• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Terdahulu yang Relevan

Upaya mendialogkan teks al-Qur’an dengan pendekatan sastra berbentuk puisi telah dilakukan oleh umat Muslim sejak dulu hingga saat ini. Pendekatan sastra atas teks al- Qur’an sesungguhnya bukan merupakan hal baru. Pendekatan ini telah dipergunakan sejak abad-abad pertama Islam, oleh Abdullah Ibn Abbâs (w.68H/687M). Upaya ini diikuti oleh beberapa ulama lain, terutama Abû ‘Ubaidah (w. 210 H/ 825 M), Al-Jâhiz (w. 255 H/ 869 M), Qâdhî Abd Jabbâr (w. 415 H/ 1024 M), Abdul Qâhir Jurjânî (w. 474 H/ 1078 M), dan al-Zamakhsyari (w. 538 H/ 1144 M).

Kajian-kajian yang berkaitan dengan interpretasi susastra kembali mendapat perhatian pada era kontemporer, seperti Amîn al-Khûlî dalam kitabnya

Manâhij al-Tajdîd fi al-Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab,

mengembangkan pemikiran al-Manhaj al-Adabî dalam penafsiran al-Qur’an.46 Tesis yang dikedepankan bahwa al-Qur’an adalah teks sastra Arab yang paling agung, Kitâb al-Arabiyya al-Akbar, memicu perdebatan intelektual yang intens, terutama di Mesir Modern. Penetapan al-Qur’an sebagai teks sastra Arab paripurna tersebut melibatkan diskusi tentang tekstualitas al-Qur’an yang meniscayakan pendekatan dan metode analisis susastra.

Aisya Abdurrahmân bint al-Syâti’, menerapkan metode al-Khûlî dalam kitabnya al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’an al-Karîm.47 Bint al-Syati’ secara konsisten menerapkan metode Khûlî di antaranya adalah membiarkan al-Qur’an berbicara tentang dirinya, karena dalam teks al-al-Qur’an saling menjelaskan satu sama lain. Cara yang dikedepankan adalah pelacakan makna yang dikehendaki teks dengan analisis linguistik dan sastra dengan medan-medan semantik yang jelas. Sarjana yang mengikuti sekaligus menopang metode susastra adalah Syukrî Ayyâd. Ia menulis buku Yaum al-Dîn wa al-Hisâb: Dirasâh Qur’aniyyah. Sembari menggunakan metode analisis susastra, Ayyâd berpendapat

      

46M. Nur Kholis S., Literary Interpretation of the Qur’an: A Study of Amîn al-Khûlî’s Thought, dalam al-Jâmiah Journal of Islamic Studies 61, Juni 1998, hal. 30-317.

bahwa persoalan eskatologis yang ada dalam al-Qur’an merupakan simbol keagamaan dalam kemasan susastra yang hendaknya dipahami hidayahnya.

Tafsir susastra yang dikedepankan al-Khûlî memberikan pengaruh yang cukup luas terhadap diskursus studi al-Qur’an. Sayyid Qutb dalam karyanya al-Tashwîr al-Fannî fî al-Qur’ân (1956),48 memberikan ulasan-ulasan yang menonjol tentang pendekatan susastra. Juga Nasr Hâmid Abû Zaid yang gigih mengembangkan metode adabî dalam kajian al-Qur’an dalam karyanya Mafhûm al-Nass: Dirâsat fî ‘Ulûm al-Qur’ân.49Ia menyimpulkan bahwa al-Qur’an adalah teks yang memiliki pesan-pesan etik, moral spiritual dan juristik.

Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, karya M. Nur Khalis Setiawan,50 yang menyimpulkan bahwa penggunaan keilmuan kontemporer terhadap teks keagamaan, termasuk pendekatan susastra, tidak akan mengubah apalagi mempengaruhi secara negatif status teks ilahi. Dan sebaliknya, keilmuan tersebut menjadi pintu masuk terhadap teks keagamaan yang menunjukkan bahwa pemahaman kita terhadapnya secara saintifik dalam perspektif historis telah berubah. Kajian-kajian umum tentang kesusastraan al-Qur’an. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar karya M. Nur Kholis Setiawan, karya ini menunjukkan tiga hal penting. Pertama, pendekatan susastra terhadap al-Qur’an sepenuhnya bisa dilakukan dengan menggunakan teori dan peristilahan yang berkembang dalam dunia teori dan kritik sastra modern. Kedua, dalam khazanah tafsir al-Qur’an, terdapat benih-benih pemikiran susastra yang memang bisa ditemukan dalam karya-karya tafsir. Bahwa teks al-Qur’an memiliki fungsi sastrawi yang sangat penting, tidak ada seorang pun yang bisa membantahnya. Ketiga, arti penting dari pemikiran-pemikiran susastra al-Qur’an dalam karya-karya tafsir juga memiliki kekhususan lebih lanjut, yakni kekhususan bisa diresapi dengan baik oleh kalangan non muslim dalam keterlibatan mereka melakukan kajian terhadap

      

48Sayyid Quthb, al-Tashwîr al-Fannî fî al-Qur’an, cet. XVII, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2004) 49Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsat fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Markaz Tsaqâfah al-‘Arabî: 1998).

50M. Nur Kholis Setiawan, al-Quran Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eISAQ Press, 2005)

aspek-aspek susastra al-Qur’an. Selama al-Qur’an merupakan teks sastra, bisa mengungkapkan elemen-elemen susastra dari teks tersebut dengan leluasa.

Kesusastraan al-Qur’an juga dibahas dalam artikel yang berjudul Aspek-aspek Sastra dalam al-Qur’an, karya Chatibul Umam.51 Dalam tulisannya ia berkesimpulan bahwa al-Qur’an penuh dengan nilai-nilai sastra yang tinggi. Kritik Sastra dan Kajian al-Qur’an karya Yusuf Rahman,52 dalam tulisannya ia berkesimpulan bahwa al-Qur’an secara keseluruhan bukanlah teks teologis, akan tetapi ia juga merupakan teks sastra. Tafsir Susastra al-Qur’an (Sebuah Kajian Historis), karya Hamdani Mu’in.53 Secara historis tafsîr bayâni (susastra) telah menjadi trend penafsiran sejak masa Nabi Muhammad. Seiring dengan pesatnya penyebaran agama Islam dan keterbatasan dalam penguasaan bahasa Arab di kalangan muslim non Arab, maka lahirlah perangkat-perangkat metodologis tafsir yang disusun oleh para sarjana al-Qur’an dan pakar bahasa dan sastra Arab untuk mempermudah memahami bahasa al-Qur’an tersebut.

Kajian-kajian lain yang berkaitan dengan puitisasi al-Qur’an antara lain;

Al-Qur’an Bacaan Mulia karya HB. Jassin. Jassin menegaskan bahwa sebenarnya bahasa Qur'ân sangat puitis dan ayat-ayatnya dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra. The Glorious Koran karya Muhammad Marmaduke William Pitchall, juga Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an: English Translation of The Meaning and Commentary, kedua karya terjemahan ini menggunakan metode puisi dalam bahasa Inggris yang banyak dijadikan rujukan saat ini.

Karya-karya lainnya yang mengkaji terjemahan al-Qur’an menggunakan metode puisi seperti Muhammad Diponegoro dalam Pekabaran Puitisasi Terjemahan al-Qur’an Juz ‘Amma. Bachtiar Suryani, Menurutnya al-Qur’an itu isinya untuk didakwahkan kepada masyarakat. Namun, tidak semua orang mengerti dengan bahasa Arab. Karena itu, bagi kalangan peminat seni, ia berinisiatif mengarang puitisasi al-Qur’an. Lagipula dalam puitisasi al-Qur’an itu yang ambil       

51Chatibul Umam, Aspek-aspek Sastra dalam al-Qur’an, ed. Kusmana dan Syamsuri, (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2004)

52Yusuf Rahman, Kritik Sastra dan Kajian al-Qur’an, ed. Kusmana dan Syamsuri, (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2004)

53Hamdani Mu’in, Tafsir Susastra al-Qur’an (Sebuah Kajian Historis), dalam Jurnal Teologia, Vol. 19, Vol. I, 2008.

garis besarnya saja. Kemudian saya rangkai dan ungkapkan dengan bahasa puisi. Jadi, bukan mengubah terjemahan ayat kata per kata.

Dari data-data di atas menunjukkan bahwa respon terhadap penafsiran atau penerjemahan al-Qur’an dengan pendekatan sastra menjadi perhatian para pemerhati al-Qur’an maupun seniman salah satu usaha menjaga kemurnian pemahaman makna al-Qur’an. Menurut penulis, dari berbagai kajian dan tulisan tersebut berbeda dengan penelitian tesis ini. Perbedaan ini terlihat dari model puitisasi terjemahan yang mengikut model persajakan serta bahasa lokal yang digunakan.