• Tidak ada hasil yang ditemukan

Susastra Perspektif Sarjana al-Qur’an

Pada masa klasik, studi al-Qur’an masih diwarnai oleh pemahaman yang didasarkan atas kecenderungan tertentu, seperti gramatika, retorika dan kandungan tematiknya, seperti fiqih, tauhid, kisah dan lain sebagainya. Memasuki masa modern, tafsir al-Qur’an lebih dilihat secara fungsional, di mana fungsi dan tujuan diwahyukannya al-Qur’an kepada manusia adalah untuk memberikan petunjuk (hudan).1

Menurut Abduh, tujuan yang pertama dan utama dari ilmu tafsir adalah merealisasikan keberadaan al-Qur’an itu sendiri sebagai petunjuk (hudan) dan rahmat Allah swt, dengan menjelaskan hikmah kodifikasi kepercayaan, etika dan hukum menurut cara yang paling bisa diterima oleh pikiran dan menenangkan perasaan. Dengan demikian, tujuan yang sebenarnya dari tafsir al-Qur’an adalah untuk mencari petunjuk kebenaran di dalam al-Qur’an.2

Muhammad Abduh (w. 1905 H), dianggap sebagai salah seorang yang sangat keras mengkritik pendekatan sastra. Interpretasi al-Qur’an menurutnya,       

1Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manar, jilid I, (Kairo: Dâr al-Manar,), hal. 17-25

2Muhammad Aunul Abied Shah dalam artikel berjudul “Amin Al- Khuli dan Kodifikasi Metode Tafsir” dalam buku Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah

bukanlah tempat di mana para ahli bahasa maupun sastrawan mempertontonkan keahlian dan kepintarannya, karena al-Qur’an adalah sebuah kitab bimbingan religius dan spiritual (hidâyah) dan bukanlah sebuah buku sastra atau filsafat.3 Tak pelak lagi, kritik Abduh ini telah mempengaruhi banyak reformis lain di pelbagai belahan dunia Islam, termasuk Hassan Hanafi (l. 1935 H).4

Kebaruan pemikiran dalam karya Abduh terletak pada penekanannya yang baru dalam melihat al-Qur’an, yakni sebagai sumber petunjuk keagamaan dan spiritual.5 Dalam pandangan Abduh, al-Qur’an terutama bukanlah sumber hukum atau dogma Islam atau suatu ajang kesempatan bagi para filolog untuk memamerkan kepintaran mereka, tetapi al-Qur’an merupakan kitab di mana seharusnya umat dapat merumuskan pemikiran-pemikiran. Maka, ia tidak menghendaki metode penafsirannya dipenuhi analisis linguistik kebahasaan yang berlebihan. Analisis semantis Abduh tidak melebihi batas-batas kajian kebahasaan, kerangka penafsirannya tidak keluar dari bingkai metode analisis linguistik dan sastra (al-Manhaj al-Balaghî al-Fanni)

Interpretasi susastra al-Qur’an di era kontemporer, setidaknya pada paruh akhir abad ke dua puluh, mendapatkan perhatian yang lebih dan istimewa. Ini terlihat dari banyaknya karya kesarjanaan yang dihasilkan pada kurun waktu tersebut. Kekayaan karya yang demikian bisa dirunut pada pemikiran Amîn al-Khûlî (1895-1966).6 Salah satu hal yang perlu dicatat dari beragamnya karya tafsir menurut al-Khûlî adalah dominannya kecendrungan yang melatarbelakangi para mufassir. Berbagai latar belakang intelektual, sosial, politik, ideologi, mempengaruhi hasil-hasil penafsiran yang pada gilirannya mengurangi misi utama yang dibawa al-Qur’an.

Menurut pandangan al-Khûlî, meski dengan sedikit perbedaan dengan tetap melihat al-Qur’an sebagai hudan, ia melihat al-Qur’an itu sendiri sebagai bagian dari fakta-fakta sosio-historis. Di sini al-Qur’an dilihat sebagai apa adanya       

3Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid I, hal. 17-25. Bandingkan dengan J.J.G Jansen, The Interpretation of the Qur’ân in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974), hal. 24-25

4Hasan Hanafi juga mengkritik pendekatan ini. Lihat Hanafî, Method of Thematic Interpretation of the Qur’an, dalam Stefan Wild (ed.), The Qur’an as Text, Leiden ect.: Brill, 1994.

5Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid I, hal. 17.

6M. Nur Kholis Setawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), hal. 3

dalam kaitannya dengan masyarakat Arab yang pertama kali menerimanya. Ia muncul dalam bingkai dialektika antara wahyu dengan realitas masyarakat pada saat itu. Sebagai fakta, al-Qur’an merupakan fakta bahasa dan susastra.7 Oleh karena itu, menurut al-Khûlî, tujuan yang disebutkan oleh Muhammad Abduh bukanlah tujuan pertama.

Menurutnya, tujuan pertama ilmu tafsir adalah melakukan kontemplasi terhadap al-Qur’an sebagai sebuah kitab bahasa Arab yang teragung (Kitab Al-‘Arabiyyah al-Akbar) dan mempunyai dampak kesususastraan yang paling besar.8 Kitab itulah yang melanggengkan bahasa Arab dari kehancuran, dan menjadi kriterium akhir tata bahasa dan parama susastra. Sehingga kajian aspek susastra al-Qur’an dalam tingkatan seninya, dilakukan tanpa memandang perspektif yang lain, termasuk kepercayaan agama sekalipun, merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam menafsirkan al-Qur’an sebelum melangkah lebih jauh ke tujuan selanjutnya. Kalau tidak demikian, siapa pun yang melakukannya tidak akan sampai kepada tujuan.9

Abû Zaid kemudian mengembangkan teori mereka dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang dikembangkan dalam teori dan kritik sastra modern.10 Ia yakin bahwa satu-satunya cara untuk memahami dan menginterpretasikan al-Qur’an secara objektif adalah dengan menerapkan pendekatan ini.11 Abû Zaid percaya bahwa studi sastra (al-Dirâsat al-Adabiyyah)

atas teks al-Qur’an, di mana teks mempunyai posisi yang sentral, sangatlah penting, karena ia membimbing seseorang ke arah penggunaan kesadaran ilmiah (al-wa’y al-‘ilmi) dan menghindari tendensi-tendensi ideologis (taujih al-aidiyûlûjî).12

      

7Khairon Nahyiddin, Metode Tafsir Susastra, (Yogyakarta: Adab Press), 2004, hal. vii 8Amîn al-Khûlî, Manâhij al-Tajdîd fî al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsîr wa al-Adâb,

(Kairo: Dâr al Ma’rifah, 1961), hal. 302-304 9Amîn al-Khûlî, Manâhij Tajdîd, hal. 231

10 Penggunaan teori dan kritik sastra dalam kesarjanaan Arab-Islam sesungguhnya bukanlah merupakan hal baru. Teori sastra selalu dikaitkan dengan studi al-Qur’an, sebagaimana dalam kasus metaphor (majâz), sementara kritik sastra telah dipergunakan untuk mengapresiasi puisi. Namun penggunaan kritik sastra dalam membaca teks al-Qur’an adalah hal yang baru. Wen Chin Ouyang, Literary Criticism in Medieval Arabic Islamic Culture: The Making of a Tradition,

(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1997)

11Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsat fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Markaz Tsaqâfah al-‘Arabî: 1998), cet. IV, hal. 21, 27-31

Sebagai kitab sastra, tentu saja al-Qur’an bisa didekati dengan pendekatan susastra. Pendekatan ini, atau dalam terminologi al-Khûlî disebut manhâj al-adabî, memang tidak populer pada masa klasik. Al-Tabarî, Ibnu Katsîr atau al-Zamakhsyarî misalnya, belum memperkenalkan pendekatan ini pada masanya, meskipun embrio pendekatan susastra ini juga telah ada pada waktu itu, bahkan jauh pada masa Nabi. Pada era al-Khûlî, pendekatan susastra mulai diformulasikan sebagai metode penafsiaran al-Qur’an. Pendekatan tersebut, seperti dirumuskan al-Khûlî sendiri, untuk memperoleh pesan al-Qur’an secara menyeluruh dan terhindar dari subyektifitas ideologis individu,13 yang akan membuat al-Qur’an hanya berfungsi sebagai legitimasi yang sarat dengan subyektifitas mufassir.

Dalam penelitian al-Khûlî, seperti ditulis dalam ulasannya terhadap artikel Carra de Vaux yang dimuat dalam Enzyklopedi des Islam, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab serta diterbitkan tersendiri menjadi al-Tafsîr Ma’âlim Hayâtihi Manhajuh al-Yaum,14 bahwa karya tafsir yang ada merupakan hasil kreatifitas kesarjanaan muslim. Satu hal yang perlu dicatat dari beragamnya karya tafsir menurut al-Khûlî adalah, dominan kecendrungan yang melatarbelakangi para mufassir. Berbagai latar belakang intelektual, sosial, politik dan ideologi mempengaruhi hasil-hasil penafsiran yang pada gilirannya mengurangi misi utama yang dibawa al-Qur’an. Dalam hal ini, al-Khûlî mencontohkan sarjana pendahulu yang diwarnai, untuk tidak mengatakan didominasi, kepentingan individual seperti tasawuf, teologi, fikih dan sebagainya. Atas dasar pemikiran tersebut di atas, al-Khûlî menawarkan metode susastra ( al-Manhaj al-adabî) dalam menafsirkan al-Qur’an.

Sasaran metode ini, sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah untuk mendapatkan pesan al-Qur’an secara menyeluruh dan bisa diharapkan terhindar dari tarikan-tarikan individual-ideologis. Melalui slogannya yang ditulis dalam pengantar tulisan “Tafsir Kontemporer” (al-tafsîr al-yaum), al-Khûlî mengatakan :“awal pembaharuan adalah pemahaman turats secara paripurna” (awwal al-tajdîd       

13Amîn al-Khûlî, Manâhij Tajdîd fî al-Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adâb, hal. 233

14Edisi bahasa Arab dari Ensiklopedia tersebut adalah Dâirat al-Ma’ârif al-Islamiyyah,

diterbitkan di Beirut pada tahun 1934 oleh Dar al-Ma’ârif. Dalam buku ini, al-Khûlî memberi uraian singkat tentang tafsir semenjak era awal sampai masa al-Khûlî sendiri.

qatl al-qadîm fahman).15 Dalam tulisan ini, Al-Khûlî mendeskripsikan bahwa al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar (kitab al-‘arabiyyah al-akbar), sebelum langkah studi al-Qur’an diambil, harus dianggap sebagai teks sastra suci.16

Oleh karenanya, agar dapat memahami al-Qur’an secara proporsional dan komprehensif, seseorang harus menempuh metode sastra (al-manhaj al-adabi).17 Dengan demikian, tafsir kontemporer dalam pemahaman al-Khûlî adalah interpretasi susastra yang didasarkan atas metodologi yang tepat (sahih al-manhaj), kelengkapan aspek (al-kâmilah al-manâhij) dan kesinkronan distribusi pembahasan (al-muttasiqah al-tauzi’).18

Meskipun demikian, mereka berbeda-beda dalam melakukan studi atas al-Qur’an. Muhammad Ahmad Khalafullah, misalnya, lebih mengedepankan aspek psikologis dari al-Qur’an, terutama pada sisi narasinya. Sekalipun tidak menyebutkan sumber dari mana ia mengambilnya, tetapi dari metode yang ia pergunakan dalam melakukan tafsir atas kisah-kisah al-Qur’an jelas ia mengikuti metode Amîn al-Khûlî.19 Sebagaimana dalam penuturan ketika memberikan kata pendahuluan dalam buku al-Fann al-Qasas fî al-Qur’ân al-Karîm, ia mengatakan:

“Saya sangat tertarik dengan pelajaran dan ceramah yang diberikan oleh Amîn al-Khûlî tentang metode pendekatan kajian susastra dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Gagasan dasar al-Khûlî lama bersarang dalam otak saya sehingga akhirnya muncul ide untuk mewujudkan gagasan baru tentang penggunaan metode pendekatan susastra ini dalam menafsirkan kisah-kisah al-Qur’an”.20

Berbeda dengan Nasr Hamid Abû Zaid, meskipun mengikuti metode susastra sebagaimana yang dilontarkan oleh al-Khûlî, namun ia mengembangkannya lebih lanjut. Dapat dikatakan, bahwa Abû Zaid pada dasarnya ingin menggabungkan dua pandangan mengenai al-Qur’an yang muncul di awal masa kebangkitan Islam. Satu sisi mengikuti pandangan al-Khûlî, namun di sisi lain mengikuti pandangan Muhammad Abduh. Bagi Abû Zaid, langkah al-Khûlî dipandang sebagai langkah awal yang bersifat individu bagi upaya       

15Al-Khûlî, Manâhij Tajdîd, hal. 229 16Al-Khûlî, Manâhij Tajdîd, hal.229 17Al-Khûlî, Manâhij Tajdîd, hal.230 18Al-Khûlî, Manâhij Tajdîd, hal.231

19Lihat Muhammad Ahmad Khalafallah, al-Fann al-Qasas fî al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Maktabah al-Mishriyyah, 1950-1951), hal. 13-15

menafsirkan al-Qur’an secara ilmiah. Sementara langkah Abduh dipandang sebagai langkah kelanjutannya. Bahkan mungkin tujuan akhir baik secara individual maupun sosial. Al-Qur’an bagi masyarakat dipandang bukan sekedar sebagai fakta bahasa yang memiliki pesona, tetapi ia merupakan kitab suci. Sebagai kitab suci, al-Qur’an merupakan tuntutan bagi mereka untuk menjalani hidup di dunia, al-Qur’an sebagai sumber petunjuk bagi manusia. Ini berarti bahwa wujud dari pesan al-Qur’an harus senantiasa mengiringi perubahan manusia agar ia tetap dapat menjadi petunjuk. Bahwa al-Qur’an berupa fakta bahasa dan susastra yang mempesona, dan bahwa ia merupakan kitab suci bagi umat Islam, keduanya merupakan fakta sosio-budaya yang tidak dapat dipungkiri.21

Sementara ‘Aisyah Abdurrahman mengadopsi metode susastra (bayâni) gurunya secara persis hampir tanpa pergeseran sama sekali.22 Sebagaimana diakui sendiri oleh Bintu Syati’ bahwa metode yang ia pergunakan di dalam bukunya “

al-Tafsîr al-Bayanî li al-Qur’ân al-Karîm” berasal dari guru, yang kemudian menjadi suaminya, Amîn al-Khûlî.23 Melalui metode susastra (manhaj al-adabi), Bintu Syati’ lebih menekankan pada aspek kajian al-Qur’an sendiri dengan fokus utamanya kosa kata dan struktur ujaran Qur’an. Menurutnya, al-Qur’an merupakan kitab bahasa Arab terbesar, di samping itu mukjizat bayân-nya abadi, dan gagasan-gagasan tinggi.

Dalam studi al-Qur’an menjadi keniscayaan bagi mufassir untuk memperhatikan cita rasanya, memahami perasaan dan temperamennya, dan menyingkap rahasia-rahasia bayan dan karakteristik ungkapannya. Meskipun demikian, menurut Bintu Syati’, tafsir al-Qur’an bernuansa sastra hingga kini masih terbatas materi “tafsir”, dan belum beranjak ke bidang kajian bayan

bersama warisan bahasa fusha, dan masih jauh dari dinamika.24

      

21Khairon Nahyiddin, Metode Tafsir Susastra, hal. ix-x

22Meskipun demikian Abû Zaid mengkritik tafsir Bint al-Syati’ tidak lebih sebagai neo tafsir klasik. Bahkan, menurut Abû Zaid, Bint al-Syati’ telah melakukan distorsi metode al-Khûlî, al-Tafsîr al-Adâbi”, dengan terminologinya “al-Tafsir al-Bayani” yang hanya menekankan aspek kesusastraan al-Qur’an saja.

23Aisyah Abdurrahman Bintu Syati’, al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1962), cet. V, hal. 13

Melalui karya tulisnya al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur’ân al-Karîm, Bintu Syati’ membuktikan kei’jâz al-Qur’an dari sudut sastra (al-bayân) dengan kajian atas makna filosofis huruf (sir al-harf), makna filosofis lafal dan kalimat (dalalah alfazh wa sir al-kalimat) dan gaya bahasa dan makna filosofis redaksional ( al-asâlib wa sir al-ta’bîr) dalam al-Qur’an. Menurutnya, pendekatan susastra dalam menafsirkan al-Qur’an akan lebih memperoleh pemahaman tentang al-Qur’an.25 Karena itu, dalam menafsirkan al-Qur’an Bintu Syati’ tampak hati-hati dengan membiarkan al-Qur’an berbicara mengenai dirinya sendiri, agar kitab suci itu dipahami dengan cara-cara yang paling langsung sebagaimana orang-orang Arab pada masa kehidupan Nabi Muhammad.

Pendekatan ini mempengaruhi Bint Syatî’ mengembangkan gagasan tentang interpretasi retoris (al-Tafsîr al-Bayânî) atas teks al-Qur’an. Kata-kata al-Qur’an haruslah didefinisikan berdasarkan atas apa yang dipahami oleh Nabi Muhammad saw dan orang-orang semasanya. Dan juga kata-kata itu haruslah diasumsikan dan dipergunakan secara konsisten dalam keseluruhan teks al-Qur’an.26 Muhammad Ahmad Khalafallah juga menerapkan metodologi al-Khûlî untuk menganalisa kisah-kisah profetik dalam al-Qur’an. Al-Qur’an menerapkan gambaran sastrawi yang atraktif untuk mengekspresikan kebenaran psikologi dan religius.27

Al-Khûli menawarkan metode tafsir yang lebih dikenal dengan tafsir susastra terhadap al-Qur’an (al-Tafsir al-Adab al-Qur’an). Sasaran metode ini adalah untuk mendapatkan pesan al-Qur’an secara menyeluruh dan bisa diharapkan terhindar dari tarikan-tarikan individual-idiologis. Dengan slogan yang ia ciptakan, ”awal pembaharuan adalah pemahaman turas secara paripurna (awwal tajdid qatl qadim fahman), al-Khuli menempatkan al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar (kitab al-Arabiyyah al-Akbar), yang berimplikasi bahwa sebelum langkah studi al-Qur’an diambil, al-Qur’an harus dianggap sebagai teks sastra suci.28 Agar bisa memahami al-Qur’an secara proporsional, seseorang harus menempuh metode pendekatan sastra.

      

25Bintu Syati’, al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur’ân al-Karîm, hal. 17 26Andrew Rippin, Muslim, Their Religious Beliefs and Practices, hal. 94. 27Andrew Rippin, Muslim Their Religious Beliefs and Practices, hal. 107

28Salah seorang sastrawan tunanetra yang pernah menjabat sebagai menteri Pendidikan di Mesir (1950–1952). Thaha Husein lahir 14 November 1889 di sebuah kota kecil bernama Maghargha dari keluarga petani pedesaan. Dari Muhammad Abduh (1849–1905) ia belajar tentang

Kajian ini menitikberatkan pada arti pentingnya aspek historis, sosial, kultural dan antropologis wahyu bersamaan dengan masyarakat Arab abad ke tujuh sebagai objek langsung teks wahyu tersebut. Penitikberatan aspek-aspek yang masuk dalam rumpun humaniora menegaskan bahwa dalam memahami wahyu tanpa melibatkan keilmuan humaniora yang senantiasa berkembang akan menyulitkan kita untuk sampai pada makna yang dikehendaki teks. Hal ini tidak berarti bahwa teks al-Qur’an kehilangan sakralitasnya lantaran didekati dengan ilmu kemanusiaan. Sebaliknya, keilmuan tersebut merupakan alat bantu efektif yang bisa menghidupkan semangat teks keagamaan dalam konstalasi realitas sosial yang menjadi konsideran nilai filosofis dari wahyu tersebut.29

Namun dalam perjalanan sejarah, pendekatan semacam ini tidak populer, terutama setelah dikritik oleh Muhammad ‘Abduh (w. 1905 H), ia dianggap sebagai seorang ulama yang sangat keras mengkritik pendekatan sastra dengan alasan bahwa al-Qur’an bukanlah kitab sastra tetapi kitab petunjuk. Oleh karena itu, tidak seyogyanya sastrawan menafsirkan al-Qur’an dengan keahlian sastranya. Interpretasi al-Qur’an, menurutnya bukanlah tempat di mana para ahli bahasa maupun sastrawan mempertontonkan keahlian dan kepintaran, karena al-Qur’an adalah kitab bimbingan religius dan spiritual (hidâyah) dan bukan sebuah buku sastra atau filsafat.30

Di antara alasan keengganan menggunakan teori sastra terhadap al-Qur’an, kerena teori sastra dianggap sebagai teori sekuler. Sebab itu tidak dapat diterapkan kepada teks yang suci seperti Qur’an. Mereka juga menyatakan bahwa al-        studi keagamaan dan dari al-Marshafy ia belajar sastra dan studi literatur bersama Zayyat dan Muhammad Hasan Zanati. Selain di al-Azhar yang tak tuntas, Husein muda belajar di Universitas Cairo, kemudian belajar Perancis. Doktoralnya diperoleh di Universitas Cairo. Di Universitas Sarbonne, Thaha Husein bertemu dengan sederet ilmuwan ternama, semisal, Profesor Emile Durkheim (1858–1917) dalam disiplin ilmu sosiologi, Profesor Gustaf Block dalam disiplin ilmu sejarah (ahli sejarah Romawi), Profesor Casanova dalam ilmu tafsir, dan Profesor Pierre Jenet dalam Ilmu Psikologi. Perkenalan itulah yang sangat mewarnai intelektualitas Thaha Husein hingga ia menghasilkan gagasan-gagasan yang sangat kontroversi pada zamannya. Puluhan buku berhasil ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian yang serius di masyarakatnya. Di antara karyanya yang populer adalah Fi al-Syi‘ri al-Jahili, ditulis pada tahun 1926, saat ia dipercaya menjadi dosen sejarah sastra Arab pada Fakultas Sastra, al-Ayyam, dan Fi al-Adab al-Jahili

(1927), Mustaqbal al-Saqafah fi Misr, dan The Future of Culture in Egypt (1938). Lihat, http//:www.arabworldbooks.com.Thâha Husein, Fi al-Adab al-Jahili, hal.

29Penekanan ini memiliki kesamaan alur dengan Abduh yang mengedepankan sosiologi. Lihat, Muhammad Abduh, Muqaddimah Tafsir al-Fatihah, no. 16

30Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid I, hal. 17-25. Bandingkan dengan J.J.G Jansen, The Interpretation of the Qur’ân in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974), hal. 24-25

Qur’an sebagai teks suci dan firman Allah, hanya dapat dikaji dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kesucian firman Allah, dan itu berarti dengan menggunakan metode yang suci pula (divine hermeneutics) atau metode yang islami (manhaj al-Islami).31

Muhammad Syahrûr sangat menyayangkan terhadap sebagian umat Islam yang masih menyamakan al-Qur’an dengan teks sastra.32 Syahrûr menilai bahwa mengkaji teks al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan sastra sama saja dengan menyetarakannya dengan teks-teks biasa, sehingga nilai sakralitas teks menjadi hilang. Kajian kesusasteraan al-Qur’an, menurut Syahrûr tidak mungkin dilakukan tanpa menyertakan berbagai karya para teorisi i‘jâz, dan bahkan dengan mengupayakan suatu pembenahan kritis terhadap kepustakaan i‘jaz tersebut.33

Memang al-Qur’an bukan kitab sya’ir yang bersifat relative dan hanya diperuntukkan para ahli sya’ir, tetapi ia bersifat universal untuk seluruh makhluk alam semesta. Hal ini sejalan dengan adagium al-Qur’ân Sâlih likulli Zamân wa Makân yang kemudian mendorong Syahrûr untuk memperlakukan kitab suci sebagai totalitas wahyu yang baru saja diturunkan kepada generasi Islam saat ini. Tetapi hal ini tidak secara otomatis menafikan pentingnya sastra untuk mengkaji al-Qur’an.34

Al-Qur'an, bagi Syahrûr, mempunyai dua sisi kemukjizatan apabila dilihat dari aspek linguistik, yaitu sastrawi dan ilmiah. Dalam aspek sastrawi beliau menggunakan pendekatan deskriptif-signifikatif-yaitu melalui teori sastra dan gramatika, dan aspek ilmiahnya menggunakan pendekatan historis-ilmiah-merujuk pada asbab al-Nuzul (sebab turunnya ayat). Adapun terhadap ayat-ayat hukum beliau menggunakan teori limit (Nazariyat al-Hudud), yaitu batas-batas       

31Yusuf Rahman, Kritik Sastra dan Kajian al-Qur’ân, dalam buku Pengantar Kajian al-Qur’ân, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, (ed.) Kusmana dan Syamsuri, (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru), 2004, hal. 226. Lihat juga, Aunul Abied Shah dalam artikel berjudul “Amîn al-Khûlî dan Kodifikasi Metode Tafsir” dalam buku Islam Garda DepanMosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, hal. 140

32Syahrûr, Nahw Usûl Jadidah Li al-Fiqh al-Islâmî, (Damaskus: al-Ahâlî: 2000), hal. 191 33Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur’an, TerjHidayatullah (Bandung: Penerbit Pustaka, 1982), hal. 162. Upaya pelacakan asal mula kajian kesusasteraan al-Qur’an di kalangan generasi ulama penggagas kesarjanaan I’jâz al-Qur’ân telah dilakukan oleh M. Nur Kholis Setiawan untuk penulisan disertasinya di Universitas Bonn, Jerman. Setelah