai penikmat sastranya pada masanya. Dengan kata lain, kecendrungan ini memegang peranan penting di Aceh karena hikayat sebagai “hasil produksi” dalam bentuk karya sastra telah dapat memenuhi selera rakyat Aceh sebagai “konsumennya”.

Hikayat sebagai media syiar Islam atau islamisasi melalui hikayat mendapat posisi tersendiri dalam masyarakat Aceh. Baik hikayat sebagai karya sastra maupun media syiar Islam sama-sama menghendaki penghayatan dan pemahaman yang bisa meresap ke dalam kalbu manusia. Hikayat sebagaimana karya sastra pada umumnya memiliki kata-kata yang meninggalkan kesan-kesan dan perasaan, sama halnya seperti sendi-sendi agama Islam yang menuntut penghayatan dan keyakinan di dalam hati.

Pengaruh hikayat terkadang mencapai sesuatu yang jauh, mendalam dan mengkristal di nurani manusia. Sebagaimana Hikayat Prang Sabi mengambil posisi penting sebagai motif perlawanan rakyat Aceh menentang kolonial Belanda. Unsur-unsur agamis dimasukkan sebagai dasar ideologi perang Sabil dengan kemasan menarik dan dalam gaya bahasa atraktif sehingga menggugah kesadaran rakyat Aceh untuk melawan ketertindasan.

Memang pada esensinya hikayat harus mampu menggambarkan kelebihan konsep-konsep Islam dalam kehidupan sosial dan budaya. Inilah syarat penting untuk menimbulkan pembaharuan yang hendak dicapai, yaitu syiar Islam yang dapat meresap ke dalam kehidupan masyarakat.