• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK PUITISASI TERJEMAHAN AL-QUR’AN Realitas kehidupan sebagai medan keberangkatan penafsiran, berorientasi

pada konteks penafsir teks al-Qur’an. Latar belakang sosial historis di mana teks muncul dan diproduksi menjadi variabel penting. Namun semua itu harus ditarik ke dalam konteks penafsir atau penerjemah di mana ia hidup dan berada, dengan pengalaman budaya, sejarah dan sosialnya sendiri.1 Pengalaman ini akan memberikan warna dan nuansa dalam karya yang dihasilkannya.

A. Paradigma Baru Terjemahan Bahasa Aceh Bersajak

Pada dasarnya, setiap terjemahan al-Qur’an2 dalam bahasa apapun, mempunyai ciri-ciri sendiri, masing-masing penerjemah ingin meninjaunya sesuai dengan wawasan dan bidangnya, sehingga setiap tafsir akan memberi manfaat tersendiri pula kepada pembacanya. Terjemahan Al-Qur’an al-Karim Tarjamah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh karya Mahjiddin Jusuf memperkenalkan

      

1Farid Essack adalah salah satu contoh yang baik dalam pendekatan ini. Essack menempatkan al-Qur’an dalam ruang sosial di mana ia berada, sehingga sifatnya bukan lagi kearaban yang umum. Tak ada tafsir atau ta’wil yang bebas nilai. Penafsiran al-Qur’an bagaianapun adalah exegesis yang memasukkan wacana asing ke dalam al-Qur’an (Reading into) sebelum exegesis mengeluarkan wacana dari al-Qur’an (reading out). Lihat, Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and The Emergence of Qur’anic Hereneutical Nations”, dalam ICMR, Vol. 2, No. 2, Deseber 1991. Secara teoritik dan praktek lihat bukunya Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspektif of Interreligious Solidarity Againts Opression, (Oxford: Oneworld, 1997), hal. 49, 77. Perlu adanya usaha pengembangan kajian al-Qur’an termasuk di Indonesia. Kajian al-Qur’an yang bertitik tolak tak hanya pada problem sosial kemasyarakatan yang membangun teks al-Qur’an, tetapi juga problem sosial kemasyarakatan, di mana penulis tafsir berada bersama audiensnya. Ishlah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; Dari Hermeneutika hingga Idiologi, (Jakarta: Teraju, 2003), hal. 255. Lihat juga, J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Qur’an in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974).

2Terjemah al-Qur’an seperti yang diungkap al-Sâbuniy; mengalihkan al-Qur’an kepada bahasa asing selain bahasa Arab, dan terjemahan tersebut dicetak dengan tujuan agar dapat dikaji oleh mereka yang tidak menguasai bahasa Arab sehingga dapat mengerti maksud dari firman Allah tersebut dengan bantuan terjemahan tadi. Khalid ‘Abd al-Rahman al-‘Akk menyebutkan bahwa terjemah al-Qur’an adalah mengalihkan makna atau sebagian makna al-Qur’an. Sebatas kemampuan dan kebolehan yang diberikan ilmu tafsir dan takwil, dan bukan berarti menyalin al- Qur’an asli. Muhammad `Ali al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Âlam al-Kutub, t.th.), hal. 210-214. Khalid ‘Abd al-Rahman al-Akk, Usûl al-Tafsîr wa Qawa’iduhu, (Beirut: Dâr al-Nafa’is, 1986), hal, 461-483

dirinya sebagai kitab terjemahan satu-satunya dalam bahasa Aceh yang menekankan pada masalah sastra atau kebudayaan pada umumnya.

Mahjiddin mulai mengerjakan terjemahannya pada tanggal 25 November 1955 ketika berada dalam tahanan,3 karena peristiwa Aceh seperti yang telah disebutkan di bagian yang lalu. Selama dalam tahanan, Mahjiddin menerjemahkan tiga buah surat yaitu: Yassin, al-Kahfi dan al-Insyirah. Terjemahan ini pernah dipublikasikan secara bersambung dalam harian Duta Panjtatjita Banda Aceh bulan Januari dan Pebruari 1965. Setelah berhenti lebih kurang 20 tahun, kegiatan penerjemahan ia lanjutkan kembali pada tahun 1977. Penerjemahan seluruh al-Qur’an diselesaikan pada tahun 1988.4

Mahjiddin tidak mencurahkan waktu sepenuhnya untuk menerjemahkan al-Qur’an. Kehidupannya diisi dengan beragam aktivitas pergerakan maupun intelektual. Ia tetap menunaikan kewajiban-kewajiban yang cukup banyak dengan aktivitas pemerintahan, sebagai Kepala Bagian Pendidikan Agama, ditambah lagi menjalin hubungan dengan banyak kalangan, di antaranya dengan tokoh kemerdekaan dan para cendikiawan muslim pada masanya.

Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) pada tahun 1995, telah mengambil inisiatif untuk menyunting dan menerbitkan naskah al-Qur’an al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh ini dalam huruf Latin sehingga dapat dipahami oleh masyarakat Aceh secara luas dan merata. Edisi pertama sangatlah terbatas, sementara animo masyarakat untuk memilikinya cukup tinggi sehingga dalam kurun waktu yang singkat telah habis beredar. Untuk memenuhi keinginan tersebut, pemerintah melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias menyambut dengan antusias dan membiayai cetak ulang karya terjemahan tersebut pada tahun 1997.5 Penyuntingan dan penerbitan terjemahan ini langsung ditangani oleh P3KI.6

      

3Mahjiddin Jusuf, Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’ân al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh, 2007), hal. xx

4Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xx

5Penerbitan Terjemahan al-Qur’an ini merupakan puncak dari sumbangan spiritual dan budaya dari masyarakat Aceh dalam memperingati setengah abad Indonesia merdeka. Lihat kata

Tim Penyunting edisi kedua ini diketuai oleh Dr. H. Abdul Gani Asyik, MA., ketua pengarah Prof. Dr. H. Ahmad Daudy, MA., sekretaris oleh Dr. Abdul Rani Usman, M.Si., anggota-anggota Dr. Zulkarnaini Abdullah, MA, Dra. Hamdiah A. Latief, MA., Drs. Ramly M. Yusuf, MA.

Dalam edisi kedua ini dilakukan beberapa penyempurnaan, terutama dalam hal standarisasi penulisan ejaan bahasa Aceh yang mengacu pada karya Abdul Gani Asyik, seorang linguisi (ahli bahasa) yang telah banyak meneliti dan menulis tentang Bahasa Aceh, termasuk versi ejaan bahasa Aceh yang digunakan dalam penulisan terjemahan al-Qur’an ini. Selain itu penataan juga dilakukan pada beberapa elemen kata maupun kalimat yang keliru.

Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mencetak ulang al-Qur’an terjemahan bahasa Aceh dikirim ke sejumlah negara. Sekretaris tim penyunting A.Rani Usman mengatakan sejumlah negara yang dikirim al-Qur’an terjemahan bahasa Aceh itu antara lain Mesir, Malaysia, Belanda, Kanada, Taiwan dan beberapa negara lainnya. Pengiriman hasil karya ulama Aceh itu dimaksudkan untuk memperkenalkan budaya masyarakat Serambi Makkah kepada dunia internasional.7

Selain dikirim ke sejumlah negara di Timur Tengah, al-Qur’an terjemahan bahasa Aceh itu juga diberikan secara gratis kepada seluruh Kabupaten dan Kota, Kecamatan, desa dan pesantren (dayah) yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kami juga mengirimkan karya ulama Aceh ini kepada sejumlah Perguruan Tinggi Negeri dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di seluruh Indonesia, di samping perpustakaan dalam dan luar negeri. al-Qur’an terjemahan yang dicetak PT Intermasa Jakarta itu diterbitkan P3KI IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh. Edisi kedua dicetak sebanyak 12.000 buah dan dibagikan kepada lembaga di Aceh, dinas, lembaga serta instansi dengan harapan         sambutan Syamsuddin Mahmud, Gubernur Kepala Daerah Aceh dalam Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. vii

6Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI), P3KI Luncurkan Terjemah al-Qur’an Bahasa Aceh, lihat http://al-quran-batak.blogspot.com, diakses 2 September 2009.

7P3KI , al-Qur’an Terjemah Bahasa Aceh di ekspor, http://www.kapanlagi.com, diakses 24 September 2008.

hasil karya putra kelahiran Peusangan Bireuen itu dapat menambah dan membuka wawasan masyarakat.8

Tim ini mulai bekerja pada bulan Ramadhan tahun 1413 (April 1993) untuk mentranskripsikan naskah ke dalam huruf Latin kemudian dilanjutkan dengan penyuntingan terjemahan. Kegiatan ini selesai pada Ramadhan 1414 (Maret 1994), dan selama itu telah dilakukan tiga kali konsultasi atau diskusi dengan pengarangnya. Diskusi terakhir berlangsung hanya beberapa hari sebelum Mahjiddin meninggal dunia. Setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan pemeriksaan ejaan yang berakhir dalam bulan Juli 1994.9

Untuk ketelitian, hasil pekerjaan ini dikoreksi kembali dan mencapai bentuk finalnya pada bulan September tahun 1994. Sesuai dengan kemampuan dana, maka penerbitan ini pada mulanya direncanakan hanya berisi terjemahannya saja tanpa disertai dengan teks asli al-Qur’an. Namun ketika naskah tersebut ditujukan kepada beberapa pihak untuk memperoleh kritik dan sumbang saran demi kesempurnaan, maka disarankan untuk mencantumkan nash al-Qur’an. Karena hal tersebut, P3KI meminta Team menjajagi kemungkinan penulisan nash al-Qur’an tersebut. Upaya ini berjalan lancar setelah Lajnah Pentashih al-Qur’an Departemen Agama memberikan bantuan serta memeriksa dan akhirnya memberikan izin penerbitan. Nash al-Qur’an yang digunakan adalah nash standar Indonesia, seperti yang tertulis dalam al-Qur’an dan Terjemahannya terbitan Departemen Agama.10 Dewan pentashih Terjemahan al-Qur’an Bahasa Aceh ini diketuai oleh Abd Hafidz Dasuki dan empat belas anggota lainnya.

Adapun hal penting yang melatarbelakangi terjemahan ini dilakukan, yaitu, kehadiran terjemahan lengkap kitab suci al-Qur’an dalam bahasa Aceh merupakan sumbangan yang patut membanggakan hati rakyat Indonesia pada umumnya dan rakyat Aceh pada khususnya. Menurut GBHN, Bahasa Daerah adalah bagian dari khazanah budaya Indonesia. Menghadirkan terjemahan al-      

8Mahjiddin, al-Qur’an al-Karim, hal. vi. Lihat http:// www.kapanlagi.com, diakses 24 September 2008.

9Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xv.

Qur’an agar dipahami kandungannya bagi masyarakat muslim yang belum mengetahui bahasa Arab, dan melalui terjemahan tersebut bisa memberikan kemudahan bagi masyarakat yang sudah memahami bahasa Arab namun lemah dalam menerjemahkan ke dalam bahasa Aceh dengan susunan bahasa Aceh yang baik dan benar. Karenanya harus dipelihara dan dilestarikan. Lahirnya terjemahan ini telah menambah intelektualisme dan khazanah budaya muslim Indonesia, lebih-lebih karena etika dan estetika Bahasa Aceh dipadukan dengan berbagai konteks yang terkandung dalam penafsiran al-Qur’an.11

Daftar surah yang disusun mengikuti urutan susunan surah dalam mushaf usmani. Kitab Mahjiddin memiliki 976 halaman ditambah 38 halaman berisi halaman judul, tanda tashih, kata pengantar dan kata-kata sambutan (Mentri Agama RI, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, sambutan Kepala BRR NAD-NIAS, kata pengantar tokoh akademisi Aceh, kata sambutan Direktur P3KI, kata pengantar Tim editor edisi kedua, dan kata pengantar Tim Penyunting).12 Sistematika penyajian ayat dan terjemahan mengikuti terjemahan Departemen Agama, yaitu teks ayat berada di sebelah kanan, sedangkan terjemahan berada di samping kiri. Pengaturan teks ayat al-Qur’an disejajarkan dengan penomoran terjemahan ayat mengikuti prosedur terjemahan puitis yang ditawarkan Mahjiddin.

Hal ini dimaksudkan demi kemudahan bagi para pembaca jika ingin membandingkan makna terjemahan dengan teks aslinya. Pemisahan juz ditandai dengan terjemahan yang dicetak miring dan menggunakan huruf kapital dan ditulis cetak miring. Bila letaknya tepat pada awal ayat, penulisan dengan huruf besar dan cetak miring. Namun bila baris merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya, maka penulisan hanya di cetak miring. Tafsir ini menggunakan metode tahlili atau penafsiran ayat per ayat sesuai dengan urutan mushaf usmani mulai surah al-Fatihah sampai surah al-Nâs. Setiap ayat ditulis terpisah dari ayat lain. Pemisah antar ayat tersebut adalah nomor ayat yang ditulis dalam kurung.

      

11Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xv 12Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xvi

Penerjemah dan Tim Penyunting sepakat memberi judul kitab terjemahan ini dengan al-Qur’an al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Beberapa usul lain seperti Terjemahan al-Qur’an Berwajah Hikayat atau

Terjemahan al-Qur’an Lam Bahasa Aceh dikesampingkan karena dirasa kurang cocok.13 Sekiranya terjemahan ini dibaca oleh orang yang memahami makna al-Qur’an, akan merasakan kebebasan penerjemah dalam menuang pesan yang terdapat dalam bahasa asli ke dalam bahasa sasaran. Sebagaimana akan ada kesan, penulis relatif berupaya melakukan terjemahan yang bukan sekedar memberikan informasi, tetapi terjemahan yang dapat mempengaruhi emosi pembaca, seperti berusaha mendekatkan makna terjemahan dengan latar budaya dan lingkungan pembacanya.

Dalam pertemuan dan diskusi antara Mahjiddin Jusuf dengan Tim Penyunting, terasa kesungguhan dan penguasaan penerjemah terhadap hasil pekerjaannya. Terkesan sekali bahwa ia sangat menguasai bahasa Arab14 dan bahasa Aceh secara berimbang. Syarat utama dan pertama yang harus dipenuhi oleh seorang penerjemah adalah menguasai bahasa Sumber (Source Language) dan bahasa Sasaran (Target Language).15 Penguasaan bahasa termasuk salah satu instrumen dalam penerjemahan. Di antara instrumen lainnya adalah penguasaan ayat-ayat dan hadis yang relevan.16 Al-Jahiz juga mengatakan, penerjemah hendaklah orang yang menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran dengan tingkat penguasaan yang sama. Juga harus mengetahui karakteristik, watak dan       

13Mahjiddin Jusuf, al-Qur’an al-Karim, hal. xxii

14Untuk dapat memahami teks al-Qur’an, setiap mufasir atau penerjemah dituntut supaya membekali dirinya dengan sejumlah cabang ilmu pengetahuan. Para ulama mengemukakan bahwa ilmu yang harus dimiliki mufassir yaitu: Bahasa Arab dan Nahwu, Sharf , ilmu-ilmu balaghah, ilmu Ushul Fiqh, ilmu Tauhid, ilmu asbab Nuzul, ilmu Qashahs, ilmu Nasikh wa al-Mansukh, hadist-hadist yang menjelaskan tentang ayat-ayat yang mujmal dan yang mubham. Lihat Muhammad ‘Abd ‘Azim al-Zarqânî, Manâhil al-Irfan fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 2, (Beirut: Isa Babi al-Halabi, t.t.), hal. 51. Lihat juga Jalâl al-Din al-Suyûtî, al-Itqân fi Ulûm al-Qur’an, juz 2, (Mesir: Matba’ah al-Azhar, 1318 H), hal. 180-182

15J.C. Corford, Nazâriyyah Lughawiyyah li al-Tarjamat, Terj. ‘Abd al-Bâqi, (Basrah: Dâr al-Kutub, 1964), hal. 43. Lihat, al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân, hal. 113. Lihat juga Ibrahim Zaki al-Khursyid, al-Tarjamat wa Musykilâtuha, (Mesir: Dâr al- Kutub, 1985), hal. 59. Viggo Hjornager Pedersen, Essays on Translation, (Kobenhaven: Nyt Nordisk Forlog Arnol Busck, 1998), hal. 16-17

16al-Sâbunî, Mukhtashar Ibn Katsir, (Beirut: Dâr Qur’an Karim, 1981), dan Jalal al-Din al-Sayûtî, Dâr al-Mansur, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983)

gaya kedua bahasa. Memiliki wawasan pengetahuan yang luas terutama berhubungan dengan latar belakang ayat yang diterjemahkan. Penguasaan wawasan kebudayaan merupakan poin tambahan dalam terjemahan Mahjiddin, di samping penguasaan topik akademik yang menuntut spesialisasi ilmu.17 Menurut Mary Snell Homby, persyaratan mengenai wawasan kebudayaan harus disadari dan dimiliki penerjemah.18

Nida (1975) dan Savory (1969) menyatakan bahwa penerjemah sastra perlu memiliki syarat-syarat sebagai berikut: 1). Memahami dan menguasai bahasa sumber. 2). Menguasai dan mampu memakai Bsa dengan baik, benar dan efektif. 3). Mengetahui dan memahami sastra, apresiasi sastra, serta teori terjemahan. 4). Mempunyai kepekaan terhadap karya sastra yang tinggi. 5). Memiliki keluwesan kognitif, dan keluwesan sosiokultural. 6). Memiliki keuletan dan motivasi yang kuat.

Karya sastra lebih mengandung unsur ekspresi penerjemah dan kesan khusus yang ingin ditimbulkan tehadap para pembaca. Karya sastra juga mengandung unsur-unsur emosional, efek keindahan kata dan ungkapan, efek keindahan bunyi, dengan segala nuansa yang mengiringinya yang disebut fungsi estetik. Savory menyebutkan tingkat pemahaman ini sebagai pemahaman yang kritis, artinya penerjemah sedapat mungkin memahami teks dalam bahasa sumber dari segala segi dan aspeknya. Singkatnya, seorang penerjemah sastra bukan saja memerlukan kemampuan kreatif mengolah bahasa itu agar padanan yang didapatkan benar-benar sesuai, melainkan juga harus memiliki kemampuan untuk memahami dan mengapresiasi suatu karya sastra karena menerjemahkan karya sastra merupakan usaha untuk menjembatani dua kultur yang berbeda, dengan dua bahasa yang berbeda pula. Kenyataan ini pada akhirnya menunjukkan bahwa penerjemahan karya sastra yang ‘sempurna’ mungkin hanya dapat dilakukan oleh penerjemah yang sekaligus juga sastrawan kreatif.

      

17Zaki Khursyid, al-Tarjamat wa Musykilatuha, hal. 65

18Mary Snell Hornby, Translation Studies: An Integrated Approach, (Amsterdam: John Benjamin Publishing Company, 1998), hal. 42

Kitab rujukan yang digunakan Mahjiddin yang utama ialah kitab tafsir Ibn Katsîr (w. 774 H).19 Dalam beberapa hal, berhubung belum tuntas atau tidak memuaskan dalam tafsir ini, ia menyebutkan dua tafsir lainnya yaitu al-Kasysyaf

karya al-Zamakhsyari (w.538 H) 20 dan Tafsîr Jami’ al-Bayan fî Tafsîr al-Qur’an

karya al-Thabarî (w.310 H)21. Di samping kitab rujukan, Mahjiddin juga menggunakan berbagai terjemahan sebagai bahan pembanding berfungsi sebagai kamus dan kitab tafsir. Ia menggunakan kitab pembanding secara kritis bukan sekedar menyadur. Bahan pembanding yang digunakan Mahjiddin dalam menerjemahkan al-Qur’an secara puitis antara lain Terjemahan al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia karya Ahmad Hasan, Mahmud Yunus dan HB. Jassin serta Yayasan Penyelenggara Penerjemahan al-Qur’an Departemen Agama.

Bentuk baru edisi yang sudah disunting telah mengalami perubahan yang cukup mencolok dalam pola, dan secara luas diadakan perbaikan supaya lebih enak dibaca dan mudah dipelajari. Pada naskah awal,22 terjemahan bentuk puisi ini ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu (Jawi).23 Kemudian tulisannya dialih aksarakan menjadi huruf latin. Pada naskah awal, penulisan huruf Arab ini tidak dilakukan penerjemah secara taat asas, karena kata yang sama terkadang ditulis dengan huruf yang berbeda. Sedangkan kata-kata yang berasal dari bahasa Arab walaupun sudah diserap ke dalam bahasa Aceh yang sudah mengalami perubahan bunyi tetap dituliskan dalam bentuk aslinya.

Dalam perkembangannya, kitab terjemahan bahasa Aceh ini menjadi rujukan dan sumber acuan nazham Aceh bagi para pemerhati al-Qur’an berikutnya. Tafsir Pase, salah satu karya terkemuka dari ulama yang tergabung       

19Abû Fida’ Ismail Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhim, cet. 1, (Kairo: Isa Babi al-Halabi).

20Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasyâf, (Beirut: Dar Kitab al-Ilmiah: 1995)

21Abû Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Tabarî, Tafsîr Jami’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân, cet. 2, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi: 1954)

22Naskah awal tersimpan di Pustaka Ali Hasyimi dalam catalog Naskah Tua, No. 08/NKT/YPAH/92.

23Berdasarkan lacakan Anthony H. Johns, pada akhir abad ke-16 M, telah terjadi pembahasalokalan Islam di berbagai wilayah Nusantara. Seperti tampak pada penggunaan aksara (script) Arab yang kemudian disebut aksara jawi atau pegon. Banyak karya sastra serupa yang berasal dari bahasa Arab dan karya-karya sastra yang terinspirasi oleh model dan corak Arab Persia. Lihat, Anthony Johns, ” The Qur’ân in the Malay World: Reflection on ‘Abd Rauf al-Singkili (1615-1693)”, Journal of Islamic Studies, Volume 9, Nomor 2, 1998, hal. 121

dalam Tim halaqah atau Bale Kajian Tafsir al-Qur’an Pase di Jakarta.24Puitisasi terjemahan teks dijadikan rujukan dalam penafsiran, guna menambah nilai seni dan sastra yang belum pernah ada dalam penafsiran.

Dalam studi ilmu tafsir ada tiga ciri pokok yang perlu dilihat dalam membahas metode suatu karya tafsir atau terjemahan. Ciri pertama adalah tehnik penafsiran, yaitu bagaimana pembahasan suatu penafsiran, apakah ia menggunakan tehnik analisis (tahlliî), global (Ijmâli), perbandingan (Muqâran), atau tematik (al-Maudhû’i). Laiknya para mufasir, secara umum Mahjiddin menggunakan cara yang sama dalam menerjemahkan al-Qur’an. Ia memulai tafsirnya dari surah al-Fatihah sampai ujung surah al-Nâs. Dalam menafsirkan surat-surat al-Qur’an mengikuti ayat-ayatnya. Ia menafsirkan ayat per ayat sesuai dengan susunan di dalam surat sebagaimana yang tersusun dalam mushaf usmani.25 Gamal al-Banna mengungkapkan bahwa, susunan demikian, bisa jadi bukan cara terbaik dalam memahami al-Qur’an.26

Untuk memudahkan terjemahan, Mahjiddin membuat satu pola acuan penafsiran dengan sisitematika: penyajian teks ayat setiap surat secara utuh; terjemah dalam bahasa Aceh dalam bentuk sajak. Penafsiran ayat per ayat tak ubahnya merupakan proses pembedahan atas tubuh-tubuh yang sudah mati. Cara seperti itu hanya akan melenyapkan vitalitas dan efektivitas ayat, khususnya ketika melakukan pembacaan atas surat secara utuh atau beberapa ayat tanpa pemisahan. Walaupun cara ini tidak bisa dihindarkan selagi yang diinginkan adalah penafsiran al-Qur’an ayat per ayat.

      

24Bale kajian tafsir al-Qur’an Pase ini didirikan pada tanggal 21 Mei 1998. Tafsir ini adalah hasil pengolahan dan penyempurnaan dari makalah-makalah yang disampaikan dalam pertemuan-pertemuan Bale masyarakat Pase Kompleks Bappenas dan Perumahan Pondok Indah Jakarta. Penyajian tafsir tersebut diprakarsai oleh T.H. Thalhas dan kawan-kawan yaitu Hasan Basri dan Mufakkir Yusuf. Lihat T.H. Thalhas (et al), Tafsir Pase: Kajian Surah al-Fatihah dan Surah-surah dalam Juz ‘Amma, Paradigma Baru, (Jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Qur’an Pase, 2001), hal. 3

25‘Abd al-Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhu’i, (Dirasah Manhajiyyah Maudhuiyyah, t.t.p,), hal. 7. ‘Alî Iyazî, al-Mufassirûn; Hayâtuhu wa Manhajuhum, (Teheran: Muassasah al-Tibâ’at wa al-Nasyr al-Saqafâh al-Irsyâd al-Islâmi, 1414 H), hal. 32. Lihat pula Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 83. Said Agil Husein al-Munawwar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 66

26Gamal al-Banna, Tafsir al-Qur’an al-Karim Baina al-Qudâmâ’ wa al-Muhadditsîn, Terj. Novriantoni, (Qisti Press, 2004), hal. 23

Seorang mufassir harus menguasai beberapa perangkat keilmuan terkait sehingga ia bisa melakukan tugas penafsiran dengan baik. Sebagaimana yang ditegaskan oleh pakar tafsir seperti al-Suyûtî dalam kitabnya Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an .27 Perangkat ilmu utama dalam penafsiran adalah ilmu bahasa, sebab