• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontroversi Puitisasi Terjemahan al-Qur’an

Kontroversi terhadap puitisasi al-Qur’an sebenarnya berlangsung antara akhir 1970-an hingga awal 1980-an. H.B. Jassin, seorang kritikus sastra Indonesia menerbitkan sebuah terjemahan al-Qur’an atas dasar sastra dalam proyeknya al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, dan al-Qur’an Berwajah Puisi. Terjemahan ini kemudian mendapatkan kecaman dan kritik serta tanggapan dari berbagai komunitas masyarakat muslim Indonesia.42 HB Jassin, tokoh sastra Indonesia, yang membidani dan melahirkan ide ini. Jassin sama sekali tidak bermaksud untuk membuat tafsiran baru tentang makna-makna yang dikandung al-Qur’an.

Jassin hanya ingin menyajikan al-Qur’an dengan gaya yang berbeda yang menurutnya lebih indah. Gaya ini ia wujudkan dengan cara menyusun penulisan ayat-ayat Qur’an maupun artinya dengan pola yang biasanya digunakan dalam penulisan puisi sehingga menimbulkan irama tertentu, bukan arti tertentu. Untuk penyusunan pola ini, mau tidak mau terjadi pemenggalan-pemenggalan baik pada ayat-ayat Qur’an maupun artinya.43

Sebagian beranggapan bahwa usaha yang dilakukan Jassin dalam mempuitisasikan terjemahan al-Qur’an sudah bagus, namun belum sepenuhnya puitis. Masih diharapkan adanya usaha lain yang lebih melengkapi puitisainya dari pengkaji al-Qur’an maupun sastrawan lainnya. Proses puitisasi ini dilakukan menurut kemampuan pemahaman makna penerjemah terhadap maksud dari ayat-ayat al-Qur’an. Diyakini bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna menerjemahkan kalam Allah ke dalam bahasa apapun. Yang dilakukan selama ini hanyalah menerjemahkan maksudnya saja menurut pemahaman penerjemah.

Kontroversi ini timbul dilatarbelakangi oleh tiga sebab. Pertama,

anggapan bahwa Jassin tidak menguasai bahasa serta sastra Arab dan bukan seorang pakar tafsir. Bahkan terjemahan sekalipun apalagi buku tafsir sangat menuntut tiga perangkat diatas. Kedua, apa yang dilakukan HB Jassin mungkin yang pertama dilakukan di dunia. Bagi sebagian orang itu adalah ide jenius,       

42HB. Jassin, al-Qur’ân al Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Djambatan, 1991), cet. 3. selengkapnya lihat, Nazwar Syamsu, Koreksi Terjemah al-Qur’ân Karim Bacaan Mulia HB. Jassin, (Padang Panjang: Pustaka Sa’adiyyah, 1978). Lihat jugaOemar Bakry, Polemik H. Oemar Bakry dengan H.B. Jassin tentang al-Qur’ân al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Mutiara, 1979), Siradjuddin Abbas, Sorotan atas Terjemahan al-Qur’ânHB. Jassin, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1979).

sebuah invention. Bagi sebagian lain, itu adalah bid'ah yang tidak punya rujukan atau basis dalil, hujjah, reason dari sumber-sumber hukum Islam. Ketiga, al-Qur'an secara jelas "membela dirinya sendiri" lewat ayat-ayatnya bahwa ia bukan kitab sastra. Meletakkan al-Qur'an sebagai hanya karya sastra semata berarti merendahkan al-Qur'an itu sendiri. Fungsi utama al-Quran adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia.

Para diskusan setuju bahwa karya Jassin ini bermaksud menyampaikan ketinggian sastrawi al-Qur'an kepada bangsa Indonesia yang tidak menguasai sastra Arab. Dari keseluruhan polemik yang kemudian mencuat, semuanya mengerucut pada keberatan utama: Jassin bukan pakar tafsir karena itu ia tidak pantas menulis sebuah terjemahan al-Qur'an sekalipun. Apa yang dilakukan Jassin sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru. Sayyid Qutb pernah menerbitkan

Tafsîr Fî Dzilâl al-Qur'ân. Latar belakang pengetahuan sastra Arab membuat tafsir tersebut cendrung sastrawi. Di abad keemasan Islam, dikenal juga tafsir-tafsir yang indah, semacam Tafsir Ibn Arabî, Tafsir al-Ma'ani, Juga tafsir-tafsir yang membahas satu demi satu kosa kata al-Quran.

Gagasan yang terbilang sangat brilian ini tentulah mendapatkan sebuah respons pro dan kontra. Tidak kurang dari MUI dan Departemen Agama angkat bicara.44 Di dalam buku inilah akan tersajikan artikel dari media cetak nasional ataupun daerah. Sebelumnya Jassin sempat membuat heboh masyarakat dengan menerbitkan al-Qur’an Bacaan Mulia, yang menurut beberapa kalangan terjemahannya masih diragukan. Namun, gagasan ini terbilang monumental, apalagi ketika menerbitkan al-Qur’an Bacaan Mulia yang pada tahun 1993 mencapai cetakan ketiga.

Umat Islam yang menolak penerbitan al-Qur’an ini mendasarkan pada pemikiran bahwa tindakan Jassin menulis al-Qur’an secara puitis dapat menimbulkan kesalahan arti atau makna terhadap ayat-ayat Qur’an. Kesalahan-kesalahan seperti ini dikhawatirkan akan menimbulkan pemahaman yang salah bagi umat Islam maupun masyarakat umum. Selain itu, al-Qur’an sebagai karya Allah tidak selayaknya dimaknai sembarang oleh manusia. Karenanya tindakan       

44 HB. Jassin, Kontroversi al-Qur’an Berwajah Puisi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal 17-18

ini dianggap sebagai tindakan merendahkan al-Qur’an dan tidak ada contoh perbuatan dari Nabi Muhammad maupun para sahabat tentang hal ini.

Untuk beberapa lama, kontroversi puitisasi al-Qur’an menimbulkan polemik di surat kabar-surat kabar nasional maupun lokal, bahkan pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terpaksa turun tangan untuk memberikan penjelasan dan Jassin harus melakukan roadshow ke sejumlah ulama dan pesantren untuk memberikan pengertian seputar terbitnya Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia. Pemerintah dan MUI sebenarnya berpendapat bahwa tidak ada masalah penting maupun kesalahan fatal dalam terjemahan Jassin, bahkan sebelum diedarkan ke masyarakat, karya ini telah diaudit oleh para ahli al-Qur’an di MUI sehingga dikeluarkanlah Surat tanda tashih dari Lajnah Pentashih al-Qur’an No. I -III/198/B-II/77 yang artinya karya Jassin ini tidak memiliki kesalahan fatal baik dari sisi penulisan maupun pengartian sehingga dianggap layak untuk diedarkan ke tengah masyarakat.

Karya Jassin dipandang mudah dan jelas untuk dimengerti, meskipun harus dipertimbangkan apakah ideal untuk terjemahan Qur'an yang bersifat sastra. Masalah pokoknya ialah bagaimana cara paling tepat untuk menjabarkan sifat sastra Qur’an itu ke dalam bahasa lain. Jassin sendiri menamakan karyanya "terjemahan puitis." Tidak seperti Muhammad Diponogoro dalam karyanya

Pekabaran Puitisasi Terjemahan Juz ‘Amma,45telah menulis puitisasi terjemahan ayat al-Qur’an juz 29-30. Al-Qur’an, bila diterjemahkan dengan gaya puitis rasanya akan lebih damai daripada mendengarkan musik. Diponegoro mengaktuilkan kembali model puisi untuk terjemahan al-Qur'an di tahun 1960-an, setelah di zaman Poedjangga Baroe dulu dimulai oleh Rifai Ali yang menamakan gubahannya "puitisasi terjemahan Qur'an." Diponegoro lebih bebas dari Jassin. Ia menggubah kembali terjemahan Qur'an sehingga memang tidak bermaksud terlalu "setia" kepada bunyi lafal asli. Tetapi dalam hal terjemahan puitis terhadap Qur'an dan bukan puitisasi terhadap terjemah Qur'an. Bisakah dijamin bahwa keindahan sastra yang diangkutnya adalah memang keindahan yang disediakan oleh ayat itu sendiri? Kenyataan bahwa ayat-ayat itu sendiri tidak tertulis menurut model syair Arab, sudah lebih dahulu menunjukkan bahwa puisi Qur'an mernang bukan puisi       

bentuk. Bachtiar Surin dalam karya-karya puitisasi al-Qur’annya,46 menyatakan bahwa al-Qur’an itu isinya untuk didakwahkan kepada masyarakat. Namun tak semua orang mengerti bahasa Arab, karena itu bagi kalangan peminat seni, ia berinisiatif mengarang puitisasi al-Qur’an.

Dalam perkembangannya, muncul Abdullah Yûsuf Ali (1872 M-1953 H), seorang cendekiawan muslim yang menerjemahkan al-Qur’an dalam bahasa Inggris. Yusuf Ali menyusun gubahannya dalam baris-baris sajak modern, yang diperbuatnya kemudian tak lain dari usaha mengganti keindahan ayat asli itu dengan keindahan jenis lain. Demikian juga Muhammed Marmaduke Pickthall (1875-1936),47 seorang intelektual Muslim Barat. Yang juga memiliki ide yang sama dalam menerjemahkan al-Qur’an secara puitis dengan judul The meaning of the Holy Qur'an. Karya ini merupakan terjemahan bahasa Inggris pertama yang dilakukan oleh seorang Muslim dan diakui oleh Universitas al-Azhar Mesir,

Times Literary Supplement juga menyatakan bahwa karya Pickthall ini sebagai sebuah pencapaian penulisan yang besar. Seperti dikatakan Hamka membuktikan penerjemahnya menguasai bahasa-bahasa Inggris dan Arab, dan itulah terjemah Inggris yang paling indah tetap disusun seperti ayat aslinya.48

Namun dalam perkembangannya, karya Jassin menimbulkan pro kontra di antara umat Islam sendiri. Umat yang mendukung penulisan dan penerbitan ini beralasan bahwa yang dilakukan Jassin sah-sah saja dan pantas mendapat sokongan karena Jassin sekedar berupaya mengekspresikan kecintaannya terhadap al-Qur’an melalui bidang yang ia kuasai yaitu seni sastra tanpa menimbulkan penafsiran-penafsiran baru yang keliru pada ayat-ayat Qur’an. Termasuk yang       

46Karya-karya puitisasi al-Qur’ân Bachtiar Suryani sering dibacakan dalam perlombaan MTQ, pelantikan penjabat, pelepasan Haji, akad nikah, Maulid Nabi dan hari-hari besar Islam lainnya. Juga setiap tahun menulis puitisasi yang dibutuhkan LPTQ tiap tahunnya. Telah menghasilkan lebih dari 200 puisi yang sarat dengan nuansa religius. Khusus tentang puitisasi al-Qur’an terdapat dalam antologi “ Cahaya” saritilawah al-al-Qur’an, Perarakan Senja (puisi zikrul maut, dan Bias al-Qur’ân dalam Perjalanan Panjang.

47William Pickthall adalah pemeluk agama Kristen yang kemudian berpindah agama memeluk Islam. juga seorang novelis, yang diakui oleh D.H Lawrence, H.G Wells dan E.M Forster, juga seorang jurnalis, kepala sekolah serta pemimpin politik dan agama. Dididik di Harrow, ia terlahir pada keluarga Inggris kelas menengah, yang akar keluarganya mencapai ksatria terkenal William sang penakluk. Pickthall berkelana ke banyak negara-negara Timur, mendapat reputasi sebagai ahli masalah Timur Tengah. Karya ini ditulis ketika menjadi pejabat di bawah pemerintahan Nizam dari Hyderabad, Muhammad Marmaduke Pickthall. The Meaning of the Glorious Koran. (Kuwait: Dar al-Islamiyya).

mendukung upaya Jassin saat itu antara lain Hamka (Ketua MUI), Ali Sadikin (Gubernur DKI), dan Mukti Ali (Menteri Agama).

Dalam pengantar yang ditulisnya untuk terjemahan al-Qur'an ini, Hamka menyebut keyakinannya tentang ketulusan pribadi Jassin, yang dikenalnya sejak 1941.49 Hamka mendukung penuh kepada hasil terjemahan ini. Ini tentulah satu hal yang sangat berharga bagi pengetahuan publik, yang semula hanya mengenal Jassin sebagai penjaga terpenting kesusasteraan Indonesia dengan nama depan yang berbau Belanda. Kesangsian umat terhadap bakal terjemahan kritikus sastra Indonesia ini, mengingat "kemampuan" si penerjemah yang telah menyatakan sendiri bukan ulama dan bukan ahli Bahasa Arab

Tetapi itu hanya menunjukkan bahwa terjemah Qur'an dengan berpijak pada sastra, pada akhirnya tidak hanya satu model. Dan Jassin, dengan kemurahan Tuhan, telah mewujudkan model sebuah terjemah puitis yang utuh dan lengkap dalam bahasa Indonesia.

Pada tahun 1953, Mahjiddin Jusuf seorang sastrawan Aceh juga mencoba menerjemahkan al-Qur’an secara puitis. Usaha ini terinspirasi oleh karya HB. Jassin yang kemudian dijadikan pembanding dalam proses penerjemahan. Tidak hanya gaya bahasa terjemahan yang unik, terjemahan ini juga mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu bahasa penerjemahan dengan menggunakan bahasa lokal daerah Aceh. Hal ini dimaksudkan agar karya ini dapat dipahami oleh masyarakat dengan bahasa aslinya.